Aku terpaku di tempatku berdiri. Ketukan di pintu dan suara orang yang memanggil namaku terdengar samar.
Dada dan napasku terasa sesak, keringat dingin membasahi telapak tangan, tengkuk juga dahi. Panick attack kah ini?Kalau manusia masih bisa dilawan dengan jurus bela diri yang kukuasai, tetapi kalau jin perempuan dengan tampilan menyeramkan seperti yang dulu kecil pernah aku lihat bagaimana?Tiba-tiba pandanganku kabur, tubuhku lemas tak berdaya. Pandanganku kini benar-benar gelap."Kak Suri, bangun! Kakak kenapa?" Samar kudengar suara Juna mencoba membangunkanku."Suri, kamu kenapa? Coba istigfar ya, pelan-pelan ikuti aku. Astaghfirullah ... Astaghfirullahaladzim ...."Entah suara siapa yang kini membimbingku beristigfar.Perlahan sesak di dada menghilang, napasku mulai kembali normal, badanku juga sedikit bisa kugerakkan, kala kudengar suara seorang perempuan membacakan surat Al Fatihah, An Naas, Al Falaq, Al Ikhlas, dan ayat Kursi sambil memegang ubun-ubunku."Kak ... Kak Suri. Jangan nakutin, dong. Kakak kenapa?" tanya Juna yang kini mulai bisa kulihat jelas. Ia memegang erat tanganku."Kok, kakak di sini?" tanyaku linglung. Seingatku tadi aku berada di dapur, tetapi sekarang aku ada di tempat tidur."Kamar Mama. Tadi pas Juna pulang ada Kak Ayana dan kakaknya di depan rumah mau kasih lilin karena lihat rumah kita gelap, tapi kakak katanya nggak jawab-jawab pas mereka panggil. Pas Juna masuk, Kak Suri kayak nggak sadar sambil nangis di dapur, terus nggak lama pingsan," cerita Juna, wajahnya kini tampak benar-benar khawatir."Maafin Ayana, Sur. Aku dan Teh Ayesha jadi ikut masuk ke rumah pas Juna teriak minta tolong," ujar Ayana, di sebelahnya ada Teh Ayesha, kakaknya."Alhamdulillah, Suri udah nggak apa-apa sekarang, 'kan? Kalau sedang halangan, walau nggak bisa baca Qur'an, tapi tetap boleh, kok, dengar murotal. Kadang jin suka iseng kalau ada perempuan yang sedang haid," kata Teh Ayesha dengan senyum lembut menenangkan."Tadi emang aku kenapa? Kesurupan?" tanyaku."Nggak apa-apa, mungkin tadi Suri sedang lelah aja," jawab Teh Ayesha lagi, ia mengambil ponselnya yang ada di samping kepalaku. Ponselnya mengalunkan bacaan Al Qur'an dengan suara merdu."Juna baru kali ini lihat Kak Suri begitu. Kakak emang bisa lihat hantu? Bisa kesurupan juga?" tanya Juna penasaran.Aku menjitak kepalanya."Udah ditolongin juga. Betewe, Kak Suri mesti diet, nih. Tadi Juna gendong, badannya berat banget," keluh Juna.Aku mencubit tangannya supaya diam. Ayana dan kakaknya tertawa."Emang tadi Juna hebat, kok. Keren, bisa menolong kakaknya gendong ke kamar sendirian. Hebat! Jadi pengen punya adik laki-laki kayak Juna," puji Ayana.Juna tersipu malu."Kak Ayana pengen digendong juga?" tanya Juna tiba-tiba.Ah, Junaaa ... apa kamu memang benar adik kandungku?Ayana dan kakaknya pamit setelah meyakinkan diri aku sudah baik-baik saja. Juna mengantar mereka sampai ke pintu ruang tamu sambil tak henti-hentinya berterima kasih.Tiba-tiba aku teringat masakan untuk makan malam keluarnggaku. Jam berapa sekarang?Aku bergegas ke dapur dan alangkah kagetnya di meja makan ada semangkok besar soto ayam, beberapa biji perkedel kentang, dua bungkus kolak pisang, seplastik gorengan dan sekilo gula. Dari mana semua ini?"Tadi Kak Ayana ke sini selain mau kasih lilin juga mau kasih lauk di meja itu. Kalau kolak dan gorengan, tadi Juna beli di dekat minimarket, ada ibu-ibu gendong anaknya jualan macam-macam cemilan. Kasihan, jualannya masih banyak, mana hujan pula. Jadi Juna beli, deh. Uang lima puluh ribu tadi habis. Nggak apa-apa, ya?" Lapor Juna. Dia cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal."Nggak apa-apa. Makasih ya, udah nolongin kakak. Kamu tadi kehujanan nggak? Mandi dulu sana, biar nggak masuk angin," suruhku ketika menyadari baju dan celana Juna basah kuyup kehujanan.Juna mengangguk lalu sikap hormat ala tentara. "Siap, Bos!"Tak selang berapa lama keluarnggaku satu persatu pulang. Juna tak henti-hentinya menceritakan kejadian sore ini pada mereka dengan seru. Abang-abangku menepuk pundakku. Mama mencium kepalaku. Papa memelukku, sepertinya beliau tahu trauma masa kecilku sore ini kambuh. Wajahnya tampak sedih.Sendirian memang menakutkan.❤️
❤️
Juna memulai investigasi ala-ala sejak kami melihat Bang Jerry bersama seorang perempuan beberapa hari yang lalu. Aku dan Mas Doni kadang bergantian mengamati kebiasaan Bang Jerry lebih saksama, mulai dari bangun sampai mau tidur lagi, dari belum mandi sampai harum mewangi.Rasa-rasanya tidak ada yang aneh. Bang Jerry malah kebingungan sendiri melihat kami yang tampak berlebihan memperhatikannya."Napa, sih? Pada mau ngapain?" tanya Bang Jerry saat Juna dan Mas Doni mencium parfum di kemeja yang baru saja dikenakannya."Gue tau gue wangi, mau pinjem parfum gue, ya? Nehi!" katanya lagi."Bang, mau ke mana, sih? Tumben cakepan," tanyaku basa-basi walau sedetik kemudian menyesali kalimat terakhir yang kulontarkan."Tumben muji, ada maunya lo, ya?" tuduhnya. Juna cengengesan seakan membenarkan apa kata Bang Jerry."Jun, Suryo baru sada
Aku, Juna, Mas Doni dan Bang Jerry berkumpul di kamarku. Ini seperti konferensi meja bundar yang judulnya important meeting talking about Bang Chandra."Bang Chandra udah punya pacar??" tanya Mas Doni tak percaya.Aku dan Bang Jerry mengangguk bersamaan. Sebelumnya kami berdua menceritakan hasil 'nguping' pembicaraan orang dewasa ala Bang Chandra dengan kedua orang tua kami.Mama kaget dengan permintaan izin menikah dari Bang Chandra. Papa cenderung memahami permintaan Bang Chandra. Papa bilang sudah sewajarnya Bang Chandra mulai memikirkan pernikahan di usianya. Namun, Bang Chandra belum mengatakan siapa nama calonnya. Dia hanya mengatakan akan mengenalkan calonnya ke rumah jika Mama dan Papa sudah membolehkannya menikah dalam waktu dekat. .
Minggu pagi, seperti biasa kami sekeluarga jalan pagi seusai salat Subuh berjamaah di masjid. Mama absen karena sedang datang bulan, padahal biasanya hal itu bukan jadi alasan. Sepertinya cukup jelas kalau Mama cenderung menghindari kontak dengan Bang Chandra.Beberapa hari ini atmosfer di rumah memang terasa berbeda sejak Bang Chandra membuka wacana soal pernikahan. Mama terlihat sekali belum siap melepas anak sulungnya. Mungkin bagi Mama, kami berlima selalu menjadi anak bayi yang semakin besar saja, padahal seiring waktu kami semakin tua dan mau tak mau harus belajar dewasa."Pelan-pelan saja. Mama begini karena sayang banget sama kalian. Kami berdua dulu komitmen, setelah menikah dan punya anak, kami harus membesarkan kalian tanpa pengasuh, makanya kita saling bergantung satu sama lainnya, bukan? Harap maklumi jika kam
Aku membuka pintu gerbang, membimbing Ayana dan kakaknya masuk ke rumah. Panik, kalut juga takut tergambar jelas dari wajah keduanya."A-Ayesha masih di dalam rumah. Di-dia tadi di kamarnya, sedang tidur. To-tolong bantu kami." Teh Aliya, kakak pertama Ayana tergagap, ia tampak shock.Ayana menangis sambil memeluk lengan kakaknya.Bang Jerry dan Juna berlari ke rumah Ayana walaupun itu cukup berbahaya, mereka mencoba menolong Teh Ayesha yang berteriak minta tolong dari lantai dua rumahnya dengan wajah ketakutan.Kami semua berteriak histeris ketika ledakan kedua terdengar keras dari dalam rumah Ayana. Bang Jerry dan Juna berhenti sejenak, lalu menyambar tangga lipat yang tergantung
Suara riuh terdengar dari lantai dua balkon rumah. Ada tiga anak muda bersuara emas bernyanyi merdu seirama petikan gitar.Tak lama, suara tepukan tangan membahana. Seorang perempuan muda dengan rambut kuncir kuda, berkaos abu-abu dengan celana hitam selutut melangkah maju dan duduk santai bersama mereka. Perempuan muda itu adalah aku, Suri Nafisa. Satu-satunya anak perempuan di keluarga ini. Usiaku tahun ini delapan belas tahun, meninggalkan sweet seventen yang ternyata biasa saja, tidak semanis gula.Aku adalah anak ke-empat dari lima bersaudara. Kata Tante Mira, tetangga depan rumah, seharusnya aku jadi anak bungsu, kalau saja Juna adikku tidak lahir bertepatan di ulang tahunku yang kedua. Seperti yang kubilang tadi, aku satu-satunya perempuan di antara empat saudaraku yang kesemuanya berjenis kelamin laki-laki. Terkadang aku hampir kehilangan jati diriku sebagai perempuan jika sudah bertengkar dengan mereka. Gaya bicara, cara berjalan dan kelakua
Hari minggu pagi merupakan waktu kumpul keluarga. Selepas subuh berjamaah di masjid, biasanya keluarga kami mempunyai ritual jalan pagi sambil mencari sarapan. Kegiatan yang wajib diikuti semua anggota keluarga tanpa terkecuali.Jika tidak ada kesibukan dan mood traveling Papa bagus, disertai cuaca cerah yang mendukung, kadang Papa spontan mengajak kami jalan-jalan ke mana saja, bahkan piknik ke luar kota. One day traveling, berangkat pagi pulang sore.Namun, pagi ini cuaca mendung. Tadi malam hujan deras disertai angin yang lumayan kencang. Bang Chandra cerita, dia hampir kecelakaan karena ada pohon rubuh di perjalanan ketika pulang dari kantornya. Mas Doni pulang kemalaman karena menunggu hujan reda di kostan temannya. Hanya Bang Jerry yang pulang ke rumah dengan jas hujan yang basah kuyup dari atas kep
Bang Jerry dirawat. Ini pertama kalinya aku melihat kakak yang lahir tepat dua tahun di atasku itu masuk ruang perawatan rumah sakit, ia tampak terkulai tak berdaya dengan selang infus di pergelangan tangan kirinya.Lama-lama aku kasihan juga, apalagi ketika deru nafasnya terdengar berat, bukan dengkuran tidur pulas, tetapi karena merintih kesakitan.Mama dan Papa kini sedang makan siang di kantin rumah sakit, setelah berkonsultasi dengan dokter tentang Bang Jerry yang ternyata positif tifus, ia mesti dirawat inap setidaknya tiga hari ke depan karena demamnya tinggi, dan kesadarannya menurun hingga tadi pingsan di mal.Bang Chandra dan Mas Doni pulang ke rumah untuk mengambil pakaian ganti Bang Jerry.
Seperti kata Papa tadi pagi, sore ini, aku, Juna dan Mas Doni akan ke rumah sakit untuk menjenguk Bang Jerry. Sekalian aplausan dengan Mama yang pasti sudah lelah menjaga Bang Jerry sejak kemarin.Mas Doni yang baru pulang dari kampus, bergegas mengambil pakaian ganti untuknya dan Bang Jerry. Setelah itu ia memanaskan mobil sedan yang biasa di pakai Bang Chandra ke kantor.“Assalamu’alaikum, Suri,” sapa seseorang. Ayana.Aku menjawab salam Ayana. Ia kini tersenyum pada Mas Doni dan Juna yang sedang bersiap mengeluarkan mobil.“Mau pergi, ya?” tanya Ayana. Kedua tangannya memeluk sesuatu yang dibungkus goody bag berwarna merah.