Angin malam berhembus. Gathan memasukan tangannya ke dalam saku. Ia baru pulang dari rumah Sasha dan berniat jalan kaki sejenak, mencari angin.
Ponselnya berdering. Reminder. Ia sudah tahu. Ia mengaturnya hanya untuk berjaga-jaga karena takut lupa, walau belum pernah terjadi sejauh ini.
Tak terasa, Gathan sudah berjalan lumayan jauh. Menoleh ia ketika melewati kontrakan Fanala.
Ponselnya berdering lagi, hanya bunyinya kali ini berbeda. Gathan mengangkat sambungan dari ibunya itu.
"Kenapa, Mi?... Iya ini Gathan bentar lagi pulang... Iya... Sayang Mimi."
Ia segera memesan ojek online, yang sampai tak lama kemudian. Selama perjalanan diperiksanya galeri ponsel yang penuh foto Sasha. Nyaris semua tak berkualitas. Begini bila punya sahabat perempuan, galeri harus dibersihkan setiap beberapa hari sekali.
Gathan mendesis. "Menuh-menuhin memori," gumamnya.
Jari Gathan berhenti pada satu foto Sasha. Ada sosok blur di belakangnya. Ini jelas di rumah Sasha. Dan senyum kecil tercipta di sudut bibir Gathan.
"Makasih," ujarnya ketika memberikan uang, sausai turun di depan rumahnya. Dan ojek itu pun berlalu.
Saat berputar, Gathan mendapati gerbang terbuka. Apa ada tamu? Ia mengecek ponsel. 21.37. Selarut ini? Tak biasanya.
Tepat saat ingin melangkah masuk, sebuah mobil hitam melaju keluar dengan mantap. Mobil itu memberi klakson, Gathan pun mengangguk.
Langkah Gathan terlempar cepat menyeberangi halaman yang temaram setelah menutup gerbang. Ibunya terlihat masih terbungkus baju kerja, berdiri di ambang pintu utama.
"Mi!" panggil Gathan.
"Anak Mimi malem banget pulangnya. Dari mana?"
"Rumah Sasha," ujar Gathan terburu, sementara ibunya mengunci pintu. "Mimi baru pulang? Kok tumben."
"Iya. Ada karyawan yang ambil cuti, jadi kerjaan Mimi lumayan banyak."
"Kok bisa dianterin Om Adit?"
"Pak Adit cuma kebetulan lewat divisi Mimi dan lihat Mimi mau pulang. Jadi dia nawarin buat nganter."
"Tapi rumah kita 'kan gak searah sama rumahnya," protes Gathan. Mengekori ibunya, menuntut penjelasan.
"Mi!"
***
"Ngapa lo, Than, lihat-lihat?" suara Radit terdengar, namun pandangannya belum juga beralih dari game di ponsel. Sejak dari sekolah tadi ia terus memainkannya. "Gue masih normal ya."
"Gue juga, njir!" Gathan mendelik, menendang pantat Radit keras.
"Woy!"
Radit melupakan game-nya, mati-matian mengejar Gathan. Sasha yang mereka tinggalkan hanya mendengus, bila menjadi sahabat mereka beginilah hari-hari berlalu.
Tangan Radit mencengkram punggung kaos Gathan, kemudian menendang pantatnya. Yang diserang berputar dan meraih rambut pelaku.
"Jambak-jambakan lagi nih orang berdua," desis Sasha. Ia berlari menghampiri kedua sahabatnya. Melerai mereka.
Plak! Plak!
Sasha menggeplak kepala kopong Radit dan Gathan.
"Gak usah malu-maluin bisa gak, sih?! Gue lebih ikhlas kalo kalian berdua tonjok-tonjokan. Bukan kayak banci rebutan lapak begini! "
Kemudian Sasha berlalu, meninggalkan kedua sahabatnya.
"Perasaan gue doang apa emang kita berdua baik sama dia, tapi dia kasar banget sama kita, sih?" Gathan bertanya pada Radit seraya mengusap kepalanya.
"Kita baik, tapi idiot," Radit menyahut, menyusul Sasha.
Gathan dan Radit berdiri di belakang Sasha. Menanti pintu di buka. Tak lama kemudian, Fanala muncul dengan rambut basah dan berantakan khas baru selesai mandi. Di tangannya ada handuk. Dan Gathan mengenali aroma yang menusuk hidungnya. Sabun Dethol. Sampo Rejoice. Sebab ia menggunakan produk yang sama.
"Masuk dulu, gue mau ngeringin rambut."
Sementara Fanala menghilang di balik sebuah pintu yang pasti kamarnya, Gathan, Radit dan Sasha duduk menunggu di depan televisi yang kalah tinggi dengan tumpukan buku. Mereka bertiga kompak memilih lantai daripada sofa empuk berwarna coklat.
Gathan tak menghiraukan Radit yang tengah membujuk Sasha yang merajuk. Padahal itu tak perlu, sebab rasa kesal Sasha pada mereka berdua akan hilang sendiri dalam setengah jam. Ia sudah hafal.
Ada sebuah lukisan besar padang bunga matahari di salah satu dinding. Cantik sekali. Menenggelamkan Gathan ke dalamnya. Membayangkan...
"Karel bilang gak kalo gue gak bisa ngajarin tiap hari, Sha?"
Fanala muncul dari dalam kamar, rambut pendeknya dijepit setengah menggunakan jepit rambut berhias bunga matahari.
Sasha mengangguk. "Gue juga gak mau tiap hari, Kak. Hehe." Ia nyengir.
Fanala tersenyum. Paham. Ditempatinya posisi di sebelah Gathan, di seberang Sasha.
"Jadi lo mau ambil soshum apa saintek?" Fanala melipat tangan di atas meja.
"Soshum. Kayaknya gak tau diri banget kalo gue ambil saintek."
"Gak juga sih, Sha. Gue anak IPA tapi ambil soshum."
"Itu emang karena anak IPA hobi ambil lahan anak IPS," canda Sasha.
"Kan gak ada yang nyuruh anak IPS gak ngelakuin hal yang sama."
Gathan memperhatikan Sasha dan Fanala. Takut bila terjadi perang antara anak IPA dan IPS. Namun hal yang ditakutkannya tak terjadi tatkala Fanala lanjut berkata.
"Oke, kita belajar persamaan kuadrat dulu hari ini. Kita bahas dari yang paling dasar. Jadi..." Fanala meraih pensil dan buku yang barus saja Sasha keluarkan. Ia menulis sebuah persamaan yang tampak sederhana sekali.
"Coba kerjain dulu ini."
Sasha menerima buku itu. Ia memandangin soal itu.
"Kak..."
"Sebisanya, Sha... Gue mau tahu kemampuan lo."
"Kemampuan matematika gue nol besar. Sulit."
"Biar aku saja," Radit menyahut.
Sasha menoleh, pandangannya berjumpa dengan sahabat tampannya. Hanya dua detik bertahan, keduanya kembali pada kegiatan masing-masing. Sasha pada soalnya, Radit pada ponselnya. Sementara dua orang yang lain cuma bisa saling melirik dengan canggung.
"Beli camilan sana, Than. Jangan bengong-bengong doang lo," Sasha bersuara. Tak tahan pada keheningan. Membuatnya merasa disudutkan.
Gathan berdiri. "Uang, Dit."
Enaknya punya teman seperti Radit, uang ngalir kayak air mata cewek yang ditinggalin pas lagi sayang-sayangnya. Lancar.
Gathan berangkat ke Indomaret dekat halte depan. Membeli semua camilan favoritnya yang tak mengandung kacang, sebab Fanala alergi pada kacang sama seperti Radit. Setelah mendapatkan semua yang ia inginkan, Gathan berjalan kembali ke kontrakan Fanala.
"Tanpa kacang." Gathan menumpahkan belanjaannya di atas meja yang ditebari beberapa buku paket. Karena tindakannya itu, ia mendapat tatapan sinis dari Fanala.
"Gue kan suka kacang," Sasha memulai.
"Di sini ada dua orang alergi, Sha. Lo harus belajar jadi orang pengertian kayak gue."
"Dua?" Radit menyahut.
"Lo sama Fanala," Gathan menjawab, ringan. Ia meraih satu bungkus keripik.
"Dari mana lo tahu?" tanya Fanala.
"Sasha," sahutnya sederhana di antara kunyah.
"Masa sih? Gue aja lupa." Sasha merasa heran. Tak biasanya Gathan ingat sesuatu seremeh itu.
Selanjutnya Sasha belajar dengan serius. Sesekali mereka bercanda saat sesi istirahat, meledakkan ruangan kecil itu dengan tawa. Fanala paling suka sesi cerita tentang Gathan dan Fira bersama permusuhan mereka di sekolah. Ia tampak gembira sekali.
Setelah lama kemudian, barulah mereka bersiap beranjak pergi dari rumah Fanala. Sasha sudah kelelahan mental. Tiga jam ini adalah salah satu waktu tersulit dalam hidupnya.
"Nanti gue kabari kapan pelajaran selanjutnya, ya, Sha?"
Sasha mengangkat tangannya, membetuk tanda 'ok'. Lalu mengekori Radit keluar.
"Than," panggil Fanala.
Gathan yang telah melangkah ke ambang pintu itu pun menoleh. Mereka saling berpandangan. Ia mengangkat alisnya.
"Tolong tutup pintunya, ya. Makasih."
Gathan mengangguk. Sudah, begitu saja.
Fanala kembali menunduk membaca sebuah buku tebal tentang Ekonomi. Namun sesaat pintu hendak terkatup, gadis itu berpaling. Membuat pandangan mereka sempat bertemu dalam celah sempit. Fanala dan Gathan.
Sekonyong-konyong Gathan menghela napas darurat, seolah ia ketinggalan satu ritme napas.
***
Jalanan basah bekas gerimis magrib tadi. Gathan mendorong pintu kaca sebuah toko bunga, membunyikan lonceng yang tergantung di atas pintu. Seorang gadis berambut pendek yang berdiri di depan konter menoleh. Wajahnya yang dipoles make up sederhana begitu dikenal Gathan. Walau ia tampak berbeda dalam balutan gaun berpotongan sederhana berwarna coklat muda.
Gathan menghampiri Fanala yang tersenyum biasa, namun ia berpaling untuk menghadapi karyawan di seberang konter.
"Satu buket bunga matahari," Gathan berujar. Kemudian menoleh pada Fanala. "Hai. Mau ada acara?"
Fanala mengangguk. "Murid gue ikut lomba gitu hari ini."
Murid?
Sebuah pemahaman meliputi wajah Gathan sedetik kemudian.
"Piano?"
Lagi, Fanala mengangguk. "Lo sendiri?"
"Nyokap gue ulang tahun hari ini."
"Gue gak tahu biasanya cowok inget hari ulang tahun ibunya."
"Gak banyak tanggal ulang tahun yang harus gue ingat."
Memang benar. Hanya ibunya, Radit, Sasha, dan... Hanya itu. Betul-betul tak banyak.
"Gue kira cowok cuma inget tanggal ulang tahun ceweknya," ejek Fanala.
"Gue kira," Gathan meniru nada mengejek Fanala, "gue bukan salah satu dari cowok sejenis itu. Karena kalo gue sampe lupa hari ulang tahun Sasha dan cuma inget hari ulang tahun cewek gue, di-blacklist gue dari hidupnya. Dan Sasha lebih berarti dari gabungan semua mantan gue."
Fanala tersenyum. "Gue harap Karel juga berpikir gitu," ujarnya iri. Lalu itu meraih buket bunganya yang telah selesai. Seraya Fanala membayar, Gathan memandanginya.
"Duluan, ya, " pamit Fanala.
Gathan mengangguk singkat. Matanya terus mengikuti Fanala. Ia bahkan sadar saat gadis itu berhenti sejenak untuk menatap sebuah pot bunga matahari berukuran sedang.
Beberapa menit kemudian Gathan keluar dari toko itu dengan buket besar dalam genggamannya. Langkahnya santai menuju halte yang hanya berjarak beberapa meter.
Senyum kecil mengisi sudut bibirnya saat melihat seorang Fanala Putri Nindya tengah duduk di bangku halte ditemani seorang siswi SMA yang sama sekali tak acuh pada orang di sekitarnya. Keduanya duduk berjauh, saling menepi ke ujung bangku.
Gathan mendekat. Tangannya sibuk di permukaan buket bunga besar itu.
Sementara itu Fanala yang tampak memesona malam itu menatap ponselnya, membalas beberapa pesan dari Karel juga... Kak Farrel. Ia selalu senang setiap ada pesan dari kakak sepupu Karel itu, setidak-berarti apapun pesannya.
Fanala agak terkejut ketika setangkai bunga hadir di depan matanya. Seketika ia mengangkat muka. Sosok Gathan berdiri di hadapannya.
"Hadiah," ujar Gathan sederhana.
Fanala meraih bunga matahari dari Gathan. Sedang si mantan empunya mengambil tempat di tempat sisinya.
Alis Fanala terangkat sedikit ketika ia bertanya, "Buat?"
"Buat Ibu guru Fanala yang muridnya mau ikut lomba malam ini."
Dengan senyum Fanala mengucapkan kata terima kasih.
Sejenak tak ada yang bicara. Hanya suara kendaraan yang mengisi indra pendengaran. Fanala agak bingung ingin ngobrol apa dengan Gathan. Memang sudah lama mereka saling kenal, tapi hanya sebatas tahu nama dan terkadang saling menyapa sambil lalu. Cuma itu.
"Fan?"
"Mm?" respon Fanala. Lega karena Gathan mulai bicara. Rasanya kaku sekali bila saling bungkam.
"Bingung gue mau ngobrol apa."
Fanala tertawa. Nah, kan dia juga mengalami hal yang sama.
"Ya udah gak usah ngobrol kalo gitu."
"Gatel mulut gue kalo gak gerak. Belum lagi otak gue kayaknya kerja keras banget nyari topik. Jadi berasa lagi mau PDKT. Ngomongin apa gitu kek."
Mendengus Fanala mendengar ucapan Gathan. Ada-ada saja.
"Itu sekarang udah ngomong."
Diam lagi keduanya. Fanala melirik Gathan yang kelihatannya tengah berjuang keras mencari bahan obrolan dengan otak—yang menurut Karel—kopong. Seraya berpikir, Gathan menggigiti bibir bawahnya. Ia kelihatan lucu.
Fanala merogoh tasnya. Kemudian menunjukan dua bungkus permen karet di tangannya pada Gathan.
"Biar mulut lo gak gatel. Kasian gue. Sampe kedengeran gitu otak lo ngeluh karena disuruh mikir keras." Fanala terkekeh.
"Yeee!" Gathan mengambil permen yang disodorkan padanya. "Gue gak sebego itu ya."
"Tapi kelihatannya gitu."
"Gak Karel gak temennya sama aja," keluh Gathan, yang membuat Fanala tertawa.
***
Sasha: Than, mau ikut gue ke tempat Kak Nala gak? Gue udah di depan rumah lo nih. Gathan agak tak paham, Sasha itu ngajak tapi kok, sudah stand by saja di depan. Barangkali ini di sebut awalnya ngajak, akhirnya maksa.Jari Gathan pun mengetik balasan: Gue mau mandi dulu. Di depan panas tuh kayaknya. Kalo gak mau otak lo makin kering, mending lo masuk. Gathan beranjak dari tempat tidur. Kaos yang dikenakannya sejak kemarin kusut di banyak tempat. Dihelanya handuk dari gantungan.
"Heran gue, segitu napsunya dia berharap gue yang ngasih.""Idih!" Sasha mengernyitkan hidungnya. "Dia gak berharap lo ngasih. Dia berharap ketemu sama orang yang selalu ngasih dia bunga matahari setiap Minggu sejak dia kecelakaan dua tahun yang lalu."Gathan, Radit, dan Sasha tengah berdiri di teras kelasnya yang ada di lantai tiga. Mereka memandangi murid-murid berlalu lalang melintasi lapangan basket seraya mengunyah permen karet."Kecelakaan? Kalo gitu jelas dong, yang ngasih yang nabrak Kak Nala. Karena dia ngerasa bersalah," ujar Radit. Seusai meletupkan gelembung yang dibuatnya."Kak Nala gak di tabrak, Radit yang ganteng.""Terus, Sasha yang cantik?" Gathan yang menyahut."Dia kecelakaan pas dianter Kak Farrel pulang pakek motor. Soalnya waktu itu hujan, jadi jalanan licin, Gathan yang kurang ganteng.""Kerajinan banget ngasih bunga tiap minggu sel
Dengan rambut terbalut handuk, Fanala mematut diri di depan cermin. Jemarinya meratakan moisturizer ke wajah. Hari ini tanggal merah, jadi ia bisa agak santai. Tak ada agenda apapun hari ini, selain janjian bimbel dengan Sasha yang dilakukan dadakan. Ia berpikir agak kurang efektif mengajari Sasha hanya satu minggu sekali, jadi kapan pun ada waktu ia usahankan untuk mengatur jadwal dengan adik sahabatnya itu.Usai memakai liptint, Fanala melepas handuk dari kepalanya dan bersisir. Kemudian ia keluar kamar untuk menyibak gonden dan pergi berjemur di halaman sejenak sembari mengeringkan rambut.Cahaya matahari seketika membanjiri ruang duduk Fanala yang sederhana saat ia menaraik terbuka gonden biru penutup dua jendela kecil tempat tingggalnya. Hangat dan menyenangkan. Diputarnya kunci dan melangkah melewati ambang pintu.Fanala menutup mata, merasakan cahaya matahari yang menerpanya. Nyaman sekali. Dihelannya napas panjang,
Gloomy.Gathan membaca snapwhatsaap kontak bernama 'Fanala the next'. Unggahan itu berlabel 'just now'. Padahal sekarang sudah pukul setengah dua pagi. Apa gadis itu sedang banyak tugas? Padahal tampaknya Fanala bukan tipe gadis yang menunda-nunda tugas, apalagi kemari tanggal merah, Sasha juga membatalkan janji mereka.Begadang, Fan? Gathan mengomentari posting-an milik Fanala. Tak segera ia keluar, menunggu dua centang biru sebab gadis itu tengah online.Posisi Gathan yang tadi terlentang sekonyong-konyong berubah tengkurap ketika yang dinanti terwujud dan tulisan typing tertangkap netra. Ada senyum di matanya.Susah tidur. Lo sendiri ngapain belum tidur? Ngerjain tugas? B
Malam ini berangin. Membuat Gathan merapikan rambutnya berkali-kali. Dalam balutan celana jeans dengan atasan kaos yang di tutup jaket danim tak terkancing. Ia nampak jauh lebih baik dari penampilan biasanya dengan seragam penuh keringat.Ia ada di depan rumah kecil yang di sewa Fanala. Tujuannya jelas, mengambil earphone. Tidak ada yang lain.Sejenak ia berdehem sebelum mengetuk pintu."Fan, Fanala!" panggilnya.Tak ada jawaban. Dicobanya lagi. Kembali tak ada sahutan. Apa Fanala sudah tidur? Atau gadis itu sedang keluar?Celingak-celinguk Gathan ke kanan-kiri. Ia melogak jendela di sisi pintu, tak terlihat apapun.Sudahlah, pikirnya, lebih baik besok malam saja. Tampaknya ia kurang beruntung hari ini.Ia berbalik."Kenapa, Than?""Astagfirullahalazim!" Gathan terlonjak, terkejut dengan kehadiran Fanala yan
"Gak nyangka ya tinggal beberapa bulan lagi kita lulus," ujar Sasha pada Radit dan Gathan yang digandengnya kanan-kiri melintasi halaman. Pakaiannya sekarang sudah lain 180 derajat dari kemarin. Roknya sudah semata kaki, bajunya panjang dan longgar. Berkat paket yang di antar ke rumah kemarin menggunakan jasa ojek online. Pengirimnya--jelas--Radit. Sebab satu-satunya hal yang pernah Gathan berikan padanya hanya ucapan selamat ulang tahun dan hadiah finger heart. Dengan murah hati--atau memang menganggapnya gendut, Radit memberikan seragam dalam segala ukuran termasuk XL. Manis sekali bukan? Tak seperti Gathan yang merasa bahwa finger heart-nya merupakan hadiah termanis. Tapi tetap saja rasa sayangnya pada mereka berdua sama besarnya. "Gue nyangka," Gathan menyahut. Orang satu ini memang tak bisa untuk menahan lidahnya. "Inget, ya, lo berdua harus masuk universitas yang sama sama gue. Gak boleh enggak,"
Fan, di rumah, gak? Mau ambil earphone. Fanala mencebik membaca pesan dari Gathan. Di kirim hampir empat jam yang lalu. Tak ada niat ia membalas pesan yang terlambat di buka itu. Siapa suruh meninggalkan benda itu berulang kali. Ia mulai curiga Gathan sengaja meninggalkannya untuk suatu alasan tertentu.Studio itu sudah gelap. Kelas telah berakhir sejak satu jam yang lalu. Namun Fanala masih setia duduk di belakang sebuah piano dengan ponsel tergeletak di sisi.Fanala memainkan beberapa nada. Dadanya sesak. Piano, lagi-lagi hal yang berjalinan dengan sosok Farrel, selain bunga matahari. Karena dialah orang pertama yang mengajarinya menarikan jemari di atas tuts-tuts penuh melodi. Sulit untuk tak ingat sosoknya ketika bersentuhan dengan alat musik penuh nuansa hatam-putih ini. Menyalurkan sensasi tak nyaman di dadanya.Ia berkata akan lebih bahagia tanpa memanda
"Radit mana?""Gak ikut. Mamanya hari ini udah boleh pulang."Fanala merasa asing menemui Sasha hanya seorang diri di depan pintu. Biasanya akan ada dua remaja laki-laki yang membuntutinya. Ganjil sekali melihatnya berdiri tunggal begini."Gathan?""Mampir beli camilan dulu. Dan gue gak dibolehin ikut. Katanya gue bakalan bikin jebol kantongnya, bikin pembagian uang jajannya selama satu munggu ke depan kacau. Dasar pelit memang si Gathan. Gak kayak Radit," omel Sasha. Ia langsung bersila di atas lantai, mengeluarkan buku-bukunya di atas meja.Fanala duduk di seberang Sasha. "Jadi Radit itu semacam bendahara?""Begitulah.""Kalo lo?"Sejenak Sasha mengernyitkan alisnya, berpikir. "Ketua geng." Ia tertawa dengan candaannya sendiri. "Kalo Gathan jangan tanya, dia ngakunya visual, padahal yang beneran visual aja milih jadi bendahara. Dia itu u
"Mau lo hitungin berapa kali juga, jumlah bunga matahari itu gak akan bertambah, Fan," ujar Gathan yang baru datang, melihat Fanala di tengah hari bolong ini berjongkok di hadapan pot-pot bunga mataharinya. Ia kemudian duduk di bangku di bawah rimbun pepohonan, bersandar santai.Fanala menoleh, membuat rambutnya yang sebahu itu bergoyang pelan. Matanya mendelik pada Gathan. "Tahu gue, tuh! Gue cuma memastikan gue gak salah hitung. Lagian lo ngapain sih ke sini? Jomblo lo, hari Minggu gini gak ada kerjaan?""Sewot banget sih, Fan. Gue tahu hari ini panas, tapi jangan marah-marah mulu lah. Cepet tua nanti, gak cantik lagi.""Apaan sih lo!" Wajah Fanala merah padam karena gombalan najis Gathan itu. Sejak ia tahu jika laki-laki yang lebih cocok jadi adiknya itu memyukainya, Fanala jadi sering merasa malu dekat-dekat dengan. "Duduk sini, Fan," ujar Gathan, menepuk bangku kosong di sisinya. "Panas kan di situ."Fanala berdehem sebelum bangkit berdiri lalu duduk di sisi Gathan. Ia heran, in
Sasha meletakkan satu buket bunga matahari di atas makam yang ditutup marmer hitam. Ia berjongkok di sisi makam itu, membersihkan daun-daun kering yang jatuh di atas nisan."Sayang, ya, Than, lo baru pulang setelah gak gue gak bisa ngajak lo main lagi. Padahal banyak yang pengen gue lakuin bareng sama lo kalo pulang lebih awal."Sudah setahun lebih Gathan meninggal. Sasha amat terpukul saat itu. Ia bahkan sempat pingsan dua kali ketika jasad Gathan tiba di Jakarta. Setelah delapan tahun pergi, Gathan pulang tinggal nama. Pedih sekali rasanya."Than, di sana gak ada Kak Nala, kan?" tanya Sasha, menepis air matanya yang jatuh tanpa diminta. "Kita di sini masih terus nyari Kak Nala walaupun polisi udah nyerah. Kak Nala terakhir terlihat di cctv terminal yang gak jauh dari pantai. Dan gak ada petunjuk lagi setelah itu. Kadang-kadang, saat gue kehilangan harapan, gue sering bertanya-tanya apa Kak Nala ada di laut? Apa dia terjebak di dasar lautan? Kesepian."Sebetulnya menyimpulkan bila K
"Udah bisa dihubungi Kak Nalanya, Dek?" tanya Bunda, muncul di pintu belakang. Sejak pagi beliau memintanya menghubungi Kak Nala karena beliau juga tak bisa menghubunginya."Belum, Bun. Masih gak aktif," sahut Sasha yang sedang duduk di beranda belakang, menonton Ayah membersihkan kandang burung-burung peliharaanya.Bunda mengernyit khawatir. "Kak Nala gak kenapa-kenapa kan ya? Bunda jadi khawatir.""Bunda udah selesai masaknya?" tanya Ayah."Iya," sahut Bunda."Beresin aja makanan yang mau dikasi ke Nala. Nanti Ayah sama Sasha yang anterin ke sana," ucap Ayah. Membuat Bunda berbalik masuk ke dalam, membereskan makanan yang ia buat untuk Kak Nala. Makanan itu jugalah yang jadi alasan Bunda mencoba menghubungi Kak Nala sejak pagi."Dua minggu yang lalu, Kak Nala ke sini mau ngapain, Dek?" tanya Ayah. Beliau menggantung kembali kandang-kandang burung yang sudah bersih."Mau ngomong sama Vira. Tapi Adek gak nanya ke Kak Nala sama Vira mereka ngomongin apa. Nanti dikira kepo lagi. Tapi ka
Sasha membawa Radit menjauh dari rumahnya. Ia tak ingin laki-laki itu bertemu dengan anggota keluarganya. Ini saja ia harus menjelaskan pada Kak Nala tentang Radit dan memintanya tak memberi tahu pada Kak Karel."Mau ngapain sih lo?" tanya Sasha setelah bukam sepanjang perjalanan menuju taman komplek yang sepi ini. Ia duduk di salah satu bangku mendahului Radit.Radit mengikuti Sasha, duduk di sisi gadis itu. Tanpa menyadari kedekatan yang ia ciptakan membuat jantung Sasha berdebar tak santai. "Elo sih gue telepon gak diangkat, gue chat gak dibaca.""Lo yang ngapain nelepon dan nge-chat gue?!" ucapa Sasha galak, mencoba bersuara lebih keras dari degup jantungnya. "Lo kan takut banget tuh ketahuan sama istri lo," cibirnya."Gue takut karena gue sayang sama Kala, Sha. Kalania, nama istri gue.""Gue gak pengen tahu nama istri lo," balas Sasha ketus.Hening. Radit tampaknya tak siap akan sikap Sasha yang begitu tak acuh padanya. Gadis dengan pandangan terluka yang ia lihat malam itu tamp
Setelah hari itu, Arbii beberapa kali berusaha menghubunginya, namun Fanala tak pernah mengangkatnya. Laki-laki itu bahkan datang ke rumah dan kantornya, menunggunya hingga larut, tapi Fanala tetap kukuh tak mau menjumpainya. Meski merasa kasihan, Fanala cukup keras hatinya mengingat ini untuk kebaikan Arbii itu sendiri.Selama dua minggu belakangan ini, Fanala sangat menyadari jika satu persatu hubungannya putus atau merenggang parah. Pertama, dengan kedua orang tuanya, yang tak pernah lagi menghubunginya atau dihubungi olehnya sejak Papa mengabari mereka telah tiba di Surabaya. Lalu, hubungan pekerjaannya yang di ujung tanduk, hanya tinggal dua minggu tersisa sebelum hubungan itu benar-benar putus. Kemudian, hubungannya dengan Arbii dan keluarganya yang kini tinggal kenangan. Dan kini hubungannya dengan Karel lah yang harus diputuskan.Fanala menghela napas, sebelum menghubungi Karel untuk memberi tahu laki-laki itu jika ia tengah berada di lobi kantornya. Karel yang ia minta turun
"Fan, aku agak telat gak apa-apa, ya? Kamu belum berangkat, kan?""Iya, gak apa-apa, Ar. Santai aja.""Oke. Tinggal satu janji lagi kok, abis itu aku langsung berangkat.""Iya, Ar."Fanala memutuskan sambungan dan meletakkan ponselnya di sisi ice americano-nya yang sudah tak lagi telalu dingin. Ya, ia berbohong pada Arbii tentang keberangkatannya. Ia sudah tiba di tempat janjian mereka sekitar setengah jam yang lalu. Ia hanya tak mau Arbii merasa tak enak karena membiarkannya menunggu. Cafe tempat Fanala kini berada kian ramai oleh pengunjung yang berpakaian rapi. Ia menduga mereka seperti dirinya—pegawai kantoran yang baru pulang kerja. Namun meski cafe itu mulai ramai, Fanala masih dapat mendengar jelas lagu yang tengar diputar: If Tomorrow Never Comes. Lagu favorit Gathan. Lagu pertama yang ia tahu dari laki-laki itu.Ini sudah kali kedua Fanala mengunjungi cafe ini, dan dua kali juga ia mendengar lagu ini diputar di sini. Entah ini kebetulan, pemiliknya memang suka lagu ini, atau
Sebagimana biasanya saat seseorang akan mengundurkan diri, akan ada waktu tunggu selama sebulan sebelum benar-benar off work. Waktu satu bulan itu akan digunakan perusahaan untuk mencari kandidat penggantinya dan Fanala harus mendelegasikan tugas-tugasnya pada penggantinya nanti.Saat sarapan tadi, Bang Dwiki sama sekali tak mencoba membujuknya, beliau hanya bertanya apa alasannya ingin mengundurkan diri. Dan saat Fanala menjelaskan alasannya, Bang Dwiki langsung menyetujui keputusannya dan menerima pengunduran dirinya. Namun Bang Dwiki berkata jika suatu saat nanti Fanala ingin kembali, ia akaj dengan senang hati menerimanya kembali bekerja untuk perusahaannya.Jadi kini Fanala mengendarai mobilnya pulang dengan perasaan sedikit lebih ringan, ada beban yang telah terangkat. Ia sudah menyelesaikan masalah dengan kantor. Sekarang ia akan menyelesaikan masalah dengan orang tuanya. Selanjutnya dengan Arbii dan keluarga laki-laki itu, dan terakhir masalah Karel dan Vira. Setelah itu ia be
Fanala turun dari ranjang pada pukul lima pagi. Jangan ditanya ia tidur atau tidak. Jawaban itu langsung nampak pasa kantong matanya yang menghitam. Meski lelah luar biasa dan tak dapat tertidur sama sekali semalam, Fanala berusaha berjalan senormal mungkin menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri.Lama Fanala berada di kamar mandi sebab sejak kemarin ia sama sekali belum membersihkan diri. Ia bahkan menyempatkan diri untuk memakai lulur badar dan masker rambut juga scrubing wajah. Ia burusaha terlihat seperti Fanala yang biasa. Fanala yang rapi, bersih, dan terawat baik. Kacaunya pikirannya tak perlu lah tampak lagi dari penampilan luarnya. Cukup kemarin saja. Hari ini ia harus sudah tampak seperti biasanya.Selepas keluar dari kamar mandi, Fanala langsung mengaplikasikan rangkaian produk perawatan kulit pada wajahnya sebelum wajahnya benar-benar kering. Kemudian ia mengeringkan rambutnya lalu menatanya menjadi sesikit bergelombang. Setelah rambutnya rapi dan wajahnya terpoles make
Karel agak terkejut saat Sasha membukakan pintu bahkan sebelum kakinya menyentuh teras rumah. Ia lebih terkejut lagi mendapati semua anggota keluarganya yang tinggal di rumah ini masih tergaja dan duduk-duduk di ruang tamu. Ini rumah mereka baru saja kedatangan tamu atau mereka sedang menunggunya pulang? Ia akan sangat terharu bilang mereka memang sedang menunggunya pulang. Apalagi dengan Vira yang sudah beberapa hari ini bersikap dingin pasanya."Nungguin aku pulang?" tanya Karel setelah melewati ambang pintu yang telah dikatup Sasha kembali."Gak usah pede banget," cela Sasha dari balik punggung Karel."Terung ngapain belum pada tidur dan malah ngumpul-ngumpul di sini?" tanya Karel heran. Mana mungkin tidak? Setiap kali ia sungguhan lembur dan pulang malam, rumah pasti sudah gelap dan semua orang telah terlelap—ya, kecuali Vira. Namun Vira pun akan menunggunya di kamar, bukan di ruang tamu macam sekarang."Tante Rieke masuk rumah sakit," sahut Bunda. Wajahnya berkerut cemas. Hal itu