Sesampainya di rumah sakit kami segera bergegas menemui Mas Ikbal di ruang perawatannya.Kami menunggu beberapa saat di kursi tunggu kali setelah diperbolehkan, kami bisa masuk.Dari ujung koridor terlihat para santri berkumpul dan beberapa dari mereka terlihat sedih dan tegang, dari pintu masuk ruangan kelas VIP itu, kudapati kedua mertua Mas Ikbal sedang menungguinya, Uminya terlihat menyeka air matanya berkali-kali, sembari menatap Mas Ikbal putra angkatnya itu.Mas Ikbal terlihat merintih kesakitan sedang beberapa orang mengipasi sambil sesekali mengucapkan kata menghibur agar Mas Ikbal tenang dan tidak terus mengadu kesakitan.Kini Mas Ikbal dirawat menggunakan alat bantu pernapasan dan dia terlibat begitu lemah dan tak berdaya."Assalamualaikum," sapaku pelan."Waalaikum salam," jawab mereka hampir bersamaan.Kuhampiri ranjang Mas Ikbal sambil kugendong putrinya. Aku tahu saat itu kami tak boleh membawa anak kecil ke rumah sakit tapi karena memohon pengecualian maka dengan izi
"Apa?! Gawat?""Iya, Mbak. Mas ikbalnya udah gawat sekali ini, sebaiknya Mbak Jannah bawa Raisa,' jawab suara dari seberang sana.Kulirik jam dinding dan waktu menunjukkan pukul setengan tiga pagi, putriku yang terlelap di sampingku rasanya tak tega untuk membangunkannya."Mungkin dia cuma down, sebentar lagi akan stabil," kataku mencoba menghibur diri sendiri dan lawan bicaraku."Gak, Mbak, Mas Ikbal sudah kehilangan kesadaran, denyut jantungnya sudah sangat lemah, Mbak, segeralah datang," pinta santri itu dengan nada bergetar."Benarkah?""Sungguh, demi Allah, Mbak. Mbak Soraya dan orang tua mereka telah menangis di sana, setelah dokter memberikan gelengan pelan pertanda semuanya akan berakhir," jawabnya."Dari mana nereka begitu tahu dan yakin Mas Ikbal akan meregang nyawa," kataku gusar dan gemas."Mbak datang aja ke sini dan lihat sendiri," pintanya.Ku tutup penggilan, tercenung sesaat, memikirkan tentang Mas Ikbal. Kelebatan wajahnya muncul seolah ingin mengucapkan selamat ti
Senja mengguratkan warna yang dulunya kuanggap sisi terindah dari rangkaian hari-hari penuh makna, namun kini, setelah kepergian Mas Ikbal, aku merasakan separuh napas tubuhku hilang begitu saja.Di dalam taksi yang membawaku pulang, Kulirik kembali cincin yang melingkar di jari, cincin pemberian Mas Rafiq, cincin itu melingkari dan mengikat sebauh jalinan yang diharapkan bisa membuat pria yang memberiku cincin ini bahagia selamanya.Kemarin, suasana hatiku begitu gembira dan penuh keharuan, tapi hari ini semuanya menjadi hampa dan hambar.Kutatap wajah Raisa di pangkuanku, ia tertidur karena lelah menangis dan memanggil-manggil nama ayahnya.Tring ...Ponselku berbunyi, dan ada sebuah pesan dari nomor yang tidak kukenal di sana.[ Mbak Jannah, sebaiknya Mbak Jannah ikut ke pemakaman Mas Ikbal, untuk memberinya ucapan terakhir, aku akan pesankan tiket dan mengirimkan kodenya pada Mbak agar mbak bisa berangkat secepatnya. ]Kubaca pesan itu berkali-kali dan sudah kupastikan jika pengi
Dulu, kami bahagia, penuh canda dan tawa diantara taburan mimpi akan hari tua yang damai dan indah. Tiba tiba kedatangan Soraya melenyapkan semuanya, bahkan sosoknya.Aku gamang dengan kelebatan-kelebatan bayangan tentang Mas Ikbal dan tanpa kusadari bahwa semuanya terjadi begitu cepat.[ Mbak, kami mengundang Mbak Jannah, di acara tujuh hari kematian Mas Ikbal ] Pagi ini SMS dari Soraya masuk lagi. Ia juga mengirim poto terakhir mantan suamiku itu, ketika duduk menatap pemandangan dengan angle kamera menyamping membentuk siluet wajahnya sempurna.Mengapa Soraya ingin aku hadir dan seakan-akan menyuruhku untuk tidak melupakan orang yang kini adalah mendiang suaminya itu.Mengherankan.[Aku gak bisa Soraya, maaf ya, namun ribuan doa selalu kutitipkan semoga mendiang tenang di alam sana dan keluarga yang dia tinggalkan diberi ketabahan dan kekuatan ][Mbak, aku gak bisa jalani ini sendiri ] ia mengirim emoji menangis sedih.[Kamu pasti bisa, kuat-kuat ya ] kirimku.[Kini aku menyadari
Melihat wajahku yang seketika murung dan bersedih Ibunda Mas Rafiq langsung tertawa dan mendekatiku."Kamu sedih ya?""Ti-tidak Bu," ucapku pelan masih menunduk."Mama hanya bercanda," ujarnya tersenyum penuh kharisma.Aku mengangkat wajahku, mendongak ke arahnya."Betulkah, Bu?""Iya, Hehehehe, jangan panggil Ibu, panggil Mama saja." Ia mengucapkan dengan penuh kelembutan."Iya, Bu, eh, Ma-mama," ujarku salah tingkah."Kamu gak usah gugup, Mama baik kok, mama akan selalu mendukung apa yang membahagiakan Rafiq," ujarnya.Aku menghela napas lega sambil membalas senyumannya."Nanti kamu mau kamarnya, di sebelah mana?""Di mana saja, Ma, asal atas keridhaan mama," jawabku."Tapi ...." Aku sedikit ragu."Apa?" Ucapnya pelan."Aku punya anak, Ma. Apakah aku boleh membawanya bergabung kemari?"Ia tertawa kecil lalu mengangguk pelan, "Tentu saja, kenapa tidak?""Benarkah Mama setuju?""Iya.""Alhamdulillah," ucapku. Sesaat kemudian mas Rafiq turun dengan wajah yang sudah segar dan pakaian y
"Sudah cukup Mas," kataku sambil melepaskan diri darinya.Ia mengernyit samar namun tetap tersenyum."Kita belum menikah nanti jadi fitnah," sambungku.Ia hanya menggaruk-garuk belakang kepalanya."Jadi ke kamar mandi?""Ah, iya, aku lupa." Ia segera menuju kamar mandi.*Acara benar-benar telah berakhir dan tamu sudah kembali semua ke rumah masing-masing.Kuajak Raisa untuk berbaring di peraduan dan beristirahat setelah aktivitas hari yang panjang."Bunda ...." Putriku memanggil."Iya, Nak," jawabku lembut."Om Rafiq akan jadi ayah Raisa?"Kutatap mata buka kecil yang selalu memberiku semangat dan menghilangka kesedihan, mencoba mengerti apa yang ingin ia sampaikan."Memangnya kenapa sayang?""Kalo Om Rafiq jadi ayah Raisa apa dia akan sayang sama Raisa? Apa dia gak akan tinggalin Raisa lagi?"Sebuah pertanyaan yang mewakili kegundahan putri kecilku, aku paham betul dia galau dan merasa takut, hubungan baru yang dijalin orang tuanya membuat dia khawatir akan kenyamanan dirinya. Apaka
"Kok diam aja," ucap pria mapan yang penuh pesona di sampingku itu.Sepanjang perjalanan memang aku hanya diam saja sambil merenungi kembali sikap pasiennya."Gak apa-apa, Mas."Apa yang harus aku lakukan untuk terlepas dari rasa trauma dan membangun kembali rasa percayaku pada apa yang disebut cinta.Aku bahagia ada Mas Rafiq di sampingku, namun bayang tiba-tiba dimadu tempo hari membuatku bergidik takut untuk segera membuka hati untuk menerima dan mencintai sepenuhnya."Kamu kenapa? Mikirin apa?""Takut semuanya yang dulu, terjadi lagi, Mas." Aku menerawang ke luar jendela mobil, tanpa terasa air mata bergulir di pipi menjadikan diriku emosional tanpa alasan."Sayang, tidak peduli pada apa omongan orang, aku mencintaimu, dan akan tetap begitu," ujarnya sambil menggenggam tanganku."Aku takut, Mas.""Kita majukan saja tanggal pernikahan ya, Sayang.""Gak tahu, Mas." Dadaku masih resah dan galau."Lafazkan Bismillah, buka hati dan angkahkan kakimu menuju masa depan yang lebih baik ber
"Aku tahu perasaanmu, Mas. Namun ini bisa boros namanya, dan sikap boros itu berteman dengan syaitan. Jika Mas sungguh ingin membelikan maka cukup satu saja." Aku meraih salah satu dari tumpukan pakaian itu."Kamu yakin hanya mau beli satu?""Iya, Mas. Cukup sehelai saja dengan kerudungnya," balasku."Tapi ini akan jadi seserahan," ucapnya ragu."Seserahan hanya simbol Mas, kapan kapan aku bisa beli beberapa helai lagi," jawabku."Baik jika begitu, Jannah."Kami membayar dan bergegas pergi dari mall karena hari semakin siang."Oh ya, kita makan dulu?""Apa gak sebaiknya kita makan di rumah Bu saja?" usulku."Ada resto terbaru terkenal di depan Mall ini, kita coba yuk," ajaknya."Ya udah Mas, oke."Kami berjalan bergandengan menuju restoran yang ada di seberang jalan. Setelah memilih tempat duduk yang nyaman Mas Rafiq mulai memanggil pelayan untuk memesan menu yang dia inginkan."Kau mau ayam atau daging?""Apa aja Mas," jawabku."Kalau minumnya? kamu mau apa?""Apa aja Mas, yang pe