Fanala henti di tengah halaman ketika menyadari ada yang tegak di depan pintu rumahnya. Ia tak pasti apa, namun agak seperti orang, tapi terlalu kaku untuk jadi makhluk hidup. Sebab lampu belum dinyalakan. Hanya cahaya remang dari lampu teras tetangga juga lampu jalan yang membantu penerangan. Suasana sepi malah membuatnya jadi lebih creepy. Ini sudah pukul sebelas kurang beberapa menit lagi.
Fanala baru pulang dari rumah orang tuanya di luar kota. Tadinya Karel mau menjempunya di stasiun, namun ia berkata tak usah karena sudah pesan taksi online. Sekarang ia agak menyesal.
Berdehem Fanala. Tak ada respon. Memastikana bahwasannya yang bersiri depan sana bukanlah manusia. Ia pun mengambil ponsel, menyalakan senter portable. Perlahan di arahnya pada entah-apa yang berdiri di sana.
Napasnya terurai. Baru sadar sejak tadi ia menahanya. Sekali lagi Fanala mengarahkan cahaya pada benda asing yang sempa
Sasha dan Radit duduk di sebuah bangku taman belakang sekolah. Keduanya diam. Ditinggal Gathan yang kelewat excited melihat hasil tryout yang kabarnya baru di tempel di mading. Sahabat mereka itu sudah jadi bagian kaum minoritas yang punya hasrat berjejalan sekedar untuk memeriksa nilai yang tak masuk hitungan dalam kelulusan.Taman itu cukup ramai. Para murid berkumpul dalam kelompok masing-masing. Ada yang bernyanyi, ada yang main kejar-kejaran (tampaknya melibatkan perasaan), ada yang hanya sekedar bercanda atau mengobrol di selingin cemilan basreng berteman es teh. Layaknya akhir pekan sekolah biasa. Banyak jam kosong yang dimanfaatkan sebaik mungkin untuk bersenang-senang."Dit?""Apa?" Radit menoleh pada Sasha, meninggalkan game online di ponselnya."Gue mau nanya pendapat lo, boleh?"Radit melipat sebelah kakinya di atas kursi, agar dapat sepenuhnya menghadap Sasha.
Hari Minggu berlalu tenang. Gathan dan Fanala sama sekali tak bicara selama proses bimbel Sasha. Si Gathan yang telah berhasil membuat Fanala salah tingkah itu hanya melirik gadis yang ditemuinya semalam sesekali. Ia terlalu sibuk berkompetisi siapa yang lebih cepat menyelesaikan soal dengan Radit. Jadi hari itu berjalan, datar, agak canggung, serta lancar bagi Gathan dan Fanala.Pada Seninnya, Gathan tak menampakkan batang hidungnya sama sekali. Hanya makananya yang tiba menjelang pukul sebelas malam.Jadi ceritanya, Fanala mengunggah status di Whatsapp bahwa tengah mengidamkan seblak ceker tanpa berpikir ada yang merespon. Namun usai sekitar dua puluh menit berlalu, diketuklah pintu huniannya oleh abang ojek online berhelm hijau, menyatakan diri di kirim oleh pengguna bernama 'Gathan Ganz'.Dan ketika bokong Fanala baru menyentuh empuknya sofa coklat miliknya, sebuah pesan dari Gathan masuk.
Fanala tak lupa mengecup pipi standee D.O sebelum pergi keluar menemui Karel yang sudah menanti. Sebuah rutinitas baru sejak benda itu ada di sini."Rel, lo bawa laptop, kan?" Fanala bertanya pada Karel yang sudah stand by di atas motor hitamnya. Tangan Fanala bergerak cepat mengunci pintu."Bawa," jawab Karel singkat. Matanya memandang dua pot bunga matahari di tepi halaman, baru sadar akan kehadirannya."Punya gue low bat lupa di-charge," Fanala memberi penjelasan usai menerima helm dari sahabatnya.Tak menanggapi ucapan Fanala, Karel mata bertanya soal lain. "Lo melihara bunga matahari sekarang, La?""Iya." Fanala naik ke atas motor. "Soalnya sekarang dapet bunga yang masih hidup.""Loh," Karel menoleh, tangannya sudah siap di atas stang, "gue kira udah gak ada kiriman lagi.""Cuma libur doang. Dua minggu."
Bus berhenti di sebuah halte. Belakangan ini Gathan lebih memilih naik bus ketimbang ojek online demi menghemat sedikit uang jajannya. Sebab ia butuh lebih banyak uang sisa akhir-akhir ini.Karena banyak yang turun, Gathan menoleh sejenak ke arah pintu. Tak terduga, ia melihat seorang gadis familiar menaiki bus usai para penumpang yang telah sampai tujuannya turun semua.Mata Gathan terus mengikuti gadis itu. Sampai sosok yang jadi sasaran fokusnya memilih sebuah kursi kosong di barisan depan.Gathan pun kembali menatap layar ponselnya. Mengetuk sebuah aplikasi chatting yang paling sering ia gunakan. Lama ia menatap kontak bergambar gadis cantik yang tersenyum lebar. Kontak milik Fanala.Begitu kontak itu di sentuh, munculan percakapan terakhir Gathan dengan Fanala. Ragu-ragu Gathan mengetik pesan baru.Lagi di mana?
"Radit!"Radit yang sudah siap dalam balutan seragam sekolah berhenti mendengar panggilan dari ayahnya saat ia melangkah melewati ruang makan. Ia pun berbalik. Sudah lama tak ada kata di antara mereka. Sejak... lama. Dan ini pasti penting sampai ayahnya mau repot menyapanya.Tak segera Radit menjawab apalagi mendekat. Ia berdiri saja di tempat, dengan tangan menggantung di tali tas."Papa mau bicara. Bisa ke sini sebentar?"Radit menggembuskan napas. Namun ia mendekat juga ke meja makan. Sudah ada lima tahun mungkin ia tak pernah lagi satu meja dengan ayahnya. Amarah dan rasa benci langsung menggerogotinya setiap bertemu tatap dengan pria menjelang paruh baya itu."Duduk!""Aku berdiri juga bisa denger," Radit menolak.Adit mencengkram gelas jus jeruknya. Buku-buku jarinya memutih. Jelas sekali bila pagi ini amarahnya mulai menyala.
Malam Minggu yang cerah. Banyak yang pacaran, atau mencoba mencapai tahap itu. Begitu yang Gathan amati. Terbukti dengan banyak sekali laki-laki yang beli dua es krim coklat cone--sampai Gathan tak kebagian! Jadilah hanya es krim buah rasa pisang yang dapat diperolehnya. Padahal ia tak suka pisang, rasanya aneh. Tapi lebih baik dari pada tidak sama sekali.Gathan membawa dua es krim rasa pisang melewati pintu kaca Indomaret yang dibiarkan terbuka dengan banyaknya pengunjung. Ia menduduki tempat kosong yang baru saja ditinggalkan, di sisi seorang gadis berambut sepundak yang tertunduk tak peduli sekitar. Mencirikan orang galau."Mau gak?" Gathan menempelkan satu es krim ke pipi Fanala. Membuat gadis itu menoleh, sementara ia hanya menelengkan kepala seraya tersenyum semanis yang bisa dilengkungkan bibir tipisnya.Wajah Fanala muram, matanya merah. Seperti orang yang menahan tangis. Yang diyakini Gathan memang terjadi.
Langit cerah. Biru dengan sedikit gumpalan awan seputih kapas. Cuaca yang baik untuk piknik.Gathan dengan kemeja kotak-kotak kecil berwarna biru berpadu celana putih beserta tatanan rambut sempurna, melangkah memasuki pelataran rumah sewa Fanala. Ada keranjang piknik menggantung di satu tangannya. Ia tampak begitu boyfriendable.Buku-buku jari Gathan mengetuk pintu dengan santai. Suasana hatinya sedang baik. Dan suara kicauan burung-burung hias tetangga sebelah membuat siang ini nampak lebih sempurna.Hari ini akan sempurna.Tak lama pintu terbuka. Fanala dalam balutan pakaian semalam muncul seraya mengucek mata dengan cara yang menggemaskan dalam pandangan Gathan. Terang ia telah mengusik tidur gadis itu. Padahal ini sudah siang, lewat tengah hari malah."Kenapa, Than?" tanya Fanala. Suara pelan, khas orang baru bangun tidur."Piknik, yuk?" ajak Gathan. Gatal se
Gathan menutup pintu di belakangnya. Sebelah tangannya bergerak mengeringkan rambut menggunakan selembar handuk berwarna gelap. Dalam dua langkah ia melompat ke tempat tidur, kemudia berbaring terlentang.Hari ini sangat melelahkan. Tapi itu ada apanya dibanding rasa bahagianya. Seharian penuh menghabiskan waktu bersama gadis yang tengah sangat disukainya saat ini. Tertawa, berlari, di pantai. Bahkan suara tawa Fanala yang merdu masih terngiang-ngiang di telinganya. Membuat ia selalu ingin menghela napas dalam, mengapresiasi suara itu.Tangan Gathan meraba-raba mencari ponsel yang tadi dilemparkannya saja sebelum mandi. Tak lama benda itu pun didapatkannya dekat bantal.Ibu jari Gathan lincah bergerak di atas layar, membuka aplikasi chatting berwarna hijau. Mengecek pesan-pesan yang masuk. Ada dari Sasha, Mimi, juga beberapa group yang diikutinya. Tidak ada yang penting. Ia pun beralih melihat snap-snap t
"Mau lo hitungin berapa kali juga, jumlah bunga matahari itu gak akan bertambah, Fan," ujar Gathan yang baru datang, melihat Fanala di tengah hari bolong ini berjongkok di hadapan pot-pot bunga mataharinya. Ia kemudian duduk di bangku di bawah rimbun pepohonan, bersandar santai.Fanala menoleh, membuat rambutnya yang sebahu itu bergoyang pelan. Matanya mendelik pada Gathan. "Tahu gue, tuh! Gue cuma memastikan gue gak salah hitung. Lagian lo ngapain sih ke sini? Jomblo lo, hari Minggu gini gak ada kerjaan?""Sewot banget sih, Fan. Gue tahu hari ini panas, tapi jangan marah-marah mulu lah. Cepet tua nanti, gak cantik lagi.""Apaan sih lo!" Wajah Fanala merah padam karena gombalan najis Gathan itu. Sejak ia tahu jika laki-laki yang lebih cocok jadi adiknya itu memyukainya, Fanala jadi sering merasa malu dekat-dekat dengan. "Duduk sini, Fan," ujar Gathan, menepuk bangku kosong di sisinya. "Panas kan di situ."Fanala berdehem sebelum bangkit berdiri lalu duduk di sisi Gathan. Ia heran, in
Sasha meletakkan satu buket bunga matahari di atas makam yang ditutup marmer hitam. Ia berjongkok di sisi makam itu, membersihkan daun-daun kering yang jatuh di atas nisan."Sayang, ya, Than, lo baru pulang setelah gak gue gak bisa ngajak lo main lagi. Padahal banyak yang pengen gue lakuin bareng sama lo kalo pulang lebih awal."Sudah setahun lebih Gathan meninggal. Sasha amat terpukul saat itu. Ia bahkan sempat pingsan dua kali ketika jasad Gathan tiba di Jakarta. Setelah delapan tahun pergi, Gathan pulang tinggal nama. Pedih sekali rasanya."Than, di sana gak ada Kak Nala, kan?" tanya Sasha, menepis air matanya yang jatuh tanpa diminta. "Kita di sini masih terus nyari Kak Nala walaupun polisi udah nyerah. Kak Nala terakhir terlihat di cctv terminal yang gak jauh dari pantai. Dan gak ada petunjuk lagi setelah itu. Kadang-kadang, saat gue kehilangan harapan, gue sering bertanya-tanya apa Kak Nala ada di laut? Apa dia terjebak di dasar lautan? Kesepian."Sebetulnya menyimpulkan bila K
"Udah bisa dihubungi Kak Nalanya, Dek?" tanya Bunda, muncul di pintu belakang. Sejak pagi beliau memintanya menghubungi Kak Nala karena beliau juga tak bisa menghubunginya."Belum, Bun. Masih gak aktif," sahut Sasha yang sedang duduk di beranda belakang, menonton Ayah membersihkan kandang burung-burung peliharaanya.Bunda mengernyit khawatir. "Kak Nala gak kenapa-kenapa kan ya? Bunda jadi khawatir.""Bunda udah selesai masaknya?" tanya Ayah."Iya," sahut Bunda."Beresin aja makanan yang mau dikasi ke Nala. Nanti Ayah sama Sasha yang anterin ke sana," ucap Ayah. Membuat Bunda berbalik masuk ke dalam, membereskan makanan yang ia buat untuk Kak Nala. Makanan itu jugalah yang jadi alasan Bunda mencoba menghubungi Kak Nala sejak pagi."Dua minggu yang lalu, Kak Nala ke sini mau ngapain, Dek?" tanya Ayah. Beliau menggantung kembali kandang-kandang burung yang sudah bersih."Mau ngomong sama Vira. Tapi Adek gak nanya ke Kak Nala sama Vira mereka ngomongin apa. Nanti dikira kepo lagi. Tapi ka
Sasha membawa Radit menjauh dari rumahnya. Ia tak ingin laki-laki itu bertemu dengan anggota keluarganya. Ini saja ia harus menjelaskan pada Kak Nala tentang Radit dan memintanya tak memberi tahu pada Kak Karel."Mau ngapain sih lo?" tanya Sasha setelah bukam sepanjang perjalanan menuju taman komplek yang sepi ini. Ia duduk di salah satu bangku mendahului Radit.Radit mengikuti Sasha, duduk di sisi gadis itu. Tanpa menyadari kedekatan yang ia ciptakan membuat jantung Sasha berdebar tak santai. "Elo sih gue telepon gak diangkat, gue chat gak dibaca.""Lo yang ngapain nelepon dan nge-chat gue?!" ucapa Sasha galak, mencoba bersuara lebih keras dari degup jantungnya. "Lo kan takut banget tuh ketahuan sama istri lo," cibirnya."Gue takut karena gue sayang sama Kala, Sha. Kalania, nama istri gue.""Gue gak pengen tahu nama istri lo," balas Sasha ketus.Hening. Radit tampaknya tak siap akan sikap Sasha yang begitu tak acuh padanya. Gadis dengan pandangan terluka yang ia lihat malam itu tamp
Setelah hari itu, Arbii beberapa kali berusaha menghubunginya, namun Fanala tak pernah mengangkatnya. Laki-laki itu bahkan datang ke rumah dan kantornya, menunggunya hingga larut, tapi Fanala tetap kukuh tak mau menjumpainya. Meski merasa kasihan, Fanala cukup keras hatinya mengingat ini untuk kebaikan Arbii itu sendiri.Selama dua minggu belakangan ini, Fanala sangat menyadari jika satu persatu hubungannya putus atau merenggang parah. Pertama, dengan kedua orang tuanya, yang tak pernah lagi menghubunginya atau dihubungi olehnya sejak Papa mengabari mereka telah tiba di Surabaya. Lalu, hubungan pekerjaannya yang di ujung tanduk, hanya tinggal dua minggu tersisa sebelum hubungan itu benar-benar putus. Kemudian, hubungannya dengan Arbii dan keluarganya yang kini tinggal kenangan. Dan kini hubungannya dengan Karel lah yang harus diputuskan.Fanala menghela napas, sebelum menghubungi Karel untuk memberi tahu laki-laki itu jika ia tengah berada di lobi kantornya. Karel yang ia minta turun
"Fan, aku agak telat gak apa-apa, ya? Kamu belum berangkat, kan?""Iya, gak apa-apa, Ar. Santai aja.""Oke. Tinggal satu janji lagi kok, abis itu aku langsung berangkat.""Iya, Ar."Fanala memutuskan sambungan dan meletakkan ponselnya di sisi ice americano-nya yang sudah tak lagi telalu dingin. Ya, ia berbohong pada Arbii tentang keberangkatannya. Ia sudah tiba di tempat janjian mereka sekitar setengah jam yang lalu. Ia hanya tak mau Arbii merasa tak enak karena membiarkannya menunggu. Cafe tempat Fanala kini berada kian ramai oleh pengunjung yang berpakaian rapi. Ia menduga mereka seperti dirinya—pegawai kantoran yang baru pulang kerja. Namun meski cafe itu mulai ramai, Fanala masih dapat mendengar jelas lagu yang tengar diputar: If Tomorrow Never Comes. Lagu favorit Gathan. Lagu pertama yang ia tahu dari laki-laki itu.Ini sudah kali kedua Fanala mengunjungi cafe ini, dan dua kali juga ia mendengar lagu ini diputar di sini. Entah ini kebetulan, pemiliknya memang suka lagu ini, atau
Sebagimana biasanya saat seseorang akan mengundurkan diri, akan ada waktu tunggu selama sebulan sebelum benar-benar off work. Waktu satu bulan itu akan digunakan perusahaan untuk mencari kandidat penggantinya dan Fanala harus mendelegasikan tugas-tugasnya pada penggantinya nanti.Saat sarapan tadi, Bang Dwiki sama sekali tak mencoba membujuknya, beliau hanya bertanya apa alasannya ingin mengundurkan diri. Dan saat Fanala menjelaskan alasannya, Bang Dwiki langsung menyetujui keputusannya dan menerima pengunduran dirinya. Namun Bang Dwiki berkata jika suatu saat nanti Fanala ingin kembali, ia akaj dengan senang hati menerimanya kembali bekerja untuk perusahaannya.Jadi kini Fanala mengendarai mobilnya pulang dengan perasaan sedikit lebih ringan, ada beban yang telah terangkat. Ia sudah menyelesaikan masalah dengan kantor. Sekarang ia akan menyelesaikan masalah dengan orang tuanya. Selanjutnya dengan Arbii dan keluarga laki-laki itu, dan terakhir masalah Karel dan Vira. Setelah itu ia be
Fanala turun dari ranjang pada pukul lima pagi. Jangan ditanya ia tidur atau tidak. Jawaban itu langsung nampak pasa kantong matanya yang menghitam. Meski lelah luar biasa dan tak dapat tertidur sama sekali semalam, Fanala berusaha berjalan senormal mungkin menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri.Lama Fanala berada di kamar mandi sebab sejak kemarin ia sama sekali belum membersihkan diri. Ia bahkan menyempatkan diri untuk memakai lulur badar dan masker rambut juga scrubing wajah. Ia burusaha terlihat seperti Fanala yang biasa. Fanala yang rapi, bersih, dan terawat baik. Kacaunya pikirannya tak perlu lah tampak lagi dari penampilan luarnya. Cukup kemarin saja. Hari ini ia harus sudah tampak seperti biasanya.Selepas keluar dari kamar mandi, Fanala langsung mengaplikasikan rangkaian produk perawatan kulit pada wajahnya sebelum wajahnya benar-benar kering. Kemudian ia mengeringkan rambutnya lalu menatanya menjadi sesikit bergelombang. Setelah rambutnya rapi dan wajahnya terpoles make
Karel agak terkejut saat Sasha membukakan pintu bahkan sebelum kakinya menyentuh teras rumah. Ia lebih terkejut lagi mendapati semua anggota keluarganya yang tinggal di rumah ini masih tergaja dan duduk-duduk di ruang tamu. Ini rumah mereka baru saja kedatangan tamu atau mereka sedang menunggunya pulang? Ia akan sangat terharu bilang mereka memang sedang menunggunya pulang. Apalagi dengan Vira yang sudah beberapa hari ini bersikap dingin pasanya."Nungguin aku pulang?" tanya Karel setelah melewati ambang pintu yang telah dikatup Sasha kembali."Gak usah pede banget," cela Sasha dari balik punggung Karel."Terung ngapain belum pada tidur dan malah ngumpul-ngumpul di sini?" tanya Karel heran. Mana mungkin tidak? Setiap kali ia sungguhan lembur dan pulang malam, rumah pasti sudah gelap dan semua orang telah terlelap—ya, kecuali Vira. Namun Vira pun akan menunggunya di kamar, bukan di ruang tamu macam sekarang."Tante Rieke masuk rumah sakit," sahut Bunda. Wajahnya berkerut cemas. Hal itu