Fanala membayarkan sejumlah uang pada pengemudi ojek online yang mengantarnya. Sebab hari ini Karel sedang ada kegiatan UKM, jadi tak bisa menjemputnya dari studio tempat ia mengajar piano.
Lelah sekali rasanya. Fanala berbalik, melangkah mendekati kontrakannya. Bermain piano itu menyenangkan, tapi mengajari pemula yang bebal itu membuat ia lelah hati. Sabarnya benar-benar diuji.
"Aaaaaaaa!!!"
Suara teriakan mengejutkan Fanala ketika ia sudah memasuki pelataran kontrakannya. Ia berbalik, menemukan kembali senyumnya yang pudar sejak memasuki studio piano siang tadi.
Guk! Guk!
Fanala betul-betul tak habis pikir, apa sih yang dilakukan Gathan dan Radit hingga dikejar-kejar anjing seperti itu. Tak heran Karel bernapsu sekali menjauhkan adiknya dari mereka berdua.
Saat dua sahabat Sasha itu sudah tak terlihat lagi, Fanala segera melajutkan langkahnya yang terasa lebih ringan. Ia senang menemukan alasan untuk tersenyum di hari Minggu rasa Senin ini.
Fanala meraih buket bunga matahari yang tergeletak di depan pintu. Senyumnya kian lebar. Barangkali ini sudah menjadi rutinitas hari Minggu-nya selama hampir dua tahun belakang, tapi sensasinya masih sama seperti saat pertama kali ia mendapat kiriman super manis ini. Sebuket bunga matahari, pada hari Minggu.
***
Panas. Kelas 12 IPS 3 ini sangat panas. Kipas tua yang berpusing di langit-langit sama sekali tak ada gunanya. Hanya berdengik karena usia yang tak lagi muda. Gathan penasaran ke mana hilangnya uang sekolah yang dibayarkannya selama ini, jika kipas baru saja tidak terbeli.
"Gue gak mau bimbel di sana lagi. Kemampuan gue gak setara sama anak SMA seharusnya. Lagian Kakak gue pede banget sih adeknya yang tolol ini bisa ngikutin pelajaran di bimbel sementara dasar matematika aja gue kagak ngerti. Gue gak tau rumus pytagoras. Gue gak paham gimana caranya ngitung akar. Gue tuh buta," keluh Sasha, mengekori Gathan yang sedang sibuk menyapu di antara murid kelasnya yang dengan biadab berlarian ke sana kemari.
Tak hanya kelas yang panas, kupingnya pun panas mendengarkan Sasha mengeluh mengenai bimbingan belajarnya selama seminggu ini.
"Sha, bisa gak lo curhatnya sama Radit dulu?" pinta Gathan, kesabarannya menipis.
"Maunya, sih, gitu. Tapi Radit belum dateng juga. Padahal gue capek curhat sambil jalan-jalan gini."
Gathan menoleh. "Kalo gitu duduk, Sha, gue bentar lagi selesai, oke? Dan lo bisa curhat sampe gue overdose."
"Lama!" Namun Sasha duduk juga di kursinya.
"Lo EXO-L, Than?" sahut salah seorang dari kelompok pemuja K-pop di sudut kelas. Mereka tengah melingkari dua buah laptop yang berpose ala The Virgin. Peka sekali bila ada kata yang berhubungan dengan idola mereka.
Gathan mengabaikan pertanyaan kelompok itu, mulai mengais-ngaiskan sapunya kembali.
"Buruan, Than!! Udah mau upacara nih! Makanya piket itu dari Sabtu kemaren!" teriak mulut toa sekretaris kelas yang merangkap tugas seksi kebersihan yang tak bertanggung jawab.
"Iye, Fir. Sabar dikit kenapa. Lo gak lihat betapa pengertiannya anak kelas kita saat gue nyapu," balas Gathan malas. Sangat antusias pada tingkat pengertian anak kelasnya. Ada yang masuk seraya meninggalkan pasir-pasir kecil nan lucu di setiap langkahnya. Ada yang kejar-kejaran macam film India, menendang-nendang sampah yang sudah dikumpulkannya....
"Aduh, Fir, gue mules, nih!" Gathan membungkuk, memegang perutnya.
"Berakin di sini." Fira tak peduli. Ia mengetuk-ngetukkan buku jarinya di meja guru. "Cepet!"
Gathan melirik pintu kelas. Di mana Radit berada. Ia butuh bantuannya.
"Jangan coba-coba kabur, gue karate, copot tulang lo."
Cari cara lain, pikirnya.
"Fir, lo cantik, deh, hari ini. Lebih glowing gitu. Baru ganti skincare ya?"
"Gue dah punya pacar."
"Jadi orang ketiga boleh juga."
"Orang ketiga harusnya lebih kinclong, bukannya kayak lo... Buluk!"
Nyelekit sekali.
Tak ada harapan memang lolos dari cengkraman Fira. Yang sangar kayak emak ayam yang punya anak perawan.
"Annyeong yorobun!"
"Annyeong Radit yang mirip Oh Sehun!!!" riuh rendah group K-popers menyahut.
Radit mendekati Fira dengan gaya paling cool. Meletakkan sekotak jus jambu di atas meja guru, di mana Fira berkuasa.
"Makasih kemaren, Fir," suara serak Radit yang terdengar maskulin membuyarkan perhatian Fira pada Gathan.
Fira mengangguk. Terhipnotis. Tenggelam dalam tatapan Radit yang menyihir. Lupa pada tahanannya yang telah lari tunggang-langgang.
"Dari tadi gue tungguin," ujar Sasha menggelayuti lengan Radit, yang seketika mengusap rambutnya.
Fira tersadar dari khayalan gilanya tentang Radit. Mengalihkan pandangan dan hanya menemukan sapu berambut pink yang tergolek tak berdaya.
Gathan sialan!
Diraihnya sapu itu, dibawa bagai tombak ke luar kelas.
"GATHAAAAN!!!" dilemparkannya sapi itu pada sosok Gathan yang kian jauh.
***
"Fan!"
Fanala menoleh mendengar namanya diseru, diikuti Karel yang berada di sisinya. Mereka baru selesai kelas pertama hari ini.
"Kenapa, Ren?" tanya Fanala.
"Nih," Rendy mengulurkan buku berkulit biru, "catatan lo. Makasih."
Mengangguk Fanala. Kemudian melanjutkan langkahnya. Menjauh dari gedung fakultas mereka.
"Sasha masih ngeluhin bimbelnya, Rel?"
"Tiap hari. Pusing kepala gue," keluh Karel. "Dia gak bisa inilah, gak ngerti itulah. Dan gue baru tahu ternyata adek gue bahkan gak tahu simbol tak terhingga. Parah banget."
Apalagi, pikir Karel, adiknya berteman dengan dua manusia paling idiot yang dikenalnya.
Fanala tertawa kecil. Karel tak sadar bahwa dirinya sendiri juga begitu dahulu. Orang-orang memang suka begitu, merasa dirinya pada jaman dahulu lebih baik dari generasi setelahnya.
"Lo juga gitu kali—aduh!"
"Kenapa, La?"
Berhenti Fanala, mengangkat satu kakinya.
"Kayaknya kaki gue lecet lagi deh."
Benar saja. Bagian tumit Fanala terdapat luka gores yang merah karena beradu dengan tumit sepatu yang masih kaku.
Sebenarnya sudah sejak tadi Fanala merasa nyeri, namun tak terlalu sakit jadi dibiarkannya saja.
Karel menghembuskan napas bosan. Sepertinya hampir setiap punya sepatu baru kaki Fanala selalu lecet. Padahal ia selalu mengingatkan untuk memakai kaos kaki tebal atau plester agar kakinya tak terluka.
"Kan udah gue bilang kalo pakek sepatu baru itu pakek kaos kaki, La. Katanya pinter, itu aja gak inget-inget."
"Bawel," komentara Fanala seraya melepas kedua sepatunya. "Sepatu lo."
Karel mendengus. Namun pasrah merelakan sepatunya dikenakan Fanala.
"Cowok nyeker itu gak pa-pa. Jangan lemah," entengnya Fanala berucap. Ia berjalan dengan menenteng sepatunya dan mengenakan sepatu sahabatnya. Membiarkan Karel tak beralas kaki.
Karel sudah biasa.
Mereka terpaksa duduk beralaskan rumput karena tak kebagian kursi di halaman super luas ini. Terlalu banyak yang mau berpacaran. Apalah daya Karel yang jomblo menunggu sahabatnya yang tak kunjung peka.
"Lo mau makan apa, Rel?" Fanala membuka ponselnya.
"Apa aja," jawab Karel. "Mana kaki lo," ujarnya lagi.
Fanala memindahkan kakinya ke pangkuan Karel. Masih sibuk dengan ponsel.
Seperti biasa, selama bertahun-tahun ini, Karel memasangkan plester luka pada kaki Fanala yang lecet. Ia melakukannya dengan lembut dan tanpa rasa canggung. Ini sudah seperti rutinitas. Tak ada yang aneh dengan hal ini.
"Rel," panggil Fanala yang telah meletakkan ponselnya.
"Mm?" Karel ganti mengurusi kaki Fanala yang lain.
"Gimana kalo gue aja yang ngajarin Sasha? Tapi gue gak bisa tiap hari, jadwalnya juga mungkin gak teratur. Tergantung jadwal kosong gue. Mungkin yang pasti bisa hari Sabtu sore atau Minggu sebelum gue ngasih les piano doang."
"Yakin lo mau ngajarin Sasha? Tuh anak bikin emosi."
"Ya, seenggaknya dulu gue bisa memperbaiki otak lo."
"Sasha lebih parah, ya, dari gue."
"Ck. Lo gak sadar dulu lo seidiot Gathan sama Radit."
"Gue lebih normal."
"Gak ada, ya. Gue malah yakin lo dulu mirip banget sama Gathan. Kalo sama Radit lo kalah ganteng, sih."
"Nista banget gue mirip sama Gathan," Karel tak terima.
"Emang lo nista." Fanala tertawa.
***
Angin malam berhembus. Gathan memasukan tangannya ke dalam saku. Ia baru pulang dari rumah Sasha dan berniat jalan kaki sejenak, mencari angin.Ponselnya berdering. Reminder. Ia sudah tahu. Ia mengaturnya hanya untuk berjaga-jaga karena takut lupa, walau belum pernah terjadi sejauh ini.Tak terasa, Gathan sudah berjalan lumayan jauh. Menoleh ia ketika melewati kontrakan Fanala.Ponselnya berdering lagi, hanya bunyinya kali ini berbeda. Gathan mengangkat sambungan dari ibunya itu."Kenapa, Mi?... Iya ini Gathan bentar lagi pulang... Iya... Sayang Mimi."Ia segera memesan ojek online, yang sampai tak lama kemudian. Selama perjalanan diperiksanya galeri ponsel yang penuh foto Sasha. Nyaris semua tak berkualitas. Begini bila punya sahabat perempuan, galeri harus dibersihkan setiap beberapa hari sekali.Gathan mendesis. "Menuh-menuhin memori," gumamnya.
Sasha: Than, mau ikut gue ke tempat Kak Nala gak? Gue udah di depan rumah lo nih. Gathan agak tak paham, Sasha itu ngajak tapi kok, sudah stand by saja di depan. Barangkali ini di sebut awalnya ngajak, akhirnya maksa.Jari Gathan pun mengetik balasan: Gue mau mandi dulu. Di depan panas tuh kayaknya. Kalo gak mau otak lo makin kering, mending lo masuk. Gathan beranjak dari tempat tidur. Kaos yang dikenakannya sejak kemarin kusut di banyak tempat. Dihelanya handuk dari gantungan.
"Heran gue, segitu napsunya dia berharap gue yang ngasih.""Idih!" Sasha mengernyitkan hidungnya. "Dia gak berharap lo ngasih. Dia berharap ketemu sama orang yang selalu ngasih dia bunga matahari setiap Minggu sejak dia kecelakaan dua tahun yang lalu."Gathan, Radit, dan Sasha tengah berdiri di teras kelasnya yang ada di lantai tiga. Mereka memandangi murid-murid berlalu lalang melintasi lapangan basket seraya mengunyah permen karet."Kecelakaan? Kalo gitu jelas dong, yang ngasih yang nabrak Kak Nala. Karena dia ngerasa bersalah," ujar Radit. Seusai meletupkan gelembung yang dibuatnya."Kak Nala gak di tabrak, Radit yang ganteng.""Terus, Sasha yang cantik?" Gathan yang menyahut."Dia kecelakaan pas dianter Kak Farrel pulang pakek motor. Soalnya waktu itu hujan, jadi jalanan licin, Gathan yang kurang ganteng.""Kerajinan banget ngasih bunga tiap minggu sel
Dengan rambut terbalut handuk, Fanala mematut diri di depan cermin. Jemarinya meratakan moisturizer ke wajah. Hari ini tanggal merah, jadi ia bisa agak santai. Tak ada agenda apapun hari ini, selain janjian bimbel dengan Sasha yang dilakukan dadakan. Ia berpikir agak kurang efektif mengajari Sasha hanya satu minggu sekali, jadi kapan pun ada waktu ia usahankan untuk mengatur jadwal dengan adik sahabatnya itu.Usai memakai liptint, Fanala melepas handuk dari kepalanya dan bersisir. Kemudian ia keluar kamar untuk menyibak gonden dan pergi berjemur di halaman sejenak sembari mengeringkan rambut.Cahaya matahari seketika membanjiri ruang duduk Fanala yang sederhana saat ia menaraik terbuka gonden biru penutup dua jendela kecil tempat tingggalnya. Hangat dan menyenangkan. Diputarnya kunci dan melangkah melewati ambang pintu.Fanala menutup mata, merasakan cahaya matahari yang menerpanya. Nyaman sekali. Dihelannya napas panjang,
Gloomy.Gathan membaca snapwhatsaap kontak bernama 'Fanala the next'. Unggahan itu berlabel 'just now'. Padahal sekarang sudah pukul setengah dua pagi. Apa gadis itu sedang banyak tugas? Padahal tampaknya Fanala bukan tipe gadis yang menunda-nunda tugas, apalagi kemari tanggal merah, Sasha juga membatalkan janji mereka.Begadang, Fan? Gathan mengomentari posting-an milik Fanala. Tak segera ia keluar, menunggu dua centang biru sebab gadis itu tengah online.Posisi Gathan yang tadi terlentang sekonyong-konyong berubah tengkurap ketika yang dinanti terwujud dan tulisan typing tertangkap netra. Ada senyum di matanya.Susah tidur. Lo sendiri ngapain belum tidur? Ngerjain tugas? B
Malam ini berangin. Membuat Gathan merapikan rambutnya berkali-kali. Dalam balutan celana jeans dengan atasan kaos yang di tutup jaket danim tak terkancing. Ia nampak jauh lebih baik dari penampilan biasanya dengan seragam penuh keringat.Ia ada di depan rumah kecil yang di sewa Fanala. Tujuannya jelas, mengambil earphone. Tidak ada yang lain.Sejenak ia berdehem sebelum mengetuk pintu."Fan, Fanala!" panggilnya.Tak ada jawaban. Dicobanya lagi. Kembali tak ada sahutan. Apa Fanala sudah tidur? Atau gadis itu sedang keluar?Celingak-celinguk Gathan ke kanan-kiri. Ia melogak jendela di sisi pintu, tak terlihat apapun.Sudahlah, pikirnya, lebih baik besok malam saja. Tampaknya ia kurang beruntung hari ini.Ia berbalik."Kenapa, Than?""Astagfirullahalazim!" Gathan terlonjak, terkejut dengan kehadiran Fanala yan
"Gak nyangka ya tinggal beberapa bulan lagi kita lulus," ujar Sasha pada Radit dan Gathan yang digandengnya kanan-kiri melintasi halaman. Pakaiannya sekarang sudah lain 180 derajat dari kemarin. Roknya sudah semata kaki, bajunya panjang dan longgar. Berkat paket yang di antar ke rumah kemarin menggunakan jasa ojek online. Pengirimnya--jelas--Radit. Sebab satu-satunya hal yang pernah Gathan berikan padanya hanya ucapan selamat ulang tahun dan hadiah finger heart. Dengan murah hati--atau memang menganggapnya gendut, Radit memberikan seragam dalam segala ukuran termasuk XL. Manis sekali bukan? Tak seperti Gathan yang merasa bahwa finger heart-nya merupakan hadiah termanis. Tapi tetap saja rasa sayangnya pada mereka berdua sama besarnya. "Gue nyangka," Gathan menyahut. Orang satu ini memang tak bisa untuk menahan lidahnya. "Inget, ya, lo berdua harus masuk universitas yang sama sama gue. Gak boleh enggak,"
Fan, di rumah, gak? Mau ambil earphone. Fanala mencebik membaca pesan dari Gathan. Di kirim hampir empat jam yang lalu. Tak ada niat ia membalas pesan yang terlambat di buka itu. Siapa suruh meninggalkan benda itu berulang kali. Ia mulai curiga Gathan sengaja meninggalkannya untuk suatu alasan tertentu.Studio itu sudah gelap. Kelas telah berakhir sejak satu jam yang lalu. Namun Fanala masih setia duduk di belakang sebuah piano dengan ponsel tergeletak di sisi.Fanala memainkan beberapa nada. Dadanya sesak. Piano, lagi-lagi hal yang berjalinan dengan sosok Farrel, selain bunga matahari. Karena dialah orang pertama yang mengajarinya menarikan jemari di atas tuts-tuts penuh melodi. Sulit untuk tak ingat sosoknya ketika bersentuhan dengan alat musik penuh nuansa hatam-putih ini. Menyalurkan sensasi tak nyaman di dadanya.Ia berkata akan lebih bahagia tanpa memanda
"Mau lo hitungin berapa kali juga, jumlah bunga matahari itu gak akan bertambah, Fan," ujar Gathan yang baru datang, melihat Fanala di tengah hari bolong ini berjongkok di hadapan pot-pot bunga mataharinya. Ia kemudian duduk di bangku di bawah rimbun pepohonan, bersandar santai.Fanala menoleh, membuat rambutnya yang sebahu itu bergoyang pelan. Matanya mendelik pada Gathan. "Tahu gue, tuh! Gue cuma memastikan gue gak salah hitung. Lagian lo ngapain sih ke sini? Jomblo lo, hari Minggu gini gak ada kerjaan?""Sewot banget sih, Fan. Gue tahu hari ini panas, tapi jangan marah-marah mulu lah. Cepet tua nanti, gak cantik lagi.""Apaan sih lo!" Wajah Fanala merah padam karena gombalan najis Gathan itu. Sejak ia tahu jika laki-laki yang lebih cocok jadi adiknya itu memyukainya, Fanala jadi sering merasa malu dekat-dekat dengan. "Duduk sini, Fan," ujar Gathan, menepuk bangku kosong di sisinya. "Panas kan di situ."Fanala berdehem sebelum bangkit berdiri lalu duduk di sisi Gathan. Ia heran, in
Sasha meletakkan satu buket bunga matahari di atas makam yang ditutup marmer hitam. Ia berjongkok di sisi makam itu, membersihkan daun-daun kering yang jatuh di atas nisan."Sayang, ya, Than, lo baru pulang setelah gak gue gak bisa ngajak lo main lagi. Padahal banyak yang pengen gue lakuin bareng sama lo kalo pulang lebih awal."Sudah setahun lebih Gathan meninggal. Sasha amat terpukul saat itu. Ia bahkan sempat pingsan dua kali ketika jasad Gathan tiba di Jakarta. Setelah delapan tahun pergi, Gathan pulang tinggal nama. Pedih sekali rasanya."Than, di sana gak ada Kak Nala, kan?" tanya Sasha, menepis air matanya yang jatuh tanpa diminta. "Kita di sini masih terus nyari Kak Nala walaupun polisi udah nyerah. Kak Nala terakhir terlihat di cctv terminal yang gak jauh dari pantai. Dan gak ada petunjuk lagi setelah itu. Kadang-kadang, saat gue kehilangan harapan, gue sering bertanya-tanya apa Kak Nala ada di laut? Apa dia terjebak di dasar lautan? Kesepian."Sebetulnya menyimpulkan bila K
"Udah bisa dihubungi Kak Nalanya, Dek?" tanya Bunda, muncul di pintu belakang. Sejak pagi beliau memintanya menghubungi Kak Nala karena beliau juga tak bisa menghubunginya."Belum, Bun. Masih gak aktif," sahut Sasha yang sedang duduk di beranda belakang, menonton Ayah membersihkan kandang burung-burung peliharaanya.Bunda mengernyit khawatir. "Kak Nala gak kenapa-kenapa kan ya? Bunda jadi khawatir.""Bunda udah selesai masaknya?" tanya Ayah."Iya," sahut Bunda."Beresin aja makanan yang mau dikasi ke Nala. Nanti Ayah sama Sasha yang anterin ke sana," ucap Ayah. Membuat Bunda berbalik masuk ke dalam, membereskan makanan yang ia buat untuk Kak Nala. Makanan itu jugalah yang jadi alasan Bunda mencoba menghubungi Kak Nala sejak pagi."Dua minggu yang lalu, Kak Nala ke sini mau ngapain, Dek?" tanya Ayah. Beliau menggantung kembali kandang-kandang burung yang sudah bersih."Mau ngomong sama Vira. Tapi Adek gak nanya ke Kak Nala sama Vira mereka ngomongin apa. Nanti dikira kepo lagi. Tapi ka
Sasha membawa Radit menjauh dari rumahnya. Ia tak ingin laki-laki itu bertemu dengan anggota keluarganya. Ini saja ia harus menjelaskan pada Kak Nala tentang Radit dan memintanya tak memberi tahu pada Kak Karel."Mau ngapain sih lo?" tanya Sasha setelah bukam sepanjang perjalanan menuju taman komplek yang sepi ini. Ia duduk di salah satu bangku mendahului Radit.Radit mengikuti Sasha, duduk di sisi gadis itu. Tanpa menyadari kedekatan yang ia ciptakan membuat jantung Sasha berdebar tak santai. "Elo sih gue telepon gak diangkat, gue chat gak dibaca.""Lo yang ngapain nelepon dan nge-chat gue?!" ucapa Sasha galak, mencoba bersuara lebih keras dari degup jantungnya. "Lo kan takut banget tuh ketahuan sama istri lo," cibirnya."Gue takut karena gue sayang sama Kala, Sha. Kalania, nama istri gue.""Gue gak pengen tahu nama istri lo," balas Sasha ketus.Hening. Radit tampaknya tak siap akan sikap Sasha yang begitu tak acuh padanya. Gadis dengan pandangan terluka yang ia lihat malam itu tamp
Setelah hari itu, Arbii beberapa kali berusaha menghubunginya, namun Fanala tak pernah mengangkatnya. Laki-laki itu bahkan datang ke rumah dan kantornya, menunggunya hingga larut, tapi Fanala tetap kukuh tak mau menjumpainya. Meski merasa kasihan, Fanala cukup keras hatinya mengingat ini untuk kebaikan Arbii itu sendiri.Selama dua minggu belakangan ini, Fanala sangat menyadari jika satu persatu hubungannya putus atau merenggang parah. Pertama, dengan kedua orang tuanya, yang tak pernah lagi menghubunginya atau dihubungi olehnya sejak Papa mengabari mereka telah tiba di Surabaya. Lalu, hubungan pekerjaannya yang di ujung tanduk, hanya tinggal dua minggu tersisa sebelum hubungan itu benar-benar putus. Kemudian, hubungannya dengan Arbii dan keluarganya yang kini tinggal kenangan. Dan kini hubungannya dengan Karel lah yang harus diputuskan.Fanala menghela napas, sebelum menghubungi Karel untuk memberi tahu laki-laki itu jika ia tengah berada di lobi kantornya. Karel yang ia minta turun
"Fan, aku agak telat gak apa-apa, ya? Kamu belum berangkat, kan?""Iya, gak apa-apa, Ar. Santai aja.""Oke. Tinggal satu janji lagi kok, abis itu aku langsung berangkat.""Iya, Ar."Fanala memutuskan sambungan dan meletakkan ponselnya di sisi ice americano-nya yang sudah tak lagi telalu dingin. Ya, ia berbohong pada Arbii tentang keberangkatannya. Ia sudah tiba di tempat janjian mereka sekitar setengah jam yang lalu. Ia hanya tak mau Arbii merasa tak enak karena membiarkannya menunggu. Cafe tempat Fanala kini berada kian ramai oleh pengunjung yang berpakaian rapi. Ia menduga mereka seperti dirinya—pegawai kantoran yang baru pulang kerja. Namun meski cafe itu mulai ramai, Fanala masih dapat mendengar jelas lagu yang tengar diputar: If Tomorrow Never Comes. Lagu favorit Gathan. Lagu pertama yang ia tahu dari laki-laki itu.Ini sudah kali kedua Fanala mengunjungi cafe ini, dan dua kali juga ia mendengar lagu ini diputar di sini. Entah ini kebetulan, pemiliknya memang suka lagu ini, atau
Sebagimana biasanya saat seseorang akan mengundurkan diri, akan ada waktu tunggu selama sebulan sebelum benar-benar off work. Waktu satu bulan itu akan digunakan perusahaan untuk mencari kandidat penggantinya dan Fanala harus mendelegasikan tugas-tugasnya pada penggantinya nanti.Saat sarapan tadi, Bang Dwiki sama sekali tak mencoba membujuknya, beliau hanya bertanya apa alasannya ingin mengundurkan diri. Dan saat Fanala menjelaskan alasannya, Bang Dwiki langsung menyetujui keputusannya dan menerima pengunduran dirinya. Namun Bang Dwiki berkata jika suatu saat nanti Fanala ingin kembali, ia akaj dengan senang hati menerimanya kembali bekerja untuk perusahaannya.Jadi kini Fanala mengendarai mobilnya pulang dengan perasaan sedikit lebih ringan, ada beban yang telah terangkat. Ia sudah menyelesaikan masalah dengan kantor. Sekarang ia akan menyelesaikan masalah dengan orang tuanya. Selanjutnya dengan Arbii dan keluarga laki-laki itu, dan terakhir masalah Karel dan Vira. Setelah itu ia be
Fanala turun dari ranjang pada pukul lima pagi. Jangan ditanya ia tidur atau tidak. Jawaban itu langsung nampak pasa kantong matanya yang menghitam. Meski lelah luar biasa dan tak dapat tertidur sama sekali semalam, Fanala berusaha berjalan senormal mungkin menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri.Lama Fanala berada di kamar mandi sebab sejak kemarin ia sama sekali belum membersihkan diri. Ia bahkan menyempatkan diri untuk memakai lulur badar dan masker rambut juga scrubing wajah. Ia burusaha terlihat seperti Fanala yang biasa. Fanala yang rapi, bersih, dan terawat baik. Kacaunya pikirannya tak perlu lah tampak lagi dari penampilan luarnya. Cukup kemarin saja. Hari ini ia harus sudah tampak seperti biasanya.Selepas keluar dari kamar mandi, Fanala langsung mengaplikasikan rangkaian produk perawatan kulit pada wajahnya sebelum wajahnya benar-benar kering. Kemudian ia mengeringkan rambutnya lalu menatanya menjadi sesikit bergelombang. Setelah rambutnya rapi dan wajahnya terpoles make
Karel agak terkejut saat Sasha membukakan pintu bahkan sebelum kakinya menyentuh teras rumah. Ia lebih terkejut lagi mendapati semua anggota keluarganya yang tinggal di rumah ini masih tergaja dan duduk-duduk di ruang tamu. Ini rumah mereka baru saja kedatangan tamu atau mereka sedang menunggunya pulang? Ia akan sangat terharu bilang mereka memang sedang menunggunya pulang. Apalagi dengan Vira yang sudah beberapa hari ini bersikap dingin pasanya."Nungguin aku pulang?" tanya Karel setelah melewati ambang pintu yang telah dikatup Sasha kembali."Gak usah pede banget," cela Sasha dari balik punggung Karel."Terung ngapain belum pada tidur dan malah ngumpul-ngumpul di sini?" tanya Karel heran. Mana mungkin tidak? Setiap kali ia sungguhan lembur dan pulang malam, rumah pasti sudah gelap dan semua orang telah terlelap—ya, kecuali Vira. Namun Vira pun akan menunggunya di kamar, bukan di ruang tamu macam sekarang."Tante Rieke masuk rumah sakit," sahut Bunda. Wajahnya berkerut cemas. Hal itu