"Bagaimana persiapan pernikahannya?"Tanyanya ketika kami menikmati makan siang di kantin rumah sakit."Udah delapan puluh persen, Mas. Mas sendiri udah nyebar undangan ka?""Udah kok Jannah, tapi beberapa undangan sepertinya harus kita bayar sendiri," ujarnya sambil menyendokkan makanan ke mulut."Kepada siapa?""Kepada direktur rumah sakit, dan keluarga terdekat Mamaku," jawabnya."Berati kita harus kosongkang jadwal.""Aku udah ajukan cuti buat kita berdua," katanya santai sambil mengedipkan mata."Benar Mas, wajah berarti aku gak perlu repot izin lagi."Ia tertawa kecil sambil menimpali "kamu memang gak suka repot, hehehhe."**Tenda terpasang megah di halaman rumah, langit-langitnya dibentuk sedemikian rupa sehingga membentuk bunga yang indah, di sudut area tenda bunga bunga segar terpasang rapi membentuk buket besar yang apik dipandang mata.Sejak jam lima pagi aku telah bersiap-siap, berias diri dan menyanggul rambut. Melihat pantulan diri yang cantik dengan kebaya dan siger d
Seusai dengan semua prosesi dan resepsi, malam ini, aku menuju kamar dan dibantu beberapa tim MUA, aku melepaskan sanggul dan gaun pengantin yang sangat berat dan panjang ini.Aku suka cara pria yang saat ini halal kusebut suami itu, ia yang memperhatikan segalanya dengan detail. Mas Rafiq telah memesankan kamar hotel khusus pengantin agar aku bisa beristirahat setelah acara tanpa harus menempuh perjalanan jauh untuk pulang kerja rumah. Seusai membersihkan diri dan menunaikan aku beranjak naik ke tempat tidur yang dihias bunga-bunga, penerangan dibuat temaram dengan beberapa lilin menyala di atas meja menambah kesan romantis bagi pengantin.Pintu di ketuk membuyarkan lamunan, Mas Rafiq mengintip lalu menyunggingkan seulas senyum untukku."Bosan nunggu ya?""Gak juga Mas.""Ibu dan Bapak sudah pulang bawa Raisa, mereka bilang kita nginap di hotelnya berdua saja," kata suamiku sambil menghampiriku lalu duduk di sampingku."Oh ...." Aku tak tahu harus menanggapi apa lagi karena tiba-
"Mbak bantu aku, Mbak," katanya mengulang pernyataannya tadi."Apa yang harus aku lakukan untukmu, mengapa kamu datang dan menangis?" aku jadi panik dan tidak nyaman melihat keadaannya."Aku dipaksa abi untuk menikah dengan laki-laki yang tidak kuinginkan, dia duda yang sudah berumur, Aku tidak mau nggak, bantu aku ... aku tidak ingin dipaksa." Ia menarik dan memegang kedua tanganku. "Lantas apa yang bisa aku lakukan untukmu?"ucapku sambil mengguncang bahunya."Bantu aku demi mendiang Mas Iqbal, Mbak." wanita itu menjatuhkan diri lalu menangis tersedu-sedu di kakiku."Apa hubungannya?" Aku makin resah dan tegang rasanya."Aku belum bisa melupakan mantan suamiku dan kini Ayah ingin menjodohkanku dengan anak temannya, aku tidak mau ... aku tidak mau." wanita itu menggeleng-geleng pelan dan semakin deras air matanya mengucur."Kenapa kau tidak berlari ke kota lain, kenapa harus datang kerumah ini dan nantinya akan menimbulkan semua masalah untukku dan Ibu Bapakku?""Aku tidak tahu harus
Kami mendatangi Soraya di kamar lalu mengajaknya bicara dari hati ke hati,"Soraya ... bukannya kami membenci atau tidak ingin mengajakmu di sini, tapi ini masalah yang sangat serius, kami bisa terseret ke masalah yang lebih besar lagi, jika memaksakan kamu tetap ada disini.""Bukannya Mbak dan Mas akan menampungku di rumah salah satu orangtua kalian?" ungkapnya dengan wajah yang penuh harap cemas."Aku sudah membooking sebuah hotel yang agak jauh dari pusat kota ini. Jadi mungkin mereka tidak akan mencarimu ke sana.""Tapi mereka bisa mencari informasi Mbak bukan hal yang sulit bagi tim ayahku, apalagi sekarang pemasangan tiket dan hotel serba daring," jawabnya."Aku tidak akan membooking atas namamu, tapi aku mengunakan namaku atau mamaku," kata Mas Rafiq menerangkan."Baiklah, jika itu yang kalian inginkan." Ia hanya mampu menghela nafasnya lemah.Suamiku kemudian menghubungi beberapa teman lalu meminta tolong mereka datang malam ini untuk menjemput istri.mendiang Mas Ikbal itu
Beberapa menit kemudian setelah Soraya masuk ke ruang UGD, aku dan Mas Rafiq masih tetap setia menunggu di depan pintu. Beberapa pemuda yang tadi ke rumah juga ada bersama kami, kami masih menunggu dalam kebisuan masing masing."Sayang, kamu gak pengen pulang aja, biar Mas nunggu di sini," ucapnya sambil menyentuh pucuk kepalaku."Nggak papa Mas, aku di sini aja, kamu Maslebih terlihat lelah." Aku menatapnya lekat."Kita telepon Ibu, mereka pasti khawatir." Dari salah satu pemuda yang menjadi pengawal Soraya ia meminjam ponsel lalu memberikan kepadaku agar Aku menelpon orang tua dan memberitahu jika kami akan menunggu soraya di rumah sakit hingga beberapa saat, sampai orang tuanya datang.Sebenarnya aku dan suamiku bisa saja meninggalkan gadis itu sendiri bersama dengan santri abi-nya tetapi sebagai bentuk tanggung jawab moral kami terhadap apa yang terjadi, aku memilih untuk tetap berada di rumah sakit."Mas bajumu terlihat sangat kotor," kataku sambil menunjuk pakaiannya yan
"Umi ... Berjanjilah untuk mengikuti keinginan ku," ujanya dengan air mata berderai. Sedang sang ibu menggenggam tangan putrinya kuat kuat."Apa yang kau inginkan, Nak, selama masuk akal, ummi dan Abi akan meluluskannya," ujarnya ambil menatap wajahku dan putrinya bergantian."Tapi, Bu, apa yang dia inginkan?" Jantungku berdebar sangat kencang menunggu jawaban mantan adik maduku itu."Ak-aku ingin bersamanya," tunjukknya ke arah Mas Rafiq.Mas Rafiq terkejut bukan kepalang, Umi dan abinya tak kalah kaget dan hanya mampu menelan ludah."A-apa maksudmu, Soraya?""Aku ingin ikut bersama Muthmainnah ke Korea, belajar di sana."Aku langsung menghela napasku lega mendapati bahwa orang yang dia maksud adalah Santri ayahnya sekaligus sahabatnya yang berdiri tepat di belakang Mas Rafiq.Suamiku lantas tersenyum dan menatap berkedip kearahku. "Alhamdulillah bukan aku yang dia inginkan," bisiknya lirih. Membuatku ingin mencubitnya namun ini bukan momen yang tepat untuk itu."Jika itu maumu, ma
Masih dalam pelukan hangatnya ketika hendak kubuka mata, bangkit dan menyambut hari yang ceria.Embusan angin dan kicau burung di pagi hari, serta sesosok tubuh yang merengkuhku dalam jalinan suci ini, membuatku merasakan bahagia dan keharuan yang begitu sempurna."Sayang, aku mau bangun," ucapku lembut pada suamiku, berharap ia melepaskan pelukannya dan membiarkanku bangun."Hmmm ... Tumben menyebutku sayang," ujarnya."Iya ... Mas 'kan suamiku, kesayanganku," jawabku mencium keningnya, "ayo bangun, kita harus bersiap berangkat kerja.""Baiklah, ayo."Ketika akan berdiri tiba aku merasa darahku drop dan tubuh ini lemas, kepala pusing dan juga mual, aku tersungkur ke lantai da membuat Mas Rafiq langsung kaget dan menghampiriku."Ada apa, Jannah?""Gak tahu, Mas, mendadak pusing dan oleng," jawabku."Ayo aku bantu," ujarnya sambil mengangkat tubuh ini ke ranjang lalu mendudukkanku di sana."Kamu kenapa, apa akhir akhir ini sering banyak pikiran dan kurang istirahat??""Gak Mas, aku gak
*"Hari ini bikinin sop ayam dong, Sayang kata suamiku yang tiba-tiba bergelayut manja di lenganku.""Kok tumben sih biasanya kan Mbok Ina yang bikinin semua makanan kesukaan Mas.""Nah tumben hari ini aku ngidam ingin makanan yang dibuatkan istri sendiri boleh kan?" katanya sambil menggenggam"Iya boleh tentu saja, tapi aku mau mandi dulu ya," kataku sambil menggosok pelan rambutnya.*Aku keluarkan bahan makanan dari kulkas berpintu dua di dapur mertua, mulai memotong worte, kentang, buncis dan bahan lainnya, kemudian menjerang kaldu dan cakwe ayam untuk menambahkan rasa lezat ke dalam kuah sop."Sayang ... bikin pisang goreng," teriaknya dari ruang tv.Suamiku yang saat itu sedang bermain game Nintendo dengan Raisa, mereka asyik tertawa dan terlihat kompak sekali."Iya Mas, nanti aku bikinin kebetulan ada nih pisangnya."Dua puluh menit kemudian pisang goreng panas sudah terhidang atau langsung kuantarkan kepada suami, anakku, ibu mertua yang duduk menyaksikan keseruhan anak dan