[Dion Addison POV]
Aku mengencangkan ikatan tali sepatu di sekitar pergelangan kakiku. Masih ada lima jam sebelum latihan di studio dimulai. Dengan skirt di tanganku, kubawa ke ruang rapat yang sebenarnya cukup luas dijadikan studio tari. Kemarin Hakim Johnson mengatakan hasil sesi wawancaranya dengan Leyna. Aku mengiyakan dan meminta hari esok aku yang akan mengintrogasinya.
Di sinilah sekarang, di jam sembilan pagi. Leyna dibawa ke dalam ruang rapat. Aku membiarkan para pengawal tahanan berdiri di luar ruangan rapat, menyisakan aku dan Leyna yang berseberangan.
"Hakim Johnson sudah mengatakan semuanya padamu?" tanyanya memulai sesi percakapan. Aku tahu dia mulai menerima kehadiranku di sekitarnya karena kondisi aneh ini.
Aku mengangguk, mataku bertabrakan dengan matanya dengan seulas senyuman di wajah, "Thank you for telling the truth."
"That's what I've to do," katanya dengan tenang.
Aku kembali menyetujui, siapapun itu tidak terpaku pada orang yang bekerja sebagai bagian pemerintah, tidak juga hanya atasan. Siapapun itu harus menjawab sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, kejujuran itu penting yang melekat pada harga diri.
Granny selalu mengatakan kalau aku jujur, maka tidak akan ada yang meragukan perkataanmu. Karena itu, aku berusaha untuk jujur untuk mempertahankan kredibilitas dalam ucapanku.
"Aku akan menemui anak laki-laki," kataku yang menimbulkan gurat kebingungan. Terlalu sering berkomunikasi melalui gerakan sinyal tubuh membuatku bisa menangkap arti dengan baik. "Dia yang melihat seluruh kejadian itu dari awal." sambungku dengan tenang.
Leyna mengangguk memikirkan pekataanku, "Tetapi, dia anak kecil. Kau yakin dia mau bersaksi?"
"Aku hanya akan menanyakan sesuatu. Lebih baik aku ke rumahnya untuk tidak membuat dirinya takut. Jika membawanya ke sini, kurasa akan sulit membuatnya bicara."
'Boleh kutahu siapa nama anak itu?"
"Bryant," jawabku dan tertegun saat melihat matanya terbelalak.
Apa yang terjadi?
"Maksudmu ... Bryant Patrick Rhino?"
Aku mengangguk pelan, "Dia bukan murid didikanku. Tapi, aku mengenal namanya dan menyapanya back and forth. Kalau melihatnya. Kau mengenalnya?"
"Aku bahkan bisa dibilang seperti kakak perempuannya sendiri. Aku pertama kali ketemu dengan anak itu di taman bermain dekat sekolahmu mengajar. Dia anak laki-laki yang polos dan lugu, matanya selalu berbinar polos dan terkesan baik di mataku," katanya sembari menerawang ke masa lalu. Aku menyetujui perkataannya, karena aku juga mendapati perasaan seperti itu ketika melihatnya pertama kali di sekolah saat jam istirahat pertama.
Anak itu seperti tidak tercela.
"Dia tidak punya banyak teman. Satu-satunya teman dekatnya hanyalah Hudson Debora kalau kau melihat anak laki-laki berambut coklat muda dengan iris mata hitam tajam di sebelahnya. Aku mengenalnya dua tahun yang lalu. Bahkan tidak jarang bertamu ke rumahnya sebagai teman daripada putri kedua pemimpin Burk's Falls."
Aku memilih untuk mendengar tanpa menyela sepatah kata apapun. Mataku bisa melihat dengan jernih kalau Leyna sangat suka membicarakan anak kecil polos seperti Bryant. Itu membuatku merasa hangat dari intonasi suaranya yang terlihat menyukai anak kecil.
"Tentu saja awalnya, kedua orangtuanya terkesan segan padaku. Tapi, kemudian, sudah tidak lagi. Mereka berlaku baik. Bryant merupakan anak sulung dari dua bersaudara. Adiknya masih berusia lima bulan. Yup, dia baru lahir. Dengan kau yang menjadi aku sekarang, aku harus memberikan latar belakang keluarganya dulu kepadamu, bukan? Maka dari itu aku memberitahumu."
"Dia sangat senang menceritakan kegiatannya dengan adik bayinya. Adiknya bernama Marcellino Venus Rhino. Aku lebih suka memanggilnya Marcell. Bryant suka dengan choco cookies dari cafe milik Alexandra, jangan lupa dengan berries smoothies. Dongeng kesukaannya adalah koleksi klasik apalagi berbau Natal."
Aku mengernyit, dongeng klasik Natal. Aku pernah mendengarnya beberapa kali saat aku masih kecil Granny suka membacakanku dongen Natal.
"Karena ingin dekat dengannya, aku membeli seluruh karya klasik yang berhubungan dengan Natal. Seperti A Christmas Carol, A Kidnapped Santa Claus. Aku meletakkannya di dalam lemari walk-in-closet, kau bisa membacanya terlebih dahulu sebelum bertemu dengannya."
Aku mengangguk mencerna perkataan Leyna, informasinya bisa dipercaya.
"Aku akan melakukannya. Aku tahu cara mendapatkan informasi tersebut. Sekarang, bisa kau ajari aku ballet? Aku tidak mau dipaksa bertahan di atas pointe shoes selama sepuluh menit lagi."
Leyna tertawa kecil, tentu saja wanita itu pastilah tahu alasannya tanpa ditebak. Leyna berjalan ke arahku dan mengulurkan tangannya.
"May I teach you, your highnest?"
Aku tersenyum dan mengangguk, menjabat tangannya dan bergerak sesuai irama.
_The Stranger's Lust_
To Be Continue
10.45 a.m Burk’s Falls, Ontario Dion menekan bel rumah yang disediakan di samping pagar. Di tangannya terdapat banyak kantung penuh dengan hadiah untuk anak kecil yang sedang berlari dari arah pintu untuk membuka akses kepadanya. “Leynaaa,” kata anak laki-laki yang memakai jumpsuit warna coklat dengan dalaman kaus putih polos. Rambutnya yang sedikit memanjang menutupi dahinya. Sandal yang dikenakan bersentuhan dengan tanah. Dengan cepat, dia membuka pagar dan memeluk gadis tersebut. “Hey, Bryant sedang apa?” tanya Dion yang menggendong anak tersebut dengan sebelah tangan, sebelahnya dia masih menenteng bingkisannya. Laki-laki itu memeluk lehernya dengan kuat dengan senyum yang masih terpasang di wajahnya. “Sedang menggambar. Ada tugas menggambar dari guru di sekolah. Bryant menggambar sungai, ada Leyna, Marcell, Papa, Mama, dan Bryant juga,” jawab anak sulung tersebut dengan antusias. Dion
Dion mengikuti jejak Chayton yang berdiri di samping Hakim Johnson, dia duduk di barisan kiri pria yang sementara ini menjadi ayahnya sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Tapi, dia masih mengharapkan sebuah keajaiban datang. Di ruangan cukup luas menampung lima belas orang, Chayton duduk di singgasananya. Ya, hari ini adalah hari penyidangan. Sebenarnya Dion lebih suka bilang ini adalah tahap mediasi. Karena, tidak mungkin Leyna yang berada di raganya itu bisa dibawa ke sana, semuanya sudah sempurna. Dia berhasil mendapatkan bukti yang cukup akurat. Leyna masuk melalui pintu yang ada di samping ruangan, didudukan di bagian tengah berhadapan dengan hakim. "Sidang sudah boleh dimulai, Hakim," kata Dion ketika melihat Leyna sudah duduk di tempatnya. Dia sempat bertanya prosedurnya kepada Leyna kemarin malam dengan alibi urusan mendadak. Hakim Johnson yang mengambil posisi tempat di sebelah Chayton bersiap memulai sidang. "Sidang k
Leyna langsung ke luar dari gedung termegah di Burk's Falls, dia harus pulang ke rumah Dion untuk menjaga wanita tua yang mungkin sedang cemas dengan kondisi cucu kesayangannya itu. Dia melewati jalan yang bisa dilalui oleh sebuah mobil beroda empat. Leyna hanya berusaha untuk tidak menyapa sekitar kecuali tetangga rumahnya, sedikit aneh tetapi dia akan berusaha menyamai tingkah pemilik asli tubuh ini. “Hey, Dion. How are things going?” Leyna memberikan senyum ramah yang bisa dia buat, “Hello, Luke. Doing good these days. And you?” “Should bring kiddos to beach. This time they really want it,” kata tetangga yang sedang meletakkan sebuah tas besar di dalam bagasi mobil. “Have fun, Luke.” “Sure. You too.” Leyna membuka pagar rumah. Tanpa berpikir panjang, dia membuka pintu rumah dan matanya melihat seorang wanita sedang duduk melihatnya dengan tatapan berbinar senang. Tangannya beringsut menut
[Leyna Olivia POV] “Granny, aku berangkat duluan, ya,” kataku sembari mengecup pipi kanan Granny tanpa berpikir panjang dan segera keluar dari rumah setelah memastikan rumah bisa ditinggal untuk beberapa jam ke depan. Aku bertanya kepada Dion semalam lebih rinci tentang kegiatannya di sekolah lewat messages. Leyna Olivia [Aku biasanya jam tujuh sudah berada di jalan ke sekolah. Kalau yang membingungkanmu adalah jadwal mengajarku, seingatku aku menyimpan tabel di laci meja kerja. Kau bisa membawanya kemana saja] [Tidak perlu banyak bicara. Kalau ada yang bertanya, jawab saja menurutmu mana yang bagus apalagi tentang kejadian aku ditahan. Pasti besok banyak guru yang akan bertanya. Aku tidak begitu dekat dengan mereka] [Biasanya saat makan siang, aku menyempatkan diri kembali ke rumah untuk menyiapkan makan siang Granny. Tetapi, kalau kau belum terbias
"Granny, good morning." "Good morning, boy. Where do you want to go?" tanya Greisy yang baru menutup pintu kamarnya sendiri melihat cucunya memakai baju rapi tetapi tampak nyaman. Mata wanita uzur itu melihat sebuah kaus berkerah polo berwarna putih melekat di bagian tas dan jeans untuk bawahannya. "Aku ada urusan, Granny. Temanku memerlukan bantuan, jadi aku harus ke sana." “Pergilah.” Leyna meletakkan piring berisi tumisan sayur. Lalu, dia mencium pipi wanita tersebut. "Granny, mau ikut denganku?" Greisy menggeleng kepalanya pelan, membalas ciuman di kening pria tersebut, "Pergilah. Granny baik-baik saja di sini, nikmati harimu." "Kalau begitu, aku pergi dulu, ya, Granny. Pulangnya aku akan bawa smoothies untuk Granny. Bye, Granny." Wanita tua itu melihat Leyna yang memakai sepatu dan meninggalkan rumah. Dengan senyum lembut yang telah mengeriput,
Hari Minggu Burk’s Falls, Ontario “Granny, please drink the water.” Leyna menyerahkan sebotol minuman dengan sedotan di dalam untuk memudahkan nenek yang dengannya bisa meminum dengan lancar. Lalu, menyimpannya kembali ke dalam tas punggung yang dibawanya hari ini. “Sudah lama tidak ke sini. Kita ke sebelah sana.” Leyna merangkul lengan Greisy hati-hati, memastikan wanita tua itu berjalan dengan baik di sampingnya dan tidak akan terluka saat menaiki anak tangga. Doe Lake diciptakan oleh alam dan pemerintah membuatnya semakin menawan dengan memutuskan membuat jalan yang bertanjak untuk pejalan kaki. Seperti sekarang, ada yang berolahraga maupun sekedar jalan menikmati segarnya alam layaknya mereka. “Dulu sebelum Tuan Chayton memimpin, lautan ini tidak terawat. Begitu banyak sampah di sana dan sini. Saat itu Granny masih muda, suka datang ke sini dengan Kakekmu untuk jogging
"Eh?" Dion meraba wajahnya sendiri, mencubit kedua pipi yang terasa sedikit kasar daripada selama semingguan ini dan memegang rambutnya sendiri. Matanya melihat ke arah jarum jam yang masih di angka enam tepat. Dia langsung berlari ke depan kaca yang tergantung di dinding dan hanya menampakkan setengah badannya saja. Masih tidak percaya dengan apa yang terjadi, dia langsung berjalan ke meja belajarnya dan menggapai ponsel yang terbaring di alas permukaan datar tersebut dengan sumringah. Ponselnya kembali. Tanpa berpikir panjang, dia menekan deretan angka diluar ingatan. Tangannya mengikis jarak antara ponsel dengan telinga kiri seraya mengetuk jari kakinya yang telanjang ke permukaan tanah. Sambungan suara dering yang cukup panjang dan konstan sebelum menghilang dan terdengar suara lembut khas perempuan yang serak karena terpaksa bangun tidur. “Hallo, Dion? Ada apa menelepon sepagi ini?” Dion tersenyum tipis, sekali menafsir k
Dion merapikan dasinya hari ini. Raut wajahnya mungkin terlihat datar. Tetapi, bagi yang peka tentu lah bisa melihat setitik kebahagiaan di wajah pria muda tersebut saat Dion mematut diri di depan kaca. Tangannya menyambar tas punggung berwarna hitam dan segera menjalani hari. Dia bersyukur dipertemukan dengan lemari sederhana berisi pakaiannya kembali, hanya da kemeja, kaos, dan celana di sana. Bukan walk-in-closet yang berjajar pakaian terusan maupun dress dengan aksesoris yang cukup membuat kepada Dion pusing. Lebih parahnya, dia harus beradaptasi dengan pakaian yang memang bukan merupakan miliknya sejak lahir. Dia bersyukur bisa memasuki rumah sederhana ini dengan leluasa tanpa harus disegani oleh Greisy atau siapapun yang melihat. Dion langsung meletakkan tasnya di area sofa untuk segera menyiapkan sarapan untuk orang tua yang merawatnya sejak kejadian buruk dalam hidupnya tersebut. Tangannya mengeluarkan tiga butir telur dari kulkas unt
“Jadi, hari ini adalah harinya?” Dion memangku tangannya yang sedang menggenggam sebuah bungkusan protein bars, mengunyah sambil melihat layar ponsel yang ditegakkan bersandar pada botol minumannya di meja. “Iya. Makan malam dengan kolega Tuan Chayton,” katanya yang telah menelan makanannya tersebut. Makan siang dengan dua protein bars di ruang istirahat di gedung balet yang secara kebetulan sedang sepi, membuatnya berpikir untuk menghubungi kekasihnya itu sekarang. Well, kekasih … Dion rasa dia harus bisa beradaptasi dengan julukan tersebut sekarang. “Kalau memang cowo itu yang bakalan datang, bagaimana menurutmu?” tanya Leyna yang berada di ujung telepon sedang mengecek tumpukan buku anak-anak dengan sebelah telinga kirinya tersumpal dengan Bluetooth earphone. “Aku tidak bisa menerimanya, bukan?” tanya Dion balik yang disetujui oleh jiwa perempuan yang berada di tubuhnya yang asli itu. Terkadang Dion berpikir berapa lama lagikah dia akan bersemayam di tubuh seorang wanita yang
Setelah malam itu mereka saling mengungkapkan perasaan masing-masing, tidak ada lagi yang bertambah. Baik Dion maupun Leyna, keduanya sama-sama disibukkan dengan kegiatan sehari-hari dan Jumat sudah datang menjemput mereka. Dion sudah siap dengan balutan dress di bawah lutut dan duduk ke kursi meja makan yang sudah ditempati oleh tiga anggota lainnya. “Night, Dad, Mom, Quinza,” sapanya dengan binar riang di matanya. “Night, Leyna.” Sang Ibunda membalas sapaannya. Dia mengambil tempat di samping sang adik perempuan yang bermain dengan ponselnya daritadi. Sedangkan, laki-laki satu-satunya di keluarga inti tersebut sedang membaca berita dari ponselnya. “So, can we start?” tanya Aubrey yang melirik kedua anggota yang sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Dion memilih untuk tersenyum tipis ketika mengetahui kepada siapa yang dituju. Chayton dan putri bungsunya meletakkan alat komunikasi mereka di samping dan menjawab dengan kompak, “Sure.” Wanita tersebut mengangguk dan mulai meminta
[Dion POV] Aku yang baru saja bisa pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekalian merilekskan persendian yang rasanya kaku banget setelah duduk di meja makan mendiskusikan beberapa topik hangat dengan Tuan Chayton. Sedangkan, Quinza berada di kamarnya sendiri mengerjakan tugas sekolahnya di jam sebelas malam ini. Setelah berbelanja barang kebutuhan tadi, aku dan dia langsung menyimpan barang tersebut di dapur dan beberapa disisihkan untuk di simpan di tas yang khusus menampung pakaian ganti dan outfit latihan aku. Dan, ketika melihat namaku sendiri tertera di layar ponsel Leyna itu aku langsung mengangkatnya. “Hello?” Sejujurnya ntah kenapa malam ini terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya yang pernah kami lewati dengan berbicara melalui telepon. Leyna menjawabnya, pembicaraan mulai terasa aneh ketika lawan bicaraku itu menanyakan situasi di sini. Namun, tidak berapa lama, aku mengetahui jawabannya. Jawaban mengapa aku merasa canggung dan aneh dalam pembicaraan kami k
[Leyna POV] Aku melangkah keluar dari gedung sekolah dan menaiki sepeda yang menemani semua kegiatanku semenjak menjadi sosok yang dipanggil Dion Addison. Langit yang hari ini terlihat mendadak begitu cerah tidak digubris olehku sama sekali. Karena rasanya dari dalam hatiku terbakar sejak siang tadi. Sialnya sampai sekarang masih belum padam. Efek yang luar biasa dahsyat setelah guru perempuan itu seenak jidat menawarkan ini dan itu kepadaku. Maksudnya kepada Dion, tentu saja. “Memangnya dia tahu kalau Dion itu suka sekali dengan oatmeal dan smoothies yang beragam variasi cara untuk menikmatinya,” celetukku sambil mengayuh sepeda. Beruntung aku bukan seorang puteri keturunan kepala pemerintah sekarang ini. Ada untungnya juga menjadi seorang warga biasa yang memiliki pekerjaan yang biasa-biasa saja. Tentu saja kebanyakan warga di sini menikmati kehidupannya dengan biasa-biasa saja, bangun pagi, menyiapkan sarapan, mandi, berpakaian, pergi bekerja, pulang dan menikmati makan malam
Dion meletakkan semua belanjaannya kepada kasir dengan tenang. Tidak, lebih tepatnya pura-pura untuk bersikap tenang dan biasa saja. Dia tahu Quinza daritadi melihatnya dengan tatapan yang menyiratkan untuk berbicara empat mata dengannya. Namun, dia bersikap tidak tahu-menahu. "Leyna," panggil Quinza yang berada di belakangnya berbisik mendekat sampai ke telinganya. Beruntung sekali dia sudah terbiasa dengan adik perempuan Leyna selama ini sehingga dia tidak lagi merasa terkejut. Sebuah dehaman menjadi jawabannya dan dia melihat ke arah monitor kasir yang sedang bergerak menghitung total pembeliannya. "Kamu serius sekarang? Si cowo yang kujelasin itu ada di belakang tahu," kata Quinza lagi, dia berbicara dengan bisikan meskipun terdengar seperti nada tinggi. "Dia orangnya? Charles, benarkan?" beo Dion yang melirik ke sosok di belakang anak bungsu keluarga kepala pemerintah ini. Lalu, kembali bertingkah seperti biasa. Yang lebih muda itu refleks menepuk pundak sang Kakak gemas. "
Pada satu waktu yang sama, Leyna juga sedang mengurusi nilai murid-muridnya di ruang guru. Dia tidak sendirian di ruangan tersebut, masih ada dua atau tiga guru yang juga duduk di sana melakukan tugas mereka masing-masing. Mengingat jam belajar-mengajar telah berakhir tiga jam yang lalu, Leyna dan guru-guru lainnya bisa beristirahat sejenak. "Sir. Dion," panggil seorang guru perempuan yang sering mengikutinya di setiap kesempatan yang ada. Maksudnya, mengikuti raga Dion, bukan jiwanya. Terkadang Leyna melamun dan berpikir bagaimana reaksi sekitar mereka kalau mengetahui bahwa orang yang di depan mereka bukanlah yang mereka kenali. "Ada apa, Miss?" tanya Leyna sesopan mungkin. Setelah mengetahui konsep dari kutukan aneh ini, Leyna berpikir untuk membatasi diri dengan dunia. Dia tidak bermaksud untuk besar kepala. Namun, siapa yang tidak akan jatuh hati ketika melihat raga seorang laki-laki yang tinggi jangkung, berpakaian rapi, dan bersikap lembut? Leyna mungkin adalah salah satun
Dion melewati jalan setelah selesai dengan pertemuan penting di rumah Granny Greisy. Beberapa kali dia berhenti hanya untuk berbincang dengan beberapa tetangga yang dikenalnya ataupun berjongkok menyamai tinggi anak kecil yang mengenal Leyna bukan Dion yang bermain di luar rumah sembari menunggu jam mandi. “Selamat pagi, Nona Muda Olivia,” kata salah satu pengawal gedung yang langsung dibalas olehnya dengan tak kalah hangat. Dia memasuki interior gedung dengan penampilan sporty, pegawai yang berlalu lalang menyapanya formal dan dibalasnya juga dengan baik. “Nona Muda Olivia, Tuan Besar memanggil Anda untuk ke taman belakang sekarang,” kata kepala asisten rumah yang memanggilnya dari belakang. Dion langsung berbalik badan. “Baik, saya akan ke sana. Terima kasih untuk infonya.” Jiwa laki-laki itupun memutar badannya untuk sampai taman belakang gedung. Niatannya tadi itu, dia akan membersihkan dirinya dulu setelah berkeringat banyak karena dia sempat jogging dengan durasi yang lebih
“Jatuh cintalah. Maka kutukannya akan musnah.” Dion dan Leyna sontak terbelalak terkejut. “Maksudnya, Granny?” tanya Dion yang duluan sadar. “Granny pernah bilang kalau Virga Phantasia ini sama dengan cupid, kan?” tanya Granny Greisy lagi yang sontak diangguki oleh Leyna yang masih ingat dengan jelas pembicaraan mereka tempo lalu itu. "Maka dari itu, jatuh cintalah," sambung Granny Greisy lagi dengan tenang. Air matanya sudah berhenti mengalir. "satu-satunya jalan adalah jatuh cinta." "Jatuh cinta yang bagaimana, Granny?" Manik wanita tua itu memburam perlahan bersamaan dengan penuh dengan harapan saat menelisik kembali ke masa lalu. "Granny pernah menemui seseorang yang juga sebagai manusia terpilih untuk keajaiban satu ini. Dia seumuran dengan Granny, hidup di kota besar seperti Ottawa dan Toronto sekarang. Dia sudah menikah dan masih hamil tiga bulan," ucap wan
“Leyna? Kau sudah bangun?” Dion yang sedang mengikat tali sepatunya langsung mendongak mendengar suara serak terdengar tidak jauh darinya. Suara khas akan bangun tidur yang menyita perhatiannya sejenak. “Oh, kau sudah bangun? Aku hendak jogging sebentar,” jawabnya seadanya sebelum kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda. “Belum. Aku hanya ingin ke toilet, masih ada dua jam sebelum mandi. Aku tidak akan membuang kesempatan itu,” jawab Quinza—sosok yang bangun di jam subuh—melangkah menjauh kearah dapur. Jelas sekali, anak sekolah itu akan mencari kamar kecil. Memang keseharian kedua gadis kesayangan Chayton itu sangat berbeda. Dari segi umur juga telah mengatakan segala. Quinza meskipun dia aktif untuk menari, dia terlalu malas untuk bangun pagi demi merenggangkan otot-ototnya yang kaku setelah bangun dan lebih rela berendam di bathup setelah seharian beraktivitas. Leyna—atau Dion sekarang—terbiasa untuk bangun pagi sejak zaman sekolah, membuatn