Share

Bab 8

Author: luminouswater
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Malam ini berangin. Membuat Gathan  merapikan rambutnya berkali-kali. Dalam balutan celana jeans dengan atasan kaos yang di tutup jaket danim tak terkancing. Ia nampak jauh lebih baik dari penampilan biasanya dengan seragam penuh keringat.

Ia ada di depan rumah kecil yang di sewa Fanala. Tujuannya jelas, mengambil earphone. Tidak ada yang lain.

Sejenak ia berdehem sebelum mengetuk pintu.

"Fan, Fanala!" panggilnya.

Tak ada jawaban. Dicobanya lagi. Kembali tak ada sahutan. Apa Fanala sudah tidur? Atau gadis itu sedang keluar?

Celingak-celinguk Gathan ke kanan-kiri. Ia melogak jendela di sisi pintu, tak terlihat apapun.

Sudahlah, pikirnya, lebih baik besok malam saja. Tampaknya ia kurang beruntung hari ini.

Ia berbalik.

"Kenapa, Than?"

"Astagfirullahalazim!" Gathan terlonjak, terkejut dengan kehadiran Fanala yang bertudung hoodie di depan wajahnya.

Sejak kapan gadis itu ada di sana?

"Kaget tahu gak," keluhnya. Mengusap dada. Hampir ia jatuh ke lantai karena kaki yang gemetar. Kan tidak lucu bila hal itu sampai terjadi .

Fanala menurunkan tudungnya. Ada kantong kresek besar di tangan lainnya. Tadi ia sungguh nampak menyeramkan dengan tudung hitam dan latar belakang cahaya yang remang.

"Lo ngapain ke sini malem-malem?"

"Ngambil earphone." Gathan menepi, mempersilahkan Fanala membuka pintu.

"Emang gak bisa besok?" Fanala masuk, diikuti Gathan yang membiarkan pintu tetap terbuka. Langkah gadia itu gontai, tak bersemangat. Nada suaranya juga monoton, terdengar malas.

"Bisa. Cuma gue pikir sekalian aja mampir, karena se arah sama rumah temen gue," dustanya.

Fanala meletakan kantong plastik yang di jinjing ke atas meja, lalu masuk ke kamar. Sementara Gathan duduk menunggu di atas sofa coklat yang sudah kian akrab dengannya.

Detak jam terdengar keras di ruang mungil itu. Ini kali pertamanya datang sendiri dengan tujuan yang tak menyangkut Sasha, pikir Gathan. Rasanya agak aneh. Sebab sebelumnya Sashalah alasannya ada di sini.

Fanala keluar dari kamar, lantas mengulurkan seikat kabel kecil bertali pita merah. "Nih."

Saat Gathan mengambilnya, netranya menangkap wajah Fanala di bawah lampu LED yang terang. Ada yang bebeda.

"Kenapa muka lo?" tanya Gathan, meletakan benda yang baru di terima di atas sofa di sisi tempat duduknya.

Refleks Fanala meraba wajahnya. "Nggak ada apa-ap--"

"Kusut banget."

Fanala mencebik. Namun tak berkata apapun. Ia malah berlutut di lantai, membongkar belanjaannya. Beberapa bungkus mie instan, sekotak susu UHT coklat, satu pak yakult, beberapa bar coklat, sekotak plester luka, empat bungkus sariroti sandwich coklat, dan sebungkus koyo berserakan di atas meja.

Dengan santai Fanala mengenakan koyo pada kedua pelipisnya. Terlihat sekali sudah sering melakukan hal itu.

"Belum pulang?" Fanala menatap Gathan. Tangannya otomatis meremukan mie instan goreng.

"Lagi nunggu Gojek." Mengangkat ponselnya. "Enggak pa-pa kan nunggu di sini?"

Fanala mengangkat bahu. "Terserah."

Gathan memperhatikan Fanala yang tengah mencampurkan bumbu dan mie dalam plastik bungkusnya. Ada apa dengan gadis di seberang meja itu? Kenapa ia jadi super tak acuh? Belum lagi ada lingkaran hitam di sekitar matanya yang sedikit bengkak. Kelihatan sekali kurang tidur. Dia terlihat seperti orang yang...

"Lo abis diputusin, Fan?"

"Gak."

"Kirain. Karena gue yakin kalo lo gak punya pacar. Kalo punya kan gak mungkin nempel mulu sama Karel. Ketahuan banget kalo lo berdua sama-sama solo. Ya, k--"

Fanala melempar sebungkus mie padanya Gathan yang untungnya tanggap. Menyela ucapan tamunya yang hobi mengoceh. Ini pertama kalinya ia bertindak tidak sopan pada Gathan.

Gathan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Fanala pada mie instannya. Sudah lama ia tak makan mie mentah seperti ini. Terakhir kali SD ia kira, bila orang tuanya sedang bekerja--sebelum mereka memutuskan untuk berpisah. Masa yang menyenangkan.

Seraya mengaduk mienya, Gathan sesekali melirik Fanala yang makan dengan tenang. Padangan gadis itu nanar pada ponsel yang tergeletak menyala di atas meja. Wallpapernya seseorang yang membelakangi senja.

"Kalo gak di putusin, di tolak?" Gathan mengambil sejumput mie, memasukannya ke mulut.

"Gak."

"Diselingkuhin gak mungkin... Di tinggal mantan nikah?"

"Gak."

"Kal--"

"Belum sampe ke tahap itu." Fanala mematikan ponselnya.

"Tunangan?"

Fanala tak menyahut. Diasumsikan Gathan sebagai 'ya'.

"Mantan yang mana? SD? SMP? SMA?" tanya Gathan antusias, berbanding lurus dengan kunyahannya.

Lama sekali Fanala tak merespon. Asik dengan camilannya sendiri. Sedang Gathan tak ingin mendesak lebih jauh, takut dipertanyakan kenapa ojeknya belum juga sampai.

"Bagus kalo udah mantan. Dia tahu perasaan gue aja enggak." Fanala mulai membuka diri.

"Kak Farrel mau tunangan?"

Pada akhirnya, Fanala menatap Gathan sunguhan. Hilang sudah sikap tak acuhnya, tergantikan dengan keheranan yang tak disembunyikan.

"Dari mana lo tahu yang gue maksud Farrel?"

"Sasha," jawab Gathan enteng. "Dia bilang lo sama dua kakaknya keliatan banget membentuk pola segitiga kurang jadi."

Fanala mengernyit. Kurang paham.

"Karel suka sama lo, lo suka sama Kak Farrel, tapi Kak Farrel gak ada rasa sama lo."

Kembali Fanala menunduk. "Kalo Sasha aja peka, kenapa Farrel enggak? Sebel gue. "

Gathan tersenyum kecut. "Pertanyaan itu juga berlaku buat lo."

"Apaan?"

"Kalo Sasha aja peka sama perasaan Karel, kenapa lo yang disukain malah gak peka?"

Pertanyaan Gathan itu menohok Fanala. Untuk sejenak ia hanya diam tak bergeming. Sebelum kemudian mendapatkan kembali akal sehatnya untuk bersikap defensif.

"Apaan, sih, lo. Balik sana! Anak kelas dua belas keluar malem-malem, bukannya belajar. Udah mau ujian juga. Sekolah itu pakek uang orang tua, jangan gak tahu malu mau main-main doang.  Pulang sana, belajar!"

Gathan terkekeh. "Gojek gue belum dateng. Lagian gue sekarang lagi belajar. Belajar Psikologi-cewek-yang-pengen-dipekain-tapi-suka-pura-pura-gak-peka."

"Ish..." Fanala mendesis. "Pulang sana!"

"Gak sopan, sih, lo ngusir-ngusir tamu."

"Gue gak ngusir," Fanala membela diri, "gue ngasih saran."

"Tapi gue lagi gak terima saran. Gue lagi belajar, Fan."

"Tapi ini rumah gue! Pulang sana! Lo, tuh, makin ke sini jadi nyebelin. Lebih nyebelin dari Karel. Pulang!" Wajah Fanala memerah.

"Oke, oke." Gathan menyerah. Ia meletakkan camilannya. Bangkit berdiri, dengan kedua tangan terangkat. "Gue pulang."

Fanala hanya mendelik padanya, lalu kembali makan. Berbeda sekali dengan ia yang biasanya dewasa dan tenang. Gadis pintar seperti Fanala ternyata bisa kekanakkan dan emosional seperti ini. Menggemaskan.

Ketika sampai di ambang pintu, Gathan berbalik bersama senyum simpul di wajahnya.

"Fan?"

Fanala menoleh sekilas.

"Apa enaknya, sih, patah hati sendirian?"

"Pulang aja sana," suara Fanala kalem kini menanggapi.

Gathan hanya menggangguk kecil. "Jangan kebanyakan makan mie mentah, nanti kena typus, loh. Double sakitnya. Kan gak ada untungnya. Dan... lo bilang setiap kesempatan itu harus dimanfaatin dengan baik supaya menguntungkan, kan? Patah hati itu juga kesempatan. Lo gak sadar?"

"Kesempatan buat apa?" tanya Fanala skeptis. Menenggak susu UHT kotak besar tanpa menuangnya ke gelas.

"Kesempatan buat behenti natap punggung orang yang gak akan pernah berbalik buat natap lo. Kesempatan buat natap orang lain."

"Uhuk... uhuk!" Fanala tersedak.

***

Pagi hari yang cerah. Sinar matahari masuk menerangi kamar Fanala yang tak luas namun penuh dengan buku yang bahkan bertumpuk-tumpuk di lantai. Gadis itu tengah bersiap ke kampus. Tangannya begerak lincah menyimpul tali dari sepasang sepatu berwarna putih yang ia pinjam pada Karel sejak pertama kali benda itu di beli dan tak ada niat untuk mengembalikannya. Keuntungan punya sahabat yang kakinya seukuran dengan kita.

Memikirkan tetang keuntungan, ia teringat ucapan Gathan semalam. Bila memang patah hati merupakan keuntungan, ini keuntungan yang sangat menyakitkan.

Fanala menghela napas dalam sembari menyandang ranselnya. Ia mematut diri sejenak sebelum pergi keluar, untuk menanti Karel yang katanya tak lama lagi akan datang.

Pertama Fanala menyambar sebungkus roti dari atas meja yang berantakan dan menggigitnya beberapa kali sebelum ganti meraih kotak plester luka. Ditariknya keluar setengah dari jumlah plester itu lalu membagi dua. Ia mengembalikan sisa plester yang masih di dalam kotak ke atas meja dan sekali lagi menggigit rotinya.

Seraya mengunyah, ia tak sengaja menjatuhkan pandangan pada benda putih terikat pita yang sedikit tersembunyi di sudut sofa. Keningnya mengernyit.

Gathan meninggalkannya lagi?

Terdengar deru motor dari kejauhan. Karel. Fanala meninggalkan ruang utama rumahnya dan menghilang di balik pintu yang terkatup rapat. Tak berapa lama terdengar percakapan dua sahabat itu dari luar.

"Plaster luka gue masih banyak, La. Lo yang pakek ajalah. Buat plesterin hati."

Suara tawa Karel terdengar.

***

Related chapters

  • The Sunday Sunflower   Bab 9

    "Gak nyangka ya tinggal beberapa bulan lagi kita lulus," ujar Sasha pada Radit dan Gathan yang digandengnya kanan-kiri melintasi halaman. Pakaiannya sekarang sudah lain 180 derajat dari kemarin. Roknya sudah semata kaki, bajunya panjang dan longgar. Berkat paket yang di antar ke rumah kemarin menggunakan jasa ojek online. Pengirimnya--jelas--Radit. Sebab satu-satunya hal yang pernah Gathan berikan padanya hanya ucapan selamat ulang tahun dan hadiah finger heart. Dengan murah hati--atau memang menganggapnya gendut, Radit memberikan seragam dalam segala ukuran termasuk XL. Manis sekali bukan? Tak seperti Gathan yang merasa bahwa finger heart-nya merupakan hadiah termanis. Tapi tetap saja rasa sayangnya pada mereka berdua sama besarnya. "Gue nyangka," Gathan menyahut. Orang satu ini memang tak bisa untuk menahan lidahnya. "Inget, ya, lo berdua harus masuk universitas yang sama sama gue. Gak boleh enggak,"

    Last Updated : 2024-10-29
  • The Sunday Sunflower   Bab 10

    Fan, di rumah, gak? Mau ambil earphone. Fanala mencebik membaca pesan dari Gathan. Di kirim hampir empat jam yang lalu. Tak ada niat ia membalas pesan yang terlambat di buka itu. Siapa suruh meninggalkan benda itu berulang kali. Ia mulai curiga Gathan sengaja meninggalkannya untuk suatu alasan tertentu.Studio itu sudah gelap. Kelas telah berakhir sejak satu jam yang lalu. Namun Fanala masih setia duduk di belakang sebuah piano dengan ponsel tergeletak di sisi.Fanala memainkan beberapa nada. Dadanya sesak. Piano, lagi-lagi hal yang berjalinan dengan sosok Farrel, selain bunga matahari. Karena dialah orang pertama yang mengajarinya menarikan jemari di atas tuts-tuts penuh melodi. Sulit untuk tak ingat sosoknya ketika bersentuhan dengan alat musik penuh nuansa hatam-putih ini. Menyalurkan sensasi tak nyaman di dadanya.Ia berkata akan lebih bahagia tanpa memanda

    Last Updated : 2024-10-29
  • The Sunday Sunflower   Bab 11

    "Radit mana?""Gak ikut. Mamanya hari ini udah boleh pulang."Fanala merasa asing menemui Sasha hanya seorang diri di depan pintu. Biasanya akan ada dua remaja laki-laki yang membuntutinya. Ganjil sekali melihatnya berdiri tunggal begini."Gathan?""Mampir beli camilan dulu. Dan gue gak dibolehin ikut. Katanya gue bakalan bikin jebol kantongnya, bikin pembagian uang jajannya selama satu munggu ke depan kacau. Dasar pelit memang si Gathan. Gak kayak Radit," omel Sasha. Ia langsung bersila di atas lantai, mengeluarkan buku-bukunya di atas meja.Fanala duduk di seberang Sasha. "Jadi Radit itu semacam bendahara?""Begitulah.""Kalo lo?"Sejenak Sasha mengernyitkan alisnya, berpikir. "Ketua geng." Ia tertawa dengan candaannya sendiri. "Kalo Gathan jangan tanya, dia ngakunya visual, padahal yang beneran visual aja milih jadi bendahara. Dia itu u

    Last Updated : 2024-10-29
  • The Sunday Sunflower   Bab 12

    Tok, tok, tok!Fanala melenguh, mengganti posisinya. Tangan meraba-raba mencari ponsel untuk melihat pukul berapa. Rasanya belum lama ia terjaga untuk solat subuh dan kembali melanjutkan mimpi.Sebelah mata Fanala mengintip sementara yang lain tak kuat menerima cahaya layar ponsel yang menyilaukan. 05.18. Astaga... Siapa yang bertamu sepagi ini, sih?! Urusan mendesak apa menyangkut dirinya yang harus dituntaskan sedini ini? Gila sekali. Tidak memahami penderitaan mahasiswa yang merasa bahwa tidur cukup adalah sebuah kemewahan.Fanala berniat mengabaikannya, namun si Pengetuk terlalu keras hati untuk menyerah.Sial!Nyap-nyap, Fanala keluar dari kamarnya. Bila pun di luar sana bukan tamu melainkan penjahat, ia tak akan segan mencaci makinya hingga menciut tanpa nyali. Dasar tak punya hati, mengganggu mahasiswa subuh begini!Pintu di tarik kasar. Empunya habis sabar.

    Last Updated : 2024-10-29
  • The Sunday Sunflower   Bab 13

    "Apa, sih, Than?" desis Sasha, menoleh ke belakang saat Gathan seenak pantatnya mengetuk kepalanya menggunakan sudut penggaris. "Belajar," geram Gathan, "Jangan ngaca mulu. Giliran gak ada kegiatan lo gak mau ngaca. Udah cantik lo itu."Wajah Sasha kesal tapi tak ingin memperpanjang urusan. Ia sedang tidak ingin berdiri di luar. Dan lagi, walau tak biasa, ucapan Gathan benar. Dia harus belajar, ujian tak lama lagi. Meski ia tak paham Gathan dapat hidayah dari mana menegurnya untuk belajar di kelas. Radit yang duduk di sisi Gathan pun mendapat aksi yang sama seperti Sasha. "Sakit, Go!" Radit membelalaki Gathan yang santai saja. Ia kemudian melirik guru Geografi yang teng

    Last Updated : 2024-10-29
  • The Sunday Sunflower   Bab 14

    Fanala henti di tengah halaman ketika menyadari ada yang tegak di depan pintu rumahnya. Ia tak pasti apa, namun agak seperti orang, tapi terlalu kaku untuk jadi makhluk hidup. Sebab lampu belum dinyalakan. Hanya cahaya remang dari lampu teras tetangga juga lampu jalan yang membantu penerangan. Suasana sepi malah membuatnya jadi lebih creepy. Ini sudah pukul sebelas kurang beberapa menit lagi.Fanala baru pulang dari rumah orang tuanya di luar kota. Tadinya Karel mau menjempunya di stasiun, namun ia berkata tak usah karena sudah pesan taksi online. Sekarang ia agak menyesal.Berdehem Fanala. Tak ada respon. Memastikana bahwasannya yang bersiri depan sana bukanlah manusia. Ia pun mengambil ponsel, menyalakan senter portable. Perlahan di arahnya pada entah-apa yang berdiri di sana.Napasnya terurai. Baru sadar sejak tadi ia menahanya. Sekali lagi Fanala mengarahkan cahaya pada benda asing yang sempa

    Last Updated : 2024-10-29
  • The Sunday Sunflower   Bab 15

    Sasha dan Radit duduk di sebuah bangku taman belakang sekolah. Keduanya diam. Ditinggal Gathan yang kelewat excited melihat hasil tryout yang kabarnya baru di tempel di mading. Sahabat mereka itu sudah jadi bagian kaum minoritas yang punya hasrat berjejalan sekedar untuk memeriksa nilai yang tak masuk hitungan dalam kelulusan.Taman itu cukup ramai. Para murid berkumpul dalam kelompok masing-masing. Ada yang bernyanyi, ada yang main kejar-kejaran (tampaknya melibatkan perasaan), ada yang hanya sekedar bercanda atau mengobrol di selingin cemilan basreng berteman es teh. Layaknya akhir pekan sekolah biasa. Banyak jam kosong yang dimanfaatkan sebaik mungkin untuk bersenang-senang."Dit?""Apa?" Radit menoleh pada Sasha, meninggalkan game online di ponselnya."Gue mau nanya pendapat lo, boleh?"Radit melipat sebelah kakinya di atas kursi, agar dapat sepenuhnya menghadap Sasha.

    Last Updated : 2024-10-29
  • The Sunday Sunflower   Bab 16

    Hari Minggu berlalu tenang. Gathan dan Fanala sama sekali tak bicara selama proses bimbel Sasha. Si Gathan yang telah berhasil membuat Fanala salah tingkah itu hanya melirik gadis yang ditemuinya semalam sesekali. Ia terlalu sibuk berkompetisi siapa yang lebih cepat menyelesaikan soal dengan Radit. Jadi hari itu berjalan, datar, agak canggung, serta lancar bagi Gathan dan Fanala.Pada Seninnya, Gathan tak menampakkan batang hidungnya sama sekali. Hanya makananya yang tiba menjelang pukul sebelas malam.Jadi ceritanya, Fanala mengunggah status di Whatsapp bahwa tengah mengidamkan seblak ceker tanpa berpikir ada yang merespon. Namun usai sekitar dua puluh menit berlalu, diketuklah pintu huniannya oleh abang ojek online berhelm hijau, menyatakan diri di kirim oleh pengguna bernama 'Gathan Ganz'.Dan ketika bokong Fanala baru menyentuh empuknya sofa coklat miliknya, sebuah pesan dari Gathan masuk.

    Last Updated : 2024-10-29

Latest chapter

  • The Sunday Sunflower   Epilog

    "Mau lo hitungin berapa kali juga, jumlah bunga matahari itu gak akan bertambah, Fan," ujar Gathan yang baru datang, melihat Fanala di tengah hari bolong ini berjongkok di hadapan pot-pot bunga mataharinya. Ia kemudian duduk di bangku di bawah rimbun pepohonan, bersandar santai.Fanala menoleh, membuat rambutnya yang sebahu itu bergoyang pelan. Matanya mendelik pada Gathan. "Tahu gue, tuh! Gue cuma memastikan gue gak salah hitung. Lagian lo ngapain sih ke sini? Jomblo lo, hari Minggu gini gak ada kerjaan?""Sewot banget sih, Fan. Gue tahu hari ini panas, tapi jangan marah-marah mulu lah. Cepet tua nanti, gak cantik lagi.""Apaan sih lo!" Wajah Fanala merah padam karena gombalan najis Gathan itu. Sejak ia tahu jika laki-laki yang lebih cocok jadi adiknya itu memyukainya, Fanala jadi sering merasa malu dekat-dekat dengan. "Duduk sini, Fan," ujar Gathan, menepuk bangku kosong di sisinya. "Panas kan di situ."Fanala berdehem sebelum bangkit berdiri lalu duduk di sisi Gathan. Ia heran, in

  • The Sunday Sunflower   Bab 76

    Sasha meletakkan satu buket bunga matahari di atas makam yang ditutup marmer hitam. Ia berjongkok di sisi makam itu, membersihkan daun-daun kering yang jatuh di atas nisan."Sayang, ya, Than, lo baru pulang setelah gak gue gak bisa ngajak lo main lagi. Padahal banyak yang pengen gue lakuin bareng sama lo kalo pulang lebih awal."Sudah setahun lebih Gathan meninggal. Sasha amat terpukul saat itu. Ia bahkan sempat pingsan dua kali ketika jasad Gathan tiba di Jakarta. Setelah delapan tahun pergi, Gathan pulang tinggal nama. Pedih sekali rasanya."Than, di sana gak ada Kak Nala, kan?" tanya Sasha, menepis air matanya yang jatuh tanpa diminta. "Kita di sini masih terus nyari Kak Nala walaupun polisi udah nyerah. Kak Nala terakhir terlihat di cctv terminal yang gak jauh dari pantai. Dan gak ada petunjuk lagi setelah itu. Kadang-kadang, saat gue kehilangan harapan, gue sering bertanya-tanya apa Kak Nala ada di laut? Apa dia terjebak di dasar lautan? Kesepian."Sebetulnya menyimpulkan bila K

  • The Sunday Sunflower   Bab 75

    "Udah bisa dihubungi Kak Nalanya, Dek?" tanya Bunda, muncul di pintu belakang. Sejak pagi beliau memintanya menghubungi Kak Nala karena beliau juga tak bisa menghubunginya."Belum, Bun. Masih gak aktif," sahut Sasha yang sedang duduk di beranda belakang, menonton Ayah membersihkan kandang burung-burung peliharaanya.Bunda mengernyit khawatir. "Kak Nala gak kenapa-kenapa kan ya? Bunda jadi khawatir.""Bunda udah selesai masaknya?" tanya Ayah."Iya," sahut Bunda."Beresin aja makanan yang mau dikasi ke Nala. Nanti Ayah sama Sasha yang anterin ke sana," ucap Ayah. Membuat Bunda berbalik masuk ke dalam, membereskan makanan yang ia buat untuk Kak Nala. Makanan itu jugalah yang jadi alasan Bunda mencoba menghubungi Kak Nala sejak pagi."Dua minggu yang lalu, Kak Nala ke sini mau ngapain, Dek?" tanya Ayah. Beliau menggantung kembali kandang-kandang burung yang sudah bersih."Mau ngomong sama Vira. Tapi Adek gak nanya ke Kak Nala sama Vira mereka ngomongin apa. Nanti dikira kepo lagi. Tapi ka

  • The Sunday Sunflower   Bab 74

    Sasha membawa Radit menjauh dari rumahnya. Ia tak ingin laki-laki itu bertemu dengan anggota keluarganya. Ini saja ia harus menjelaskan pada Kak Nala tentang Radit dan memintanya tak memberi tahu pada Kak Karel."Mau ngapain sih lo?" tanya Sasha setelah bukam sepanjang perjalanan menuju taman komplek yang sepi ini. Ia duduk di salah satu bangku mendahului Radit.Radit mengikuti Sasha, duduk di sisi gadis itu. Tanpa menyadari kedekatan yang ia ciptakan membuat jantung Sasha berdebar tak santai. "Elo sih gue telepon gak diangkat, gue chat gak dibaca.""Lo yang ngapain nelepon dan nge-chat gue?!" ucapa Sasha galak, mencoba bersuara lebih keras dari degup jantungnya. "Lo kan takut banget tuh ketahuan sama istri lo," cibirnya."Gue takut karena gue sayang sama Kala, Sha. Kalania, nama istri gue.""Gue gak pengen tahu nama istri lo," balas Sasha ketus.Hening. Radit tampaknya tak siap akan sikap Sasha yang begitu tak acuh padanya. Gadis dengan pandangan terluka yang ia lihat malam itu tamp

  • The Sunday Sunflower   Bab 73

    Setelah hari itu, Arbii beberapa kali berusaha menghubunginya, namun Fanala tak pernah mengangkatnya. Laki-laki itu bahkan datang ke rumah dan kantornya, menunggunya hingga larut, tapi Fanala tetap kukuh tak mau menjumpainya. Meski merasa kasihan, Fanala cukup keras hatinya mengingat ini untuk kebaikan Arbii itu sendiri.Selama dua minggu belakangan ini, Fanala sangat menyadari jika satu persatu hubungannya putus atau merenggang parah. Pertama, dengan kedua orang tuanya, yang tak pernah lagi menghubunginya atau dihubungi olehnya sejak Papa mengabari mereka telah tiba di Surabaya. Lalu, hubungan pekerjaannya yang di ujung tanduk, hanya tinggal dua minggu tersisa sebelum hubungan itu benar-benar putus. Kemudian, hubungannya dengan Arbii dan keluarganya yang kini tinggal kenangan. Dan kini hubungannya dengan Karel lah yang harus diputuskan.Fanala menghela napas, sebelum menghubungi Karel untuk memberi tahu laki-laki itu jika ia tengah berada di lobi kantornya. Karel yang ia minta turun

  • The Sunday Sunflower   Bab 72

    "Fan, aku agak telat gak apa-apa, ya? Kamu belum berangkat, kan?""Iya, gak apa-apa, Ar. Santai aja.""Oke. Tinggal satu janji lagi kok, abis itu aku langsung berangkat.""Iya, Ar."Fanala memutuskan sambungan dan meletakkan ponselnya di sisi ice americano-nya yang sudah tak lagi telalu dingin. Ya, ia berbohong pada Arbii tentang keberangkatannya. Ia sudah tiba di tempat janjian mereka sekitar setengah jam yang lalu. Ia hanya tak mau Arbii merasa tak enak karena membiarkannya menunggu. Cafe tempat Fanala kini berada kian ramai oleh pengunjung yang berpakaian rapi. Ia menduga mereka seperti dirinya—pegawai kantoran yang baru pulang kerja. Namun meski cafe itu mulai ramai, Fanala masih dapat mendengar jelas lagu yang tengar diputar: If Tomorrow Never Comes. Lagu favorit Gathan. Lagu pertama yang ia tahu dari laki-laki itu.Ini sudah kali kedua Fanala mengunjungi cafe ini, dan dua kali juga ia mendengar lagu ini diputar di sini. Entah ini kebetulan, pemiliknya memang suka lagu ini, atau

  • The Sunday Sunflower   Bab 71

    Sebagimana biasanya saat seseorang akan mengundurkan diri, akan ada waktu tunggu selama sebulan sebelum benar-benar off work. Waktu satu bulan itu akan digunakan perusahaan untuk mencari kandidat penggantinya dan Fanala harus mendelegasikan tugas-tugasnya pada penggantinya nanti.Saat sarapan tadi, Bang Dwiki sama sekali tak mencoba membujuknya, beliau hanya bertanya apa alasannya ingin mengundurkan diri. Dan saat Fanala menjelaskan alasannya, Bang Dwiki langsung menyetujui keputusannya dan menerima pengunduran dirinya. Namun Bang Dwiki berkata jika suatu saat nanti Fanala ingin kembali, ia akaj dengan senang hati menerimanya kembali bekerja untuk perusahaannya.Jadi kini Fanala mengendarai mobilnya pulang dengan perasaan sedikit lebih ringan, ada beban yang telah terangkat. Ia sudah menyelesaikan masalah dengan kantor. Sekarang ia akan menyelesaikan masalah dengan orang tuanya. Selanjutnya dengan Arbii dan keluarga laki-laki itu, dan terakhir masalah Karel dan Vira. Setelah itu ia be

  • The Sunday Sunflower   Bab 70

    Fanala turun dari ranjang pada pukul lima pagi. Jangan ditanya ia tidur atau tidak. Jawaban itu langsung nampak pasa kantong matanya yang menghitam. Meski lelah luar biasa dan tak dapat tertidur sama sekali semalam, Fanala berusaha berjalan senormal mungkin menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri.Lama Fanala berada di kamar mandi sebab sejak kemarin ia sama sekali belum membersihkan diri. Ia bahkan menyempatkan diri untuk memakai lulur badar dan masker rambut juga scrubing wajah. Ia burusaha terlihat seperti Fanala yang biasa. Fanala yang rapi, bersih, dan terawat baik. Kacaunya pikirannya tak perlu lah tampak lagi dari penampilan luarnya. Cukup kemarin saja. Hari ini ia harus sudah tampak seperti biasanya.Selepas keluar dari kamar mandi, Fanala langsung mengaplikasikan rangkaian produk perawatan kulit pada wajahnya sebelum wajahnya benar-benar kering. Kemudian ia mengeringkan rambutnya lalu menatanya menjadi sesikit bergelombang. Setelah rambutnya rapi dan wajahnya terpoles make

  • The Sunday Sunflower   Bab 69

    Karel agak terkejut saat Sasha membukakan pintu bahkan sebelum kakinya menyentuh teras rumah. Ia lebih terkejut lagi mendapati semua anggota keluarganya yang tinggal di rumah ini masih tergaja dan duduk-duduk di ruang tamu. Ini rumah mereka baru saja kedatangan tamu atau mereka sedang menunggunya pulang? Ia akan sangat terharu bilang mereka memang sedang menunggunya pulang. Apalagi dengan Vira yang sudah beberapa hari ini bersikap dingin pasanya."Nungguin aku pulang?" tanya Karel setelah melewati ambang pintu yang telah dikatup Sasha kembali."Gak usah pede banget," cela Sasha dari balik punggung Karel."Terung ngapain belum pada tidur dan malah ngumpul-ngumpul di sini?" tanya Karel heran. Mana mungkin tidak? Setiap kali ia sungguhan lembur dan pulang malam, rumah pasti sudah gelap dan semua orang telah terlelap—ya, kecuali Vira. Namun Vira pun akan menunggunya di kamar, bukan di ruang tamu macam sekarang."Tante Rieke masuk rumah sakit," sahut Bunda. Wajahnya berkerut cemas. Hal itu

DMCA.com Protection Status