Senja 10 tahun yang lalu,Gadis manis Putri Ayah angkatku itu duduk sambil bersenandung kecil menungguku yang tengah memancing ikan di telaga yang tak jauh dari lokasi pesantren Dan rumah ayahnya.Sesekali ia mencubit kecil lenganku,berdiri membacakan puisi yang tiba-tiba timbul di dalam pikirannya atau menyanyikan penggalan lagu yang sering didengarkan di radio atau juga bersenandung tentang nasyid dan shalawat Nabi sedang aku selalu tersenyum menanggapi semua tingkah pola adik angkatku itu."Mas alangkah senangnya jika setiap hari kita hidup tidak perlu memikirkan pelajaran dan beban," cetusnya sambil merebahkan diri di papan kayu yang menjadi dermaga kecil tempat kami memancing atau menceburkan diri ke dalam cekungan luas berisi air yang sangat jernih itu."Oh ya, lantas mau jadi apa nanti kalau mau hidup dengan cara bersantai-santai saja?" aku menanggapinya sambil menggeleng geleng pelan."Mas Ikbal siswa yang pintar jadi tidak perlu pusing dengan semua PR dan pelajaran sedang
Tok tok ...Rumahku beberapa kali diketuk di pagi ini, aku dan orang tuaku sedang menikmati sarapan akhirnya saling berpandangan dan saling bertanya siapa kiranya yang pagi-pagi datang bertamu. Aku yakin tamu yang mengetuk itu adalah orang yang jauh karena jika orang terdekat seperti tetangga atau kerabat Ibu dan Bapak mereka pasti akan langsung masuk sambil memanggil namaku atau nama ibu.Kuletakkan alat makan lalu mencuci tanganku kemudian menuju pintu dan membukanya, aku terkejut karena kudapati beberapa orang santri dan Ayah Soraya datang ke rumahku, beberapa detik aku terkesiap dan juga sangat heran apa kiranya yang mereka inginkan kan untuk menemuiku."Selamat pagi, Jannah," kata ustaz Hamid menyapaku pelan, "Assalamualaikum," lanjutnya."Waalaikumsalam, selamat pagi, Pak, silakan masuk Pak," jawabku sambil mempersilakannya.Kursi roda itu didorong oleh salah satu santrinya kemudian masuk kedalam ruang tamu sederhana rumah Bapak lalu aku mengambil tempat yang berseberangan den
Pria tua yang terlihat berkharisma dan penuh pengaruh itu, masih terdiam di ruang tamu rumah kami.Ia tercenung sesaat lalu berkata,"Aku tidak memaksa andai kamu menolakku, tapi aku mohon pertimbangkan ini demi kebaikan kita semua," ucap ustaz Hamid kembali melancarkan bujukannya."Apa maksud Anda ustadz Hamid? Saya sudah tegaskan, saya tidak menerima permintaan Anda, Ustad.""Aku ingin kau mempertimbangkan harga dirimu, juga kehormatan keluargamu," ucapnya sambil menaikkan sebelah alisnya sekaligus memberi tatapan yang tidak kumengerti maksudnya."Aku semakin tidak mengerti, Ustad.""Aku punya beberapa bukti yang akan membuatmu menyadari bahwa penawaranku tak akan merugikanmu," lanjutnya yang kemudian meneguk teh yang disiapkan Ibu. Ia mengangsurkan selembar kertas yang dari dalamnya ia buka ternyata fotoku dan foto Mas Rafiq.Mereka menangkap gambar ketika kami berdua di mobil petang kemarin.Di sana ada beberapa posisi dimana ketika Mas Rafiq memegang tanganku dan menariknya,
"Assalamualaikum," bunyi sapaan dari pintu depan."Aku dan orang tuaku yang sedang berunding di ruang tengah seketika tersentak dengan suara panggilan seorang pria dari depan sana"Ya, waalaikumsalam," jawabku yang langsung beralih ke pintu depan."Mas Rafiq, mari masuk," ucapku mempersilakan dokter baik yang membawa bungkusan entah apa di tangannya yang langsung ia letakkan di atas meja."Jannah, apa kabar? Kenapa sepanjang hari ini kamu belum menjawab telepon atau chatku?" cepatnya yang langsung membulatkan mata salah tingkah. Aku gugup dengan tatapan mata dan senyum menggodanya sedang aku malu pada kedua orang tuaku."Sssstt ... Dokter apa maksudnya mencariku hanya karena lupa balas chat?" tanyaku."Rindu," jawabnya singkat dengan senyum mengembang ala bintang Korea."Ya Allah, Mas. Aku sebenarnya baru mendapat masalah yang sedikit rumit, Mas," kataku sambil mendudukkan diri di seberangnya."Masalah apa?" ....Aku menceritakan semuanya dan Dokter Rafiq memperhatikan dengan seksa
Bismillahirrahmanirrahim 🌺Tatkala matahari telah meninggi, kutemukan pesan jika Mas Ikbal telah dibawah pergi dari rumah sakit Siti Fatimah Medical Centre.Fahmi memberi tahu sejak kedatangan Dokter Rafiq Ustad Hamid seperti kebakaran jenggot, ia mengambil keputusan dengan cepat demi menjaga martabat dan citra dirinya.Begitu kata Fahmi menerangkan padaku, namun aku tak begitu mengkhawatirkan tentang pria tua itu, aku hanya berharap semoga Mas Ikbal dirawat ke tempat yang lebih baik dan mendapat perhatian yang sepantasnya.Tring ....Ponsel berdering ketika aku sedang sibuk bekerja, tadinya kuabaikan dering tapi karena gawai itu terus berdering dan mengganggu akhirnya kuputuskan untuk menjauh sejenak dari dapur dan mengangkatnya."Halo," sapaku."Assalamualaikum, ini aku," kata suara khas yang selalu lembut menyapaku."Iya, Mas Rafiq ada apa?""Aku menyiapkan sesuatu untukmu keluar ke halaman samping rumah sakit," suruhnya."Tapi aku sibuk," elakku karena merasa tak ingin meninggalk
Sesampainya di rumah sakit kami segera bergegas menemui Mas Ikbal di ruang perawatannya.Kami menunggu beberapa saat di kursi tunggu kali setelah diperbolehkan, kami bisa masuk.Dari ujung koridor terlihat para santri berkumpul dan beberapa dari mereka terlihat sedih dan tegang, dari pintu masuk ruangan kelas VIP itu, kudapati kedua mertua Mas Ikbal sedang menungguinya, Uminya terlihat menyeka air matanya berkali-kali, sembari menatap Mas Ikbal putra angkatnya itu.Mas Ikbal terlihat merintih kesakitan sedang beberapa orang mengipasi sambil sesekali mengucapkan kata menghibur agar Mas Ikbal tenang dan tidak terus mengadu kesakitan.Kini Mas Ikbal dirawat menggunakan alat bantu pernapasan dan dia terlibat begitu lemah dan tak berdaya."Assalamualaikum," sapaku pelan."Waalaikum salam," jawab mereka hampir bersamaan.Kuhampiri ranjang Mas Ikbal sambil kugendong putrinya. Aku tahu saat itu kami tak boleh membawa anak kecil ke rumah sakit tapi karena memohon pengecualian maka dengan izi
"Apa?! Gawat?""Iya, Mbak. Mas ikbalnya udah gawat sekali ini, sebaiknya Mbak Jannah bawa Raisa,' jawab suara dari seberang sana.Kulirik jam dinding dan waktu menunjukkan pukul setengan tiga pagi, putriku yang terlelap di sampingku rasanya tak tega untuk membangunkannya."Mungkin dia cuma down, sebentar lagi akan stabil," kataku mencoba menghibur diri sendiri dan lawan bicaraku."Gak, Mbak, Mas Ikbal sudah kehilangan kesadaran, denyut jantungnya sudah sangat lemah, Mbak, segeralah datang," pinta santri itu dengan nada bergetar."Benarkah?""Sungguh, demi Allah, Mbak. Mbak Soraya dan orang tua mereka telah menangis di sana, setelah dokter memberikan gelengan pelan pertanda semuanya akan berakhir," jawabnya."Dari mana nereka begitu tahu dan yakin Mas Ikbal akan meregang nyawa," kataku gusar dan gemas."Mbak datang aja ke sini dan lihat sendiri," pintanya.Ku tutup penggilan, tercenung sesaat, memikirkan tentang Mas Ikbal. Kelebatan wajahnya muncul seolah ingin mengucapkan selamat ti
Senja mengguratkan warna yang dulunya kuanggap sisi terindah dari rangkaian hari-hari penuh makna, namun kini, setelah kepergian Mas Ikbal, aku merasakan separuh napas tubuhku hilang begitu saja.Di dalam taksi yang membawaku pulang, Kulirik kembali cincin yang melingkar di jari, cincin pemberian Mas Rafiq, cincin itu melingkari dan mengikat sebauh jalinan yang diharapkan bisa membuat pria yang memberiku cincin ini bahagia selamanya.Kemarin, suasana hatiku begitu gembira dan penuh keharuan, tapi hari ini semuanya menjadi hampa dan hambar.Kutatap wajah Raisa di pangkuanku, ia tertidur karena lelah menangis dan memanggil-manggil nama ayahnya.Tring ...Ponselku berbunyi, dan ada sebuah pesan dari nomor yang tidak kukenal di sana.[ Mbak Jannah, sebaiknya Mbak Jannah ikut ke pemakaman Mas Ikbal, untuk memberinya ucapan terakhir, aku akan pesankan tiket dan mengirimkan kodenya pada Mbak agar mbak bisa berangkat secepatnya. ]Kubaca pesan itu berkali-kali dan sudah kupastikan jika pengi