Beranda / Fiksi Remaja / The Siblings / Sendirian itu menakutkan

Share

Sendirian itu menakutkan

Aku terpaku di tempatku berdiri. Ketukan di pintu dan suara orang yang memanggil namaku terdengar samar.

Dada dan napasku terasa sesak, keringat dingin membasahi telapak tangan, tengkuk juga dahi. Panick attack kah ini?

Kalau manusia masih bisa dilawan dengan jurus bela diri yang kukuasai, tetapi kalau jin perempuan dengan tampilan menyeramkan seperti yang dulu kecil pernah aku lihat bagaimana?

Tiba-tiba pandanganku kabur, tubuhku lemas tak berdaya. Pandanganku kini benar-benar gelap.

"Kak Suri, bangun! Kakak kenapa?" Samar kudengar suara Juna mencoba membangunkanku.

"Suri, kamu kenapa? Coba istigfar ya, pelan-pelan ikuti aku. Astaghfirullah ... Astaghfirullahaladzim ...."

Entah suara siapa yang kini membimbingku beristigfar.

Perlahan sesak di dada menghilang, napasku mulai kembali normal, badanku juga sedikit bisa kugerakkan, kala kudengar suara seorang perempuan membacakan surat Al Fatihah, An Naas, Al Falaq, Al Ikhlas, dan ayat Kursi sambil memegang ubun-ubunku.

"Kak ... Kak Suri. Jangan nakutin, dong. Kakak kenapa?" tanya Juna yang kini mulai bisa kulihat jelas. Ia memegang erat tanganku.

"Kok, kakak di sini?" tanyaku linglung. Seingatku tadi aku berada di dapur, tetapi sekarang aku ada di tempat tidur.

"Kamar Mama. Tadi pas Juna pulang ada Kak Ayana dan kakaknya di depan rumah mau kasih lilin karena lihat rumah kita gelap, tapi kakak katanya nggak jawab-jawab pas mereka panggil. Pas Juna masuk, Kak Suri kayak nggak sadar sambil nangis di dapur, terus nggak lama pingsan," cerita Juna, wajahnya kini tampak benar-benar khawatir.

"Maafin Ayana, Sur. Aku dan Teh Ayesha jadi ikut masuk ke rumah pas Juna teriak minta tolong," ujar Ayana, di sebelahnya ada Teh Ayesha, kakaknya.

"Alhamdulillah, Suri udah nggak apa-apa sekarang, 'kan? Kalau sedang halangan, walau nggak bisa baca Qur'an, tapi tetap boleh, kok, dengar murotal. Kadang jin suka iseng kalau ada perempuan yang sedang haid," kata Teh Ayesha dengan senyum lembut menenangkan.

"Tadi emang aku kenapa? Kesurupan?" tanyaku.

"Nggak apa-apa, mungkin tadi Suri sedang lelah aja," jawab Teh Ayesha lagi, ia mengambil ponselnya yang ada di samping kepalaku. Ponselnya mengalunkan bacaan Al Qur'an dengan suara merdu.

"Juna baru kali ini lihat Kak Suri begitu. Kakak emang bisa lihat hantu? Bisa kesurupan juga?" tanya Juna penasaran.

Aku menjitak kepalanya.

"Udah ditolongin juga. Betewe, Kak Suri mesti diet, nih. Tadi Juna gendong, badannya berat banget," keluh Juna.

Aku mencubit tangannya supaya diam. Ayana dan kakaknya tertawa.

"Emang tadi Juna hebat, kok. Keren, bisa menolong kakaknya gendong ke kamar sendirian. Hebat! Jadi pengen punya adik laki-laki kayak Juna," puji Ayana.

Juna tersipu malu.

"Kak Ayana pengen digendong juga?" tanya Juna tiba-tiba.

Ah, Junaaa ... apa kamu memang benar adik kandungku?

Ayana dan kakaknya pamit setelah meyakinkan diri aku sudah baik-baik saja. Juna mengantar mereka sampai ke pintu ruang tamu sambil tak henti-hentinya berterima kasih.

Tiba-tiba aku teringat masakan untuk makan malam keluarnggaku. Jam berapa sekarang?

Aku bergegas ke dapur dan alangkah kagetnya di meja makan ada semangkok besar soto ayam, beberapa biji perkedel kentang, dua bungkus kolak pisang, seplastik gorengan dan sekilo gula. Dari mana semua ini?

"Tadi Kak Ayana ke sini selain mau kasih lilin juga mau kasih lauk di meja itu. Kalau kolak dan gorengan, tadi Juna beli di dekat minimarket, ada ibu-ibu gendong anaknya jualan macam-macam cemilan. Kasihan, jualannya masih banyak, mana hujan pula. Jadi Juna beli, deh. Uang lima puluh ribu tadi habis. Nggak apa-apa, ya?" Lapor Juna. Dia cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Nggak apa-apa. Makasih ya, udah nolongin kakak. Kamu tadi kehujanan nggak? Mandi dulu sana, biar nggak masuk angin," suruhku ketika menyadari baju dan celana Juna basah kuyup kehujanan.

Juna mengangguk lalu sikap hormat ala tentara. "Siap, Bos!"

Tak selang berapa lama keluarnggaku satu persatu pulang. Juna tak henti-hentinya menceritakan kejadian sore ini pada mereka dengan seru. Abang-abangku menepuk pundakku. Mama mencium kepalaku. Papa memelukku, sepertinya beliau tahu trauma masa kecilku sore ini kambuh. Wajahnya tampak sedih.

Sendirian memang menakutkan.

❤️

 

Di sekolah, Ayana selalu berusaha dekat denganku, Andre yang biasanya selalu menemaniku saat jam istirahat atau menunggu jemputanku, mulai merasa tersingkir.

"Kamu sekarang dekat sama Ayana, Sur? Udah nggak butuh aku lagi, nih?" kata Andre di telinnggaku, aku tahu ia hanya menggodaku.

"Ayana sepertinya memang baik, Ndre. Ia dan keluarganya juga ramah. Mungkin karena rumah kami bertetangga, depan-depanan," jawabku.

Aku membuka buku catatan biologi Andre yang kupinjam. Tulisannya dari dulu memang rapi dan enak dibaca, aku yang perempuan saja merasa kalah darinya.

"Manusia itu makhluk sosial. Artinya nggak bisa hidup sendiri. Sekarang mungkin saatnya kamu membuka hati lagi untuk bisa bersahabat dengan sesama perempuan. Kemarin kakak-kakakmu juga cerita, pengen lihat kamu lebih feminim. Hmm, aku juga. Pasti kamu jauh lebih cantik jika sedikit berdandan seperti teman-teman perempuan sekelas kita yang suka make up. Tipis saja, sepertinya nggak masalah," saran Andre.

Aku melongo mendengarnya bicara begitu. Andre kesambet apa?

"Lo ngomong apa sih, Ndre? Tau sendiri, 'kan? Gue paling ogah dandan-dandanan. Rok yang gue punya aja cuma rok sekolah, apalagi make up? Tumben-tumbenan lo. Kenapa, hayo? Lo lagi suka sama cewek yang suka dandan? Nnggaku, deh!" tuduhku sambil menepuk bahunya.

Andre menghela napas. Wajahnya terlihat kesal.

"Susah ngomong sama perempuan kayak lo, Sur. Diajak serius malah becanda. Mana ada gue suka ama cewek lain? Lo aja yang nggak peka. Udahan ah, gue cabut dulu!" pamit Andre dari samping tempat dudukku. Ia berjalan menuju tempat duduknya.

"Sepertinya kalian sangat dekat, ya?" tanya Ayana yang kini duduk di depanku.

"Siapa? Andre?" jawabku.

Ayana mengangguk.

"Aku nggak pernah punya sahabat dekat. Satu-satunya sahabatku ya, Teh Ayesha dan Teh Alya, kakakku. Gimana rasanya punya sahabat dan kakak laki-laki yang banyak, Sur?" tanya Ayana, wajahnya penasaran seperti menanti jawabanku.

"Biasa aja. Cenderung rusuh kalau ngumpul. Kadang juga melelahkan kalau udah pada berantem. Hmm, aku juga penasaran bagaimana rasanya punya dua kakak perempuan sepertimu," kataku.

Apa aku sedang iri pada Ayana, mengingat sikap menenangkannya Teh Ayesha yang sangat lembut kemari?.

Entah kenapa, aku melihat binar di mata Ayana seakan meredup.

"Andai kita bisa tukar tempat sehari aja kayak di drama Korea ...," bisik Ayana.

Aku tak tahu maksudnya.

❤️

 

Mas Doni menjemputku dan Juna sepulang sekolah. Hari ini dia libur bimbingan skripsi, jadi di rumah seharian.

"Mas, jalan-jalan, yuk. Juna bosen di rumah," kata Juna sambil minum sebotol jus buah kepunyaan Mas Doni.

"Bosen kenapa? Ada masalah?" tanya Mas Doni perhatian.

"Bosen aja. Di rumah juga paling kita bertiga doang. Juna kangen jalan-jalan kumpul sekeluarga, tapi kayaknya semua lagi pada sibuk." Juna merengut.

"Fisa gimana? Bosen juga? Biasanya Andre nemenin kamu pas pulang sekolah, tumben tadi nggak ada. Lagi marahan? Kayak orang pacaran aja, berantem-beranteman," ledek Mas Doni.

Juna terkekeh. Aku membuang napas.

"Andre? Dia tuh yang aneh! Tumben-tumbenan dia nyuruh supaya lebih feminim. Kalian emang ngomongin apa kemarin?" kataku sedikit kesal.

"Ngomongin apa? Biasa aja kayaknya ya, Jun? Andre itu naksir kamu dari dulu. Wajar aja dia pengen kamu tampil lebih cantik. Masa kamu nggak ngerti?" Mas Doni berkilah.

"Kalau Kak Suri nikah sama Bang Andre seru nih, Bang! Nanti nama anaknya singkatan nama mereka. Suriken. Nama lengkapnya Bang Andre ‘kan, Kenzio Andre," kata Juna sambil pura-pura menjadi ninja yang melempar suriken ala Naruto dalam imajinasinya.

Mas Doni tertawa keras, membuat setir mobil sedikit oleng. Aku melengos sebal melihat jalan.

Mas Doni mengarahkan mobil tidak ke arah jalan pulang. Juna teriak kegirangan ketika mobil berbelok menuju mal yang letaknya tak begitu jauh dari sekolah.

"Mas Doni mau beli kertas sama sekalian cari novel barunya penulis best seller, Atina Fathia. Kalau kalian mau beli-beli, pakai uang sendiri!" kata Mas Doni seakan memberi kami peringatan jangan minta jajan.

"Kalau beli komik aja, boleh 'kan?" tawar Juna. Mas Doni menggeleng.

Mas Doni merangkul bahu Juna dan menggandeng tanganku. Risih kalau jalan begini, pasti dikiranya nanti aku pacar Mas Doni. Aku melepaskan gandengannya, tetapi Mas Doni malah merangkul bahuku seperti ia merangkul Juna.

Sesampainya di toko buku, Juna setengah berteriak seraya menunjuk ke arah jam dua belas. Juna berbisik di telinga Mas Doni, "Ada Bang Jerry sama perempuan, Bang."

Aku dan Mas Doni segera melihat ke arah yang ditunjuk Juna.

Ya, Benar! Kulihat dengan jelas Bang Jerry sedang jalan berdua dengan seorang perempuan muda berambut sebahu. Mereka tertawa dan tampak akrab.

Aku dan Mas Doni berpandangan. Siapa perempuan yang sedang bersama saudara kami itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status