Di dalam kebingungan dan kegalauanku, aku tak mampu lagi memejamkan dan sibuk mondar-mandir saja di kamar, menerawang ke luar jendela dan memikirkan keadaan Mas Ikbal. Jujur meski aku marah, namun ia adalah orang yang pernah aku cintai, juga ayah dari Raisa.Tiba-tiba putriku terbangun dan menangis tersedu-sedu, kuhamliri dia dan kurangkul dengan erat."Ada apa, Sayang?""Raisa takut, Raisa lihat ayah meninggal," ucapnya sambil menangis sedih."Ayah baik-baik aja, Sayang." Aku mencoba berbohong untuk menghiburnya."Tapi ayah akan mati, Bun," tuturnya sedih."Raisa tahu darimana?""Raisa lihat ayah sesak, ayah minta tolong, ayah panas," ucapnya semakin terisak keras.Ibu yang mendengar Raisa langsung mendatangi dan bertanya padaku."Ada apa anakmu, Nduk?""Ga tahu, Bu. Mungkin mimpi," jawabku pada ibu."Enggak Nek, Raisa gak mimpi, ayah mau meninggal, Nek, ayah mau ninggalin Raisa," bantahnya dengan air mata kian deras.Ibu menatap cucunya menangis sedih, ikut prihatin."Mungkin rindu
Tiba-tiba dimadu, tiba-tiba saling membenci, tiba-tiba berpisah rumah, tiba-tiba bercerai dan kejadian tiba-tiba berikutnya membuatku tak bisa menebak dan habis pikir terhadap rencana Allah.Apakah di hari esok, Allah akan memberiku kejutan yabg lebih dasyat dari ini? Aku takut dan galau memikirkannya. Di hari kedua sejak Mas Ikbal dieawat aku terus mendapat kabar perkembangan dari santri yang menjaganya, entah kenapa pemuda itu terus mengajariku keadaan mantan suamiku itu, apakah dia memang peduli pada Mas Ikbal atau apa yang dia rencanakan, aku sungguh tak tahu.[ Mbak hari ini, Mas Ikbal terus menjerit kesakitan,. Luka yang kemarin kini bernanah dan menguarkan bau busuk yag anyir, Mbak. ]Kujawab [Apakah dokter sudah memberikan obatnya?][Sudah Mbak, tapi Mas Ikbal masih kesakitan dan terus merintih, sepanjang hari ][Soraya mana?][Tadi ada di sini, tapi karena gak bisa melakukan apa-apa, dia memutuskan pulang ][Mas Ikbal sudah makan? ][Belum, Mbak sedari kemarin ia tak ingin
Kami sampai di tempat kerja dan Mas Rafiq langsung memarkirkan mobilnya di bawah pohon flamboyan tempat biasa ia parkirkan mobilnya."Mas, aku turun dulu," ucapku sambil membuka pintu mobil, mengambil tas buru-buru ke luar untuk mengejar absen."Eh, ada yang kelupaan,"ucapnya.Aku membalikkan badan dan bertanya cepat padanya, "Apa Mas?""Lupa memberiku senyum?""Ya, ampun Mas." Aku hanya menggeleng pelan dan membalikkan badan lagi."Ini serius ada yang kelupaan," katanya dengan mimik meyakinkan."Apa?" Aku sedikit gusar karena harus buru-buru mengisi absen yang otomatis itu."Lupa menerima cintaku," katanya dengan senyum manis."Ish ...." Kembali aku memutar bola mata, malas dengan rayuannya di jam genting seperti ini."Hayolah, setidaknya beritahu kalo aku boleh berharap," teriaknya dari dalam mobil.Aku hanya melambai ringan sambil membalas senyumannya dan langsung menuju ke ruang staf dapur untuk mengisi absen dan mulai bekerja.Bukannya hati ini tidak berdebar-debar atas sikapnya
Kuhempaskan tubuh ke jok belakang GrabCar dan meminta Pak supir untuk langsung menuju rumah orang tuaku, aku sungguh lelah hari ini.Sore ini aku tak pulang bersama Mas Rafiq karena dia masih ada pekerjaan penting. Jadi aku memilih untuk pulang sendiri.Sepuluh menit berkendara Tiba-Tiba ba taksi dihentiikan oleh supirnya."Ada apa, Pak?" tanyaku heran."Itu ada yang meminta untuk berhenti, Mbak.""Lho ...." Aku langsung menoleh ke belakang dan melihat mobil Mas Rafiq sedang memberi isyarat agar taksiku berhenti.Ia terlihat turun lalu menghampiri jendela Pak supir."Ini saya bayar ongkosnya, Pak. Penumpang Bapak saya ambil alih," katanya yang kemudian membuka pintu tempat aku duduk dan meraih tanganku lalu mengajak keluar dari taksi itu."Ada apa,Mas? Bukannya Mas tadi bekerja?" tanyaku."Calon istriku harus pulang denganku, tentang pekerjaan selama tdak darurat aku masih boleh minta izin.""Tapi kenapa, Mas? Rumahku jauh dan akan menyita waktunya, Mas.""Biarin," katanya sambil memb
Senja 10 tahun yang lalu,Gadis manis Putri Ayah angkatku itu duduk sambil bersenandung kecil menungguku yang tengah memancing ikan di telaga yang tak jauh dari lokasi pesantren Dan rumah ayahnya.Sesekali ia mencubit kecil lenganku,berdiri membacakan puisi yang tiba-tiba timbul di dalam pikirannya atau menyanyikan penggalan lagu yang sering didengarkan di radio atau juga bersenandung tentang nasyid dan shalawat Nabi sedang aku selalu tersenyum menanggapi semua tingkah pola adik angkatku itu."Mas alangkah senangnya jika setiap hari kita hidup tidak perlu memikirkan pelajaran dan beban," cetusnya sambil merebahkan diri di papan kayu yang menjadi dermaga kecil tempat kami memancing atau menceburkan diri ke dalam cekungan luas berisi air yang sangat jernih itu."Oh ya, lantas mau jadi apa nanti kalau mau hidup dengan cara bersantai-santai saja?" aku menanggapinya sambil menggeleng geleng pelan."Mas Ikbal siswa yang pintar jadi tidak perlu pusing dengan semua PR dan pelajaran sedang
Tok tok ...Rumahku beberapa kali diketuk di pagi ini, aku dan orang tuaku sedang menikmati sarapan akhirnya saling berpandangan dan saling bertanya siapa kiranya yang pagi-pagi datang bertamu. Aku yakin tamu yang mengetuk itu adalah orang yang jauh karena jika orang terdekat seperti tetangga atau kerabat Ibu dan Bapak mereka pasti akan langsung masuk sambil memanggil namaku atau nama ibu.Kuletakkan alat makan lalu mencuci tanganku kemudian menuju pintu dan membukanya, aku terkejut karena kudapati beberapa orang santri dan Ayah Soraya datang ke rumahku, beberapa detik aku terkesiap dan juga sangat heran apa kiranya yang mereka inginkan kan untuk menemuiku."Selamat pagi, Jannah," kata ustaz Hamid menyapaku pelan, "Assalamualaikum," lanjutnya."Waalaikumsalam, selamat pagi, Pak, silakan masuk Pak," jawabku sambil mempersilakannya.Kursi roda itu didorong oleh salah satu santrinya kemudian masuk kedalam ruang tamu sederhana rumah Bapak lalu aku mengambil tempat yang berseberangan den
Pria tua yang terlihat berkharisma dan penuh pengaruh itu, masih terdiam di ruang tamu rumah kami.Ia tercenung sesaat lalu berkata,"Aku tidak memaksa andai kamu menolakku, tapi aku mohon pertimbangkan ini demi kebaikan kita semua," ucap ustaz Hamid kembali melancarkan bujukannya."Apa maksud Anda ustadz Hamid? Saya sudah tegaskan, saya tidak menerima permintaan Anda, Ustad.""Aku ingin kau mempertimbangkan harga dirimu, juga kehormatan keluargamu," ucapnya sambil menaikkan sebelah alisnya sekaligus memberi tatapan yang tidak kumengerti maksudnya."Aku semakin tidak mengerti, Ustad.""Aku punya beberapa bukti yang akan membuatmu menyadari bahwa penawaranku tak akan merugikanmu," lanjutnya yang kemudian meneguk teh yang disiapkan Ibu. Ia mengangsurkan selembar kertas yang dari dalamnya ia buka ternyata fotoku dan foto Mas Rafiq.Mereka menangkap gambar ketika kami berdua di mobil petang kemarin.Di sana ada beberapa posisi dimana ketika Mas Rafiq memegang tanganku dan menariknya,
"Assalamualaikum," bunyi sapaan dari pintu depan."Aku dan orang tuaku yang sedang berunding di ruang tengah seketika tersentak dengan suara panggilan seorang pria dari depan sana"Ya, waalaikumsalam," jawabku yang langsung beralih ke pintu depan."Mas Rafiq, mari masuk," ucapku mempersilakan dokter baik yang membawa bungkusan entah apa di tangannya yang langsung ia letakkan di atas meja."Jannah, apa kabar? Kenapa sepanjang hari ini kamu belum menjawab telepon atau chatku?" cepatnya yang langsung membulatkan mata salah tingkah. Aku gugup dengan tatapan mata dan senyum menggodanya sedang aku malu pada kedua orang tuaku."Sssstt ... Dokter apa maksudnya mencariku hanya karena lupa balas chat?" tanyaku."Rindu," jawabnya singkat dengan senyum mengembang ala bintang Korea."Ya Allah, Mas. Aku sebenarnya baru mendapat masalah yang sedikit rumit, Mas," kataku sambil mendudukkan diri di seberangnya."Masalah apa?" ....Aku menceritakan semuanya dan Dokter Rafiq memperhatikan dengan seksa