"Diem-diem, Dit. Lo gak sadar suara lo kayak om-om mesum."
"Kampret!" Radit melemparkan kaleng sprite yang sukses menghantam kepala Gathan. Ia tak terima suara merdunya kala bersenandung dihina begitu kejam oleh makhluk yang suaranya mirip dengan ulat bulu kejepit macam Gathan.
Gathan yang sejak tadi sedang mencari sudut yang pas untuk melakukan tembakkan ke ring basket agar sempurna di foto oleh Sasha, dalam sekejap menghempaskan bolanya dan menghampiri Radit di pinggir lapangan. Ia melompat, menindih Radit yang tak siap. Tangannya dengan brutal menjambaki rambut sahabatnya tanpa ampun.
Sasha mengubah mode kamera ponselnya ke kamera depan. Tak mengacuhkan dua sahabatnya yang kini telah berguling-gulingan. Saling jambak-menjambak, geplak-menggemplak. Ia sudah muak dengan kelakuan dua makhluk itu. Kapan coba mereka bisa dewasa? Umur sudah 18 tahun, tingkah seperti anak 1,8 tahun. Malu ia punya sahabat seperti mereka.
Sepuluh menit dihabiskan Sasha untuk mengambil foto selfie paling sempurna. Seraya menunggu Radit dan Gathan reda sendiri.
"Cabut, yuk, " ujar Gathan, bangkit dari lantai lapangan basket, diikuti oleh Radit. Rambut keduanya persis seperti usai disapu topan badai.
Sasha menghembuskan napas lelah. Ia mendekati dua sahabatnya itu. Dirapikannya rambut mereka berdua dengan kedua tangannya.
"Kapan kalian berdua berhenti barantem karena hal-hal tolol," keluhnya.
"Gue sama Radit cuma gak mau mendem emosi. Lo tahu 'kan dia kesel banget sama gue karena tiap hari gue makin ganteng sementara dia makin jelek," Gathan berujar santai.
Radit mendengus.
Seusai membuat rambut Gathan dan Radit tampak lebih pantas, Sasha meraih kedua tengkuk mereka. Dan ketiga sahabat itu berjalan keluar gerbang SMA yang telah sesepi kuburan.
Mereka bertiga bolos saat jam pelajaran, datang ke sekolah saat kelas sudah dibubarkan. Sampai guru piket lelah hati menghadapi mereka.
"Kita mau ke mana, 'guys'? " Gathan bertanya, menekankan kata terakhirnya.
"Gue ogah makan es krim di tempat kemaren. Nyamuk semua. Bisa kena DBD gue!" Radit langsung mengemukakan pendapatnya.
Kemarin mereka makan es krim di taman bermain anak-anak yang sudah ditinggalkan. Di sana ada kolam kecil yang digenangi air hujan, tempat para koloni nyamuk berkembang biak, menambah pasukan, memperluas daerah kekuasaan.
"Kalo lo kena DBD gue jengukin ke rumah sakit sama Sasha. Pasti gue bawain buah sama roti. Ya, Sha?"
Sasha mengangguk. Bukan berarti ia setuju, hanya saja gadis itu sedang sibuk dengan ponselnya.
"Najis! Gue tahu banget lo bakal bawa jeruk busuk sama roti jamuran. Kayak pas gue demam."
"Fitnah lo! Gue gak tahu roti yang gue beli itu jamuran. Gue ditipu, Oncom!" Tangan Gathan mencoba menggapai kepala Radit, ingin menggeplaknya, namun tak sampai.
"Beli roti aja ditipu. Tolol lo keluberan."
Gathan sudah nyap-nyap mau nampol mulut pintar Radit ketika Sasha menjerit. "Diem lo berdua! Gue gak kuat dua hari sekali ngeliat lo berdua jambak-jambakan kayak geng cabe-cabean!"
Berdehem Radit dan Gathan dengan kompak. Berlagak sok cool. Sasha bisa jadi beringas bila sudah niat menghentikan mereka berdua untuk bertengkar ria.
Baik Gathan maupun Radit tahu benar bahwa Sasha pasti sedang perang chat dengan kakaknya yang mirip papah-papah-kolot-yang-punya-anak-perawan itu hingga jadi emosi begini.
"Si Karel, nih, makin mirip emak tiri. Tiap hari ngomel mulu. Pakek ngancem-ngacem gak bukain pintu lagi. Gue jejelin sianida juga, nih, orang entar," omel Sasha.
"Istighfar, Sha," Radit mengingatkan. Wajah tololnya dikalem-kalemkan.
"Ya, udah, yuk, ke rumah gue. Males gue diomelin Karel sendirian."
"Tapi di kasih makan, 'kan?" Gathan cepat tanggap.
"Kita nge-sop ginjal Karel."
***
Sasha melirik sengit Karel yang duduk di ujung meja, bersebelahan dengan Fanala yang merupakan sahabat baik kakaknya itu. Ingin rasanya ia menjambak rambut Karel sampai botak.
"Lagi pada ngapain?" tanya Farrel, kakak sepupu Sasha. Ia datang memasuki dapur seraya menggulung lengan kemejanya.
Farrel dan Karel itu sangat berbeda. Yang satu sangat lembut berbicara dengan adiknya, yang satu sepedas oseng-oseng mercon semut rangrang.
"Biasa, Kak, Karel ribut sama Sasha," Fanala menjawab. Agak terlalu kentara bahwa ia senang dapat menjawab pertanyaan itu.
"Ribut lagi?" tanya Farrel lelah.
"Sasha, tuh, yang minta dimarahin mulu!"
"Gue gak minta, Oncom!"
"Sasha," Farrel menegur, lembut.
"Karel, tuh, Kak, ngeselin banget. Tiap hari marah-marah mulu kayak emak tiri." Sasha merengut. "Aku dapet nilai ulangan kecil di bentak-bentak, di hina-hina, dikatain kebanyakan makan micin. Kayak dia pinter-pinter aja!"
"Gue emang pinter, ya!"
Sasha mendengus. "Gak usah sok! Lo kira gue gak tahu buku-buku SMA lo udah kayak perternakan ayam petelur."
Radit dan Gathan mendengus menahan tawa. Seketika Karel mendelik tajam.
Gathan mengalihkan pandang dan menangkap wajah Fanala yang tengah saling melempar senyum dengan Farrel. Sudah semacam rahasia umum di antara dirinya dan dua sahabatnya bahwa Fanala menyukai Farrel sejak lama... sekali. Hanya saja Farrel tampaknya tak merasakan hal yang sama, malah Karel yang jatuh hati pada sahabat kecilnya itu. Lucu bukan? Mereka bertiga sudah bersahabat sejak kecil, bahkan barangkali lebih dekat dari ia dan Radit serta Sasha yang bertemu semasa MOS SMA, tapi terlibat hubungan segitiga. Ia hanya berharap persahabatannya dengan Radit dan Sasha tak berakhir seperti itu. Walau sebetulnya ia agak khawatir Sasha baper padanya.
Sejenak hening, hanya suara denting gelas Farrel yang beradu dengan lantai tempat cuci piring yang terdengar sekali selain suara kunyahan Gathan yang terus memamah. Radit yang duduk di kiri Sasha memandang wajah gadis itu dan kakak laki-lakinya bergantian, juga sosok Gathan yang sibuk mengunyah stick pocky ala iklannya.
"Kakak cuma gak mau kamu ngerasa kesulitan dan nyesel kayak kakak pas mau ujian nanti," Karel membuka suara, tenang. Nadanya sudah sepenuhnya berubah. Lelah. Menyerah. "Dan masuk perguruan tinggi negeri yang bagus itu gak gampang, Dek."
Dalam sekejap Farrel sudah menghilang dari dapur, diikuti Fanala kemudian. Radit pun ijin ke toilet. Sementara Gathan yang tak peka, harus diseret Radit untuk ikut menjauh dari meja makan itu. Itu hanya obrolan antara kakak dan adik.
"Kakak sayang sama kamu makanya Kakak sering marah kalo kamu salah. Mama sama Papa nitipin kamu ke kakak. Dan Kakak cuma ngelakuin yang terbaik yang Kakak bisa."
Sasha yang sejak tadi mendelik pada Karel kini tertunduk. Titik-titik air mata mulai membasahi meja kayu yang berwarna hangat dihadapannya.
Ia tak pernah tahan jika kakaknya bicara dengan lembut dan menyangkut orang tua mereka."Kamu pasti inget kalo Mama sama Papa pengen anak-anaknya masuk universitas yang sama kayak mereka."
Sasha mengangguk kecil. Air matanya masih mengalir, kian deras.
"Seenggaknya cuma itu yang kita benar-benar tahu mereka mau, Dek."
Sedu-sedan Sasha kian terdengar. Rasanya sakit sekali diingatkan akan hari itu. Di mana orang tuanya meninggal dalam kecelakaan sepulang dari acara pembagian rapor di sekolahnya. Mereka bercanda, seraya berharap anaknya dapat masuk ke universitas negeri yang sama dengan mereka, di mana mamanya juga mengajar sebagai salah satu dosen.
"Woy, Rel! Lo apain temen gue?!" teriak Gathan yang muncul ambang pintu, diikuti Radit.
"Dia adek gue, Bego," ujar Karel malas. Ia tak ada niat untuk berdebat dengan dua idiot itu kini. Sehingga ia memutuskan untuk pergi dari dapur, meninggalkan Sasha bersama dua kawan yang tak beres otaknya itu.
Gathan mendelik pada Karel. Ia dan Radit kemudian mendekati Sasha yang masih menangis seraya mengusap air mata layaknya anak kecil. Memposisikan diri di kanan-kirinya.
Tangan Gathan lembut mengusap rambut sahabat perempuannya itu. Sementara Radit berlutut, memasang wajah paling imut yang ia bisa. Tangannya berkerja menghapus air mata Sasha, sedang mulutnya berkata, "Sasha kita mau es krim? Nanti Radit beliin yang banyak. Tapi jangan nangis lagi, ya?"
Gathan hampir muntah. Namun Sasha malah tertawa diantara isaknya. Ya, walaupun cara Radit itu membuat Gathan jijik, diri sendiri malu, tapi setidaknya selalu berhasil.
"Jijik gue, Dit. Untung ganteng lo. Kalo gak udah diludahin Sasha."
***
Fanala membayarkan sejumlah uang pada pengemudi ojek online yang mengantarnya. Sebab hari ini Karel sedang ada kegiatan UKM, jadi tak bisa menjemputnya dari studio tempat ia mengajar piano.Lelah sekali rasanya. Fanala berbalik, melangkah mendekati kontrakannya. Bermain piano itu menyenangkan, tapi mengajari pemula yang bebal itu membuat ia lelah hati. Sabarnya benar-benar diuji."Aaaaaaaa!!!"Suara teriakan mengejutkan Fanala ketika ia sudah memasuki pelataran kontrakannya. Ia berbalik, menemukan kembali senyumnya yang pudar sejak memasuki studio piano siang tadi.Guk! Guk!Fanala betul-betul tak habis pikir, apa sih yang dilakukan Gathan dan Radit hingga dikejar-kejar anjing seperti itu. Tak heran Karel bernapsu sekali menjauhkan adiknya dari mereka berdua.Saat dua sahabat Sasha itu sudah tak terlihat lagi, Fanala segera melajutkan langkahnya yang terasa lebih ringan. I
Angin malam berhembus. Gathan memasukan tangannya ke dalam saku. Ia baru pulang dari rumah Sasha dan berniat jalan kaki sejenak, mencari angin.Ponselnya berdering. Reminder. Ia sudah tahu. Ia mengaturnya hanya untuk berjaga-jaga karena takut lupa, walau belum pernah terjadi sejauh ini.Tak terasa, Gathan sudah berjalan lumayan jauh. Menoleh ia ketika melewati kontrakan Fanala.Ponselnya berdering lagi, hanya bunyinya kali ini berbeda. Gathan mengangkat sambungan dari ibunya itu."Kenapa, Mi?... Iya ini Gathan bentar lagi pulang... Iya... Sayang Mimi."Ia segera memesan ojek online, yang sampai tak lama kemudian. Selama perjalanan diperiksanya galeri ponsel yang penuh foto Sasha. Nyaris semua tak berkualitas. Begini bila punya sahabat perempuan, galeri harus dibersihkan setiap beberapa hari sekali.Gathan mendesis. "Menuh-menuhin memori," gumamnya.
Sasha: Than, mau ikut gue ke tempat Kak Nala gak? Gue udah di depan rumah lo nih. Gathan agak tak paham, Sasha itu ngajak tapi kok, sudah stand by saja di depan. Barangkali ini di sebut awalnya ngajak, akhirnya maksa.Jari Gathan pun mengetik balasan: Gue mau mandi dulu. Di depan panas tuh kayaknya. Kalo gak mau otak lo makin kering, mending lo masuk. Gathan beranjak dari tempat tidur. Kaos yang dikenakannya sejak kemarin kusut di banyak tempat. Dihelanya handuk dari gantungan.
"Heran gue, segitu napsunya dia berharap gue yang ngasih.""Idih!" Sasha mengernyitkan hidungnya. "Dia gak berharap lo ngasih. Dia berharap ketemu sama orang yang selalu ngasih dia bunga matahari setiap Minggu sejak dia kecelakaan dua tahun yang lalu."Gathan, Radit, dan Sasha tengah berdiri di teras kelasnya yang ada di lantai tiga. Mereka memandangi murid-murid berlalu lalang melintasi lapangan basket seraya mengunyah permen karet."Kecelakaan? Kalo gitu jelas dong, yang ngasih yang nabrak Kak Nala. Karena dia ngerasa bersalah," ujar Radit. Seusai meletupkan gelembung yang dibuatnya."Kak Nala gak di tabrak, Radit yang ganteng.""Terus, Sasha yang cantik?" Gathan yang menyahut."Dia kecelakaan pas dianter Kak Farrel pulang pakek motor. Soalnya waktu itu hujan, jadi jalanan licin, Gathan yang kurang ganteng.""Kerajinan banget ngasih bunga tiap minggu sel
Dengan rambut terbalut handuk, Fanala mematut diri di depan cermin. Jemarinya meratakan moisturizer ke wajah. Hari ini tanggal merah, jadi ia bisa agak santai. Tak ada agenda apapun hari ini, selain janjian bimbel dengan Sasha yang dilakukan dadakan. Ia berpikir agak kurang efektif mengajari Sasha hanya satu minggu sekali, jadi kapan pun ada waktu ia usahankan untuk mengatur jadwal dengan adik sahabatnya itu.Usai memakai liptint, Fanala melepas handuk dari kepalanya dan bersisir. Kemudian ia keluar kamar untuk menyibak gonden dan pergi berjemur di halaman sejenak sembari mengeringkan rambut.Cahaya matahari seketika membanjiri ruang duduk Fanala yang sederhana saat ia menaraik terbuka gonden biru penutup dua jendela kecil tempat tingggalnya. Hangat dan menyenangkan. Diputarnya kunci dan melangkah melewati ambang pintu.Fanala menutup mata, merasakan cahaya matahari yang menerpanya. Nyaman sekali. Dihelannya napas panjang,
Gloomy.Gathan membaca snapwhatsaap kontak bernama 'Fanala the next'. Unggahan itu berlabel 'just now'. Padahal sekarang sudah pukul setengah dua pagi. Apa gadis itu sedang banyak tugas? Padahal tampaknya Fanala bukan tipe gadis yang menunda-nunda tugas, apalagi kemari tanggal merah, Sasha juga membatalkan janji mereka.Begadang, Fan? Gathan mengomentari posting-an milik Fanala. Tak segera ia keluar, menunggu dua centang biru sebab gadis itu tengah online.Posisi Gathan yang tadi terlentang sekonyong-konyong berubah tengkurap ketika yang dinanti terwujud dan tulisan typing tertangkap netra. Ada senyum di matanya.Susah tidur. Lo sendiri ngapain belum tidur? Ngerjain tugas? B
Malam ini berangin. Membuat Gathan merapikan rambutnya berkali-kali. Dalam balutan celana jeans dengan atasan kaos yang di tutup jaket danim tak terkancing. Ia nampak jauh lebih baik dari penampilan biasanya dengan seragam penuh keringat.Ia ada di depan rumah kecil yang di sewa Fanala. Tujuannya jelas, mengambil earphone. Tidak ada yang lain.Sejenak ia berdehem sebelum mengetuk pintu."Fan, Fanala!" panggilnya.Tak ada jawaban. Dicobanya lagi. Kembali tak ada sahutan. Apa Fanala sudah tidur? Atau gadis itu sedang keluar?Celingak-celinguk Gathan ke kanan-kiri. Ia melogak jendela di sisi pintu, tak terlihat apapun.Sudahlah, pikirnya, lebih baik besok malam saja. Tampaknya ia kurang beruntung hari ini.Ia berbalik."Kenapa, Than?""Astagfirullahalazim!" Gathan terlonjak, terkejut dengan kehadiran Fanala yan
"Gak nyangka ya tinggal beberapa bulan lagi kita lulus," ujar Sasha pada Radit dan Gathan yang digandengnya kanan-kiri melintasi halaman. Pakaiannya sekarang sudah lain 180 derajat dari kemarin. Roknya sudah semata kaki, bajunya panjang dan longgar. Berkat paket yang di antar ke rumah kemarin menggunakan jasa ojek online. Pengirimnya--jelas--Radit. Sebab satu-satunya hal yang pernah Gathan berikan padanya hanya ucapan selamat ulang tahun dan hadiah finger heart. Dengan murah hati--atau memang menganggapnya gendut, Radit memberikan seragam dalam segala ukuran termasuk XL. Manis sekali bukan? Tak seperti Gathan yang merasa bahwa finger heart-nya merupakan hadiah termanis. Tapi tetap saja rasa sayangnya pada mereka berdua sama besarnya. "Gue nyangka," Gathan menyahut. Orang satu ini memang tak bisa untuk menahan lidahnya. "Inget, ya, lo berdua harus masuk universitas yang sama sama gue. Gak boleh enggak,"
"Mau lo hitungin berapa kali juga, jumlah bunga matahari itu gak akan bertambah, Fan," ujar Gathan yang baru datang, melihat Fanala di tengah hari bolong ini berjongkok di hadapan pot-pot bunga mataharinya. Ia kemudian duduk di bangku di bawah rimbun pepohonan, bersandar santai.Fanala menoleh, membuat rambutnya yang sebahu itu bergoyang pelan. Matanya mendelik pada Gathan. "Tahu gue, tuh! Gue cuma memastikan gue gak salah hitung. Lagian lo ngapain sih ke sini? Jomblo lo, hari Minggu gini gak ada kerjaan?""Sewot banget sih, Fan. Gue tahu hari ini panas, tapi jangan marah-marah mulu lah. Cepet tua nanti, gak cantik lagi.""Apaan sih lo!" Wajah Fanala merah padam karena gombalan najis Gathan itu. Sejak ia tahu jika laki-laki yang lebih cocok jadi adiknya itu memyukainya, Fanala jadi sering merasa malu dekat-dekat dengan. "Duduk sini, Fan," ujar Gathan, menepuk bangku kosong di sisinya. "Panas kan di situ."Fanala berdehem sebelum bangkit berdiri lalu duduk di sisi Gathan. Ia heran, in
Sasha meletakkan satu buket bunga matahari di atas makam yang ditutup marmer hitam. Ia berjongkok di sisi makam itu, membersihkan daun-daun kering yang jatuh di atas nisan."Sayang, ya, Than, lo baru pulang setelah gak gue gak bisa ngajak lo main lagi. Padahal banyak yang pengen gue lakuin bareng sama lo kalo pulang lebih awal."Sudah setahun lebih Gathan meninggal. Sasha amat terpukul saat itu. Ia bahkan sempat pingsan dua kali ketika jasad Gathan tiba di Jakarta. Setelah delapan tahun pergi, Gathan pulang tinggal nama. Pedih sekali rasanya."Than, di sana gak ada Kak Nala, kan?" tanya Sasha, menepis air matanya yang jatuh tanpa diminta. "Kita di sini masih terus nyari Kak Nala walaupun polisi udah nyerah. Kak Nala terakhir terlihat di cctv terminal yang gak jauh dari pantai. Dan gak ada petunjuk lagi setelah itu. Kadang-kadang, saat gue kehilangan harapan, gue sering bertanya-tanya apa Kak Nala ada di laut? Apa dia terjebak di dasar lautan? Kesepian."Sebetulnya menyimpulkan bila K
"Udah bisa dihubungi Kak Nalanya, Dek?" tanya Bunda, muncul di pintu belakang. Sejak pagi beliau memintanya menghubungi Kak Nala karena beliau juga tak bisa menghubunginya."Belum, Bun. Masih gak aktif," sahut Sasha yang sedang duduk di beranda belakang, menonton Ayah membersihkan kandang burung-burung peliharaanya.Bunda mengernyit khawatir. "Kak Nala gak kenapa-kenapa kan ya? Bunda jadi khawatir.""Bunda udah selesai masaknya?" tanya Ayah."Iya," sahut Bunda."Beresin aja makanan yang mau dikasi ke Nala. Nanti Ayah sama Sasha yang anterin ke sana," ucap Ayah. Membuat Bunda berbalik masuk ke dalam, membereskan makanan yang ia buat untuk Kak Nala. Makanan itu jugalah yang jadi alasan Bunda mencoba menghubungi Kak Nala sejak pagi."Dua minggu yang lalu, Kak Nala ke sini mau ngapain, Dek?" tanya Ayah. Beliau menggantung kembali kandang-kandang burung yang sudah bersih."Mau ngomong sama Vira. Tapi Adek gak nanya ke Kak Nala sama Vira mereka ngomongin apa. Nanti dikira kepo lagi. Tapi ka
Sasha membawa Radit menjauh dari rumahnya. Ia tak ingin laki-laki itu bertemu dengan anggota keluarganya. Ini saja ia harus menjelaskan pada Kak Nala tentang Radit dan memintanya tak memberi tahu pada Kak Karel."Mau ngapain sih lo?" tanya Sasha setelah bukam sepanjang perjalanan menuju taman komplek yang sepi ini. Ia duduk di salah satu bangku mendahului Radit.Radit mengikuti Sasha, duduk di sisi gadis itu. Tanpa menyadari kedekatan yang ia ciptakan membuat jantung Sasha berdebar tak santai. "Elo sih gue telepon gak diangkat, gue chat gak dibaca.""Lo yang ngapain nelepon dan nge-chat gue?!" ucapa Sasha galak, mencoba bersuara lebih keras dari degup jantungnya. "Lo kan takut banget tuh ketahuan sama istri lo," cibirnya."Gue takut karena gue sayang sama Kala, Sha. Kalania, nama istri gue.""Gue gak pengen tahu nama istri lo," balas Sasha ketus.Hening. Radit tampaknya tak siap akan sikap Sasha yang begitu tak acuh padanya. Gadis dengan pandangan terluka yang ia lihat malam itu tamp
Setelah hari itu, Arbii beberapa kali berusaha menghubunginya, namun Fanala tak pernah mengangkatnya. Laki-laki itu bahkan datang ke rumah dan kantornya, menunggunya hingga larut, tapi Fanala tetap kukuh tak mau menjumpainya. Meski merasa kasihan, Fanala cukup keras hatinya mengingat ini untuk kebaikan Arbii itu sendiri.Selama dua minggu belakangan ini, Fanala sangat menyadari jika satu persatu hubungannya putus atau merenggang parah. Pertama, dengan kedua orang tuanya, yang tak pernah lagi menghubunginya atau dihubungi olehnya sejak Papa mengabari mereka telah tiba di Surabaya. Lalu, hubungan pekerjaannya yang di ujung tanduk, hanya tinggal dua minggu tersisa sebelum hubungan itu benar-benar putus. Kemudian, hubungannya dengan Arbii dan keluarganya yang kini tinggal kenangan. Dan kini hubungannya dengan Karel lah yang harus diputuskan.Fanala menghela napas, sebelum menghubungi Karel untuk memberi tahu laki-laki itu jika ia tengah berada di lobi kantornya. Karel yang ia minta turun
"Fan, aku agak telat gak apa-apa, ya? Kamu belum berangkat, kan?""Iya, gak apa-apa, Ar. Santai aja.""Oke. Tinggal satu janji lagi kok, abis itu aku langsung berangkat.""Iya, Ar."Fanala memutuskan sambungan dan meletakkan ponselnya di sisi ice americano-nya yang sudah tak lagi telalu dingin. Ya, ia berbohong pada Arbii tentang keberangkatannya. Ia sudah tiba di tempat janjian mereka sekitar setengah jam yang lalu. Ia hanya tak mau Arbii merasa tak enak karena membiarkannya menunggu. Cafe tempat Fanala kini berada kian ramai oleh pengunjung yang berpakaian rapi. Ia menduga mereka seperti dirinya—pegawai kantoran yang baru pulang kerja. Namun meski cafe itu mulai ramai, Fanala masih dapat mendengar jelas lagu yang tengar diputar: If Tomorrow Never Comes. Lagu favorit Gathan. Lagu pertama yang ia tahu dari laki-laki itu.Ini sudah kali kedua Fanala mengunjungi cafe ini, dan dua kali juga ia mendengar lagu ini diputar di sini. Entah ini kebetulan, pemiliknya memang suka lagu ini, atau
Sebagimana biasanya saat seseorang akan mengundurkan diri, akan ada waktu tunggu selama sebulan sebelum benar-benar off work. Waktu satu bulan itu akan digunakan perusahaan untuk mencari kandidat penggantinya dan Fanala harus mendelegasikan tugas-tugasnya pada penggantinya nanti.Saat sarapan tadi, Bang Dwiki sama sekali tak mencoba membujuknya, beliau hanya bertanya apa alasannya ingin mengundurkan diri. Dan saat Fanala menjelaskan alasannya, Bang Dwiki langsung menyetujui keputusannya dan menerima pengunduran dirinya. Namun Bang Dwiki berkata jika suatu saat nanti Fanala ingin kembali, ia akaj dengan senang hati menerimanya kembali bekerja untuk perusahaannya.Jadi kini Fanala mengendarai mobilnya pulang dengan perasaan sedikit lebih ringan, ada beban yang telah terangkat. Ia sudah menyelesaikan masalah dengan kantor. Sekarang ia akan menyelesaikan masalah dengan orang tuanya. Selanjutnya dengan Arbii dan keluarga laki-laki itu, dan terakhir masalah Karel dan Vira. Setelah itu ia be
Fanala turun dari ranjang pada pukul lima pagi. Jangan ditanya ia tidur atau tidak. Jawaban itu langsung nampak pasa kantong matanya yang menghitam. Meski lelah luar biasa dan tak dapat tertidur sama sekali semalam, Fanala berusaha berjalan senormal mungkin menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri.Lama Fanala berada di kamar mandi sebab sejak kemarin ia sama sekali belum membersihkan diri. Ia bahkan menyempatkan diri untuk memakai lulur badar dan masker rambut juga scrubing wajah. Ia burusaha terlihat seperti Fanala yang biasa. Fanala yang rapi, bersih, dan terawat baik. Kacaunya pikirannya tak perlu lah tampak lagi dari penampilan luarnya. Cukup kemarin saja. Hari ini ia harus sudah tampak seperti biasanya.Selepas keluar dari kamar mandi, Fanala langsung mengaplikasikan rangkaian produk perawatan kulit pada wajahnya sebelum wajahnya benar-benar kering. Kemudian ia mengeringkan rambutnya lalu menatanya menjadi sesikit bergelombang. Setelah rambutnya rapi dan wajahnya terpoles make
Karel agak terkejut saat Sasha membukakan pintu bahkan sebelum kakinya menyentuh teras rumah. Ia lebih terkejut lagi mendapati semua anggota keluarganya yang tinggal di rumah ini masih tergaja dan duduk-duduk di ruang tamu. Ini rumah mereka baru saja kedatangan tamu atau mereka sedang menunggunya pulang? Ia akan sangat terharu bilang mereka memang sedang menunggunya pulang. Apalagi dengan Vira yang sudah beberapa hari ini bersikap dingin pasanya."Nungguin aku pulang?" tanya Karel setelah melewati ambang pintu yang telah dikatup Sasha kembali."Gak usah pede banget," cela Sasha dari balik punggung Karel."Terung ngapain belum pada tidur dan malah ngumpul-ngumpul di sini?" tanya Karel heran. Mana mungkin tidak? Setiap kali ia sungguhan lembur dan pulang malam, rumah pasti sudah gelap dan semua orang telah terlelap—ya, kecuali Vira. Namun Vira pun akan menunggunya di kamar, bukan di ruang tamu macam sekarang."Tante Rieke masuk rumah sakit," sahut Bunda. Wajahnya berkerut cemas. Hal itu