Suara riuh terdengar dari lantai dua balkon rumah. Ada tiga anak muda bersuara emas bernyanyi merdu seirama petikan gitar.
Tak lama, suara tepukan tangan membahana. Seorang perempuan muda dengan rambut kuncir kuda, berkaos abu-abu dengan celana hitam selutut melangkah maju dan duduk santai bersama mereka.Perempuan muda itu adalah aku, Suri Nafisa. Satu-satunya anak perempuan di keluarga ini. Usiaku tahun ini delapan belas tahun, meninggalkan sweet seventen yang ternyata biasa saja, tidak semanis gula.Aku adalah anak ke-empat dari lima bersaudara. Kata Tante Mira, tetangga depan rumah, seharusnya aku jadi anak bungsu, kalau saja Juna adikku tidak lahir bertepatan di ulang tahunku yang kedua.Seperti yang kubilang tadi, aku satu-satunya perempuan di antara empat saudaraku yang kesemuanya berjenis kelamin laki-laki. Terkadang aku hampir kehilangan jati diriku sebagai perempuan jika sudah bertengkar dengan mereka. Gaya bicara, cara berjalan dan kelakuan tomboyku mirip anak laki-laki kata teman-teman sekolahku. Andai saja rambut panjang sepinggangku ini dipotong pendek dan rok sekolahku diganti celana panjang, mungkin saja aku benar-benar tampak seperti sahabatku Andre, sang ketua OSIS yang tampan dan maskulin.Sejak SD aku belajar taekwondo, yudo, karate, dan silat walau tidak pernah sampai sabuk hitam. Awal belajar bela diri hanya sebagai pelampiasan, karena sering kesal dengan tingkah kekanakan saudara-saudaraku kalau sudah keterlaluan bercanda denganku.Walau ada kalanya mereka bertindak sebagai abang yang protektif saat kami masih kecil dulu. Masih lekat di memori otakku, ketika ada anak lelaki tetangga yang hampir setiap hari iseng menarik rambut panjangku, mereka melayangkan tinju dan tendangan bayangan ala superhero kepadanya, sehingga aku merasa dibela sedemikian rupa. Namun, sering kali mereka juga menggodaku, kalau perempuan cantik itu harus wangi, sedang aku bau asem karena seharian mengikuti mereka berlari mengejar layangan atau bermain bola di lapangan. Bahkan, kakak ketigaku seenaknya mengganti namaku menjadi Suryo, jika aku mengerjakan sesuatu yang keren menurutnya, seperti memindahkan meja dan lemari ruang tamu, sampai mengangkat kasur tidur kamarku seorang diri. Mereka tidak akan berhenti menggoda jika tinjuku belum melayang ke udara. Jika sudah kulayangkan ke badan mereka, sudah pasti ketiganya serta merta lari terbirit-birit.Kata orang, punya kakak laki-laki banyak itu enak, dilindungi bak bodyguard artis kenamaan, disayangi seperti bayi baru belajar jalan, dan dituruti segala kemauannya seperti tuan putri karena perempuan sendiri. Namun, pada kenyataannya aku bak upik abu yang selalu menjadi pelayan mereka di rumah. Mulai dari mengambilkan minum ketika mereka lelah dan kehausan sepulang kuliah atau bekerja, memasakkan makanan ketika mereka teriak kelaparan kala lauk pauk habis di tudung saji, menggosok semua pakaian, sampai menjadi tukang suruh mengambilkan handuk kalau-kalau mereka lupa membawanya ke kamar mandi.Baiklah, aku ceritakan sedikit karakter saudara laki-lakiku, ya. Jangan sedih kalau mereka tidak sesuai dengan ekspektasi ajaib nan keren di benak kalian.Kita mulai dari anak pertama dikeluarga ini, pria jangkung dengan tinggi 185 sentimeter itu akrab dipanggil Bang Chand. Nama lengkapnya Chandra Sailendra. Ia lahir dua puluh lima tahun silam di kota hujan, Bogor. Mama pernah cerita, ketika hamil Bang Chand, Mama sibuk bolak balik kampus sembari mengerjakan skripsi. Tepat sehari setelah wisuda, Bang Chand lahir. Anehnya, ketika bayi, Bang Chand selalu menangis kencang dan baru berhenti ketika Mama atau Papa mengetik komputer. Diyakini Mama, suara tuts keyboard terlalu akrab di telinganya sejak di dalam kandungan, sehingga sampai besar ia jadi terobsesi dengan koleksi berbagai macam jenis keyboard dari berbagai merk.Lulusan fakultas teknik informatika ITB itu, kini sedang gigih merintis usaha software dengan dua orang teman programmernya. Hobinya selain main game online juga sesekali membuat konten di vlog channel YouTube-nya. Ia juga jago sekali bermain gitar dan piano. Bisa dikatakan, semua hobinya pasti berhubungan dengan keterampilan jari jemari yang lentik. Oiya, wajah Bang Chand sering dibilang mirip dengan Chanyeol EXO kata teman-teman sekolahku. Bedanya, badan Bang Chand lebih berisi dan pipinya lebih chubby, apalagi kalau sudah makan permen lolipop bareng Juna adikku.Nah, sekarang giliran memperkenalkan kakak keduaku yang bernama Doni Saputra, usianya dua puluh dua tahun, tinggi badannya 174 sentimeter, matanya minus empat dan juga bersilinder, sehingga ia wajib menggunakan kacamata atau lensa kontak untuk membantunya melihat lebih jelas. Mas Doni juga merupakan anak laki-laki paling pendek di antara saudara kandungku yang lain. Pendeknya Mas Doni menurut Mama karena ia lahir di era krisis moneter 1998, Mama dan Papa yang baru merintis usaha kateringnya pada saat itu terkena imbas, sehingga ketika kecil Mas Doni tidak minum susu sebanyak Bang Chandra yang badannya kian hari tinggi menjulang.Mas Doni kakak paling dekat denganku, kami berdua lumayan sering berada di dapur untuk masak jika Mama tidak ada. Mahasiswa tingkat akhir fakultas ekonomi dan bisnis UI ini juga hobi membaca buku. Hal yang paling menyenangkan ketika jalan bersamanya adalah aku tak perlu mendongakkan leher terlalu tinggi, karena tinggi badan kami hanya berbeda sepuluh senti, dan itu lebih nyaman dibanding berjalan dengan Papa dan kedua kakakku yang lain. Mas Doni juga satu-satunya kakak yang kupanggil dengan sebutan 'Mas' sejak SD, mengikuti kebiasaan tetangga yang asli dari Jawa memanggilnya, Mas. Karakter Mas Doni yang hangat, rajin, dan penurut ini jadi andalan kami kalau disuruh Mama mengerjakan pekerjaan rumah tangga di rumah. Kekurangan Mas Doni hanya satu, jika sudah marah ia akan cenderung diam. Membuat orang lain merasa tidak enak karenanya.Sekarang beralih kekakak ketigaku yang lahir dua tahun tiga bulan di atasku, namanya Jerry Mahendra. Laki-laki paling aneh di keluargaku itu lahir dua puluh tahun silam, ketika drama Taiwan Meteor Garden dengan aktornya yang bernama Jerry Yan menghipnotis separuh lebih perempuan muda Indonesia kala itu. Dengan tinggi badan 181 sentimeter, ia selalu membanggakan dirinya karena lebih tinggi satu senti dibanding Papa. Ia diberi julukan magic jer oleh Bang Chandra, karena memang tingkah lakunya suka ajaib dan pikirannya hampir selalu out of the box.Mahasiswa semester empat jurusan desain grafis IKJ ini amat akur dengan sulung keluarga ini kalau sudah main game. Bedanya, kalau Bang Chandra terobsesi memainkan jari jemarinya di keyboard, maka Bang Jerry bisa melakukan apa saja dengan mulut dan badannya yang super lentur. Ia pandai meniru suara hewan, memerankan dialog artis terkenal, bahkan bertingkah konyol dalam menggambarkan sesuatu.Bang Jerry juga satu-satunya orang di dunia ini yang memanggilku Suryo. Tidak ada alasan, katanya hanya seru untuk menggodaku. Kata Mama, ketika mengandung Bang Jerry, hobinya makan lele dan belut goreng dengan sambal ekstra pedas dan lalapan timun hampir setiap hari. Jadi, tak ayal kini Bang Jerry tidak bisa diam kecuali kalau sedang tidur. Walau ketika tidur pun sebenarnya ia tidak bisa diam juga, suara mendengkurnya seperti suara kodok yang sedang memanggil hujan di malam hari. Kamarnya yang berada tepat di samping kamarku sangat berisik setiap malam, sehingga rasanya aneh jika pada suatu malam terasa sepi, ketika ia pergi menginap di acara kegiatan kampusnya. Aku aja merasa kehilangan, apalagi si bungsu Juna yang sekamar dengannya, pasti merasa sangat berbeda tanpanya.Selanjutnya anak ke-empat di keluarga ini adalah aku sendiri. Nama lengkapku di akta lahir adalah Suri Cinta Nafisa. Lahir di masa Rangga dan Cinta di film AADC (Ada apa dengan cinta) mengudara dan menghebohkan jagad raya perfilman Indonesia. Mama yang saat itu hamil besar memutuskan kalau anaknya lahir laki-laki harus ada nama Rangga, kalau lahir perempuan harus ada nama Cinta. Karena aku terlahir perempuan, jadilah namaku ada Cinta-nya. Satu-satunya nama yang paling ingin aku sembunyikan seumur hidup. Rasanya aneh dipanggil 'Cinta' walau itu anggota keluargaku sendiri. Maka, sejak masuk SMP aku pun menyingkat namaku menjadi Suri C. Nafisa.Karakterku tomboy dan apa adanya, bahkan kadang aku merasa bukan perempuan sesungguhnya karena aku tidak seheboh teman-teman perempuanku yang mengidolakan artis tampan multitalenta seperti si golden maknae BTS, Jeon Jungkook dan lain sebagainya. Sepertinya keberadaan empat saudara laki-lakiku yang super duper heboh itu, membuatku terbiasa berhadapan dengan laki-laki tampan nan rupawan.Terakhir, kuperkenalkan anak ke-lima sekaligus bungsu dari keluarga ini, ia lahir di bulan Juni, makanya namanya Juna Mahesa. Dia satu-satunya adik lelaki yang bisa kuusili. Usianya baru enam belas tahun, tetapi tinggi badannya sudah melebihi Mas Doni. Ia kini kelas satu SMA di sekolah yang sama denganku.Di sekolah, aku tak pernah memberitahukan orang-orang kalau aku adalah kakak kandungnya. Juna juga sudah kuwanti-wanti agar tidak memberitahukan pada siapapun kalau kami bersaudara. Bukan tanpa alasan aku begini. Pasalnya sejak dulu, teman-teman perempuanku selalu mendekatiku karena mereka ingin kenalan dengan ketiga kakakku.Sekolah yang gedungnya satu lokasi dari TK sampai SMA ini merekam jejakku sebagai Suri si adik perempuan satu-satunya para bintang sekolah serupa Bang Chandra, Mas Doni dan Bang Jerry yang selalu menerima banyak cokelat setiap pertengahan Februari dari fans mereka. Siapa lagi perantaranya kalau bukan aku, apalagi jika mereka bertiga sok jual mahal menolak semua pemberian coklat disertai surat pernyataan cinta.Bahkan dulu ketika SMP, Ratu, teman sebangku yang kuanggap sahabat begitu mengidolakan Bang Chandra yang saat itu sudah SMA. Ia memproklamirkan diri sebagai calon kakak iparku. Rasa persahabatannya denganku tidak tulus ketika Bang Chandra menolak surat cintanya, tak lama ia pun menjauhiku dan menyebarkan gosip tentangku yang katanya jahat, munafik, dan lain sebagainya.Sungguh memusingkan, bukan?"Sur, pegangin kamera, ya. Videoin kita lagi nyanyi, lumayan buat jadi konten channel Abang," pinta Bang Chandra sambil menyerahkan kameranya kepadaku."Jangan Suryo, Bang! Nanti dia megangnya gemeteran. Sayang 'kan, gue udah nyanyi bagus tapi nanti ngambil videonya amburadul ama tremornya bocah," ujar Bang Jerry dengan mimik sok serius."Udah nggak apa. Fisa udah expert. Kemarin ngadonin donat gue juga aman, mulus, buletnya sempurna," bela Mas Doni, satu-satunya orang di rumah ini yang memanggilku Fisa.Ah, aku jadi ingat asal muasal Mas Doni memanggilku Fisa dengan alasannya yang sangat tidak masuk akal. Katanya melihatku cemberut mengingatkannya pada ikan koi cantik peliharaan Papa yang mati karena dia sering memberinya makanan kucing kami yang sudah expired. Nama ikan koi yang mati itu Fisa, singkatan dari namanya. Edan, kan?!"Assalamu'alaikum ... Juna datang!" teriak anak laki-laki ABG yang baru saja membuka pintu garasi.Aku, Bang Chandra dan Mas Doni menyambut kepulangan si bungsu dengan senyuman dan lambaian tangan. Namun, tidak dengan Bang Jerry. Ia berteriak kegirangan menyambut si bungsu yang juga sekaligus teman sekamarnya yang baru pulang belanja dari pasar bersama Papa dan Mama."Junaaa, adikku tersayang ... bawa titipan pecel Abang, 'kan???" katanya seraya melompat dan merosot turun ke garasi melalui tiang yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua rumah. Aksi konyolnya mirip stuntman yang melakukan aksi berbahaya sebagai superhero, tetapi Bang Jerry melakukannya demi sebungkus pecel Madiun beserta gorengan favoritnya.Hari minggu pagi merupakan waktu kumpul keluarga. Selepas subuh berjamaah di masjid, biasanya keluarga kami mempunyai ritual jalan pagi sambil mencari sarapan. Kegiatan yang wajib diikuti semua anggota keluarga tanpa terkecuali.Jika tidak ada kesibukan dan mood traveling Papa bagus, disertai cuaca cerah yang mendukung, kadang Papa spontan mengajak kami jalan-jalan ke mana saja, bahkan piknik ke luar kota. One day traveling, berangkat pagi pulang sore.Namun, pagi ini cuaca mendung. Tadi malam hujan deras disertai angin yang lumayan kencang. Bang Chandra cerita, dia hampir kecelakaan karena ada pohon rubuh di perjalanan ketika pulang dari kantornya. Mas Doni pulang kemalaman karena menunggu hujan reda di kostan temannya. Hanya Bang Jerry yang pulang ke rumah dengan jas hujan yang basah kuyup dari atas kep
Bang Jerry dirawat. Ini pertama kalinya aku melihat kakak yang lahir tepat dua tahun di atasku itu masuk ruang perawatan rumah sakit, ia tampak terkulai tak berdaya dengan selang infus di pergelangan tangan kirinya.Lama-lama aku kasihan juga, apalagi ketika deru nafasnya terdengar berat, bukan dengkuran tidur pulas, tetapi karena merintih kesakitan.Mama dan Papa kini sedang makan siang di kantin rumah sakit, setelah berkonsultasi dengan dokter tentang Bang Jerry yang ternyata positif tifus, ia mesti dirawat inap setidaknya tiga hari ke depan karena demamnya tinggi, dan kesadarannya menurun hingga tadi pingsan di mal.Bang Chandra dan Mas Doni pulang ke rumah untuk mengambil pakaian ganti Bang Jerry.
Seperti kata Papa tadi pagi, sore ini, aku, Juna dan Mas Doni akan ke rumah sakit untuk menjenguk Bang Jerry. Sekalian aplausan dengan Mama yang pasti sudah lelah menjaga Bang Jerry sejak kemarin.Mas Doni yang baru pulang dari kampus, bergegas mengambil pakaian ganti untuknya dan Bang Jerry. Setelah itu ia memanaskan mobil sedan yang biasa di pakai Bang Chandra ke kantor.“Assalamu’alaikum, Suri,” sapa seseorang. Ayana.Aku menjawab salam Ayana. Ia kini tersenyum pada Mas Doni dan Juna yang sedang bersiap mengeluarkan mobil.“Mau pergi, ya?” tanya Ayana. Kedua tangannya memeluk sesuatu yang dibungkus goody bag berwarna merah.
Di depan rumahku telah berdiri tenggak tenda ungu muda dengan hiasan bunga warna warni. Sepertinya acara pengajian rumah baru Ayana hari ini akan dihadiri orang luar, bukan dari tetangga perumahan saja.Aku yang sedang menjemur pakaian di lantai dua melihat beberapa perempuan berseragam putih hitam sedang merapikan meja prasmanan."Suriii, nanti datang, ya. Aku tunggu," teriak Ayana yang ternyata melihatku dari teras lantai dua rumahnya. Hijab coklatnya senada dengan gamis peach yang dikenakannya."Ayana, ya?" tanya Bang Jerry yang sedang berjemur sambil olahraga ringan dekat aku menjemur pakaian.Penampakan Bang Jerry benar-benar cuek, ia hanya memakai kaos singlet putih tanpa lengan dan ce
Aku terpaku di tempatku berdiri. Ketukan di pintu dan suara orang yang memanggil namaku terdengar samar.Dada dan napasku terasa sesak, keringat dingin membasahi telapak tangan, tengkuk juga dahi. Panick attack kah ini? Kalau manusia masih bisa dilawan dengan jurus bela diri yang kukuasai, tetapi kalau jin perempuan dengan tampilan menyeramkan seperti yang dulu kecil pernah aku lihat bagaimana? Tiba-tiba pandanganku kabur, tubuhku lemas tak berdaya. Pandanganku kini benar-benar gelap."Kak Suri, bangun! Kakak kenapa?" Samar kudengar suara Juna mencoba membangunkanku."Suri, kamu kenapa? Coba istigfar ya, pelan-pelan ikuti aku. Astaghfirullah ... Astaghfirullahaladzim ...." Entah suara siapa yang kini membimbingku beristigfar.Perlahan sesak di dadamenghilang, napasku mulai kembali normal, badanku juga sedikit bisa kugerakkan, kala kudengar suara seorang perempuan membacakan surat Al Fatihah, An Naas, Al Falaq, A
Juna memulai investigasi ala-ala sejak kami melihat Bang Jerry bersama seorang perempuan beberapa hari yang lalu. Aku dan Mas Doni kadang bergantian mengamati kebiasaan Bang Jerry lebih saksama, mulai dari bangun sampai mau tidur lagi, dari belum mandi sampai harum mewangi.Rasa-rasanya tidak ada yang aneh. Bang Jerry malah kebingungan sendiri melihat kami yang tampak berlebihan memperhatikannya."Napa, sih? Pada mau ngapain?" tanya Bang Jerry saat Juna dan Mas Doni mencium parfum di kemeja yang baru saja dikenakannya."Gue tau gue wangi, mau pinjem parfum gue, ya? Nehi!" katanya lagi."Bang, mau ke mana, sih? Tumben cakepan," tanyaku basa-basi walau sedetik kemudian menyesali kalimat terakhir yang kulontarkan."Tumben muji, ada maunya lo, ya?" tuduhnya. Juna cengengesan seakan membenarkan apa kata Bang Jerry."Jun, Suryo baru sada
Aku, Juna, Mas Doni dan Bang Jerry berkumpul di kamarku. Ini seperti konferensi meja bundar yang judulnya important meeting talking about Bang Chandra."Bang Chandra udah punya pacar??" tanya Mas Doni tak percaya.Aku dan Bang Jerry mengangguk bersamaan. Sebelumnya kami berdua menceritakan hasil 'nguping' pembicaraan orang dewasa ala Bang Chandra dengan kedua orang tua kami.Mama kaget dengan permintaan izin menikah dari Bang Chandra. Papa cenderung memahami permintaan Bang Chandra. Papa bilang sudah sewajarnya Bang Chandra mulai memikirkan pernikahan di usianya. Namun, Bang Chandra belum mengatakan siapa nama calonnya. Dia hanya mengatakan akan mengenalkan calonnya ke rumah jika Mama dan Papa sudah membolehkannya menikah dalam waktu dekat. .
Minggu pagi, seperti biasa kami sekeluarga jalan pagi seusai salat Subuh berjamaah di masjid. Mama absen karena sedang datang bulan, padahal biasanya hal itu bukan jadi alasan. Sepertinya cukup jelas kalau Mama cenderung menghindari kontak dengan Bang Chandra.Beberapa hari ini atmosfer di rumah memang terasa berbeda sejak Bang Chandra membuka wacana soal pernikahan. Mama terlihat sekali belum siap melepas anak sulungnya. Mungkin bagi Mama, kami berlima selalu menjadi anak bayi yang semakin besar saja, padahal seiring waktu kami semakin tua dan mau tak mau harus belajar dewasa."Pelan-pelan saja. Mama begini karena sayang banget sama kalian. Kami berdua dulu komitmen, setelah menikah dan punya anak, kami harus membesarkan kalian tanpa pengasuh, makanya kita saling bergantung satu sama lainnya, bukan? Harap maklumi jika kam