Aku terperanjat seketika mendapati Soraya telah terjatuh dan Mas Ikbal terlambat meraih tangannya sehingga ia berguling dari atas tangga hingga ke bawah dengan keras."Astagfirullah," gumamku berkali-kali."Mas tolong ... Aduh perutku ... Ah ... tolong," jeritnya. Soraya tersungkur keras dan di ubin tangga merembes cairan merah kental yang seketika membuatku terkesiap luar biasa."Mas ikbal, istrimu!" Aku berteriak.Tapi aku bimbang mendekat, aku tak ingin orang-orang merasa bahwa aku telah mendorong Istri baru mas Ikbal itu lantaran rasa cemburu."Mbak Jannah, bantu aku," ratapnya sambil mencengkeram ujung pakaian dan perutnya.Jujur saat itu melihatnya menjerit dan kesakitan, membuatku bingung dan tak tahu apa yang harus kulakukan. Mas ikbal segera berlari mengangkat Soraya dan menoleh padaku dengan wajah penuh harap."Jannah tolong panggilkan taksi.""I-iy-iya, Mas," kataku sambil gelagapan meraih ponsel di dalam tas.Sialnya tidak ada taksi Grab yang tersedia di lokasi terdekat
Operasi soraya selesai dalam dua jam aku menemui soraya yang masih belum tersadar dari bius bekas operasi, dan ia terlihat sangat kuyu dan lemah. Kuambil kursi dan mengambil tempat di sampingnya kutunggui wanta itu sampai Mas Ikbal datang dari menjemput mertuanya di stasiun kereta.Tak lama menunggu pintu ruangan Soraya diketuk, lalu pintu terbuka, Mas Ikbal masuk diikuti mertua perempuannya dan ayahnya Soraya yang menggunakan kursi roda sebagai alat bantu, aku sesaat bertemu pandang dengan orang tua soraya,mereka terlihat tertegun dan heran karena ada aku di sana.a“Bagaimana keadaan soraya, Nak?” Tanya ayahnya.“Baik-baik saja, insyalllah, Pak, tapi dia kehilangan bayinya,” jawabku.“Ya Allah, anakku,” gumam ibundanya lirih.“Dia terjatuh, Bu,” kataku sambil menatap mereka bergantian, orang tua yang telah lanjut usia yang terlihat sangat punya kharisma dan aura seorang guru itu.“Apakah kamu adalah jannah?” ayahnya bertanya padaku.“Iya, Pak.”“Aku minta maaf Jannah, telah meng
Aku tahu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berdebat dan banyak bicara, oleh karena itu kutinggalkan tempat yang penuh dengan tangis itu untuk kembali kepada anakku. Aku tahu saat ini satu keluarga itu sedang sangat terpukul dan belum siap dengan kenyataan yang mendadak merenggut harapan indah mereka tentang menimang bayi, cucu kebanggaan orang gua soraya. Mungkin ini adalah bagian dari hukuman mereka yang sudah berbuat curang kepadaku.Kumasukkan mobil ke pekarangan rumah bapak dan sesaat kemudian putriku menyambutku dengan setengah berlari kecil lalu merangkul pinggangku."Bunda dari mana aja, pulangnya kok, lama?" tanyanya."Bunda ada urusan penting," jawabku."Tapi ... kok bisa sampai malam?" katanya dengan ekspresi wajah polosnya. "Iya ada urusan penting, Sayang," kataku lembut sambil mencium pipinya."Sudah pulang, tho Nduk?" tanya Ibu."Ia Bu," jawabku sambil melangkah masuk lalu menghempas diri di sofa ruang tamu rumah Ibu."Apakah urusanmu di pengadilan sudah beres, Ndu
Suatu pagi Mas Iqbal datang menemuiku berita apa maksudnya ia meminta seseorang untuk memanggilku di ruang dapur rumah sakit di kantin dimana ia menunggu diriku"Ada apa Mas, ada mencariku?" tanyaku."Aku sengaja nyari kamu ke sini untuk bertanya, apakah benar kamu sudah punya hubungan lain bahkan sebelum kita benar-benar bercerai?" Tanyanya langsung tanpa banyak basa-basi lagi seolah-olah ia tidak pernah mengetahui yang sebenarnya."Siapa yang ngomong seperti itu, kenapa kamu malah menyalahkan aku bukannya kamu kemarin yang menyuruh orang-orang suruhanmu untuk mengancam ibuku?" tanyaku balik menyerangnya."Kok kamu malah nuduh aku Jannah? semenjak kehilangan Soraya ya Aku tidak pernah keluar rumah tapi kamu malah menuduh aku seperti itu." Dia mengelak ucapanku dan terlihat amat terkejut."Mereka datang dan memperingatkan aku untuk menjaga kehormatan dan nama baik Kamu, memangnya siapa yang menyuruhnya kalau bukan kamu?" Aku mendelik marah padanya."Sungguh, Aku tidak tahu apa-apa,
Aku tak sanggup membendung sakit hati atas perlakuan mereka sekeluarga, bayangkan saja mereka nyaris membuatku tak memiliki apa-apa di dunia ini, bahkan juga harapan atau impian, mereka mematikan langkah juga rasa percaya diri, mereka mengintimidasi hingga ke titik akhir.Sungguh, tiba-tiba benci menyeruak dalam dada atas sikap mereka semua. Ayahnya Soraya yang merupakan sosok yang seharusnya menjadi contoh dan teladan bagi orang lain dan masyarakat pada umumnya ternyata tak setulus penampilannya. Setidaknya aku menarik asumsi semacam itu karena melihat sikap over protektif terhadap putri kesayangannya membuatnya kehilangan kebijaksanaannya.Aku tidak ingin menyudutkan sudut mana pun salam hal itu, tapi ayah Soraya membuat stigma baik tentang seorang guru menjadi tercoreng, dan itu memalukan. Setidaknya itu menurut penilaianku, tapi yang tidak sepemikiran denganku pasti punya pandangan berbeda, apalagi orang yang mengidolakan dan mengikutinya sejak lama.Semua ambisi dan ketidak-puasa
Di dalam kebingungan dan kegalauanku, aku tak mampu lagi memejamkan dan sibuk mondar-mandir saja di kamar, menerawang ke luar jendela dan memikirkan keadaan Mas Ikbal. Jujur meski aku marah, namun ia adalah orang yang pernah aku cintai, juga ayah dari Raisa.Tiba-tiba putriku terbangun dan menangis tersedu-sedu, kuhamliri dia dan kurangkul dengan erat."Ada apa, Sayang?""Raisa takut, Raisa lihat ayah meninggal," ucapnya sambil menangis sedih."Ayah baik-baik aja, Sayang." Aku mencoba berbohong untuk menghiburnya."Tapi ayah akan mati, Bun," tuturnya sedih."Raisa tahu darimana?""Raisa lihat ayah sesak, ayah minta tolong, ayah panas," ucapnya semakin terisak keras.Ibu yang mendengar Raisa langsung mendatangi dan bertanya padaku."Ada apa anakmu, Nduk?""Ga tahu, Bu. Mungkin mimpi," jawabku pada ibu."Enggak Nek, Raisa gak mimpi, ayah mau meninggal, Nek, ayah mau ninggalin Raisa," bantahnya dengan air mata kian deras.Ibu menatap cucunya menangis sedih, ikut prihatin."Mungkin rindu
Tiba-tiba dimadu, tiba-tiba saling membenci, tiba-tiba berpisah rumah, tiba-tiba bercerai dan kejadian tiba-tiba berikutnya membuatku tak bisa menebak dan habis pikir terhadap rencana Allah.Apakah di hari esok, Allah akan memberiku kejutan yabg lebih dasyat dari ini? Aku takut dan galau memikirkannya. Di hari kedua sejak Mas Ikbal dieawat aku terus mendapat kabar perkembangan dari santri yang menjaganya, entah kenapa pemuda itu terus mengajariku keadaan mantan suamiku itu, apakah dia memang peduli pada Mas Ikbal atau apa yang dia rencanakan, aku sungguh tak tahu.[ Mbak hari ini, Mas Ikbal terus menjerit kesakitan,. Luka yang kemarin kini bernanah dan menguarkan bau busuk yag anyir, Mbak. ]Kujawab [Apakah dokter sudah memberikan obatnya?][Sudah Mbak, tapi Mas Ikbal masih kesakitan dan terus merintih, sepanjang hari ][Soraya mana?][Tadi ada di sini, tapi karena gak bisa melakukan apa-apa, dia memutuskan pulang ][Mas Ikbal sudah makan? ][Belum, Mbak sedari kemarin ia tak ingin
Kami sampai di tempat kerja dan Mas Rafiq langsung memarkirkan mobilnya di bawah pohon flamboyan tempat biasa ia parkirkan mobilnya."Mas, aku turun dulu," ucapku sambil membuka pintu mobil, mengambil tas buru-buru ke luar untuk mengejar absen."Eh, ada yang kelupaan,"ucapnya.Aku membalikkan badan dan bertanya cepat padanya, "Apa Mas?""Lupa memberiku senyum?""Ya, ampun Mas." Aku hanya menggeleng pelan dan membalikkan badan lagi."Ini serius ada yang kelupaan," katanya dengan mimik meyakinkan."Apa?" Aku sedikit gusar karena harus buru-buru mengisi absen yang otomatis itu."Lupa menerima cintaku," katanya dengan senyum manis."Ish ...." Kembali aku memutar bola mata, malas dengan rayuannya di jam genting seperti ini."Hayolah, setidaknya beritahu kalo aku boleh berharap," teriaknya dari dalam mobil.Aku hanya melambai ringan sambil membalas senyumannya dan langsung menuju ke ruang staf dapur untuk mengisi absen dan mulai bekerja.Bukannya hati ini tidak berdebar-debar atas sikapnya