Di depan rumahku telah berdiri tenggak tenda ungu muda dengan hiasan bunga warna warni. Sepertinya acara pengajian rumah baru Ayana hari ini akan dihadiri orang luar, bukan dari tetangga perumahan saja.
Aku yang sedang menjemur pakaian di lantai dua melihat beberapa perempuan berseragam putih hitam sedang merapikan meja prasmanan.
"Suriii, nanti datang, ya. Aku tunggu," teriak Ayana yang ternyata melihatku dari teras lantai dua rumahnya. Hijab coklatnya senada dengan gamis peach yang dikenakannya.
"Ayana, ya?" tanya Bang Jerry yang sedang berjemur sambil olahraga ringan dekat aku menjemur pakaian.
Penampakan Bang Jerry benar-benar cuek, ia hanya memakai kaos singlet putih tanpa lengan dan celana pendek berwarna coklat, kacamata hitam yang ia pakai kini ia selipkan di dada. Sok keren!
Ayana mengangguk, tersenyum sungkan pada Bang Jerry, lalu dengan bahasa isyarat pamit ke bawah kepadaku.
"Itu yang namanya Ayana temen sekelas lo, Sur?" tanya Bang Jerry.
"Iya, kok tau?" jawabku.
"Andre semalam ke sini pas lo udah tidur, nengok Abang. Andre cerita, Ayana teman sekelas kalian. Kayaknya Ayana anaknya baik. Coba temenan sama dia, kali lo jadi perempuan beneran nanti," saran Bang Jerry setengah tersenyum.
"Suri 'kan emang perempuan. Sejak kapan Suri jadi Suryo? Abang-abang aja pada lihat Suri kayak anak laki," sanggahku.
"Mana ada anak perempuan betisnya gede berbulu gitu. Sesekali di-wax, dong. Dandan cakep biar ada laki-laki yang naksir. Eh, iya ... Andre dari dulu juga udah naksir elo, ya? Anak itu makin cakep gedenya, tambah tinggi pula. Kalian beneran Cuma sahabatan? Nggak pacaran?" goda Bang Jerry.
Aku melotot.
"Siapa yang pacaran?" tanya Mas Doni.
"Kepo aja," bisik Bang Jerry.
"Disuruh ke bawah sama Mama, Fis. Anterin kue buat tambahan pengajian rumah depan," kata Mas Doni.
"Mas Doni aja, atau Bang Jerry aja yang lagi nganggur. Suri belum kelar jemur," tukasku.
"Kamu yang disuruh! Mas Doni mau mandi, gerah abis bantu Mama baking kue tadi," balasnya.
"Bang Jerry aja. Suri jemurannya masih banyak ini, nanggung. Masih ada satu gilingan lagi di mesin cuci." Aku mengibaskan pakaian yang akan di jemur dengan kencang sebagai tanda penolakan.
Hening.
Tiba-tiba Juna datang membawa setoples camilan.
"Juna aja!" teriakku dan Bang Jerry bersamaan.
Satu jam kemudian kami sekeluarga pergi ke pengajian rumah Ayana dengan membawa beberapa kue buatan Mama.
Ayana dan keluarganya begitu ramah. Namun, seperti yang dibilang Juna kemarin, perempuan dikeluarga Ayana tidak ada yang bersalaman dengan laki-laki, mereka hanya tersenyum seraya menangkupkan kedua tangan di dada, tetapi sesama perempuan, selain bersalaman, kami juga berpelukan dan cium pipi kiri-kanan.
❤️
Sudah dua minggu sejak Bang Jerry sembuh dari sakitnya. Rutinitas keluarga di rumah kami berjalan seperti biasanya.
Papa Mama dengan bisnis EO dan kateringnya.
Bang Chandra yang sibuk mengelola bisnis bareng temannya.
Bang Jerry yang mengejar ketertinggalan materi kuliahnya, karena sakit kemarin absennya banyak.
Mas Doni fokus merampungkan skripsinya, ia mengejar target wisuda dua bulan lagi.
Hanya aku dan Juna yang sering di rumah sepulang sekolah, itu pun dengan kesibukan kami masing-masing.
Seperti sore ini, sepulang sekolah Juna membawa teman-temannya. Bilangnya mau kerja kelompok mengerjakan tugas sekolah, tetapi yang kulihat mereka asyik main PS dan bernyanyi dengan gitar Bang Chandra. Aku sesekali menegur mereka dengan pura-pura berdeham keras ketika melewati mereka.
"Kak Suri, bikinin makanan, dong. Juna laper." Juna mengetuk pintu kamarku. Teman-temannya baru saja pulang.
"Makan aja apa yang ada, Jun. Kan, tadi pagi Mama udah masak banyak," kataku seraya pergi menuju dapur, rasanya aku ikutan lapar juga.
Sesampainya di dapur, aku membuka tudung saji dan kaget setengah mati, ayam goreng, sop bakso dan sambal goreng kentang ati kini raib entah ke mana.
"Tadi Juna makan bareng sama temen-temen, terus habis," katanya pelan, wajahnya merasa bersalah.
"Junaaa ...! Segitu banyak lauk yang dimasak Mama habis tanpa sisa, beneran?” Aku panik.
Di otakku sudah terbayang, kalau abangku yang lain sekarang pulang pasti pada protes tidak ada makanan di meja makan.
Mama biasa masak banyak setiap pagi. Cukup untuk makan siang dan makan malam kami, karena kalau siang hanya aku dan Juna di rumah, ketiga kakakku dan Papa setiap harinya pulang sore, dan biasanya setelah mandi langsung makan malam.
Aku membuka kulkas. Mencari bahan makanan yang bisa kumasak dengan mudah. Kulkas hampir kosong. Sepertinya Mama belum sempat belanja lagi.
"Ayam ungkep yang belum digoreng Mama ke mana? Biasanya Mama suka setok, 'kan?" tanyaku pada Juna.
"Udah Juna goreng juga tadi, temen Juna tadi pada nambah makannya, enak kata mereka," jawab Juna taku-takut.
Aku menepuk jidat. Melihat jam dinding yang hampir menunjukkan pukul lima sore. Menjelang magrib biasanya keluarnggaku sudah kumpul di rumah.
Aku membuka lemari makanan, kosong juga. Mama biasanya setok makanan di freezer, tapi sekarang hanya ada es batu dan kentang beku.
Juna dan teman-temannya sepertinya benar-benar keasyikan makan tadi, mereka menghabiskan apa saja yang ada di meja makan juga di kulkas.
"Pesan makanan aja, Kak?" tanya Juna khawatir.
Aku menatapnya kesal. Aku tahu dia merasa bersalah, tetapi beli makanan online sekarang, tampaknya terlalu menggampangkan urusan. Aku ingin Juna belajar bertanggung jawab.
"Masak aja apa yang ada, yang penting usaha dulu. kita coba cari-cari di kulkas, bahan apa lagi yang bisa dimasak," kataku sok bijak sebagai kakak. Juna pun menurut.
Aku mencari resep mudah di aplikasi memasak. Sementara Juna mengeluarkan beberapa bahan makanan mentah di kulkas.
"Juna nemu ikan asin, Kak. Bikin balado ikan asin aja, ya? Cabe banyak," kata Juna seraya mengeluarkan ikan asin dan cabai juga bumbu lainnya.
Aku mengangguk, membantunya mencari bahan yang dibutuhkan untuk membuat balado ikan asin. Setelah bahan tersedia, sekarang tinggal cari resep mudahnya.
"Gula habis, Jun. Beli ke warung atau minimarket, ya." Aku memberikannya selembar uang berwarna biru, tabungan uang jajan kami yang ditaruh Mama di dekat kulkas setiap hari.
Juna mengangguk dan bergegas mengeluarkan sepeda gunungnya.
Aku sekarang sendirian di dapur, mencoba mengolah makanan enak untuk keluarnggaku. Ini kali pertamanya aku begini, biasanya aku hanya membantu Mama atau Mas Doni sebagai asisten dapur dan tukang cuci piring.
Tiba-tiba aku mendengar suara geluduk, sepertinya akan turun hujan. Aku mengintip dari jendela ruang tamu. Di luar ternyata hujan deras. Juna pasti kehujanan sekarang, anak itu baru pergi lima menit yang lalu.
Sendirian di rumah ketika hujan begini mengingatkanku akan masa kecil yang membuatku trauma dan tak ingin kuingat lagi.
Masa kecil ketika Mama Papa sibuk merintis usaha, mereka berdua bekerja sambil mengurus kami kelima anaknya. Namun sesekali, aku dan ketiga kakakku dititipkan ke tetangga yang kebetulan menjadi pengasuh kami jika mereka tidak bisa membawa kami ikut serta.
Bibi pengasuhku itu sangat menyayangi ketiga kakakku, tetapi sepertinya tidak terlalu menyukaiku, mungkin karena aku perempuan dan paling kecil sendiri.
Suatu hari ketika hujan deras, ketiga kakakku asyik bermain di rumahnya, tetapi aku ditinggal seorang diri di rumah. Bibi pengasuh berdalih aku sedang tidur pulas ketika Papa pulang menemukanku sedang menangis tanpa suara, ketakutan di kamar seorang diri. Aku ingat kejadian itu ketika usiaku tiga tahun, tetapi hingga kini aku masih mengingatnya dengan jelas. Sepertinya aku masih belum bisa move on dari kejadian itu.
Tiba-tiba suara petir begitu menggelegar, disertai hujan yang semakin deras. Langit di luar mendung, gelap. Entah mengapa aku merasa suasana rumah sepi begini terasa begitu mencekam.
Andai Juna tadi tak kusuruh ke minimarket, mungkin aku tak akan setakut ini.
Aku menyalakan TV dan mengeraskan volumenya, sedikit upaya mengurangi ketakutanku. Namun, tiba-tiba TV mati begitu saja, lampu yang menerangi seluruh penjuru rumah juga seketika redup.
Aku berusaha untuk tidak panik, kunyalakan senter lalu memutar musik di ponselku. Kuputar lagu apa saja di chart aplikasi musik, tetapi kenapa lagu Lily - Alan Walker kini terdengar makin menakutkan.
Aku hampir menyerah, ingin rasanya menyusul Juna ke minimarket dekat rumah.
TOK! TOK! TOK!
Suara ketukan berkali-kali di balik pintu membuat bulu kudukku merinding.
"Si-siapa?" tanyaku gagap.
"Suriii," panggilnya. Suaranya perempuan.
Aku terpaku di tempatku berdiri. Ketukan di pintu dan suara orang yang memanggil namaku terdengar samar.Dada dan napasku terasa sesak, keringat dingin membasahi telapak tangan, tengkuk juga dahi. Panick attack kah ini? Kalau manusia masih bisa dilawan dengan jurus bela diri yang kukuasai, tetapi kalau jin perempuan dengan tampilan menyeramkan seperti yang dulu kecil pernah aku lihat bagaimana? Tiba-tiba pandanganku kabur, tubuhku lemas tak berdaya. Pandanganku kini benar-benar gelap."Kak Suri, bangun! Kakak kenapa?" Samar kudengar suara Juna mencoba membangunkanku."Suri, kamu kenapa? Coba istigfar ya, pelan-pelan ikuti aku. Astaghfirullah ... Astaghfirullahaladzim ...." Entah suara siapa yang kini membimbingku beristigfar.Perlahan sesak di dadamenghilang, napasku mulai kembali normal, badanku juga sedikit bisa kugerakkan, kala kudengar suara seorang perempuan membacakan surat Al Fatihah, An Naas, Al Falaq, A
Juna memulai investigasi ala-ala sejak kami melihat Bang Jerry bersama seorang perempuan beberapa hari yang lalu. Aku dan Mas Doni kadang bergantian mengamati kebiasaan Bang Jerry lebih saksama, mulai dari bangun sampai mau tidur lagi, dari belum mandi sampai harum mewangi.Rasa-rasanya tidak ada yang aneh. Bang Jerry malah kebingungan sendiri melihat kami yang tampak berlebihan memperhatikannya."Napa, sih? Pada mau ngapain?" tanya Bang Jerry saat Juna dan Mas Doni mencium parfum di kemeja yang baru saja dikenakannya."Gue tau gue wangi, mau pinjem parfum gue, ya? Nehi!" katanya lagi."Bang, mau ke mana, sih? Tumben cakepan," tanyaku basa-basi walau sedetik kemudian menyesali kalimat terakhir yang kulontarkan."Tumben muji, ada maunya lo, ya?" tuduhnya. Juna cengengesan seakan membenarkan apa kata Bang Jerry."Jun, Suryo baru sada
Aku, Juna, Mas Doni dan Bang Jerry berkumpul di kamarku. Ini seperti konferensi meja bundar yang judulnya important meeting talking about Bang Chandra."Bang Chandra udah punya pacar??" tanya Mas Doni tak percaya.Aku dan Bang Jerry mengangguk bersamaan. Sebelumnya kami berdua menceritakan hasil 'nguping' pembicaraan orang dewasa ala Bang Chandra dengan kedua orang tua kami.Mama kaget dengan permintaan izin menikah dari Bang Chandra. Papa cenderung memahami permintaan Bang Chandra. Papa bilang sudah sewajarnya Bang Chandra mulai memikirkan pernikahan di usianya. Namun, Bang Chandra belum mengatakan siapa nama calonnya. Dia hanya mengatakan akan mengenalkan calonnya ke rumah jika Mama dan Papa sudah membolehkannya menikah dalam waktu dekat. .
Minggu pagi, seperti biasa kami sekeluarga jalan pagi seusai salat Subuh berjamaah di masjid. Mama absen karena sedang datang bulan, padahal biasanya hal itu bukan jadi alasan. Sepertinya cukup jelas kalau Mama cenderung menghindari kontak dengan Bang Chandra.Beberapa hari ini atmosfer di rumah memang terasa berbeda sejak Bang Chandra membuka wacana soal pernikahan. Mama terlihat sekali belum siap melepas anak sulungnya. Mungkin bagi Mama, kami berlima selalu menjadi anak bayi yang semakin besar saja, padahal seiring waktu kami semakin tua dan mau tak mau harus belajar dewasa."Pelan-pelan saja. Mama begini karena sayang banget sama kalian. Kami berdua dulu komitmen, setelah menikah dan punya anak, kami harus membesarkan kalian tanpa pengasuh, makanya kita saling bergantung satu sama lainnya, bukan? Harap maklumi jika kam
Aku membuka pintu gerbang, membimbing Ayana dan kakaknya masuk ke rumah. Panik, kalut juga takut tergambar jelas dari wajah keduanya."A-Ayesha masih di dalam rumah. Di-dia tadi di kamarnya, sedang tidur. To-tolong bantu kami." Teh Aliya, kakak pertama Ayana tergagap, ia tampak shock.Ayana menangis sambil memeluk lengan kakaknya.Bang Jerry dan Juna berlari ke rumah Ayana walaupun itu cukup berbahaya, mereka mencoba menolong Teh Ayesha yang berteriak minta tolong dari lantai dua rumahnya dengan wajah ketakutan.Kami semua berteriak histeris ketika ledakan kedua terdengar keras dari dalam rumah Ayana. Bang Jerry dan Juna berhenti sejenak, lalu menyambar tangga lipat yang tergantung
Suara riuh terdengar dari lantai dua balkon rumah. Ada tiga anak muda bersuara emas bernyanyi merdu seirama petikan gitar.Tak lama, suara tepukan tangan membahana. Seorang perempuan muda dengan rambut kuncir kuda, berkaos abu-abu dengan celana hitam selutut melangkah maju dan duduk santai bersama mereka. Perempuan muda itu adalah aku, Suri Nafisa. Satu-satunya anak perempuan di keluarga ini. Usiaku tahun ini delapan belas tahun, meninggalkan sweet seventen yang ternyata biasa saja, tidak semanis gula.Aku adalah anak ke-empat dari lima bersaudara. Kata Tante Mira, tetangga depan rumah, seharusnya aku jadi anak bungsu, kalau saja Juna adikku tidak lahir bertepatan di ulang tahunku yang kedua. Seperti yang kubilang tadi, aku satu-satunya perempuan di antara empat saudaraku yang kesemuanya berjenis kelamin laki-laki. Terkadang aku hampir kehilangan jati diriku sebagai perempuan jika sudah bertengkar dengan mereka. Gaya bicara, cara berjalan dan kelakua
Hari minggu pagi merupakan waktu kumpul keluarga. Selepas subuh berjamaah di masjid, biasanya keluarga kami mempunyai ritual jalan pagi sambil mencari sarapan. Kegiatan yang wajib diikuti semua anggota keluarga tanpa terkecuali.Jika tidak ada kesibukan dan mood traveling Papa bagus, disertai cuaca cerah yang mendukung, kadang Papa spontan mengajak kami jalan-jalan ke mana saja, bahkan piknik ke luar kota. One day traveling, berangkat pagi pulang sore.Namun, pagi ini cuaca mendung. Tadi malam hujan deras disertai angin yang lumayan kencang. Bang Chandra cerita, dia hampir kecelakaan karena ada pohon rubuh di perjalanan ketika pulang dari kantornya. Mas Doni pulang kemalaman karena menunggu hujan reda di kostan temannya. Hanya Bang Jerry yang pulang ke rumah dengan jas hujan yang basah kuyup dari atas kep
Bang Jerry dirawat. Ini pertama kalinya aku melihat kakak yang lahir tepat dua tahun di atasku itu masuk ruang perawatan rumah sakit, ia tampak terkulai tak berdaya dengan selang infus di pergelangan tangan kirinya.Lama-lama aku kasihan juga, apalagi ketika deru nafasnya terdengar berat, bukan dengkuran tidur pulas, tetapi karena merintih kesakitan.Mama dan Papa kini sedang makan siang di kantin rumah sakit, setelah berkonsultasi dengan dokter tentang Bang Jerry yang ternyata positif tifus, ia mesti dirawat inap setidaknya tiga hari ke depan karena demamnya tinggi, dan kesadarannya menurun hingga tadi pingsan di mal.Bang Chandra dan Mas Doni pulang ke rumah untuk mengambil pakaian ganti Bang Jerry.