Kaca mobil Mas Rafiq pecah berkeping keping, kuhampiri mereka dengan setengah berlari dan kulihat di dalam mobil sana, Raisa putriku dipeluk mas Rafiq sedang dia menangis tersedu-sedu ketakutan melihat roman muka ayahnya yang bengis dan berbeda dari dulu-dulunya.
"Masak Ikbal, Kurang ajar sekali kamu, Mas.""Aku akan memberi pelajaran pada orang yang mencoba merayu dan mengambil kesempatan pada istriku," desisnya mendelik."Keluar kamu!" Teriaknya."Mas Ikbal, jangan bikin keributan di jalan," kataku menghalanginya."Minggir kamu!" Bentaknya sambil mendorongku ke samping."Keluar!" Prang!Gubrak!Mas Ikbal memukul kaca dan body mobil seharga 494 juta tersebut. Sedang mas Rafiq berusaha mengeluarkan Raisa dari pintu yang satunya, bergegas kutolong mereka."Ambil Raisa," pinta mas Rafiq.Setelah berhasil menggendong Raisa, Mas Rafiq keluar dari mobilnya, berdiGadis itu muncul dari balik pintu, mengenakan kerudung hitam dengan wajah menunduk dan kedua tangan saling bertautan, gaya khas dia, langkah kakinya pelan dan terlihat ragu.Bapak dan Ibu saling berpandangan dalam heran."Silakan duduk, Nduk namamu siapa?" tanya Ibu pada wanita beradu pandang denganku."Makasih Bu," jawabnya sambil mengambil tempat."Mau apa kamu kemari?" tanyaku padanya dengan tatapan tajam."Nduk ...." Bapak menggeleng pelan memberi isyarat agar aku tidak bersikap demikian."Nama saya Soraya, Pak, Bu." Ia mengenalkan dirinya."Iya, terus keperluannya apa, Nduk?" lanjut Ibu."Aku ingin bicara dari hati ke hati dengan Bapak, dan Ibu, serta Mbak Jannah.""Kenapa?""Tentang saya, Mbak Jannah, dan Mas Ikbal.""Oalah, jadi kamu istri barunya I
Bias-bias mentari masih menyisakan rona keemasan yang menembus kaca mobil dan menimpa wajahku ketika kususuri jalanan kota menuju kantor polisi di mana mas Ikbal ditahan.Sebenarnya agak ragu kutemui namun mempertimbangkan kata-kata Bapak dan karena dia adalah ayah dari anakku, maka meski aku berkemudi dengan setengah hati aku terpaksa turun tangan untuk membereskan masalahnya.Sesampainya di sana, kulihat suamiku sedang duduk di kursi tunggu ia terlihat agak baik dengan senyum terkembang di bibir saat berbincang dengan salah satu anggota polisi di depannya, agak aneh aku melihatnya di sana, karena biasanya orang yang ditahan seharusnya berada dalam sel khusus.Kudorong pintu kaca dan memasuki lobi kantor, melihatku masuk Mas Ikbal langsung berdiri dan menyonsongku ke pintu."Jannah, istriku ...." Ia merangkul ku sesaat lalu melepasnya."Bu Jannah, ya. Ini Bu, suami
Bias mentari yang menembus celah dedaunan mejatuhkan cahaya tepat di atas hijabku, sebagian sinarnya menyilaukan mata dan membuatku tersadar dari lamunan. Aku yang sedari tadi terpaku di parkiran tersentak sendiri.Sejak pulang bekerja, aku hanya menerawang memikirkan apa yang akan kulakukan, setengah bimbang memutuskan untuk mengakhiri saja rumah tangga penuh prahara ini aku lebih sering menghabiskan waktu untuk merenung sendiri.Benarkah jalan ini bukan jalan yang salah? Apakah semua orang bisa bahagia jika kami berpisah, bagaimana dengan Raisa nanti, apakah dia tidak akan terguncang menyadari kenyataan bahwa orang tuanya tidak akan serumah lagi?Kumasukkan kunci mobil dan mulai menyalakan mesinnya, meluncur menuju rumah Bapak di mana aku telah memutuskan untuk kembali dan menetap bersama mereka.Tiba tiba pikiranku menuju ke rumahku yang dulu, sehingga tanpa aba-aba seketika saja kuputar kemudi be
"Bunda kapan kita tidur bareng ayah lagi,' tanya raisa ketika aku menidurkannya di peraduan, 'Kok kita tidurnya di rumah kakek terus,kapan kita pulang ke rumah kita sendiri, Bun?"Aku agak sedih mendengar pertanyaanya, namun kupeluk dia sambil kuusap rambutnya perlahan, "Mungkin mulai sekarang Bunda sama Raisa aja yang tinggal bersama."Ia menatap wajahku wajahku lekat, "Emangnya ayah kemana Bun?""Ayah dan bunda tidak akan bersama lagi, Nak.""Kenapa?" Raut wajahnya mulai meredup."Karena ayah dan bunda, kita ...."Aku menahan napas untuk memilih kata kata yang tepat untuk memberitahu putriku bahwa aku ayahnya tidak akan bersama lagi."Bunda dan ayah kenapa?" Desaknya."Bunda dan ayah akan berpisah."Mimik wajah anakku seketika berubah sedih dan bola matanya mengembun."Kenapa ayah sama Bu
Putriku terus merengek untuk meminta bertemu dengan ayahnya, ia tak mau makan atau minum sedikit pun sehingga aku resah memikirkan hal ini, Raisa terlihat semakin lemah terkulai di pembaringan."Raisa, kamu minum obat dulu, Nak. Kalo udah agak mendingan kita pergi jenguk ayah, ya," bujukku sambil menyodorkan sendok sirup."Gak mau, Bunda, Raisa mau ayah, pokoknya mau ayah," rengeknya lalu tersedu-sedu membenamkan wajahnya di bantal."Yo wes, bawa aja Nduk, kasihan anakmu," ucap Ibu."Tapi Bu, aku ....""Tahan dulu, ego dan sakit hatimu, anakmu membutuhkan ayahnya, dia harus sembuh dulu, baru kamu memikirkan dendam dan sakit hati," suruh Ibu."Iya, baiklah." Aku mengalah pada keinginan Ibu.**Kususuri koridor rumah sakit tempat Mas Ikbal di rawat dengan hati bimbang, kuseret langkah sambil kulirik tiap ruangan meminda
Seminggu setelahnya,Kunikmati tiupan angin dan riak ombak di lautan sana dari sisi dermaga, iringan awan yang berarak menghiasi cakrawala langit sore serta burung-burung yang berkejaran.Semua pembandangan itu membuatku iri atas mereka, bebas tanpa beban, tak perlu memikirkan peliknya hidup dan masa depan. Menjalani apa yang ada dengan riang dan harapan.Aku tersenyum getir, sambil meremas besi besi pagar dermaga yang pembatas antara darat dan lautan lepas. Begitu banyak kenangan yang membayangi perjalanan hidup kami di tempat ini, saat berkenalan dengan Mas Ikbal, saat-saat baru menikah sering kali kami datang untuk mencari udara malam atau suasana senja yang penuh romansa.Aku akan berdiri di sini menatap jauh ke lautan sana sedang dia akan memelukku menghangatkan tubuh ini."Mas Ikbal, sudah begitu jauh jarak membentang antara kita." Aku bersenandika dalam sendu. 
"Jannah, ini suplemen vitamin yang baik untuk kesehatanmu."Tiba-tiba dokter tampan itu datang di jam istirahat dan meletakkan sebuah kotak vitamin di hadapanku. Aku mendongak menatapnya, dan dia selalu membalas tatapanku dengan senyuman teduh."Aduh, Mas jadi merepotkan ... tapi, terima kasih," ucapku pelan.Sementara itu, teman-teman kerja yang duduk tak jauh dariku saling mencolek dan tersenyum-senyum melihat Dokter Rafiq memberiku perhatian."Jannah, gimana kabar orang tuamu?" tanyanya lagi."Ba-baik, tapi kenapa bertanya, Dok?"Ia tertawa kecil, lalu berkata, "Memangnya aneh untuk sekedar bertanya?"Melihat sorot manik matanya yang berkharisma membuatku semakin gugup dan salah tingkah."A-anu, Dok ... merasa aneh saja," jawabku singkat."Lho, antara pasien dan dokter sudah biasa saling memperhatikan dan berkomunikasi, tidak ada yang disebut berlebihan.""Tapi aku
Sepanjang perjalanan dari rumah Mas Ikbal tak mampu kubendung air mata di pipi, terus terbayang di pelupuk mata bagaimana rumah impianku dulu kini beralih menjadi istana wanita lain, dekorasi, perabot dan aksesorisnya semuanya diubah.Aku gak habis pikir juga entah uang dari mana suamiku membeli dan mengikuti keinginan Soraya, mungkin ayahnya yang pemilik sebuah lembaga pendidikan berbasis agama yang memberinya begitu banyak dana.Mas Ikbal, kueja namanya, kusayangkan sekali sikapnya yang tidak keberatan sedikit pun jika barang-barangku dikeluarkan dari kamar utama, seolah ada pembiaran seakan-akan aku tidak akan kembali ke rumah itu.Padahal aku belum resmi bercerai darinya.Ah, jiwaku sesak, dan luka itu ikembali menganga, andai saja tadi aku tak perlu ke sana, dan terpaksa menyaksikan semua hal menyakitkan itu.Tring ...Ponselku berdering dan nama Ibu terpampang di sana."Assalamualaikum, Bu," sapaku."Walaikum salam, ada apa Bu," tanyaku."Ini Nduk, anakmu tanya kamu ada di ma
"Kabar buruk apa?"tanyaku heran."Aku sudah berusaha untuk mengalihkan pikiran dan semua kerinduanku tapi tetap saja, perasaan bersalah dan rasa ingin memperbaiki keadaan timbul di dalam hatiku," ucapnya sambil memandang mataku dengan penuh makna."Aku tak paham ....""Aku masih berharap kita bersama lagi. Demi anak anak, demi aku, demi harapan yang pernah kita bangun.""apa kau lupa tentang perlakuanmu dan apa saja yang sudah terjadi dalam hidup kita masing masing.""Ya, aku bersalah menikahi angel secara diam diam, aku mengulangi kesalahan suamimu yang fatal. tapi ...""Sudah, jangan dilanjutkan," cegahku. "aku tak mau mengenang apapun tentang masa lalu.""Aku hampir kehilangan dirimu dan semangat hidupku saat kau bersama dengan wira. Tapi, setelah bertemu dengannya dan mengetahui hal sebenarnya harapanku tumbuh kembali. Aku harap kita bisa ....""apa?""rujuk lagi," jawabnya sambil menatap mataku."Jadi itu kabar buruknya?""ya, bahwa aku sulit move on dan hidup tanpamu. Maukah
"Sebaiknya segera tentukan pilihanmu Nak, Ibu juga tidak ingin kamu terus-menerus sendiri seperti itu, karena penilaian orang lain tentang status janda sangat merugikan posisimu," ujar Ibu ketika aku menelponnya."Iya Bu, aku tahu tapi aku belum menentukan pilihanku, aku belum siap untuk naik ke jenjang berikutnya.""Ada dua pria yang begitu tulus dan menyayangimu, Nduk, kamu tinggal memilihnya," ujar Ibu."Bagaimanapun itu adalah pilihan yang sulit, Bu," gumamku pelan."Raisa menyukai salah satu dari pria itu?" tanya Ibu lagi."Raisa ingin aku kembali kepada Mas Raffiq.""Bagaimana dengan perasaanmu sendiri?""Entahlah... masih bingung," jawab ku sambil menghela nafas pelan."Lalu apa yang terjadi tentang Soraya?""Dia masih ditahan di rumahnya, Bu, polisi belum memiliki cukup bukti untuk bisa menjebloskan dia ke penjaara.""Jelas-jelas dia yang menyerang wira dengan air keras," ujar Ibu sedikit ingin marah."Tapi keluarga dan pengacaranya memiliki pengaruh besar, Bu. Mereka mati-m
"Jangan dipikirkan apa yang dikatakan Mama dia memang seperti itu," bisik Wira kepadaku ketika Mamanya ke kamar mandi."Aku tak mempermasalahkannya," jawabku pelan sambil menyuapinya."Mbak ... aku berterimakasih atas semua perhatianmu, tapi sebaiknya Mbak tidak usah menjengukku lagi." Aku mencoba menelisik maksud dari ucapannya, mengapa dia harus mengatakan hal semacam itu."Apa yang kau katakan, aku tidak mengerti," ujarku."Aku sudah ikhlas melepaskan Mbak Jannah dengan Mas Rafiq." Sorot matanya yang sendu membuatku terenyuh."Jangan melantur seperti ini sebaiknya kamu istirahat saja." Aku membenahi selimut yang menutupi tubuhnya."Aku sungguh-sungguh, Mbak. Aku sadar bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Aku tahu, meski kita berteman tidak serta merta membuat hal itu menjadi cinta untukmu aku menyadari semua itu dan aku menyesali sikap bodohku untuk memaksakan dirimu menikahiku, Mbak," ujarnya sambil tersenyum getir."Tidak masalah aku memahami perasaanmu, aku bisa memaklumi sem
Sejujurnya aku lelah dengan semua ini, dengan takdir berliku liku yang mewarnai hidupku. Andai bisa, aku ingin lari dan mengamankan diri ini dari dunia yang begitu kejam.Baru saja aku dan kedua anakku mengecap ketenangan, dan menikmati hidup kami, kini ujian menghantam silih berganti, membuatku sangat ingin menyerah dari semua ini, andai aku bisa, sejenak lepas dari semua kesulitan yang membelit ini. Sungguh, aku letih.Masih segar dalam ingatan, bagaimana ketika Wira merintih di ranjangnya, sementara keluarganya terus mendesakku agar mau menerima lamaran bankir kaya itu, tiba-tiba Mas Rafiq datang dan berteriak dengan tatapan melotot penuh amarah bahwa dia menolak semua cara mereka menekanku untuk menikahi anggota keluarga mereka."Apakah musibah ini akan kalian gunakan untuk menekan Jannah?""Hei, apa maksudmu! Anakku terluka gara-gara dia, tidak tahu apa yang akan terjadi kepada putraku kedepannya, apakah dia masih seperti semula atau malah cacat," ujar Jeng Zahrina sambil terdu
Aku kembali ke rumah dengan tubuh dan pikiran yang sudah lelah kubuka pintu utama lalu menuju kursi tamu meletakkan tasku lalu membaringkan diri dengan lunglai di sana.Pikiranku melayang pada rentetan kejadian yang begitu mengejutkan hari ini, setelah didesak untuk "mau menerima" mengambil hati Wira, akhirnya Jeng Zahrina mau tenang dan menguatkan hatinya untuk tidak menangis lagi.Besok mereka akan melakukan operasi untuk memperbaiki kulit punggung dan wajah Wira yang rusak akibat siraman air keras. Ah, kembali pikiranku melayang kepada mantan maduku itu, entah di mana dia berada dan apa yang sedang dia lakukan, kemungkinan saat ini dia sedang bersembunyi di suatu tempat atau mungkin juga duduk santai di rumah orang tuanya.Tring ... Ponsel berbunyi.Kuraih benda itu dengan setengah lesu lalu membaca nama siapa yang sedang menelpon, dan ternyata itu adalah Rina."Halo Rin ada kabar terbaru?""Laporan sudah kami selesaikan, besok polisi akan menuju tempat kejadian untuk mengamankan
Sesegera mungkin aku meluncur membawa wira ke rumah sakit bersama kedua asistenku, tak lupa aku hubungi nomor Mama Wira yang memang sudah tersimpan di ponselku karena dia adalah pelanggan tetap toko kami."Halo assalamualaikum Jeng Zahrina," sapaku."Waalaikumsalam ada apa kamu menelpon saya," tanya Nyonya Zahrina dengan nada sedikit tidak suka."Maaf karena aku harus memberitahukan hal penting, tapi mohon tenangkan diri Jeng ya," ujarku."Katakan saja apa yang sedang terjadi?""Tadinya Wira datang ke tokoku dan duduk sebentar lalu pergi, namun tak lama kemudian Soraya datang dan berniat menyiramkan air keras kepadaku, namun tanpa diduga-duga Wira datang lagi dan terkena siraman air keras," tuturku hati-hati."Apa?!""Iya, saat ini aku dalam perjalanan membawanya ke rumah sakit.""Kalo terjadi apa-apa dengan anak saya kamu harus bertanggung jawab." Ucapan Mama Wira membuat pikiranku kacau."Kemana kamu akan membawa anakku!" pekiknya lagi."Ke Rumah Sakit Budi Kusuma Jeng," jawabku.
*Pemuda itu, datang lagi ke toko sore menjelang aku menutup gerai pakaian dan barang milikku itu.Ia melangkah santai lalu menarik kursi yang ada di depan meja kerja dan mendudukkan dirinya sambil tersenyum."Mbak Jannah, belum mau pulang?" tanyanya."Belum, masih sibuk," jawabku."Uhm, aku akan menunggu,", jawabnya."Kau sadar apa yang kau lakukan sekarang?"tanyaku dengan tatapan tajam. "Aku sudah cukup memberimu ruang, Wira.""Apa maksudnya Mbak, Mbak terlihat marah," ucapnya pelan."Aku sudah cukup baik kepadamu dengan tidak bersikap kasar dan frontal, aku harap kau mengerti kalau aku tidak nyaman dengan semua sikap ini.""Aku tidak tahu cara terbaik untuk bisa merebut hatimu Mbak," jawabnya pelan."Kamu tidak perlu bersusah payah karena aku belum membuka hati untuk siapapun Wira," ucapku dengan tetap menatap lekat padanya."Aku tahu kalau tidak denganku, Mbak Jannah pasti akan kembali lagi dengan dokter Rafiq, iya kan?" cecarnya sok tahu.Aku hanya tertawa getir mendengar ucapan
Ting tong ...Pagi pagi bel rumah sudah berdenting dan entah siapa berkunjung di pagi buta seperti ini. Sesaat aku sempat bertanya-tanya sekaligus kesal, denting yang terus menerus mengganggu telingaku."Siapa di luar?" tanyaku."Aku," jawab suara yang familiar kudengar itu."Kamu ngapain pagi-pagi gini, bahkan embun pun belum kering di pucuk daun," ujarku."Biarkan embun, yang penting aku menatapmu di awal hari sudah cukup membuatku seolah memiliki semua kebahagiaan.""Hentikan gombalan recehmu!" teriakku di pengeras suara yang tersambung ke gerbang."Jangan marah pagi-pagi aku datang ke sini membawa sesuatu untuk Raisa dan Rayan,". ujarnya santai."Tidak usah bawakan apapun anak-anakku baik-baik saja," jawabku ketus."Tapi Raisa menyukaiku kok. Buktinya ia senang menerima sepaket boneka LoL yang aku belikan," lanjutnya sambil tertawa kecil, " Raisa Sapa Bunda," suruhnya."Bunda ...." Tiba tiba suara anakku timbul dari depan gerbang sana."Raisa kamu ngapaian di gerbang pagi-pagi, k
"Ini makanan banyak banget siapa yang beli makanan sebanyak ini?""itu dari pemuda tampan yang pagi-pagi sudah datang ke sini dan membawa semobil makanan," jawab asistenku Rina."Apa? Siapa?""Teman Mbak, yang berondong itu lho," jawab Rina setengah berbisik."Ya ampun," desahku."Kenapa Mbak, kan bagus mbak dapat banyak perhatian," jawabnya sambil berkedip aneh."Ish ...mendapat perhatian dari orang yang kita suka itu bagus, tapi kalo gak suka, bikin ilfil kan?""Emangnya mbak sekarang lagi ilfil?" timpal Rudi supirku."Iya, karena aku gak mau didekati pria itu." Aku menghempas diri di sofa sambil melempar pandangan ke tumpukan kotak makanan di meja tamu.Kuhela napas berkali-kali untuk melegakan dadaku, namun kedua pegawaiku itu masih heran dengan sikapku itu. Mereka seperti menunggu adegan berikutnya."Apa lagi? Kenapa pada berdiri?""Makanan sebanyak itu Mbak Jannah bisa habiskan?""Siapa bilang aku akan memakannya?" jawabku sewot."Kasihan yang beli, Mbak," jawab Rina memelas."