"Sudah cukup Mas," kataku sambil melepaskan diri darinya.Ia mengernyit samar namun tetap tersenyum."Kita belum menikah nanti jadi fitnah," sambungku.Ia hanya menggaruk-garuk belakang kepalanya."Jadi ke kamar mandi?""Ah, iya, aku lupa." Ia segera menuju kamar mandi.*Acara benar-benar telah berakhir dan tamu sudah kembali semua ke rumah masing-masing.Kuajak Raisa untuk berbaring di peraduan dan beristirahat setelah aktivitas hari yang panjang."Bunda ...." Putriku memanggil."Iya, Nak," jawabku lembut."Om Rafiq akan jadi ayah Raisa?"Kutatap mata buka kecil yang selalu memberiku semangat dan menghilangka kesedihan, mencoba mengerti apa yang ingin ia sampaikan."Memangnya kenapa sayang?""Kalo Om Rafiq jadi ayah Raisa apa dia akan sayang sama Raisa? Apa dia gak akan tinggalin Raisa lagi?"Sebuah pertanyaan yang mewakili kegundahan putri kecilku, aku paham betul dia galau dan merasa takut, hubungan baru yang dijalin orang tuanya membuat dia khawatir akan kenyamanan dirinya. Apaka
"Kok diam aja," ucap pria mapan yang penuh pesona di sampingku itu.Sepanjang perjalanan memang aku hanya diam saja sambil merenungi kembali sikap pasiennya."Gak apa-apa, Mas."Apa yang harus aku lakukan untuk terlepas dari rasa trauma dan membangun kembali rasa percayaku pada apa yang disebut cinta.Aku bahagia ada Mas Rafiq di sampingku, namun bayang tiba-tiba dimadu tempo hari membuatku bergidik takut untuk segera membuka hati untuk menerima dan mencintai sepenuhnya."Kamu kenapa? Mikirin apa?""Takut semuanya yang dulu, terjadi lagi, Mas." Aku menerawang ke luar jendela mobil, tanpa terasa air mata bergulir di pipi menjadikan diriku emosional tanpa alasan."Sayang, tidak peduli pada apa omongan orang, aku mencintaimu, dan akan tetap begitu," ujarnya sambil menggenggam tanganku."Aku takut, Mas.""Kita majukan saja tanggal pernikahan ya, Sayang.""Gak tahu, Mas." Dadaku masih resah dan galau."Lafazkan Bismillah, buka hati dan angkahkan kakimu menuju masa depan yang lebih baik ber
"Aku tahu perasaanmu, Mas. Namun ini bisa boros namanya, dan sikap boros itu berteman dengan syaitan. Jika Mas sungguh ingin membelikan maka cukup satu saja." Aku meraih salah satu dari tumpukan pakaian itu."Kamu yakin hanya mau beli satu?""Iya, Mas. Cukup sehelai saja dengan kerudungnya," balasku."Tapi ini akan jadi seserahan," ucapnya ragu."Seserahan hanya simbol Mas, kapan kapan aku bisa beli beberapa helai lagi," jawabku."Baik jika begitu, Jannah."Kami membayar dan bergegas pergi dari mall karena hari semakin siang."Oh ya, kita makan dulu?""Apa gak sebaiknya kita makan di rumah Bu saja?" usulku."Ada resto terbaru terkenal di depan Mall ini, kita coba yuk," ajaknya."Ya udah Mas, oke."Kami berjalan bergandengan menuju restoran yang ada di seberang jalan. Setelah memilih tempat duduk yang nyaman Mas Rafiq mulai memanggil pelayan untuk memesan menu yang dia inginkan."Kau mau ayam atau daging?""Apa aja Mas," jawabku."Kalau minumnya? kamu mau apa?""Apa aja Mas, yang pe
Mendapatinya dengan begitu banyak kejutan dan hadiah cinta, Aku langsung bangkit dan tanpa banyak bicara lagi seketika memeluknya dan melabuhkan semua rasa yang kusimpan selama ini."Loh kok, tumben-tumbennya ya," ia terkekeh melihat tingkahku yang langsung menubruk dan memeluknya."Mas sendiri ... Mas yang selalu bikin aku terharu," jawabku masih membenamkan wajah di dadanya."Aku beli ini tanpa sepengetahuanmu," ujarnya dan langsung meraih jemariku lalu memakaikannya cincin itu."Indah sekali Mas, Pasti ini harganya sangat mahal," ujarku sambil terkagum kagum menatap benda cantik yang melingkari jariku."Aku tidak menghitung harga lagipula untuk arti cintamu dan ketulusanku, apalah artinya uang?""Apakah Mas mencintaiku?" tanyaku dengan mata yang berkaca-kaca karena bahagia, "apakah Mas akan memegang janji untuk akan selalu membahagiakanku?" tanyaku dengan tatapan yang penuh harap."Iya sayang, insya Allah selagi nyawa berada di badanku, pesan orang tuamu dan janjiku kepada Alla
"Dalam rangka apa Mas membuat 'prank' seperti ini?" tanyaku masih merajuk."Dalam rangka ... anggap saja bride shower.""Bride shower gini amat," ujarku."Hehehe ...." Ia terkekeh pelan."Mas harus tanggung jawab anter aku pulang," sungutku."Pulang sendiri ... Datang juga nyetir sendiri," ia berkata santai."Ish ...." Aku melangkah menjauhinya, "aku pulang dulu," ujarku masih sedikit kesal padanya."Aku masih rindu padamu," imbuhnya menyusul dan mencekal lenganku."Tahan saja kerinduanku, itu mas hingga hari pernikahan kita," jawabku yang melangkah pergi."Kok pulang nak?" tanya ibunya padaku."Aku harus segera pulang Ma, Sebentar lagi harus kerja juga," jawabku tersenyum."Lho terus kesini tadi ....""Mama tanya aja sama anak Mama pagi-pagi udah ngerjain orang," ujarku sambil menciumi punggung tangannya lalu melangkah pergi."Jannah pulang dulu, Ma."Wanita itu mengangguk pelan menyaksikan kepergianku.* Di tempat kerja,Seperti biasa pekerjaanku adalah menyiapkan makanan ke wadah
"Bagaimana persiapan pernikahannya?"Tanyanya ketika kami menikmati makan siang di kantin rumah sakit."Udah delapan puluh persen, Mas. Mas sendiri udah nyebar undangan ka?""Udah kok Jannah, tapi beberapa undangan sepertinya harus kita bayar sendiri," ujarnya sambil menyendokkan makanan ke mulut."Kepada siapa?""Kepada direktur rumah sakit, dan keluarga terdekat Mamaku," jawabnya."Berati kita harus kosongkang jadwal.""Aku udah ajukan cuti buat kita berdua," katanya santai sambil mengedipkan mata."Benar Mas, wajah berarti aku gak perlu repot izin lagi."Ia tertawa kecil sambil menimpali "kamu memang gak suka repot, hehehhe."**Tenda terpasang megah di halaman rumah, langit-langitnya dibentuk sedemikian rupa sehingga membentuk bunga yang indah, di sudut area tenda bunga bunga segar terpasang rapi membentuk buket besar yang apik dipandang mata.Sejak jam lima pagi aku telah bersiap-siap, berias diri dan menyanggul rambut. Melihat pantulan diri yang cantik dengan kebaya dan siger d
Seusai dengan semua prosesi dan resepsi, malam ini, aku menuju kamar dan dibantu beberapa tim MUA, aku melepaskan sanggul dan gaun pengantin yang sangat berat dan panjang ini.Aku suka cara pria yang saat ini halal kusebut suami itu, ia yang memperhatikan segalanya dengan detail. Mas Rafiq telah memesankan kamar hotel khusus pengantin agar aku bisa beristirahat setelah acara tanpa harus menempuh perjalanan jauh untuk pulang kerja rumah. Seusai membersihkan diri dan menunaikan aku beranjak naik ke tempat tidur yang dihias bunga-bunga, penerangan dibuat temaram dengan beberapa lilin menyala di atas meja menambah kesan romantis bagi pengantin.Pintu di ketuk membuyarkan lamunan, Mas Rafiq mengintip lalu menyunggingkan seulas senyum untukku."Bosan nunggu ya?""Gak juga Mas.""Ibu dan Bapak sudah pulang bawa Raisa, mereka bilang kita nginap di hotelnya berdua saja," kata suamiku sambil menghampiriku lalu duduk di sampingku."Oh ...." Aku tak tahu harus menanggapi apa lagi karena tiba-
"Mbak bantu aku, Mbak," katanya mengulang pernyataannya tadi."Apa yang harus aku lakukan untukmu, mengapa kamu datang dan menangis?" aku jadi panik dan tidak nyaman melihat keadaannya."Aku dipaksa abi untuk menikah dengan laki-laki yang tidak kuinginkan, dia duda yang sudah berumur, Aku tidak mau nggak, bantu aku ... aku tidak ingin dipaksa." Ia menarik dan memegang kedua tanganku. "Lantas apa yang bisa aku lakukan untukmu?"ucapku sambil mengguncang bahunya."Bantu aku demi mendiang Mas Iqbal, Mbak." wanita itu menjatuhkan diri lalu menangis tersedu-sedu di kakiku."Apa hubungannya?" Aku makin resah dan tegang rasanya."Aku belum bisa melupakan mantan suamiku dan kini Ayah ingin menjodohkanku dengan anak temannya, aku tidak mau ... aku tidak mau." wanita itu menggeleng-geleng pelan dan semakin deras air matanya mengucur."Kenapa kau tidak berlari ke kota lain, kenapa harus datang kerumah ini dan nantinya akan menimbulkan semua masalah untukku dan Ibu Bapakku?""Aku tidak tahu harus