“Jangan sakiti mereka!” Kelvin langsung memegangi tangan Jaka yang tengah bersiap untuk memanah burung puter itu.
“Kenapa?” Jaka langsung menoleh ke arah Kelvin sembari mengernyitkan dahinya.“Kata ibuku, burung puter adalah burung pembawa rejeki,” jawab Kelvin, lalu dia menambahkan dengan memberikan pendapat. “Daripada membunuhnya, lebih baik kita pelihara saja. Sebagai pertanda di saat pagi hari jika burung puter berkicau, itu tandanya adalah hari yang baik untuk segera berangkat bekerja.”“Lalu bagaimana cara menangkapnya jika aku tidak memanahnya?” tanya Jaka. Selama ini, semua masyarakat Suku Ndiwek belum pernah memelihara burung, karena burung adalah hewan yang sulit ditangkap jika tidak dipanah. “Apa kau bisa menangkap burung itu tanpa harus memanahnya?”“Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya atau tidak?” Kelvin pernah mendengar ibunya menceritakan cara ayahnya dulu menangkap burung puter, tetapi selama ini dia belum pernah mencoba mePagi telah berganti siang, tetapi sampai saat ini Jaka Kusuma belum mendapatkan hewan buruan apa pun. Sebab, sebagian besar waktunya dia gunakan untuk bercerita dan mengobrol dengan Kelvin. Namun, dia tidak mempermasalahkan hal ini, karena menurutnya Kelvin adalah anak yang baik.“Tak terasa ... sekarang sudah siang, ya.” Jaka menatap sebuah pulau yang terletak di tengah-tengah danau yang luas tersebut. Saat ini posisinya masih dalam keadaan berdiri.Kelvin masih dalam keadaan berjongkok di samping kiri Jaka. Mendengar pria itu berkata seperti itu, Kelvin jadi merasa bersalah padanya. Sembari menundukkan kepalanya, dia berkata, “Maafkan aku, Pak Jaka. Gara-gara aku, kau jadi kehilangan waktu berhargamu yang seharusnya kau gunakan untuk berburu.” “Kenapa kau meminta maaf soal itu, Kelvin?” tanya Jaka. “Kan sudah aku katakan padamu, bahwa apabila hari ini kita tidak bisa mendapatkan hewan buruan, maka kita akan pergi ke Hutan Buah untuk memetik buah-buahan. Berburu tidak mudah, tetapi
Wanita itu menatap Kelvin yang pingsan di depannya. Dia berkata, “Kau sangat kuat, tetapi kau takut dengan ular kobra.”Ular kobra yang tadi mematuk kaki Kelvin telah pergi untuk mencari sarang lain, karena sarangnya yang di bawah pohon beringin telah dirusak oleh Kelvin. Meskipun Kelvin tidak sengaja melakukannya karena dia tidak tahu, tetapi tetap saja hal tersebut membuat ular kobra itu marah karena habitatnya dirusak, apalagi ular itu juga merasa terancam saat Kelvin melempar batang pohon beringin itu ke arahnya.“Mengingat kau adalah anak yang sangat baik, aku akan menyelamatkanmu, Kelvin.” Wanita berpakaian putih itu kemudian berjongkok sembari menatap bekas luka gigitan ular yang ada pada kaki kiri Kelvin. Wanita itu mengulurkan tangan kanannya dan menyentuh luka bekas gigitan ular Kelvin, sementara mulutnya berkomat-kamit membaca mantra.Bertepatan pada saat itu juga, tangan kanan wanita berpakaian putih yang menyentuh luka gigitan ular tersebut memancarkan cahaya hijau, memb
“Namaku Lily Gabriella. Kau bisa memanggilku Lily,” jawab wanita itu memperkenalkan diri. “Namamu sangat indah, Dewi Lily!” puji Kelvin. “Baiklah saya akan memberitahukan rahasia saya pada Anda. Tapi ceritanya panjang, saya membutuhkan tempat yang sepi dan nyaman untuk menceritakan ini.”“Baiklah. Kalau begitu, pejamkan saja matamu!” perintah Dewi Lily. Kelvin langsung menurut dan memejamkan matanya.Kelvin menebak, kalau Dewi Lily pasti akan membawa dirinya ke tempat lain dengan kemampuan teleportasinya. Dia pernah membaca buku fantasi di perpustakaan sekolahnya, bahwa seorang dewa/dewi memiliki kemampuan teleportasi untuk berpindah tempat ke mana pun hanya dengan sekejap mata.Dia tidak menyangka, kalau hal mitologi yang terdapat dalam cerita-cerita itu nyata ada. Namun, setelah dia bertemu dengan seorang Dewi Puter secara langsung seperti ini, dia jadi percaya, bahwa cerita-cerita fantasi yang pernah dia baca itu nyata dan ada.Dia juga ingat, bahwa di buku cerita fantasi yang pe
Kelvin tidak tahu harus jawab apa. Jika dia berkata dengan jujur kalau dia yang melakukan itu, dia takut kalau Jaka akan memarahinya. Namun, jika dia berkata kalau dia tidak tahu, pasti Jaka tidak akan percaya karena dirinya berada di sini.“Katakan saja, Kelvin!” kata Jaka. Pria itu mengulangi pertanyaannya. “Siapa yang merobohkan pohon beringin itu?”Kelvin tidak punya pilihan lain selain menjawab dengan jujur. Karena menurutnya, jujur lebih baik daripada berbohong. Karena sesuatu kebohongan yang terpendam akan membuat dirinya takut ... takut jika kebohongannya itu suatu saat nanti terungkap.“Saya, Pak Jaka,” jawab Kelvin sembari mengangkat tangan kanannya dan menundukkan kepalanya dalam. “Saya yang melakukannya. Maafkan saya, Pak Jaka!”“Apa?” Jaka membelalakkan matanya, tak percaya. Dia yang bertubuh kekar saja tidak bisa melakukan itu, lalu bagaimana cara Kelvin yang hanya seorang bocah kecil menumbangkan pohon sebesar itu? “Tidak mungkin ... tidak mungkin jika kau yang melakuka
“Dia ....” Tiba-tiba Jaka merasakan sesuatu seperti ada yang memukul punggungnya dengan sangat keras. Rasanya sangat sakit, seolah-olah punggungnya itu dipukul dengan gada besi. Hal tersebut membuat dirinya tersentak ke depan, akan tetapi Kelvin langsung menopang tubuhnya dengan cekatan.“Anda kenapa?” tanya Kelvin. Raut wajahnya terlihat sangat panik ketika melihat Jaka yang tiba-tiba saja muntah darah. “Kenapa tiba-tiba saja Anda seperti ini?”Jaka ingin menjawab, tetapi untuk mengatakan sepatah kata pun dia tidak bisa. Tenggorokannya menjadi semakin sakit ketika dia mencoba untuk berbicara. Tidak hanya itu saja, bahkan sekujur tubuhnya juga terasa sangat nyeri, perih dan sakit yang tiada tara.Detik kemudian, Jaka memuntahkan seteguk darah lagi dari mulutnya, membuat Kelvin menjadi semakin cemas dan panik.“Bertahanlah, Pak Jaka! Saya akan mencari bantuan!” Kelvin menyandarkan tubuh Jaka pada kursi kayu, tetapi tiba-tiba saja tubuh Jaka menjadi kejang-kejang tak karuan dan kemudian
Jaka merasakan seperti ada energi hangat masuk ke dalam tubuhnya. Secara perlahan, energi tersebut membuat rasa sakit di dalam tubuhnya menghilang. Tadi dia juga sempat merasakan, seolah kutukan yang selama ini ada dalam dirinya telah terlepas dan membuat dirinya merasakan lega.Dia berusaha untuk bangkit dari kesadarannya setelah merasakan bahwa luka dalamnya telah pulih dengan sempurna. Di saat kesadarannya mulai terkumpul, dengan samar-samar Jaka mendengar suara seseorang mengatakan ....“Tanpa bantuan dari sistem, aku hanyalah manusia lemah yang tidak bisa melakukan apa-apa.”Setelah mendengar suara itu, kesadaran Jaka langsung terkumpul dengan cepat. Suara tersebut membuat ingatannya kembali dengan cepat karena dia merasa seperti mengenal suara itu. Dengan cepat dia langsung membuka matanya, dan orang pertama yang dia lihat saat membuka mata adalah Kelvin yang sedang duduk di kursi sebelah kiri meja.Dengan cepat pria itu langsung bertanya, “Sistem? ... apa yang kau maksud deng
Tak terasa, sepuluh tahun telah berlalu. Dalam waktu sepuluh tahun ini, Suku Ndiwek sudah mengalami banyak perkembangan berkat keberadaan Kelvin dan Dewi Lily.Berbicara soal Dewi Lily, sampai sekarang pun dia masih menyembunyikan identitasnya dan hanya Kelvin saja yang tahu kalau dirinya adalah seorang dewi. Selama sepuluh tahun ini, dia mengunggunakan nama samaran Layla, dan semua orang di Suku Ndiwek memanggilnya dengan nama itu, termasuk Kelvin.Layla dan Kelvin masih tinggal satu rumah dengan Jaka. Namun, sekarang rumah Jaka tidak lagi terbuat dari bambu, melainkan kayu albasia. Tidak hanya rumah Jaka saja yang menggunakan kayu albasia, tetapi seluruh masyarakat Suku Ndiwek sudah menggunakan kayu albasia sebagai tembok rumah mereka.Sejak sembilan tahun yang lalu, masyarakat Suku Ndiwek diberi saran oleh Kelvin agar mereka menanam benih pohon albasia sebanyak mungkim, dan setelah pohon itu tumbuh, mereka membangun rumah menggunakan kayu pohon tersebut. Karena, pohon albasia adal
Bagas Arya adalah seorang pemuda berusia 19 tahun. Dia satu-satunya putra Ki Adi Pangestu dan Nyi Anantari. Saat ini dia sedang dalam perjalanan pulang menuju Suku Ndiwek—tempat tinggalnya. Namun, saat dia tiba di sana, dia mengernyitkan dahinya melihat Suku Ndiwek yang sepi, tidak seperti biasanya.“Di mana para warga Suku Ndiwek?” gumamnya sembari berjalan santai menuju ke arah rumahnya untuk beristirahat, karena dia merasa sangat lelah setelah melakukan patroli semalaman. Setelah jarak antara dia dan rumahnya hanya terpaut sekitar sepuluh meter, tiba-tiba seorang wanita berusia empat puluhan tahun keluar dari pintu rumah itu—itu adalah ibunya—Nyi Anantari.Melihat ibunya keluar dari rumah, Bagas mengernyitkan dahinya, karena tidak biasanya ibunya itu keluar rumah kecuali di hari Minggu. Karena, di hari Minggu semua warga Suku Ndiwek diwajibkan untuk ikut serta dalam pelatihan di arena latihan yang sudah dibangun sejak sembilan tahun yang lalu.Sementara sang ibu yang melihat Bagas