"Heran gue, segitu napsunya dia berharap gue yang ngasih."
"Idih!" Sasha mengernyitkan hidungnya. "Dia gak berharap lo ngasih. Dia berharap ketemu sama orang yang selalu ngasih dia bunga matahari setiap Minggu sejak dia kecelakaan dua tahun yang lalu."
Gathan, Radit, dan Sasha tengah berdiri di teras kelasnya yang ada di lantai tiga. Mereka memandangi murid-murid berlalu lalang melintasi lapangan basket seraya mengunyah permen karet.
"Kecelakaan? Kalo gitu jelas dong, yang ngasih yang nabrak Kak Nala. Karena dia ngerasa bersalah," ujar Radit. Seusai meletupkan gelembung yang dibuatnya.
"Kak Nala gak di tabrak, Radit yang ganteng."
"Terus, Sasha yang cantik?" Gathan yang menyahut.
"Dia kecelakaan pas dianter Kak Farrel pulang pakek motor. Soalnya waktu itu hujan, jadi jalanan licin, Gathan yang kurang ganteng."
"Kerajinan banget ngasih bunga tiap minggu selama dua tahun," komentar Radit. "Gue, sih, ogah."
"Sama." Gathan sepaham
Sasha yakin mereka tidak akan melakukan itu. Dua sahabatnya jauh dari tipe pria romantis. Jangankan romantis, salah satu dari dua laki-laki itu pun tak peka. Sedangkan seorang yang lain merasa bahwa bersifat romantis itu tak ada faedahnya.
Mereka diam, sibuk dengan permen karet masing masing.
Buk!
"Aa!" Jeritan tertahan terontar dari bibir Gathan. Ia berputar, menemukan wajah galak Fira bersama buku paket di tangan.
"Gue hampir ke telen permen karet, Fir!" protes Gathan.
Sasha maupun Radit tak menghiraukan konflik yang baru terjadi. Mereka muak dengan pertengkaran Gathan dan sang sekretaris kelas. Tampaknya Gathan punya kemampuan untuk cekcok dengan siapa pun.
Santai, Fira menyahut, "Gue gak peduli. Buku tugas Matematika lo mana?"
"Ah elah, biasanya lo mandiri nyariin di meja."
"Gue masih mandiri karena temen sekelas gue gak ada yang tahu diri buat ngumpulin tugas di meja guru."
"Terus sekarang kenapa? Lo segitu pengennya nyari perhatian--"
"Amit-amit," sela Fira cepat. Kelihatan sekali dari tampangnya bahwa ia jijik.
"Terus kenapa kalo gitu? Lo mau manja-man--"
"Buku lo gak ada di meja. Buruan cariin gak usah makin gak tahu diri dan jangan bikin gue makin jijik sama lo!" Fira menyambar dasi Gathan dan menyeretnya masuk, meninggalkan dua kawannya yang tak peduli.
"Sha, lo gak pernah kepikiran gitu kalo Karel yang ngirim Kak Nala bunga?"
"Kakak gue memang suka banget sama Kak Nala, tapi dia bukan tipe orang yang bakalan ngelakuin hal seromantis itu."
"Menurut gue itu gak romantis. Agak creepy malah. Mungkin aja dia penderita otello sindrom atau semacam itulah. Gimana kalo suatu saat di berbuat yang enggak-enggak?"
"Persis kayak pikiran Karel. Cowok..." Sasha mengeluh.
***
"Emang lo mau orang yang sering ngasih bunga itu Gathan?"
"Gue, sih, siapa aja, Rel. Yang penting bentuknya manusia. Abis gue penasaran banget."
"Gak Gathan juga kali, La. Makhluk hidup gak jelas begitu."
Fanala tersenyum. Ia meminum es cendolnya lagi. Siang-siang begini emang enaknya minum yang dingin-dingin di bawah pohon beringin. Seperti sekarang.
Fanala tak hanya nongkrong berdua di bawah pohon dengan Karel, tapi denga banyak mahasiswa lainnya, hanya saja berbeda kelompok pertemanan.
"Rel," panggil Fanala. Gagasan yang selama ini timbul di benaknya sekonyong-konyong minta dikeluarkan.
"Mm?"
"Menurut lo yang ngirimin gue bunga cowok apa cewek."
"Kalo cewek pasti dia gak normal. Jadi kemungkinan besar cowok."
"Kenapa harus diem-diem?"
"Mungkin..." Karel menatap Fanala. "Karena dia itu punya pasangan."
Fanala mencibir. "Terus ngapain ngelakuin hal kayak gitu ke gue?"
"Labil kali," balas Karel cuek.
"Jawaban lo kok jahat, ih!"
"Gue realistis, La. Gak mau lo berharap, terus sakit hati kalo tiba-tiba orang misterius itu berhenti."
"Gue udah cukup dewasa buat menyikapi sesuatu, Rel."
"Mau anak-anak, remaja, atau dewasa. Hati tetap hati, La. Lo gak punya kendali sepenuhnya. Lo bisa jatuh hati sama siapa aja. Penggemar misterius lo, sahabat lo," Fanala melirik Karel cepat" atau bahkan kakak sahabat lo," tandas Karel. Wajahnya merah.
Yah... Karel benar. Ia memang tak bisa mengendalikan hatinya untuk jatuh pada siapa. Seperti ia jatuh hati pada kakak sahabatnya.
***
Padahal tadi siang panas sekali. Sampai aspal hampir menyerah dan leleh. Tapi sore ini tiba-tiba hujan deras. Sungguh tidak jelas, seperti emosi wanita saat PMS.
"Telepon Fanala, gih, Sha. Basah di sini lama-lama. Gimana nasib Hp gue nanti jadinya," Gathan mengomel. Ia dan Radit sibuk dorong-dorongan di sempitnya teras kontrakan Fanala.
Sasha secara dadakan ada bimbel bersama Fanala sore ini karena perubahan jadwa tutornya itu serta pertimbangan US yang kian dekat. Membuat ia dan dua sahabatnya kelimpungan takut Fanala menunggu lama. Ternyata ketika tiba di lokasi tujuan, pemilik tempat pun belum tiba di rumah.
Sasha mengotak-atik ponselnya, seketika sadar kuota internetnya telah raib tak bersisa.
"Lo ajalah yang telepon, gue gak ada sinyal."
Gathan menyalin nomor Fanala, kemudian menempelkan ponselnya ke telinga.
"Ini gue Gathan," ujar Gathan begitu sambungan di terima. "Gue sama Sasha-Radit udah di depan tempat lo nih. Buruan."
"Gue di halte depan. Ambil aja kunci di bawah pot bunga."
"Oke-oke..." Gathan mengangkat pot dekat pintu. "Udah ketemu," ujarnya ketika menemukan benda yang dicari dan menyerahkannya pada Sasha.
"Than?"
"Apa?"
Hening sebentar. Pintu pun telah terbuka.
"Apaan, Fan? Kalo gak ada lagi udah dulu, ya."
"Bisa minta tolong bawain payung ke sini gak?"
***
Fanala mulai berpikir bahwa Gathan itu tipe manusia yang suka bilang 'iya-iya' tapi nyatanya tidak dilakukan. Sudah lima belas menit berlalu, tapi Gathan tak kunjung datang. Padahal kontrakannya hanya berjarak dua ratus meter dari sini. Sepertinya sebuah kesalahan berharap pada Gathan.
"Mau balik, gak?" sebuah suara familier menyapa indera pendengar Fanala di antara deru hujan deras. Ia mengangkat wajahnya. Nampaklah muka malas Gathan di bawah naungan payung hitam.
Bangkit berdiri, Fanala mengambil payung merah muda yang diulurkan Gathan.
Gatal sekali mulut Fanala ingin mengeluh betapa lamanya bocah satu ini, sayangnya ia ingat bahwa-bahkan-Gathan bukan siapa-siapanya. Syukur-syukur laki-laki itu mau datang walau butuh waktu. Jika saja yang dihadapannya ini Karel...
"Ayo," Fanala siap melangkah, ketika Gathan menahan lengan kardigannya.
"Mana makasihnya?"
Fanala tersenyum, setengah ingin tertawa. "Makasih, Gathan."
"Sama-sama." Gathan mendahului Fanala.
Senyum Fanala belum luntur ketika ia melangkah cepat agar bisa menjajari Gathan. Seraya melangkah ia mengaduk-aduk tasnya tanpa melihat.
"Nih," ujar Fanala, menyuluhkan sebatang permen karet.
Gathan menoleh pada Fanala yang kini telah berada di sisinya. Ia berkata, "gak usah." Namun tetap menerimanya dan menenggelamkan permen itu ke dalam saku. "Tapi makasih."
"Udah punya bahan obrolan?" tanya Fanala. Ingat ketika terakhir kali berdua mereka kekurangan topik bicara.
"Belum, sih. Cuma lagi banyak pikiran, jadi gak pengen ngobrol."
"Ok..." Fanala mengangguk. Terserahnya saja. Yang penting tak perlu merasa canggung jika mereka sama-sama diam, karena ia tahu memang Gathan yang tak ingin bicara.
Belum ada seperempat dari total jarak yang mereka tempuh, Gathan sudah menunjukan bahwa jumlah beban pikirannya tak cukup banyak untuk menggunakan frasa 'lagi banyak pikiran'.
"Menurut gue itu gak romantis sama sekali," Gathan memulai. Terang yang ia maksud adalah sepasang murid SMA yang baru melintas bertudungkan jaket. "Itu yang cowok gak modal--padahalkan Indomaret deket. Beli payung, kek. Malah pakek jaket. Di kira gerimis. Gaya doang gede. Yang cewek lagi, pikirannya udah luntur kerembesan air hujan--mau-mauan diajak nyari penyakit."
Lagi-lagi Fanala tersenyum, menahan tawa. Ia yakin Karel tak akan suka dengan komentar Gathan menggingat sahabatnya itu pernah mencoba melakukan hal serupa, yang ia tertawakan.
"Katanya lagi banyak pikiran, tapi masih sempet mikirin urusan orang," sindirnya.
"Soalnya kepinteran dua manusia itu terlalu mencolok. Mulut gue gatel kalo gak komen."
"Terus yang romantis menurut lo gimana?"
Tampaknya Gathan tak perlu memikirkan pertanyaannya itu. Karena ia langsung menjawab dengan santai.
"Kalo gue yang ada di posisi cowok tadi, gue bakal beli dua payung. Satu buat gue sendiri, satu buat cewek gue."
"Kenapa gak satu payung berdua? Kan lebih romantis."
Fanala pikir laki-laki akan lebih suka satu payung berdua bersama pacarnya. Kerena posisi mereka jadi lebih dekat.
"Ya, enggalah. Pakek payung sendiri-sendiri aja masih sering kena hujan, apalagi berdua. Makin sedikit kena hujan, makin sedikit kemungkinan flu. Dan cowok yang berusaha sebisa mungkin bikin ceweknya gak sakit, itu baru romantis menurut gue. Bukan kayak tadi, mau flu ngajak-ngajak ceweknya."
"Terus, lo ngerasa kita sekarang dalam kondisi romantis?" Fanala memberi isyarat bahwa mereka dinaungi payung yang berbeda, bermaksud menggoda Gathan.
"Lo ngerasa cewek gue?" balas Gathan.
***
Dengan rambut terbalut handuk, Fanala mematut diri di depan cermin. Jemarinya meratakan moisturizer ke wajah. Hari ini tanggal merah, jadi ia bisa agak santai. Tak ada agenda apapun hari ini, selain janjian bimbel dengan Sasha yang dilakukan dadakan. Ia berpikir agak kurang efektif mengajari Sasha hanya satu minggu sekali, jadi kapan pun ada waktu ia usahankan untuk mengatur jadwal dengan adik sahabatnya itu.Usai memakai liptint, Fanala melepas handuk dari kepalanya dan bersisir. Kemudian ia keluar kamar untuk menyibak gonden dan pergi berjemur di halaman sejenak sembari mengeringkan rambut.Cahaya matahari seketika membanjiri ruang duduk Fanala yang sederhana saat ia menaraik terbuka gonden biru penutup dua jendela kecil tempat tingggalnya. Hangat dan menyenangkan. Diputarnya kunci dan melangkah melewati ambang pintu.Fanala menutup mata, merasakan cahaya matahari yang menerpanya. Nyaman sekali. Dihelannya napas panjang,
Gloomy.Gathan membaca snapwhatsaap kontak bernama 'Fanala the next'. Unggahan itu berlabel 'just now'. Padahal sekarang sudah pukul setengah dua pagi. Apa gadis itu sedang banyak tugas? Padahal tampaknya Fanala bukan tipe gadis yang menunda-nunda tugas, apalagi kemari tanggal merah, Sasha juga membatalkan janji mereka.Begadang, Fan? Gathan mengomentari posting-an milik Fanala. Tak segera ia keluar, menunggu dua centang biru sebab gadis itu tengah online.Posisi Gathan yang tadi terlentang sekonyong-konyong berubah tengkurap ketika yang dinanti terwujud dan tulisan typing tertangkap netra. Ada senyum di matanya.Susah tidur. Lo sendiri ngapain belum tidur? Ngerjain tugas? B
Malam ini berangin. Membuat Gathan merapikan rambutnya berkali-kali. Dalam balutan celana jeans dengan atasan kaos yang di tutup jaket danim tak terkancing. Ia nampak jauh lebih baik dari penampilan biasanya dengan seragam penuh keringat.Ia ada di depan rumah kecil yang di sewa Fanala. Tujuannya jelas, mengambil earphone. Tidak ada yang lain.Sejenak ia berdehem sebelum mengetuk pintu."Fan, Fanala!" panggilnya.Tak ada jawaban. Dicobanya lagi. Kembali tak ada sahutan. Apa Fanala sudah tidur? Atau gadis itu sedang keluar?Celingak-celinguk Gathan ke kanan-kiri. Ia melogak jendela di sisi pintu, tak terlihat apapun.Sudahlah, pikirnya, lebih baik besok malam saja. Tampaknya ia kurang beruntung hari ini.Ia berbalik."Kenapa, Than?""Astagfirullahalazim!" Gathan terlonjak, terkejut dengan kehadiran Fanala yan
"Gak nyangka ya tinggal beberapa bulan lagi kita lulus," ujar Sasha pada Radit dan Gathan yang digandengnya kanan-kiri melintasi halaman. Pakaiannya sekarang sudah lain 180 derajat dari kemarin. Roknya sudah semata kaki, bajunya panjang dan longgar. Berkat paket yang di antar ke rumah kemarin menggunakan jasa ojek online. Pengirimnya--jelas--Radit. Sebab satu-satunya hal yang pernah Gathan berikan padanya hanya ucapan selamat ulang tahun dan hadiah finger heart. Dengan murah hati--atau memang menganggapnya gendut, Radit memberikan seragam dalam segala ukuran termasuk XL. Manis sekali bukan? Tak seperti Gathan yang merasa bahwa finger heart-nya merupakan hadiah termanis. Tapi tetap saja rasa sayangnya pada mereka berdua sama besarnya. "Gue nyangka," Gathan menyahut. Orang satu ini memang tak bisa untuk menahan lidahnya. "Inget, ya, lo berdua harus masuk universitas yang sama sama gue. Gak boleh enggak,"
Fan, di rumah, gak? Mau ambil earphone. Fanala mencebik membaca pesan dari Gathan. Di kirim hampir empat jam yang lalu. Tak ada niat ia membalas pesan yang terlambat di buka itu. Siapa suruh meninggalkan benda itu berulang kali. Ia mulai curiga Gathan sengaja meninggalkannya untuk suatu alasan tertentu.Studio itu sudah gelap. Kelas telah berakhir sejak satu jam yang lalu. Namun Fanala masih setia duduk di belakang sebuah piano dengan ponsel tergeletak di sisi.Fanala memainkan beberapa nada. Dadanya sesak. Piano, lagi-lagi hal yang berjalinan dengan sosok Farrel, selain bunga matahari. Karena dialah orang pertama yang mengajarinya menarikan jemari di atas tuts-tuts penuh melodi. Sulit untuk tak ingat sosoknya ketika bersentuhan dengan alat musik penuh nuansa hatam-putih ini. Menyalurkan sensasi tak nyaman di dadanya.Ia berkata akan lebih bahagia tanpa memanda
"Radit mana?""Gak ikut. Mamanya hari ini udah boleh pulang."Fanala merasa asing menemui Sasha hanya seorang diri di depan pintu. Biasanya akan ada dua remaja laki-laki yang membuntutinya. Ganjil sekali melihatnya berdiri tunggal begini."Gathan?""Mampir beli camilan dulu. Dan gue gak dibolehin ikut. Katanya gue bakalan bikin jebol kantongnya, bikin pembagian uang jajannya selama satu munggu ke depan kacau. Dasar pelit memang si Gathan. Gak kayak Radit," omel Sasha. Ia langsung bersila di atas lantai, mengeluarkan buku-bukunya di atas meja.Fanala duduk di seberang Sasha. "Jadi Radit itu semacam bendahara?""Begitulah.""Kalo lo?"Sejenak Sasha mengernyitkan alisnya, berpikir. "Ketua geng." Ia tertawa dengan candaannya sendiri. "Kalo Gathan jangan tanya, dia ngakunya visual, padahal yang beneran visual aja milih jadi bendahara. Dia itu u
Tok, tok, tok!Fanala melenguh, mengganti posisinya. Tangan meraba-raba mencari ponsel untuk melihat pukul berapa. Rasanya belum lama ia terjaga untuk solat subuh dan kembali melanjutkan mimpi.Sebelah mata Fanala mengintip sementara yang lain tak kuat menerima cahaya layar ponsel yang menyilaukan. 05.18. Astaga... Siapa yang bertamu sepagi ini, sih?! Urusan mendesak apa menyangkut dirinya yang harus dituntaskan sedini ini? Gila sekali. Tidak memahami penderitaan mahasiswa yang merasa bahwa tidur cukup adalah sebuah kemewahan.Fanala berniat mengabaikannya, namun si Pengetuk terlalu keras hati untuk menyerah.Sial!Nyap-nyap, Fanala keluar dari kamarnya. Bila pun di luar sana bukan tamu melainkan penjahat, ia tak akan segan mencaci makinya hingga menciut tanpa nyali. Dasar tak punya hati, mengganggu mahasiswa subuh begini!Pintu di tarik kasar. Empunya habis sabar.
"Apa, sih, Than?" desis Sasha, menoleh ke belakang saat Gathan seenak pantatnya mengetuk kepalanya menggunakan sudut penggaris. "Belajar," geram Gathan, "Jangan ngaca mulu. Giliran gak ada kegiatan lo gak mau ngaca. Udah cantik lo itu."Wajah Sasha kesal tapi tak ingin memperpanjang urusan. Ia sedang tidak ingin berdiri di luar. Dan lagi, walau tak biasa, ucapan Gathan benar. Dia harus belajar, ujian tak lama lagi. Meski ia tak paham Gathan dapat hidayah dari mana menegurnya untuk belajar di kelas. Radit yang duduk di sisi Gathan pun mendapat aksi yang sama seperti Sasha. "Sakit, Go!" Radit membelalaki Gathan yang santai saja. Ia kemudian melirik guru Geografi yang teng
"Mau lo hitungin berapa kali juga, jumlah bunga matahari itu gak akan bertambah, Fan," ujar Gathan yang baru datang, melihat Fanala di tengah hari bolong ini berjongkok di hadapan pot-pot bunga mataharinya. Ia kemudian duduk di bangku di bawah rimbun pepohonan, bersandar santai.Fanala menoleh, membuat rambutnya yang sebahu itu bergoyang pelan. Matanya mendelik pada Gathan. "Tahu gue, tuh! Gue cuma memastikan gue gak salah hitung. Lagian lo ngapain sih ke sini? Jomblo lo, hari Minggu gini gak ada kerjaan?""Sewot banget sih, Fan. Gue tahu hari ini panas, tapi jangan marah-marah mulu lah. Cepet tua nanti, gak cantik lagi.""Apaan sih lo!" Wajah Fanala merah padam karena gombalan najis Gathan itu. Sejak ia tahu jika laki-laki yang lebih cocok jadi adiknya itu memyukainya, Fanala jadi sering merasa malu dekat-dekat dengan. "Duduk sini, Fan," ujar Gathan, menepuk bangku kosong di sisinya. "Panas kan di situ."Fanala berdehem sebelum bangkit berdiri lalu duduk di sisi Gathan. Ia heran, in
Sasha meletakkan satu buket bunga matahari di atas makam yang ditutup marmer hitam. Ia berjongkok di sisi makam itu, membersihkan daun-daun kering yang jatuh di atas nisan."Sayang, ya, Than, lo baru pulang setelah gak gue gak bisa ngajak lo main lagi. Padahal banyak yang pengen gue lakuin bareng sama lo kalo pulang lebih awal."Sudah setahun lebih Gathan meninggal. Sasha amat terpukul saat itu. Ia bahkan sempat pingsan dua kali ketika jasad Gathan tiba di Jakarta. Setelah delapan tahun pergi, Gathan pulang tinggal nama. Pedih sekali rasanya."Than, di sana gak ada Kak Nala, kan?" tanya Sasha, menepis air matanya yang jatuh tanpa diminta. "Kita di sini masih terus nyari Kak Nala walaupun polisi udah nyerah. Kak Nala terakhir terlihat di cctv terminal yang gak jauh dari pantai. Dan gak ada petunjuk lagi setelah itu. Kadang-kadang, saat gue kehilangan harapan, gue sering bertanya-tanya apa Kak Nala ada di laut? Apa dia terjebak di dasar lautan? Kesepian."Sebetulnya menyimpulkan bila K
"Udah bisa dihubungi Kak Nalanya, Dek?" tanya Bunda, muncul di pintu belakang. Sejak pagi beliau memintanya menghubungi Kak Nala karena beliau juga tak bisa menghubunginya."Belum, Bun. Masih gak aktif," sahut Sasha yang sedang duduk di beranda belakang, menonton Ayah membersihkan kandang burung-burung peliharaanya.Bunda mengernyit khawatir. "Kak Nala gak kenapa-kenapa kan ya? Bunda jadi khawatir.""Bunda udah selesai masaknya?" tanya Ayah."Iya," sahut Bunda."Beresin aja makanan yang mau dikasi ke Nala. Nanti Ayah sama Sasha yang anterin ke sana," ucap Ayah. Membuat Bunda berbalik masuk ke dalam, membereskan makanan yang ia buat untuk Kak Nala. Makanan itu jugalah yang jadi alasan Bunda mencoba menghubungi Kak Nala sejak pagi."Dua minggu yang lalu, Kak Nala ke sini mau ngapain, Dek?" tanya Ayah. Beliau menggantung kembali kandang-kandang burung yang sudah bersih."Mau ngomong sama Vira. Tapi Adek gak nanya ke Kak Nala sama Vira mereka ngomongin apa. Nanti dikira kepo lagi. Tapi ka
Sasha membawa Radit menjauh dari rumahnya. Ia tak ingin laki-laki itu bertemu dengan anggota keluarganya. Ini saja ia harus menjelaskan pada Kak Nala tentang Radit dan memintanya tak memberi tahu pada Kak Karel."Mau ngapain sih lo?" tanya Sasha setelah bukam sepanjang perjalanan menuju taman komplek yang sepi ini. Ia duduk di salah satu bangku mendahului Radit.Radit mengikuti Sasha, duduk di sisi gadis itu. Tanpa menyadari kedekatan yang ia ciptakan membuat jantung Sasha berdebar tak santai. "Elo sih gue telepon gak diangkat, gue chat gak dibaca.""Lo yang ngapain nelepon dan nge-chat gue?!" ucapa Sasha galak, mencoba bersuara lebih keras dari degup jantungnya. "Lo kan takut banget tuh ketahuan sama istri lo," cibirnya."Gue takut karena gue sayang sama Kala, Sha. Kalania, nama istri gue.""Gue gak pengen tahu nama istri lo," balas Sasha ketus.Hening. Radit tampaknya tak siap akan sikap Sasha yang begitu tak acuh padanya. Gadis dengan pandangan terluka yang ia lihat malam itu tamp
Setelah hari itu, Arbii beberapa kali berusaha menghubunginya, namun Fanala tak pernah mengangkatnya. Laki-laki itu bahkan datang ke rumah dan kantornya, menunggunya hingga larut, tapi Fanala tetap kukuh tak mau menjumpainya. Meski merasa kasihan, Fanala cukup keras hatinya mengingat ini untuk kebaikan Arbii itu sendiri.Selama dua minggu belakangan ini, Fanala sangat menyadari jika satu persatu hubungannya putus atau merenggang parah. Pertama, dengan kedua orang tuanya, yang tak pernah lagi menghubunginya atau dihubungi olehnya sejak Papa mengabari mereka telah tiba di Surabaya. Lalu, hubungan pekerjaannya yang di ujung tanduk, hanya tinggal dua minggu tersisa sebelum hubungan itu benar-benar putus. Kemudian, hubungannya dengan Arbii dan keluarganya yang kini tinggal kenangan. Dan kini hubungannya dengan Karel lah yang harus diputuskan.Fanala menghela napas, sebelum menghubungi Karel untuk memberi tahu laki-laki itu jika ia tengah berada di lobi kantornya. Karel yang ia minta turun
"Fan, aku agak telat gak apa-apa, ya? Kamu belum berangkat, kan?""Iya, gak apa-apa, Ar. Santai aja.""Oke. Tinggal satu janji lagi kok, abis itu aku langsung berangkat.""Iya, Ar."Fanala memutuskan sambungan dan meletakkan ponselnya di sisi ice americano-nya yang sudah tak lagi telalu dingin. Ya, ia berbohong pada Arbii tentang keberangkatannya. Ia sudah tiba di tempat janjian mereka sekitar setengah jam yang lalu. Ia hanya tak mau Arbii merasa tak enak karena membiarkannya menunggu. Cafe tempat Fanala kini berada kian ramai oleh pengunjung yang berpakaian rapi. Ia menduga mereka seperti dirinya—pegawai kantoran yang baru pulang kerja. Namun meski cafe itu mulai ramai, Fanala masih dapat mendengar jelas lagu yang tengar diputar: If Tomorrow Never Comes. Lagu favorit Gathan. Lagu pertama yang ia tahu dari laki-laki itu.Ini sudah kali kedua Fanala mengunjungi cafe ini, dan dua kali juga ia mendengar lagu ini diputar di sini. Entah ini kebetulan, pemiliknya memang suka lagu ini, atau
Sebagimana biasanya saat seseorang akan mengundurkan diri, akan ada waktu tunggu selama sebulan sebelum benar-benar off work. Waktu satu bulan itu akan digunakan perusahaan untuk mencari kandidat penggantinya dan Fanala harus mendelegasikan tugas-tugasnya pada penggantinya nanti.Saat sarapan tadi, Bang Dwiki sama sekali tak mencoba membujuknya, beliau hanya bertanya apa alasannya ingin mengundurkan diri. Dan saat Fanala menjelaskan alasannya, Bang Dwiki langsung menyetujui keputusannya dan menerima pengunduran dirinya. Namun Bang Dwiki berkata jika suatu saat nanti Fanala ingin kembali, ia akaj dengan senang hati menerimanya kembali bekerja untuk perusahaannya.Jadi kini Fanala mengendarai mobilnya pulang dengan perasaan sedikit lebih ringan, ada beban yang telah terangkat. Ia sudah menyelesaikan masalah dengan kantor. Sekarang ia akan menyelesaikan masalah dengan orang tuanya. Selanjutnya dengan Arbii dan keluarga laki-laki itu, dan terakhir masalah Karel dan Vira. Setelah itu ia be
Fanala turun dari ranjang pada pukul lima pagi. Jangan ditanya ia tidur atau tidak. Jawaban itu langsung nampak pasa kantong matanya yang menghitam. Meski lelah luar biasa dan tak dapat tertidur sama sekali semalam, Fanala berusaha berjalan senormal mungkin menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri.Lama Fanala berada di kamar mandi sebab sejak kemarin ia sama sekali belum membersihkan diri. Ia bahkan menyempatkan diri untuk memakai lulur badar dan masker rambut juga scrubing wajah. Ia burusaha terlihat seperti Fanala yang biasa. Fanala yang rapi, bersih, dan terawat baik. Kacaunya pikirannya tak perlu lah tampak lagi dari penampilan luarnya. Cukup kemarin saja. Hari ini ia harus sudah tampak seperti biasanya.Selepas keluar dari kamar mandi, Fanala langsung mengaplikasikan rangkaian produk perawatan kulit pada wajahnya sebelum wajahnya benar-benar kering. Kemudian ia mengeringkan rambutnya lalu menatanya menjadi sesikit bergelombang. Setelah rambutnya rapi dan wajahnya terpoles make
Karel agak terkejut saat Sasha membukakan pintu bahkan sebelum kakinya menyentuh teras rumah. Ia lebih terkejut lagi mendapati semua anggota keluarganya yang tinggal di rumah ini masih tergaja dan duduk-duduk di ruang tamu. Ini rumah mereka baru saja kedatangan tamu atau mereka sedang menunggunya pulang? Ia akan sangat terharu bilang mereka memang sedang menunggunya pulang. Apalagi dengan Vira yang sudah beberapa hari ini bersikap dingin pasanya."Nungguin aku pulang?" tanya Karel setelah melewati ambang pintu yang telah dikatup Sasha kembali."Gak usah pede banget," cela Sasha dari balik punggung Karel."Terung ngapain belum pada tidur dan malah ngumpul-ngumpul di sini?" tanya Karel heran. Mana mungkin tidak? Setiap kali ia sungguhan lembur dan pulang malam, rumah pasti sudah gelap dan semua orang telah terlelap—ya, kecuali Vira. Namun Vira pun akan menunggunya di kamar, bukan di ruang tamu macam sekarang."Tante Rieke masuk rumah sakit," sahut Bunda. Wajahnya berkerut cemas. Hal itu