Share

Bab 4

Author: luminouswater
last update Last Updated: 2021-09-02 21:11:17

Sasha: Than, mau ikut gue ke tempat Kak Nala gak? Gue udah di depan rumah lo nih.

Gathan agak tak paham, Sasha itu ngajak tapi kok, sudah stand by saja di depan. Barangkali ini di sebut awalnya ngajak, akhirnya maksa.

Jari Gathan pun mengetik balasan: Gue mau mandi dulu. Di depan panas tuh kayaknya. Kalo gak mau otak lo makin kering, mending lo masuk.

Gathan beranjak dari tempat tidur. Kaos yang dikenakannya sejak kemarin kusut di banyak tempat. Dihelanya handuk dari gantungan.

Sasha: Sebelum lo sadar ini panas di luar, gue udah ngetok pintu rumah lo dan ngadem depan pintu kulkas.

Buruan!

Memang seharusnya ia tak perlu menawarkan. Sasha itu tipe sahabat mandiri.

Gontai langkah Gathan membawanya keluar kamar bersama handuk di leher. Dalam perlajanannya ke kamar mandi, ia mendapati Sasha yang tengah duduk menghadap kulkas terbuka, di tangannya ada piring berisi kue tart dan beberapa sendok es krim. Orang begini ditawarinya masuk... Gathan menggeleng. Sebuah kemubaziran kebaikan.

"Sasha, yang otaknya makin terperosok ke mata kaki, di ruang tamu ada AC-nya, ngapain lo nongkrong di sini?"

"Lo gak paham, sih, Than, dinginnya kulkas itu ada sensasi ekstranya. Belum lagi ada fitur tambah mesis, keju, nutella, bahkan buah."

Gathan menggaruk kepalanya, membuat rambutnya makin mirip sarang burung.

"Serah lo, dah." Ia masuk ke kamar mandi. Mengurung dirinya di dalam sana.

"Sha," panggil Gathan tak lama kemudian dari dalam kamar mandi.

"Apaan?" balas Sasha. Ia tengah menaburkan sebanyak mungkin mesis pada piringnya

"Fanala gak ngelesin piano?"

"Sore."

"Jadi kita mau ngapain di tempat Fanala?"

"Nonton."

"Kenapa lo gak belajar aja?"

"Gak usah ngasih ide yang gak benar deh, Than. Kalo Karel kepikiran hal begitu kan gue jadi gak bisa nonton. Padahal gue udah nungguin banget ini web series bisa di d******d. Lagian Kak Nala juga pengen nonton. Kemaren kan juga baru belajar. Jangan tiap hatilah belajar."

Hening sejenak. Sasha lanjut menghabiskan makanannya sementara dari kamar mandi hanya terdengar suara gemericik air.

Tak lama kemudian, saat Sasha tengah mencuci piring bekas makannya, Gathan keluar berbalut handuk. Rambutnya yang memang agak panjang meneteskan air seperti rintik hujan—jadi alasan bagus bagi ibunya untuk mengomel.

"Sha," panggil Gathan.

"Eh?" Sasha menoleh. "Aaaa!" teriaknya.

"Apa, sih, Sha? Lebay."

"Badannya lo itu loh, jelek banget. Merusak kesucian mata gue yang cuma boleh liat abs oppa." Sasha mendelik pada perut Gathan yang agak chubby.

Gathan segera menyensor perutnya dengan kedua tangan. Ia mendesis meninggalkan Sasha sendiri. Lupa dengan pertanyaannya.

Di tengah jalan ia berhenti. Ingat akan sesuatu yang harus ditanyakannya sebelum Sasha menghina perut lucunya.

"Sha, emak gue ke mana?" teriaknya.

"Pasar!" balas Sasha lebih kencang.

Gathan mulai melangkah ke kamarnya ketika Sasha menambahkan, "Oh iya! Dia nyuruh lo ngambil barang di kamarnya!"

Tangan Gathan meraih gagang pintu kamarnya. Ia malas melakukan perintah ibunya. Pasalnya semalam ia dibiarkan menunggu hingga larut malam hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun dan memberikan kue tart beserta sebuket bunga. Ia masih kesal. Ia sudah masuk kamarnya tadi malam ketika ia mendengar gerbang depan di dorong. Jadi ia mengabaikannya saja dan membiarkan kue dan bunga tergeletak di ruang tamu. Sehingga ia belum menemui ibunya sama sekali sejak kemarin pagi.

Gathan mendesah. Ia pergi beberapa langkah lagi. Masuk ke kamar ibunya, mendapati sebuah paper bag di atas meja rias. Yang ulang tahun siapa yang dapat hadiah siapa, pikirnya. Namun dikeluarkan juga isinya, dan ia menemukan sepatu dan catatan kecil di dalam kotak.

Maaf, ya, Anak Mimi, tertulis di sana.

Lemah ia dengan yang begini ini.

Segara Gathan kembali ke kamar untuk menelepon ibunya.

"Selamat ulang tahun Mimi Gathan," ujarnya begitu sambungan di terima. "Semoga Mimi selalu ada di sisi Gathan dan makin sayang sama anaknya yang super ganteng ini. Dan semoga Mimi bisa nemuin om-om yang ganteng." Terdengar suara kekehan di seberang sana. Gathan diam sejenak, ia ragu hendak mengucapkan sesuatu yang sudah di ujung lidahnya. Tapi ia ingin ibunya mengerti dan agar segalanya jadi jelas. "Tapi yang jelas om-om itu bukan Om Adit. Gathan gak suka Mi, karena Radit bakalan jauh lebih gak suka..."

"Woy Gathan, buruan!!" Sasha menyerang pintu secara membabi-buta.

***

"Sehun, Sehun..." Fanala greget sendiri.

"Oh my God! Sehun ganteng banget. Bucin gue." Sasha tak mau kalau suara.

Sasha dan Fanala heboh berdua ketika drama baru di mulai. Saling menepuk lengan atau paha, hingga saling mengguncang pundak satu sama lain. Agaknya sepanjang drama mereka akan disuguhi aksi fangirling. Padahal kemarin sepertinya Sasha sudah punya idola di Wanna One sekarang Sehun pun diembat. Dan lagi, Gathan tak tahu Fanala bisa se-excited ini pada idol Korea. Membuatnya tampak kekanakan serta menggemaskan.

"Kakak gue makin ganteng aja," komentar Radit. Gara-gara persekutuan K-popers akut di sekolah, Radit jadi selalu percaya bahwa ia adalah adik Sehun EXO—yang kata para wanita gantengnya gak manusiawi.

Karel yang menempel pada Fanala seperti daki, mencibir ucapan Radit. Dan rasanya Gathan ingin menimpuk kepanya pakai wadges Mimi. Muka Karel itu memang menimbulkan hasrat ingin main hakim sendiri.

"Kakak gigi lo!" Karel menanggapi sengit. "Sok ganteng lo, Dit." Ia memang jadi tempramen bila dekat dengan dua orang teman adiknya itu.

"Emang ganteng kali, Rel," dengan santainya Fanala berujar.

"La!" protes Karel.

Gathan, Radit, serta Sasha tertawa.

"Tahu nih Kak Karel matanya rabun." Sasha menopang wajahnya di atas meja dengan sebelah tangan. Memerhatikan profil Radit yang berpose sok cool dari samping. "Orang cakep gini dibilang sok ganteng. Fitnah banget. Mana tinggi, putih, suaranya seksi lagi..."

Sasha menegakkan diri, kembali menonton aksi Sehun EXO yang membuatnya ingin fanchant. "Kalo lo bilang Gathan sok ganteng itu baru bener," tambahnya.

"Sha!" Gathan menatap Sasha jengkel.

Fanala dan Radit tertawa.

"Lihat aja lo semua, sepuluh tahun dari sekarang gua bisa bikin lo semua hamil online. Inget itu!"

"Dih najis!" Karel bergidik. Jijik sekali. "Sorry ajea gue gak punya rahim. Dan lagi tampang lo itu udah mentok, gak bisa di upgrade. Jelek itu jelek aja, gak usah sok optimis."

Gathan menggapai boneka buaya lusuh dari atas sofa dan menggunakannya untuk menghakimi Karel melewati punggung Fanala.

"Kayak yang lo cakep aja, sih, Rel! Muka kayak sendal jepit swallow butut ke injek tai ayam aja bangga!" Gathan membabi buta memukuli Karel yang menendang tak tentu arah. Menyebabkan Fanala menyingkir, mengamankan laptopnya, diikuti oleh Sasha dan Radit.

Kini dua manusia yang sepertinya sudah tak dalam mode akal sehat itu tengah berguling-nguling, membuat meja terdorong hingga mencium tembok.

"Rel! Rel!" panggil Fanala. Yang di panggil tetap tak sadar akan tingkahnya. "KAREL!"

Akhirnya Karel dan Gathan berhenti.

Keduanya memisahkan diri. Terlihat merasa bersalah dengan rambut kusut parah. Sayangnya tak ada yang terluka.

"Kayak anak kecil, sih." Fanala merengut. Kemudian menghempaskan diri ke tengah sofa. Mood-nya jadi rusak. Ia bisa memaklumi Gathan—karena kadang kelakuannya memang agak ajaib, tapi Karel? Astaga. Ia tak habis pikir. Umur udah 21 tapi masih mau menanggapi bocah 18 tahun yang tingkahnya seperti anak 8 tahun.

Karel menghela meja ke posisi semula, lalu mengambil tempat di ujung sofa. Sementara itu Gathan mengangkat satu tangan dan dengan tanpa dosa berkata, "Sorry Fan, gue suka khilaf ngeliat muka Karel."

Fanala tak menanggapi, Karel mendelik, sedang Radit dan Sasha mendengus.

Lima menit kemudian Gathan sudah mengekori kedua temannya melangkah keluar. Maraton nonton drama Sehun EXO hari itu batal sudah. Menyisakan Fanala yang kesal dan Karel merasa dirinya konyol sekali. Keduanya bungkam.

***

"Menurut lo itu anaknya atau bukan?" Sasha berujar. Ia duduk di antara Gathan dan Radit. Ketiganya tengah menikmati marshmellow bentuk es krim yang di celupkan ke es krim sungguhan. Es krim dalam cup besar itu sudah betul-betul mencair—maklum sudah hampir dua jam mereka menghuni teras Indomaret ini. Memainkan game tebak-tebakan berbahan pembeli yang hilir mudik.

"Jelas itu mah," Gathan menjawab duluan, "selingkuhan." Mulutnya memang pandai sekali dalam permainan ini. "Lihat aja muka Om-omnya ganjen begitu. Cocok banget buat main sinetron azab. Judulnya: Mataku Menggelinding Keluar karena Gak Inget Umur Melototin Anak Gadis Orang."

Sasha tertawa.

"Receh banget lo, Than," Radit nyinyir.

"Eh si Ganteng sinis aja karena kurang receh," ejek Gathan. "Banyak-banyak latihan. Makanya sering-sering bersosialisasi di Twitter, jangan buka Viu mulu. Kuota abis buat nonton drama Korea mulu kalo gak streaming MV, unfaedah. Kayak gue dong, faedahfull."

"Yee... Bagi kK-popers, drama dan MV itu kebutuhan," Sasha yang satu persekutuan dengan Radit membela rekannya. "Berfaedah bagi ketenangan mental kita semua."

Sasha bangkit berdiri, membuang kotak es krim dan beberapa bungkusan kosong ke tong sampah.

"Balik yuk," ajak Sasha. "Gue ngantuk." Ia menguap.

Radit mengangguk. "Gue juga ada janji makan siang sama nyokap."

"Hp gue mana, Sha?" Gathan mengulurkan tangannya.

"Mana gue tahu!" Sasha mengernyit. Ia tak ingat meminjam ponsel Gathan.

"Lah, dari tadi gue kira sama lo. Terus Hp gue ke mana, dong?"

"Kantong celana dalem?" usul Radit.

"Gue serius, Kodok!"

"Jatoh kali tempat Kak Nala. Lo 'kan tadi adu gulat sama Kakak gue."

Berdecak Gathan. "Lo berdua duluan aja, gue balik ke tempat Fanala dulu." Ia sebenarnya agak tidak terlalu suka dengan ide kembali lagi, sebab Karel mungkin masih di sana.

Jarak dari Indomaret ke tempat tinggal Fanala tak sampai satu kilometer. Namun lumayan juga di tengah hari begitu. Mana lagi matahari tampaknya sedang dalam mood yang baik untuk memanggangnya. Sebisa mungkin Gathan melipir dalam bayang-bayang yang kadang ada kadang tidak.

Tak lama berlalu, Gathan pun tiba. Menemui pintu tempat tinggal Fanala tertutup. Jadi, setidaknya, Karel sudah pulang. Ia dapat benapas lega. Tak ada orang yang akan menaikan tensi darahnya. Sebegitu terganggunya ia terhadap kehadiran Karel.

Gathan menyebrangi pelataran kecil. Di mana sudutnya dinaungi sebatang pohon mahoni yang meneduhi sebuah bangku kayu tua.

Begitu tiba di muka pintu Gathan di sambut sebuket bunga matahari yang tergeletak begitu saja di atas keset welcome. Dipungutnya bunga itu. Pintu pun terbuka, padahal ia belum mengetuk. Menampilkan sosok Fanala berbando kuping beruang sedang menggenggam satu pack yougurt dengan satu sedotan terpasang.

Fanala memandang bunga di tangan Gathan—yang segera menyerahkannya pada si empunya. Lalu tatapan itu beralih Gatha. Fanala nampak terkejut sejenak sebelum mulai menatapnya lekat-lekat, menyudutkan.

"Ada di lantai tadi bunganya," ujar Gathan gugup.

Fanala tak menyahut. Masih memandanginya aneh.

"Hp gue kayaknya ketinggalan di dalam. Boleh gue masuk?" Gathan menelan ludah. Ada apa sih dengan Fanala? Juga dirinya yang jadi tiba-tiba gugup seperti ini?

Gathan melipir, nyelinap masuk. Ia memegang dadanya. Astaga, ia seperti habis sprint. Padahal seingatnya tadi ia berjalan dengan santai.

Sementara itu Fanala masih termangu di ambang pintu. Tak mungkin Gathan kan? Cowok macam begitu... tak mungkin, pikir Fanala.

Tapi kenapa dia gugup ketiga Fanala memergokinya membawa bunga di depan pintunya? Seharusnya ia kan santai saja bila memang secara tak sengaja menemukannya, pikir Fanala.

Kenapa?

"Hp gue udah ke temu."

Fanala menoleh, melihat Gathan mengacungkan ponsel pintarnya.

"Dimana?" tanya Fanala. Curiga ponsel ketinggalan hanya alibi. Karena ia betul-betul tak melihat ada ponsel asing di rumahnya sejak Karel pulang.

"Di bawah sofa."

Fanala mendekat, menyipitkan matanya.

"Kenapa?" Gathan mulai gugup lagi.

"Than lo gak suka sama gue 'kan?"

Spontan Gathan menjawab, "Enggak!"

Fanala berjengit. "Terus kenapa lo ngirimin gue bunga?"

"Bukan gue, Fan. Sumpah. Gue cuma nemu di depan. Dan gue gak semanis itu buat ninggalin bunga di depan pintu. Gue tipe yang to the point kalo gue ada rasa sama orang."

"Terus kenapa lo gugup banget?"

"Karena lo ngeliatin gue gitu banget. Gue ngawatir lo kerasukan apa gimana. Dah, ah, gue mau balik. Bye!" cepat-cepat Gathan memberi alasan dan berlalu meninggalkan Fanala yang tak puas.

***

Related chapters

  • The Sunday Sunflower   Bab 5

    "Heran gue, segitu napsunya dia berharap gue yang ngasih.""Idih!" Sasha mengernyitkan hidungnya. "Dia gak berharap lo ngasih. Dia berharap ketemu sama orang yang selalu ngasih dia bunga matahari setiap Minggu sejak dia kecelakaan dua tahun yang lalu."Gathan, Radit, dan Sasha tengah berdiri di teras kelasnya yang ada di lantai tiga. Mereka memandangi murid-murid berlalu lalang melintasi lapangan basket seraya mengunyah permen karet."Kecelakaan? Kalo gitu jelas dong, yang ngasih yang nabrak Kak Nala. Karena dia ngerasa bersalah," ujar Radit. Seusai meletupkan gelembung yang dibuatnya."Kak Nala gak di tabrak, Radit yang ganteng.""Terus, Sasha yang cantik?" Gathan yang menyahut."Dia kecelakaan pas dianter Kak Farrel pulang pakek motor. Soalnya waktu itu hujan, jadi jalanan licin, Gathan yang kurang ganteng.""Kerajinan banget ngasih bunga tiap minggu sel

    Last Updated : 2021-09-04
  • The Sunday Sunflower   Bab 6

    Dengan rambut terbalut handuk, Fanala mematut diri di depan cermin. Jemarinya meratakan moisturizer ke wajah. Hari ini tanggal merah, jadi ia bisa agak santai. Tak ada agenda apapun hari ini, selain janjian bimbel dengan Sasha yang dilakukan dadakan. Ia berpikir agak kurang efektif mengajari Sasha hanya satu minggu sekali, jadi kapan pun ada waktu ia usahankan untuk mengatur jadwal dengan adik sahabatnya itu.Usai memakai liptint, Fanala melepas handuk dari kepalanya dan bersisir. Kemudian ia keluar kamar untuk menyibak gonden dan pergi berjemur di halaman sejenak sembari mengeringkan rambut.Cahaya matahari seketika membanjiri ruang duduk Fanala yang sederhana saat ia menaraik terbuka gonden biru penutup dua jendela kecil tempat tingggalnya. Hangat dan menyenangkan. Diputarnya kunci dan melangkah melewati ambang pintu.Fanala menutup mata, merasakan cahaya matahari yang menerpanya. Nyaman sekali. Dihelannya napas panjang,

    Last Updated : 2021-09-05
  • The Sunday Sunflower   Bab 7

    Gloomy.Gathan membaca snapwhatsaap kontak bernama 'Fanala the next'. Unggahan itu berlabel 'just now'. Padahal sekarang sudah pukul setengah dua pagi. Apa gadis itu sedang banyak tugas? Padahal tampaknya Fanala bukan tipe gadis yang menunda-nunda tugas, apalagi kemari tanggal merah, Sasha juga membatalkan janji mereka.Begadang, Fan? Gathan mengomentari posting-an milik Fanala. Tak segera ia keluar, menunggu dua centang biru sebab gadis itu tengah online.Posisi Gathan yang tadi terlentang sekonyong-konyong berubah tengkurap ketika yang dinanti terwujud dan tulisan typing tertangkap netra. Ada senyum di matanya.Susah tidur. Lo sendiri ngapain belum tidur? Ngerjain tugas? B

    Last Updated : 2021-09-06
  • The Sunday Sunflower   Bab 8

    Malam ini berangin. Membuat Gathan merapikan rambutnya berkali-kali. Dalam balutan celana jeans dengan atasan kaos yang di tutup jaket danim tak terkancing. Ia nampak jauh lebih baik dari penampilan biasanya dengan seragam penuh keringat.Ia ada di depan rumah kecil yang di sewa Fanala. Tujuannya jelas, mengambil earphone. Tidak ada yang lain.Sejenak ia berdehem sebelum mengetuk pintu."Fan, Fanala!" panggilnya.Tak ada jawaban. Dicobanya lagi. Kembali tak ada sahutan. Apa Fanala sudah tidur? Atau gadis itu sedang keluar?Celingak-celinguk Gathan ke kanan-kiri. Ia melogak jendela di sisi pintu, tak terlihat apapun.Sudahlah, pikirnya, lebih baik besok malam saja. Tampaknya ia kurang beruntung hari ini.Ia berbalik."Kenapa, Than?""Astagfirullahalazim!" Gathan terlonjak, terkejut dengan kehadiran Fanala yan

    Last Updated : 2021-09-07
  • The Sunday Sunflower   Bab 9

    "Gak nyangka ya tinggal beberapa bulan lagi kita lulus," ujar Sasha pada Radit dan Gathan yang digandengnya kanan-kiri melintasi halaman. Pakaiannya sekarang sudah lain 180 derajat dari kemarin. Roknya sudah semata kaki, bajunya panjang dan longgar. Berkat paket yang di antar ke rumah kemarin menggunakan jasa ojek online. Pengirimnya--jelas--Radit. Sebab satu-satunya hal yang pernah Gathan berikan padanya hanya ucapan selamat ulang tahun dan hadiah finger heart. Dengan murah hati--atau memang menganggapnya gendut, Radit memberikan seragam dalam segala ukuran termasuk XL. Manis sekali bukan? Tak seperti Gathan yang merasa bahwa finger heart-nya merupakan hadiah termanis. Tapi tetap saja rasa sayangnya pada mereka berdua sama besarnya. "Gue nyangka," Gathan menyahut. Orang satu ini memang tak bisa untuk menahan lidahnya. "Inget, ya, lo berdua harus masuk universitas yang sama sama gue. Gak boleh enggak,"

    Last Updated : 2021-09-10
  • The Sunday Sunflower   Bab 10

    Fan, di rumah, gak? Mau ambil earphone. Fanala mencebik membaca pesan dari Gathan. Di kirim hampir empat jam yang lalu. Tak ada niat ia membalas pesan yang terlambat di buka itu. Siapa suruh meninggalkan benda itu berulang kali. Ia mulai curiga Gathan sengaja meninggalkannya untuk suatu alasan tertentu.Studio itu sudah gelap. Kelas telah berakhir sejak satu jam yang lalu. Namun Fanala masih setia duduk di belakang sebuah piano dengan ponsel tergeletak di sisi.Fanala memainkan beberapa nada. Dadanya sesak. Piano, lagi-lagi hal yang berjalinan dengan sosok Farrel, selain bunga matahari. Karena dialah orang pertama yang mengajarinya menarikan jemari di atas tuts-tuts penuh melodi. Sulit untuk tak ingat sosoknya ketika bersentuhan dengan alat musik penuh nuansa hatam-putih ini. Menyalurkan sensasi tak nyaman di dadanya.Ia berkata akan lebih bahagia tanpa memanda

    Last Updated : 2021-09-22
  • The Sunday Sunflower   Bab 11

    "Radit mana?""Gak ikut. Mamanya hari ini udah boleh pulang."Fanala merasa asing menemui Sasha hanya seorang diri di depan pintu. Biasanya akan ada dua remaja laki-laki yang membuntutinya. Ganjil sekali melihatnya berdiri tunggal begini."Gathan?""Mampir beli camilan dulu. Dan gue gak dibolehin ikut. Katanya gue bakalan bikin jebol kantongnya, bikin pembagian uang jajannya selama satu munggu ke depan kacau. Dasar pelit memang si Gathan. Gak kayak Radit," omel Sasha. Ia langsung bersila di atas lantai, mengeluarkan buku-bukunya di atas meja.Fanala duduk di seberang Sasha. "Jadi Radit itu semacam bendahara?""Begitulah.""Kalo lo?"Sejenak Sasha mengernyitkan alisnya, berpikir. "Ketua geng." Ia tertawa dengan candaannya sendiri. "Kalo Gathan jangan tanya, dia ngakunya visual, padahal yang beneran visual aja milih jadi bendahara. Dia itu u

    Last Updated : 2021-09-23
  • The Sunday Sunflower   Bab 12

    Tok, tok, tok!Fanala melenguh, mengganti posisinya. Tangan meraba-raba mencari ponsel untuk melihat pukul berapa. Rasanya belum lama ia terjaga untuk solat subuh dan kembali melanjutkan mimpi.Sebelah mata Fanala mengintip sementara yang lain tak kuat menerima cahaya layar ponsel yang menyilaukan. 05.18. Astaga... Siapa yang bertamu sepagi ini, sih?! Urusan mendesak apa menyangkut dirinya yang harus dituntaskan sedini ini? Gila sekali. Tidak memahami penderitaan mahasiswa yang merasa bahwa tidur cukup adalah sebuah kemewahan.Fanala berniat mengabaikannya, namun si Pengetuk terlalu keras hati untuk menyerah.Sial!Nyap-nyap, Fanala keluar dari kamarnya. Bila pun di luar sana bukan tamu melainkan penjahat, ia tak akan segan mencaci makinya hingga menciut tanpa nyali. Dasar tak punya hati, mengganggu mahasiswa subuh begini!Pintu di tarik kasar. Empunya habis sabar.

    Last Updated : 2021-09-24

Latest chapter

  • The Sunday Sunflower   Epilog

    "Mau lo hitungin berapa kali juga, jumlah bunga matahari itu gak akan bertambah, Fan," ujar Gathan yang baru datang, melihat Fanala di tengah hari bolong ini berjongkok di hadapan pot-pot bunga mataharinya. Ia kemudian duduk di bangku di bawah rimbun pepohonan, bersandar santai.Fanala menoleh, membuat rambutnya yang sebahu itu bergoyang pelan. Matanya mendelik pada Gathan. "Tahu gue, tuh! Gue cuma memastikan gue gak salah hitung. Lagian lo ngapain sih ke sini? Jomblo lo, hari Minggu gini gak ada kerjaan?""Sewot banget sih, Fan. Gue tahu hari ini panas, tapi jangan marah-marah mulu lah. Cepet tua nanti, gak cantik lagi.""Apaan sih lo!" Wajah Fanala merah padam karena gombalan najis Gathan itu. Sejak ia tahu jika laki-laki yang lebih cocok jadi adiknya itu memyukainya, Fanala jadi sering merasa malu dekat-dekat dengan. "Duduk sini, Fan," ujar Gathan, menepuk bangku kosong di sisinya. "Panas kan di situ."Fanala berdehem sebelum bangkit berdiri lalu duduk di sisi Gathan. Ia heran, in

  • The Sunday Sunflower   Bab 76

    Sasha meletakkan satu buket bunga matahari di atas makam yang ditutup marmer hitam. Ia berjongkok di sisi makam itu, membersihkan daun-daun kering yang jatuh di atas nisan."Sayang, ya, Than, lo baru pulang setelah gak gue gak bisa ngajak lo main lagi. Padahal banyak yang pengen gue lakuin bareng sama lo kalo pulang lebih awal."Sudah setahun lebih Gathan meninggal. Sasha amat terpukul saat itu. Ia bahkan sempat pingsan dua kali ketika jasad Gathan tiba di Jakarta. Setelah delapan tahun pergi, Gathan pulang tinggal nama. Pedih sekali rasanya."Than, di sana gak ada Kak Nala, kan?" tanya Sasha, menepis air matanya yang jatuh tanpa diminta. "Kita di sini masih terus nyari Kak Nala walaupun polisi udah nyerah. Kak Nala terakhir terlihat di cctv terminal yang gak jauh dari pantai. Dan gak ada petunjuk lagi setelah itu. Kadang-kadang, saat gue kehilangan harapan, gue sering bertanya-tanya apa Kak Nala ada di laut? Apa dia terjebak di dasar lautan? Kesepian."Sebetulnya menyimpulkan bila K

  • The Sunday Sunflower   Bab 75

    "Udah bisa dihubungi Kak Nalanya, Dek?" tanya Bunda, muncul di pintu belakang. Sejak pagi beliau memintanya menghubungi Kak Nala karena beliau juga tak bisa menghubunginya."Belum, Bun. Masih gak aktif," sahut Sasha yang sedang duduk di beranda belakang, menonton Ayah membersihkan kandang burung-burung peliharaanya.Bunda mengernyit khawatir. "Kak Nala gak kenapa-kenapa kan ya? Bunda jadi khawatir.""Bunda udah selesai masaknya?" tanya Ayah."Iya," sahut Bunda."Beresin aja makanan yang mau dikasi ke Nala. Nanti Ayah sama Sasha yang anterin ke sana," ucap Ayah. Membuat Bunda berbalik masuk ke dalam, membereskan makanan yang ia buat untuk Kak Nala. Makanan itu jugalah yang jadi alasan Bunda mencoba menghubungi Kak Nala sejak pagi."Dua minggu yang lalu, Kak Nala ke sini mau ngapain, Dek?" tanya Ayah. Beliau menggantung kembali kandang-kandang burung yang sudah bersih."Mau ngomong sama Vira. Tapi Adek gak nanya ke Kak Nala sama Vira mereka ngomongin apa. Nanti dikira kepo lagi. Tapi ka

  • The Sunday Sunflower   Bab 74

    Sasha membawa Radit menjauh dari rumahnya. Ia tak ingin laki-laki itu bertemu dengan anggota keluarganya. Ini saja ia harus menjelaskan pada Kak Nala tentang Radit dan memintanya tak memberi tahu pada Kak Karel."Mau ngapain sih lo?" tanya Sasha setelah bukam sepanjang perjalanan menuju taman komplek yang sepi ini. Ia duduk di salah satu bangku mendahului Radit.Radit mengikuti Sasha, duduk di sisi gadis itu. Tanpa menyadari kedekatan yang ia ciptakan membuat jantung Sasha berdebar tak santai. "Elo sih gue telepon gak diangkat, gue chat gak dibaca.""Lo yang ngapain nelepon dan nge-chat gue?!" ucapa Sasha galak, mencoba bersuara lebih keras dari degup jantungnya. "Lo kan takut banget tuh ketahuan sama istri lo," cibirnya."Gue takut karena gue sayang sama Kala, Sha. Kalania, nama istri gue.""Gue gak pengen tahu nama istri lo," balas Sasha ketus.Hening. Radit tampaknya tak siap akan sikap Sasha yang begitu tak acuh padanya. Gadis dengan pandangan terluka yang ia lihat malam itu tamp

  • The Sunday Sunflower   Bab 73

    Setelah hari itu, Arbii beberapa kali berusaha menghubunginya, namun Fanala tak pernah mengangkatnya. Laki-laki itu bahkan datang ke rumah dan kantornya, menunggunya hingga larut, tapi Fanala tetap kukuh tak mau menjumpainya. Meski merasa kasihan, Fanala cukup keras hatinya mengingat ini untuk kebaikan Arbii itu sendiri.Selama dua minggu belakangan ini, Fanala sangat menyadari jika satu persatu hubungannya putus atau merenggang parah. Pertama, dengan kedua orang tuanya, yang tak pernah lagi menghubunginya atau dihubungi olehnya sejak Papa mengabari mereka telah tiba di Surabaya. Lalu, hubungan pekerjaannya yang di ujung tanduk, hanya tinggal dua minggu tersisa sebelum hubungan itu benar-benar putus. Kemudian, hubungannya dengan Arbii dan keluarganya yang kini tinggal kenangan. Dan kini hubungannya dengan Karel lah yang harus diputuskan.Fanala menghela napas, sebelum menghubungi Karel untuk memberi tahu laki-laki itu jika ia tengah berada di lobi kantornya. Karel yang ia minta turun

  • The Sunday Sunflower   Bab 72

    "Fan, aku agak telat gak apa-apa, ya? Kamu belum berangkat, kan?""Iya, gak apa-apa, Ar. Santai aja.""Oke. Tinggal satu janji lagi kok, abis itu aku langsung berangkat.""Iya, Ar."Fanala memutuskan sambungan dan meletakkan ponselnya di sisi ice americano-nya yang sudah tak lagi telalu dingin. Ya, ia berbohong pada Arbii tentang keberangkatannya. Ia sudah tiba di tempat janjian mereka sekitar setengah jam yang lalu. Ia hanya tak mau Arbii merasa tak enak karena membiarkannya menunggu. Cafe tempat Fanala kini berada kian ramai oleh pengunjung yang berpakaian rapi. Ia menduga mereka seperti dirinya—pegawai kantoran yang baru pulang kerja. Namun meski cafe itu mulai ramai, Fanala masih dapat mendengar jelas lagu yang tengar diputar: If Tomorrow Never Comes. Lagu favorit Gathan. Lagu pertama yang ia tahu dari laki-laki itu.Ini sudah kali kedua Fanala mengunjungi cafe ini, dan dua kali juga ia mendengar lagu ini diputar di sini. Entah ini kebetulan, pemiliknya memang suka lagu ini, atau

  • The Sunday Sunflower   Bab 71

    Sebagimana biasanya saat seseorang akan mengundurkan diri, akan ada waktu tunggu selama sebulan sebelum benar-benar off work. Waktu satu bulan itu akan digunakan perusahaan untuk mencari kandidat penggantinya dan Fanala harus mendelegasikan tugas-tugasnya pada penggantinya nanti.Saat sarapan tadi, Bang Dwiki sama sekali tak mencoba membujuknya, beliau hanya bertanya apa alasannya ingin mengundurkan diri. Dan saat Fanala menjelaskan alasannya, Bang Dwiki langsung menyetujui keputusannya dan menerima pengunduran dirinya. Namun Bang Dwiki berkata jika suatu saat nanti Fanala ingin kembali, ia akaj dengan senang hati menerimanya kembali bekerja untuk perusahaannya.Jadi kini Fanala mengendarai mobilnya pulang dengan perasaan sedikit lebih ringan, ada beban yang telah terangkat. Ia sudah menyelesaikan masalah dengan kantor. Sekarang ia akan menyelesaikan masalah dengan orang tuanya. Selanjutnya dengan Arbii dan keluarga laki-laki itu, dan terakhir masalah Karel dan Vira. Setelah itu ia be

  • The Sunday Sunflower   Bab 70

    Fanala turun dari ranjang pada pukul lima pagi. Jangan ditanya ia tidur atau tidak. Jawaban itu langsung nampak pasa kantong matanya yang menghitam. Meski lelah luar biasa dan tak dapat tertidur sama sekali semalam, Fanala berusaha berjalan senormal mungkin menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri.Lama Fanala berada di kamar mandi sebab sejak kemarin ia sama sekali belum membersihkan diri. Ia bahkan menyempatkan diri untuk memakai lulur badar dan masker rambut juga scrubing wajah. Ia burusaha terlihat seperti Fanala yang biasa. Fanala yang rapi, bersih, dan terawat baik. Kacaunya pikirannya tak perlu lah tampak lagi dari penampilan luarnya. Cukup kemarin saja. Hari ini ia harus sudah tampak seperti biasanya.Selepas keluar dari kamar mandi, Fanala langsung mengaplikasikan rangkaian produk perawatan kulit pada wajahnya sebelum wajahnya benar-benar kering. Kemudian ia mengeringkan rambutnya lalu menatanya menjadi sesikit bergelombang. Setelah rambutnya rapi dan wajahnya terpoles make

  • The Sunday Sunflower   Bab 69

    Karel agak terkejut saat Sasha membukakan pintu bahkan sebelum kakinya menyentuh teras rumah. Ia lebih terkejut lagi mendapati semua anggota keluarganya yang tinggal di rumah ini masih tergaja dan duduk-duduk di ruang tamu. Ini rumah mereka baru saja kedatangan tamu atau mereka sedang menunggunya pulang? Ia akan sangat terharu bilang mereka memang sedang menunggunya pulang. Apalagi dengan Vira yang sudah beberapa hari ini bersikap dingin pasanya."Nungguin aku pulang?" tanya Karel setelah melewati ambang pintu yang telah dikatup Sasha kembali."Gak usah pede banget," cela Sasha dari balik punggung Karel."Terung ngapain belum pada tidur dan malah ngumpul-ngumpul di sini?" tanya Karel heran. Mana mungkin tidak? Setiap kali ia sungguhan lembur dan pulang malam, rumah pasti sudah gelap dan semua orang telah terlelap—ya, kecuali Vira. Namun Vira pun akan menunggunya di kamar, bukan di ruang tamu macam sekarang."Tante Rieke masuk rumah sakit," sahut Bunda. Wajahnya berkerut cemas. Hal itu

DMCA.com Protection Status