[Dion Addison]
Aku memilih melamun subuh ini di balkon kamarku sendiri. Tidak, maksudnya kamar Leyna Olivia. Kamar wanita muda itu mengarah ke belakang gedung ini berada di tingkat tiga seperti yang dikatakan sebelumnya. Dia menghirup napas sebanyak mungkin dan menghembuskannya pelan sebanyak lima kali dan melihat berbagai macam pohon menjulang di depannya.
“Apa yang harus kulakukan sekarang?” tanyaku dan menyangga tangan di balkon.
“Your uncle came again this morning.”
Perkataan Tuan Chayton membuatku pusing karena tidak mengerti kemana arah topik ini berjalan. Tetapi, satu sisi Leyna sudah menceritakan semuanya membuatku merasa lebih baik. Aku melirik ponsel yang menunjuk gambar seorang pria yang dipanggil paman oleh keturunan Tuan Chayton. Tanpa sadar aku mengacak surai rambut yang tergerai karena terlalu pusing mengingatnya.
“Dia ingin bertemu denganmu, Leyna. Katanya dia ingin mengatakan sesuatu padamu.”
Sambung Tuan Chayton di taman belakang gedung yang menyatu pada pepohonan yang ditanam untuk keasrian Burk’s Falls. Walaupun merupakan sebuah village kecil, juga harus mempercantik wilayah sendiri untuk menarik turis. Aku tanpa sengaja bertanya akan alasannya. Namun, Tuan Chayton hanya tersenyum dan menepuk pundakku kemudian berlalu dari taman.
“Yup, apapun itu. Kau bisa melaluinya, Dion,” kataku menyemangati diri sendiri. Aku menarik daun pintu dan mengeluarkan kepalaku melihat sekitar seperti pencuri harta, koridor sepi. Okay, berarti aku aman. Membuka akses pintu lebih lebar dan berani melangkah kakiku keluar.
Berjalan sampai menuruni lantai dua dan tidak bertemu siapapun membuatku menghembuskan napas lega. Hanya tinggal menuruni sampai lantai dasar dan menyebrang lalu menuruni tangga melingkar untuk mencapai bawah tanah. Aku tidak tahu kalau ada kemungkinan jalur lain ke sana, di benakku hanya ingin menemui Leyna sepagi mungkin untuk mencari jawaban yang mungkin terjadi nanti.
“Selamat pagi, Nona Muda Olivia.”
Aku tersentak kaget dan berbalik melihat arah suara, sedikitnya aku merasa lega karena hanya seorang asisten yang menghampiri, “Ya, selamat pagi juga untukmu.”
Sesuai dugaan, dia membungkuk dan berjalan melaluiku. Setelah memastikan dia tidak berada di sekitar, aku kembali meneruskan perjalanan dan sampai ke ruang bawah tanah. Seorang penjaga duduk di meja yang tersedia terjaga saat mendengar ketukan dari sandal buluku.
“Nona Muda Olivia,” katanya. Aku mengangguk dan memintanya untuk tetap berada di tempat dengan gestur tangan. Sebuah mantel coklat yang menyampir di tubuhku menutup pakaian kasual yang masih terpakai. Aku tidak masalah dengan pakaian sama sekali.
Ini masih normal daripada tetap bertahan dengan piyama untuk berkunjung di tahanan.
“Saya akan menemui Tuan Addison,” kataku, sang penjaga itupun berdiri dan akan menunjukkan jalan. Aku segera menghalanginya.
“Tidak apa-apa, saya bisa sendiri ke sana. Anda harus beristirahat sejenak.” Aku kembali bersuara, mataku menekan untuk segera disetujui. Sesuai harapan, dia kembali duduk dan mengucapkan kehati-hatian untukku dalam perjalanan.
Aku berjalan dan berhenti di tahanan terisi tubuhku dengan jiwa Leyna di sana.
“Dion Addison.”
Kulihat dia terlihat terkejut dengan kehadiranku dan menghampiriku dengan mata yang mempertahankan ekspresinya. Itu lucu dan bagiku seperti menertawai diri sendiri.
“Sedang apa kau di sini?” tanyanya dengan bisikan.
“Mengunjungimu.”
Dia mendengus pelan, “Omong kosong.”
Aku mengangguk menyetujui. Karena apapun itu, pastilah aku lebih memilih berjalan-jalan di taman belakang gedung daripada berada di penjara seperti sekarang. “Kau punya paman bernama Lancelot?” tanyaku yang memiringkan kepala saat melihat ekspresinya berubah menjadi datar dalam sekejap mata.
“Kenapa? Dia datang lagi? Hardik saja dia, restoran itu sedang tidak membutuhkan pegawai baru, apalagi untuk manajer keuangan,” katanya dengan malas tetapi aku bisa merasakan nada emosi masih terasa di sana.
“Sebenarnya ada apa denganmu dan pamanmu?” tanyaku lagi. Aku hanya tahu garis besarnya tanpa bisa mendapatkan informasi lebih rinci.
Kulihat dia memutar bola matanya malas, “Ayahnya dan ayahku bekerja sama membangun restoran tersebut saat aku masih kecil. Singkat cerita, ayahnya mengundurkan diri karena umurnya. Istilahnya dia pensiun. Daddy memberikan uang pensiun yang layak bahkan menambahkannya sendiri karena menghargai kerja keras ayahnya selama ini.”
“Ayahnya itu memiliki banyak anak dan salah satunya Uncle Lancelot. Ayahnya mendirikan bakery dengan hasil jerih payahnya sendiri untuk memberikan masa depan yang lebih baik untuknya dan keturunannya. Tetapi, tampaknya anaknya tidak tahu diri dan meminta untuk menerimanya menjadi manajer keuangan di restoran Daddy. Padahal, Daddy tidak memerlukan pegawai baru.”
“Mengikuti Daddy dan Mommy seharian bukan berarti aku hanya mengintil seperti anak bebek. Aku tahu banyak tentang permasalahan orang dewasa. Dan kejadian itu terjadi karena aku sudah tidak tahan dengan kelakuannya yang semena-mena. Aku juga tidak bisa menerimanya walaupun masih ada lowongan. Sikapnya tidak bisa kupercaya.”
Aku menganggukkan kepala mendengar cerita wanita muda itu, “Kalau begitu kau harusnya tahu apa yang akan dia bicarakan nanti pagi, kan? Tuan Chayton mengatakan dia akan menemuimu.”
Leyna mengangguk yakin dan firasatku pun tak jauh dari pikiranku sendiri.
“Aku punya dua pilihan yang bisa terjadi nanti. Kau harus mendengarnya. Karena Uncle Lancelot cukup memperhatikan gerak-gerik saat bicara, walaupun dia sedikit berkelakuan berantakan.”
Aku segera memasang telinga. Demi kelangsungan hidup yang nyaman, aku harus menjalankannya dengan sempurna.
_The Stranger’s Lust_
To Be Continue
"Good Morning, Uncle." sapa Dion yang memberikan senyum tipis pada seorang pria yang duduk di depan meja kerja pemilik restoran. Jujur saja, dia gugup setengah mati melihat raut wajah yang berhadapan dengannya sangat datar dan tidak bersahabat. Bahkan, Dion berani bersaksi kalau tatapan mata Lancelot bisa membunuh nyawanya jika terus-menerus melihat dengan ekspresi seperti itu. Lancelot masih menatapnya dengan tatapan yang sama sejak kehadiran Dion yang datang dengan setelan yang lebih formal dari biasanya. Sebuah kemeja putih dengan blazer pink pastel yang senada dengan rok span di bawah lututnya, dipadu high heels tiga sentimeter beradu dengan lantai adalah pakaiannya untuk seharian ini. Dion perlu menghabiskan waktu malamnya untuk berjalan di atas tumpuan sepatu tersebut berjam-jam setelah di atas jam sepuluh dengan lampu yang meredup. Usaha tidak akan mengkhianati hasil ternyata bergerak di dalam kehidupan aneh pemuda Addison itu. "Leyna
[Leyna Olivia POV] Aku menikmati sepiring roti isi sebagai hidangan makan malam. Kudengar itu atas perintah Nona Muda Olivia dari para penjaga. Tentu saja itu berarti adalah perintah Dion yang mungkin sedang mengistirahatkan dirinya tanpa membersihkan tubuh terlebih dahulu. Satu-satunya yang mengganjal adalah hubunganku dengan Uncle Lancelot. Entah apa yang terjadi tadi pagi dengan pria yang menjadi favoritku kalau berhubungan tentang hunting food. Semoga saja semuanya berjalan dengan lancar. Dion juga bukan tipikal pria yang ceroboh atau tidak bisa berpikir dengan cepat dan matang. Apapun yang terjadi juga dia harus bisa menjalaninya dengan baik. Lagipula, kalaupun dia salah melangkah. Masih ada alasan yang bermutu untuk menopang langkah tersebut untuk tidak terendus oleh siapapun. “Aku bosan,” kataku sambil duduk di papan kayu yang menjadi tempat tidurku selama ini. Aku diinterogasi oleh Kepala Divisi Hukum tadi pagi dan berjalan d
[Dion Addison POV] Aku mengencangkan ikatan tali sepatu di sekitar pergelangan kakiku. Masih ada lima jam sebelum latihan di studio dimulai. Dengan skirt di tanganku, kubawa ke ruang rapat yang sebenarnya cukup luas dijadikan studio tari. Kemarin Hakim Johnson mengatakan hasil sesi wawancaranya dengan Leyna. Aku mengiyakan dan meminta hari esok aku yang akan mengintrogasinya. Di sinilah sekarang, di jam sembilan pagi. Leyna dibawa ke dalam ruang rapat. Aku membiarkan para pengawal tahanan berdiri di luar ruangan rapat, menyisakan aku dan Leyna yang berseberangan. "Hakim Johnson sudah mengatakan semuanya padamu?" tanyanya memulai sesi percakapan. Aku tahu dia mulai menerima kehadiranku di sekitarnya karena kondisi aneh ini. Aku mengangguk, mataku bertabrakan dengan matanya dengan seulas senyuman di wajah, "Thank you for telling the truth." "That's what I've to do," katanya dengan tenang.
10.45 a.m Burk’s Falls, Ontario Dion menekan bel rumah yang disediakan di samping pagar. Di tangannya terdapat banyak kantung penuh dengan hadiah untuk anak kecil yang sedang berlari dari arah pintu untuk membuka akses kepadanya. “Leynaaa,” kata anak laki-laki yang memakai jumpsuit warna coklat dengan dalaman kaus putih polos. Rambutnya yang sedikit memanjang menutupi dahinya. Sandal yang dikenakan bersentuhan dengan tanah. Dengan cepat, dia membuka pagar dan memeluk gadis tersebut. “Hey, Bryant sedang apa?” tanya Dion yang menggendong anak tersebut dengan sebelah tangan, sebelahnya dia masih menenteng bingkisannya. Laki-laki itu memeluk lehernya dengan kuat dengan senyum yang masih terpasang di wajahnya. “Sedang menggambar. Ada tugas menggambar dari guru di sekolah. Bryant menggambar sungai, ada Leyna, Marcell, Papa, Mama, dan Bryant juga,” jawab anak sulung tersebut dengan antusias. Dion
Dion mengikuti jejak Chayton yang berdiri di samping Hakim Johnson, dia duduk di barisan kiri pria yang sementara ini menjadi ayahnya sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Tapi, dia masih mengharapkan sebuah keajaiban datang. Di ruangan cukup luas menampung lima belas orang, Chayton duduk di singgasananya. Ya, hari ini adalah hari penyidangan. Sebenarnya Dion lebih suka bilang ini adalah tahap mediasi. Karena, tidak mungkin Leyna yang berada di raganya itu bisa dibawa ke sana, semuanya sudah sempurna. Dia berhasil mendapatkan bukti yang cukup akurat. Leyna masuk melalui pintu yang ada di samping ruangan, didudukan di bagian tengah berhadapan dengan hakim. "Sidang sudah boleh dimulai, Hakim," kata Dion ketika melihat Leyna sudah duduk di tempatnya. Dia sempat bertanya prosedurnya kepada Leyna kemarin malam dengan alibi urusan mendadak. Hakim Johnson yang mengambil posisi tempat di sebelah Chayton bersiap memulai sidang. "Sidang k
Leyna langsung ke luar dari gedung termegah di Burk's Falls, dia harus pulang ke rumah Dion untuk menjaga wanita tua yang mungkin sedang cemas dengan kondisi cucu kesayangannya itu. Dia melewati jalan yang bisa dilalui oleh sebuah mobil beroda empat. Leyna hanya berusaha untuk tidak menyapa sekitar kecuali tetangga rumahnya, sedikit aneh tetapi dia akan berusaha menyamai tingkah pemilik asli tubuh ini. “Hey, Dion. How are things going?” Leyna memberikan senyum ramah yang bisa dia buat, “Hello, Luke. Doing good these days. And you?” “Should bring kiddos to beach. This time they really want it,” kata tetangga yang sedang meletakkan sebuah tas besar di dalam bagasi mobil. “Have fun, Luke.” “Sure. You too.” Leyna membuka pagar rumah. Tanpa berpikir panjang, dia membuka pintu rumah dan matanya melihat seorang wanita sedang duduk melihatnya dengan tatapan berbinar senang. Tangannya beringsut menut
[Leyna Olivia POV] “Granny, aku berangkat duluan, ya,” kataku sembari mengecup pipi kanan Granny tanpa berpikir panjang dan segera keluar dari rumah setelah memastikan rumah bisa ditinggal untuk beberapa jam ke depan. Aku bertanya kepada Dion semalam lebih rinci tentang kegiatannya di sekolah lewat messages. Leyna Olivia [Aku biasanya jam tujuh sudah berada di jalan ke sekolah. Kalau yang membingungkanmu adalah jadwal mengajarku, seingatku aku menyimpan tabel di laci meja kerja. Kau bisa membawanya kemana saja] [Tidak perlu banyak bicara. Kalau ada yang bertanya, jawab saja menurutmu mana yang bagus apalagi tentang kejadian aku ditahan. Pasti besok banyak guru yang akan bertanya. Aku tidak begitu dekat dengan mereka] [Biasanya saat makan siang, aku menyempatkan diri kembali ke rumah untuk menyiapkan makan siang Granny. Tetapi, kalau kau belum terbias
"Granny, good morning." "Good morning, boy. Where do you want to go?" tanya Greisy yang baru menutup pintu kamarnya sendiri melihat cucunya memakai baju rapi tetapi tampak nyaman. Mata wanita uzur itu melihat sebuah kaus berkerah polo berwarna putih melekat di bagian tas dan jeans untuk bawahannya. "Aku ada urusan, Granny. Temanku memerlukan bantuan, jadi aku harus ke sana." “Pergilah.” Leyna meletakkan piring berisi tumisan sayur. Lalu, dia mencium pipi wanita tersebut. "Granny, mau ikut denganku?" Greisy menggeleng kepalanya pelan, membalas ciuman di kening pria tersebut, "Pergilah. Granny baik-baik saja di sini, nikmati harimu." "Kalau begitu, aku pergi dulu, ya, Granny. Pulangnya aku akan bawa smoothies untuk Granny. Bye, Granny." Wanita tua itu melihat Leyna yang memakai sepatu dan meninggalkan rumah. Dengan senyum lembut yang telah mengeriput,
“Jadi, hari ini adalah harinya?” Dion memangku tangannya yang sedang menggenggam sebuah bungkusan protein bars, mengunyah sambil melihat layar ponsel yang ditegakkan bersandar pada botol minumannya di meja. “Iya. Makan malam dengan kolega Tuan Chayton,” katanya yang telah menelan makanannya tersebut. Makan siang dengan dua protein bars di ruang istirahat di gedung balet yang secara kebetulan sedang sepi, membuatnya berpikir untuk menghubungi kekasihnya itu sekarang. Well, kekasih … Dion rasa dia harus bisa beradaptasi dengan julukan tersebut sekarang. “Kalau memang cowo itu yang bakalan datang, bagaimana menurutmu?” tanya Leyna yang berada di ujung telepon sedang mengecek tumpukan buku anak-anak dengan sebelah telinga kirinya tersumpal dengan Bluetooth earphone. “Aku tidak bisa menerimanya, bukan?” tanya Dion balik yang disetujui oleh jiwa perempuan yang berada di tubuhnya yang asli itu. Terkadang Dion berpikir berapa lama lagikah dia akan bersemayam di tubuh seorang wanita yang
Setelah malam itu mereka saling mengungkapkan perasaan masing-masing, tidak ada lagi yang bertambah. Baik Dion maupun Leyna, keduanya sama-sama disibukkan dengan kegiatan sehari-hari dan Jumat sudah datang menjemput mereka. Dion sudah siap dengan balutan dress di bawah lutut dan duduk ke kursi meja makan yang sudah ditempati oleh tiga anggota lainnya. “Night, Dad, Mom, Quinza,” sapanya dengan binar riang di matanya. “Night, Leyna.” Sang Ibunda membalas sapaannya. Dia mengambil tempat di samping sang adik perempuan yang bermain dengan ponselnya daritadi. Sedangkan, laki-laki satu-satunya di keluarga inti tersebut sedang membaca berita dari ponselnya. “So, can we start?” tanya Aubrey yang melirik kedua anggota yang sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Dion memilih untuk tersenyum tipis ketika mengetahui kepada siapa yang dituju. Chayton dan putri bungsunya meletakkan alat komunikasi mereka di samping dan menjawab dengan kompak, “Sure.” Wanita tersebut mengangguk dan mulai meminta
[Dion POV] Aku yang baru saja bisa pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekalian merilekskan persendian yang rasanya kaku banget setelah duduk di meja makan mendiskusikan beberapa topik hangat dengan Tuan Chayton. Sedangkan, Quinza berada di kamarnya sendiri mengerjakan tugas sekolahnya di jam sebelas malam ini. Setelah berbelanja barang kebutuhan tadi, aku dan dia langsung menyimpan barang tersebut di dapur dan beberapa disisihkan untuk di simpan di tas yang khusus menampung pakaian ganti dan outfit latihan aku. Dan, ketika melihat namaku sendiri tertera di layar ponsel Leyna itu aku langsung mengangkatnya. “Hello?” Sejujurnya ntah kenapa malam ini terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya yang pernah kami lewati dengan berbicara melalui telepon. Leyna menjawabnya, pembicaraan mulai terasa aneh ketika lawan bicaraku itu menanyakan situasi di sini. Namun, tidak berapa lama, aku mengetahui jawabannya. Jawaban mengapa aku merasa canggung dan aneh dalam pembicaraan kami k
[Leyna POV] Aku melangkah keluar dari gedung sekolah dan menaiki sepeda yang menemani semua kegiatanku semenjak menjadi sosok yang dipanggil Dion Addison. Langit yang hari ini terlihat mendadak begitu cerah tidak digubris olehku sama sekali. Karena rasanya dari dalam hatiku terbakar sejak siang tadi. Sialnya sampai sekarang masih belum padam. Efek yang luar biasa dahsyat setelah guru perempuan itu seenak jidat menawarkan ini dan itu kepadaku. Maksudnya kepada Dion, tentu saja. “Memangnya dia tahu kalau Dion itu suka sekali dengan oatmeal dan smoothies yang beragam variasi cara untuk menikmatinya,” celetukku sambil mengayuh sepeda. Beruntung aku bukan seorang puteri keturunan kepala pemerintah sekarang ini. Ada untungnya juga menjadi seorang warga biasa yang memiliki pekerjaan yang biasa-biasa saja. Tentu saja kebanyakan warga di sini menikmati kehidupannya dengan biasa-biasa saja, bangun pagi, menyiapkan sarapan, mandi, berpakaian, pergi bekerja, pulang dan menikmati makan malam
Dion meletakkan semua belanjaannya kepada kasir dengan tenang. Tidak, lebih tepatnya pura-pura untuk bersikap tenang dan biasa saja. Dia tahu Quinza daritadi melihatnya dengan tatapan yang menyiratkan untuk berbicara empat mata dengannya. Namun, dia bersikap tidak tahu-menahu. "Leyna," panggil Quinza yang berada di belakangnya berbisik mendekat sampai ke telinganya. Beruntung sekali dia sudah terbiasa dengan adik perempuan Leyna selama ini sehingga dia tidak lagi merasa terkejut. Sebuah dehaman menjadi jawabannya dan dia melihat ke arah monitor kasir yang sedang bergerak menghitung total pembeliannya. "Kamu serius sekarang? Si cowo yang kujelasin itu ada di belakang tahu," kata Quinza lagi, dia berbicara dengan bisikan meskipun terdengar seperti nada tinggi. "Dia orangnya? Charles, benarkan?" beo Dion yang melirik ke sosok di belakang anak bungsu keluarga kepala pemerintah ini. Lalu, kembali bertingkah seperti biasa. Yang lebih muda itu refleks menepuk pundak sang Kakak gemas. "
Pada satu waktu yang sama, Leyna juga sedang mengurusi nilai murid-muridnya di ruang guru. Dia tidak sendirian di ruangan tersebut, masih ada dua atau tiga guru yang juga duduk di sana melakukan tugas mereka masing-masing. Mengingat jam belajar-mengajar telah berakhir tiga jam yang lalu, Leyna dan guru-guru lainnya bisa beristirahat sejenak. "Sir. Dion," panggil seorang guru perempuan yang sering mengikutinya di setiap kesempatan yang ada. Maksudnya, mengikuti raga Dion, bukan jiwanya. Terkadang Leyna melamun dan berpikir bagaimana reaksi sekitar mereka kalau mengetahui bahwa orang yang di depan mereka bukanlah yang mereka kenali. "Ada apa, Miss?" tanya Leyna sesopan mungkin. Setelah mengetahui konsep dari kutukan aneh ini, Leyna berpikir untuk membatasi diri dengan dunia. Dia tidak bermaksud untuk besar kepala. Namun, siapa yang tidak akan jatuh hati ketika melihat raga seorang laki-laki yang tinggi jangkung, berpakaian rapi, dan bersikap lembut? Leyna mungkin adalah salah satun
Dion melewati jalan setelah selesai dengan pertemuan penting di rumah Granny Greisy. Beberapa kali dia berhenti hanya untuk berbincang dengan beberapa tetangga yang dikenalnya ataupun berjongkok menyamai tinggi anak kecil yang mengenal Leyna bukan Dion yang bermain di luar rumah sembari menunggu jam mandi. “Selamat pagi, Nona Muda Olivia,” kata salah satu pengawal gedung yang langsung dibalas olehnya dengan tak kalah hangat. Dia memasuki interior gedung dengan penampilan sporty, pegawai yang berlalu lalang menyapanya formal dan dibalasnya juga dengan baik. “Nona Muda Olivia, Tuan Besar memanggil Anda untuk ke taman belakang sekarang,” kata kepala asisten rumah yang memanggilnya dari belakang. Dion langsung berbalik badan. “Baik, saya akan ke sana. Terima kasih untuk infonya.” Jiwa laki-laki itupun memutar badannya untuk sampai taman belakang gedung. Niatannya tadi itu, dia akan membersihkan dirinya dulu setelah berkeringat banyak karena dia sempat jogging dengan durasi yang lebih
“Jatuh cintalah. Maka kutukannya akan musnah.” Dion dan Leyna sontak terbelalak terkejut. “Maksudnya, Granny?” tanya Dion yang duluan sadar. “Granny pernah bilang kalau Virga Phantasia ini sama dengan cupid, kan?” tanya Granny Greisy lagi yang sontak diangguki oleh Leyna yang masih ingat dengan jelas pembicaraan mereka tempo lalu itu. "Maka dari itu, jatuh cintalah," sambung Granny Greisy lagi dengan tenang. Air matanya sudah berhenti mengalir. "satu-satunya jalan adalah jatuh cinta." "Jatuh cinta yang bagaimana, Granny?" Manik wanita tua itu memburam perlahan bersamaan dengan penuh dengan harapan saat menelisik kembali ke masa lalu. "Granny pernah menemui seseorang yang juga sebagai manusia terpilih untuk keajaiban satu ini. Dia seumuran dengan Granny, hidup di kota besar seperti Ottawa dan Toronto sekarang. Dia sudah menikah dan masih hamil tiga bulan," ucap wan
“Leyna? Kau sudah bangun?” Dion yang sedang mengikat tali sepatunya langsung mendongak mendengar suara serak terdengar tidak jauh darinya. Suara khas akan bangun tidur yang menyita perhatiannya sejenak. “Oh, kau sudah bangun? Aku hendak jogging sebentar,” jawabnya seadanya sebelum kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda. “Belum. Aku hanya ingin ke toilet, masih ada dua jam sebelum mandi. Aku tidak akan membuang kesempatan itu,” jawab Quinza—sosok yang bangun di jam subuh—melangkah menjauh kearah dapur. Jelas sekali, anak sekolah itu akan mencari kamar kecil. Memang keseharian kedua gadis kesayangan Chayton itu sangat berbeda. Dari segi umur juga telah mengatakan segala. Quinza meskipun dia aktif untuk menari, dia terlalu malas untuk bangun pagi demi merenggangkan otot-ototnya yang kaku setelah bangun dan lebih rela berendam di bathup setelah seharian beraktivitas. Leyna—atau Dion sekarang—terbiasa untuk bangun pagi sejak zaman sekolah, membuatn