Seperti kata Papa tadi pagi, sore ini, aku, Juna dan Mas Doni akan ke rumah sakit untuk menjenguk Bang Jerry. Sekalian aplausan dengan Mama yang pasti sudah lelah menjaga Bang Jerry sejak kemarin.
Mas Doni yang baru pulang dari kampus, bergegas mengambil pakaian ganti untuknya dan Bang Jerry. Setelah itu ia memanaskan mobil sedan yang biasa di pakai Bang Chandra ke kantor.
“Assalamu’alaikum, Suri,” sapa seseorang. Ayana.
Aku menjawab salam Ayana. Ia kini tersenyum pada Mas Doni dan Juna yang sedang bersiap mengeluarkan mobil.
“Mau pergi, ya?” tanya Ayana. Kedua tangannya memeluk sesuatu yang dibungkus goody bag berwarna merah.
Aku mengangguk, menjawab sekenanya.
“Oh iya, ini buah tangan dari Bandung, salam perkenalan dari kami, tetangga baru. InsyaAllah, Minggu depan kami ada pengajian di rumah, jika berkenan, kami mengundang Suri dan keluarga untuk hadir,” kata Ayana sopan.
“Makan-makan, dong, Kak?” ceplos Juna. Mas Doni menegur dengan menepuk tangannya.
“Hehe ... InsyaAllah, Kang. Makanya datang, ya?” Ayana tersenyum lagi.
“InsyaAllah, Ayana. Terima kasih oleh-oleh dan undangannya, insyaAllah nanti kami usahakan hadir. Sekarang kami permisi dulu. Ada urusan keluarga,” kataku sambil membuka pintu mobil dan memasukan bingkisan dari Ayana.
“Oh iya, maaf mengganggu. Hati-hati di jalan. Permisi. Assalamualaikum,” pamit Ayana.
“Siapa, Fis? Kayaknya Mas baru lihat,” tanya Mas Doni.
“Tetangga baru depan rumah. Kemarin siang pindahannya,” jawabku.
“Lho, terus Tante Mira ke mana?” tanya Mas Doni lagi.
“Tante Mira udah pindah ke Surabaya. Sekarang suaminya kerja di sana. Rumahnya dijual. Juna denger waktu Tante Mira pamitan sama Mama beberapa waktu lalu,” kata Juna sambil membuka bingkisan dari Ayana.
“Wah, ada bolen pisang, brownis sama rangginang. Enak, nih!” teriak Juna kegirangan. Anak itu kalau sudah berhubungan dengan makanan pasti semangat sekali.
Mas Doni melirik bingkisan dari Ayana. Bolen pisang salah satu camilan kesukaannya.
Setelah berkendara hampir dua jam karena macet, kami sampai juga di rumah sakit tempat Bang Jerry dirawat.
Mendekati kamar perawatan, kami mendengar suara tawa dari dalam. Ini pasti geng IKJ Bang Jerry sudah kumpul, tebakku. Benar saja, ketika masuk kamar, aku melihat lima sekawan ala Bang Jerry sedang bersenda gurau.
“Wah, yang ditunggu udah datang. Apa kabar permaisurinya Bang Daniel?” goda Bang Daniel, sahabat Bang Jerry dengan wajah jenaka.
Aku melayangkan tinju ke udara. Seketika tawa membahana lagi.
“Udah mendingan, Bang? Masih panas nggak?” tanyaku pada Bang Jerry seraya memeriksa keningnya.
"Suri kalau Jerry sakit jadi romantis, ya. Biasanya kalian berantem mulu kayak kucing sama tikus. Gini terus, dong. Mama 'kan jadi seneng," kata Mama bangga.
"Sebentar lagi juga berantem lagi. Tungguin aja," sahut Bang Jerry.
"Makanya cepet sehat, biar kita bisa silat-silatan lagi. Masa’ jagoan sakit," ejekku puas.
"Wah, belum tau dia. Hari ini juga Jerry udah boleh pulang ya, Ma?” balas Bang Jerry percaya diri.
"Serius?" tanyaku.
"Lihat aja nanti apa kata dokter," lirihnya.
"Tadi dokter bilang tunggu hasil lab sore ini. Kita doakan saja biar boleh pulang. Lebih enak istirahat di rumah, kan?" Mama menggoda Bang Jerry yang cengengesan.
Aku mengangguk. Semoga memang benar Bang Jerry bisa pulang sore ini. Kasihan Mama dan Papa pasti kepikiran kalau anaknya sakit.
Mas Doni mengeluarkan bingkisan dari Ayana, tangannya meraih sepotong bolen pisang dan melahapnya.
"Kalian beli bolen di mana?" tanya Mama seraya memeriksa bingkisan dari Ayana.
"Dari tetangga yang baru pindah di depan rumah, Ma. Kayaknya tadi yang anter anak yang beli rumahnya Tante Mira," jawab Juna. "Cantik, kayak selebgram," tambahnya.
"Oo, udah pindah, ya. Mama denger yang beli rumah Tante Mira itu orang Bandung, anaknya perempuan semua, tiga apa empat gitu. Tante Mira pernah cerita, yang beli rumahnya itu anaknya ada yang jadi artis," ujar Mama.
Juna membelalakkan mata.
"Wah, pantesan. Tadi aja yang ngasih kue udah Mas Doni liatin mulu. Itu baru satu, gimana yang lain, ya?" celotehnya.
Mas Doni menimpuk kepala Juna dengan botol minum.
"Siapa tadi namanya, Mas? Ana, ya?" goda Juna melirik Mas Doni.
"Ayana," jawabku sambil memberi tahu Mama undangan acara pengajian di rumah Ayana Minggu besok.
❤️
Bang Jerry hanya dua hari dirawat di rumah sakit. Hebat! Dokter juga heran kenapa cepat sekali pemuda itu pulih dari sakitnya.
Walau sepulangnya ke rumah, Mama jadi over protective pada anak tengahnya itu. Bang Jerry wajib istirahat seminggu di rumah, tidak boleh ke mana-mana. Makan, tidur, minum obat pun di layani Mama. Akibatnya hampir semua pekerjaan rumah aku yang kerjakan sepulang sekolah, kecuali memasak, Mama memercayakan pada Mas Doni untuk menjadi asistennya.
Bang Chandra dan Papa jadi sering pergi berdua setelah proyek kerja sama dengan kementerian pariwisata dalam mempromosikan kuliner Indonesia itu goal.
Sesekali Bang Chandra ke kamar Bang Jerry untuk mendiskusikan perihal desain, tetapi Mama selalu menjadi time keeper yang membatasi Bang Jerry kalau sudah membahas soal pekerjaan.
Mama tidak membolehkan Bang Jerry terlalu menguras tenaga dan pikirannya. Mama hanya ingin anaknya lekas sembuh. Terkadang, kami anak-anaknya yang lain jadi ikut cemburu melihat kasih sayang Mama begitu berlimpah kepada Bang Jerry.
"Ma, biarin aja kenapa Bang Jerry makan sendiri. Udah gede gitu, nggak usah disuapin juga bisa. Lagian juga dia udah sehat, kok," protesku ketika melihat Mama menyuapi Bang Jerry sepotong jeruk.
"Nggak usah cemburu, deh. Kamu kalau sakit juga Mama suapin," sahut Mama.
Bang Jerry menjulurkan lidahnya.
"Tuh, Bang Jerry udah sehat, kan. Ngeselinnya kumat," kataku sebal.
Juna menenteng raket badminton sepulang olahraga pagi bareng Mas Doni. Wajahnya seperti biasa, selalu ceria dengan senyum merona khas remaja.
"Ma, tetangga depan rumah kita anaknya beneran cakep-cakep. Mas Doni kayaknya naksir sama salah satunya," bisik Juna pada Mama yang sedang merapikan bekas makan Bang Jerry.
Aku yang sedang menyapu kamarnya ikut mendengar.
"Tadi kami bertemu di lapangan badminton perumahan. Kak Ayana menyapa Juna dan Mas Doni duluan. Pas mereka memperkenalkan diri, Mas Doni ajak salaman, tapi mereka cuma senyum sambil tangkupin tangan ke dada. Abis itu, Mas Doni jadi salah tingkah," cerita Juna.
"Emang kita nggak boleh salaman sama perempuan yang jilbabnya panjang, ya, Ma?" tanya Juna polos, ia melirik ke arahku takut-takut.
Mama tertawa. "Ada-ada aja kamu, Jun. Hmm, pastinya mereka anak yang pintar menjaga diri," kata Mama.
"Mas Doni malu banget, dong?" celetuk Bang Jerry.
"Beneran, Bang. Tadi Juna liat sendiri mereka kayak nggak mau salaman. Perasaan Kak Suri sama Bang Andre dan teman-temannya cuek aja, nggak kayak kak Ayana dan saudaranya yang tadi," kata Juna lagi.
"Berarti mereka akhwat, Jun. Ukhti solehah kayak anak Rohis di kampus Bang Chandra dulu." Tiba-tiba Bang Chandra urun rembuk, rupanya sejak tadi ia berdiri di pintu kamar sambil mendengarkan percakapan kami.
"Semua perempuan muslimah harusnya memang begitu. Menjaga dirinya dari laki-laki yang bukan muhrim. Mereka tidak boleh bersentuhan atau sengaja pergi berduaan, apalagi pacaran," kata Bang Chandra yang kini duduk di samping Juna.
"Dulu, Bang Chandra sering wanti-wanti Suri supaya hati-hati kalau bergaul sama anak laki-laki. Tapi, Suri sepertinya lebih nyaman berteman dengan laki-laki." Bang Chandra menatapku. Wajahnya serius.
Seketika suasana menjadi hening. Aku tak tahu harus berkata apa.
"Hmm, lebih baik kita doakan saja supaya Suryo segera tobat." Tiba-tiba Bang Jerry memeluk lengan Mama minta perlindungan.
Entah kenapa, rasanya sapu yang kupegang ini ingin sekali melayang ke arahnya.
Di depan rumahku telah berdiri tenggak tenda ungu muda dengan hiasan bunga warna warni. Sepertinya acara pengajian rumah baru Ayana hari ini akan dihadiri orang luar, bukan dari tetangga perumahan saja.Aku yang sedang menjemur pakaian di lantai dua melihat beberapa perempuan berseragam putih hitam sedang merapikan meja prasmanan."Suriii, nanti datang, ya. Aku tunggu," teriak Ayana yang ternyata melihatku dari teras lantai dua rumahnya. Hijab coklatnya senada dengan gamis peach yang dikenakannya."Ayana, ya?" tanya Bang Jerry yang sedang berjemur sambil olahraga ringan dekat aku menjemur pakaian.Penampakan Bang Jerry benar-benar cuek, ia hanya memakai kaos singlet putih tanpa lengan dan ce
Aku terpaku di tempatku berdiri. Ketukan di pintu dan suara orang yang memanggil namaku terdengar samar.Dada dan napasku terasa sesak, keringat dingin membasahi telapak tangan, tengkuk juga dahi. Panick attack kah ini? Kalau manusia masih bisa dilawan dengan jurus bela diri yang kukuasai, tetapi kalau jin perempuan dengan tampilan menyeramkan seperti yang dulu kecil pernah aku lihat bagaimana? Tiba-tiba pandanganku kabur, tubuhku lemas tak berdaya. Pandanganku kini benar-benar gelap."Kak Suri, bangun! Kakak kenapa?" Samar kudengar suara Juna mencoba membangunkanku."Suri, kamu kenapa? Coba istigfar ya, pelan-pelan ikuti aku. Astaghfirullah ... Astaghfirullahaladzim ...." Entah suara siapa yang kini membimbingku beristigfar.Perlahan sesak di dadamenghilang, napasku mulai kembali normal, badanku juga sedikit bisa kugerakkan, kala kudengar suara seorang perempuan membacakan surat Al Fatihah, An Naas, Al Falaq, A
Juna memulai investigasi ala-ala sejak kami melihat Bang Jerry bersama seorang perempuan beberapa hari yang lalu. Aku dan Mas Doni kadang bergantian mengamati kebiasaan Bang Jerry lebih saksama, mulai dari bangun sampai mau tidur lagi, dari belum mandi sampai harum mewangi.Rasa-rasanya tidak ada yang aneh. Bang Jerry malah kebingungan sendiri melihat kami yang tampak berlebihan memperhatikannya."Napa, sih? Pada mau ngapain?" tanya Bang Jerry saat Juna dan Mas Doni mencium parfum di kemeja yang baru saja dikenakannya."Gue tau gue wangi, mau pinjem parfum gue, ya? Nehi!" katanya lagi."Bang, mau ke mana, sih? Tumben cakepan," tanyaku basa-basi walau sedetik kemudian menyesali kalimat terakhir yang kulontarkan."Tumben muji, ada maunya lo, ya?" tuduhnya. Juna cengengesan seakan membenarkan apa kata Bang Jerry."Jun, Suryo baru sada
Aku, Juna, Mas Doni dan Bang Jerry berkumpul di kamarku. Ini seperti konferensi meja bundar yang judulnya important meeting talking about Bang Chandra."Bang Chandra udah punya pacar??" tanya Mas Doni tak percaya.Aku dan Bang Jerry mengangguk bersamaan. Sebelumnya kami berdua menceritakan hasil 'nguping' pembicaraan orang dewasa ala Bang Chandra dengan kedua orang tua kami.Mama kaget dengan permintaan izin menikah dari Bang Chandra. Papa cenderung memahami permintaan Bang Chandra. Papa bilang sudah sewajarnya Bang Chandra mulai memikirkan pernikahan di usianya. Namun, Bang Chandra belum mengatakan siapa nama calonnya. Dia hanya mengatakan akan mengenalkan calonnya ke rumah jika Mama dan Papa sudah membolehkannya menikah dalam waktu dekat. .
Minggu pagi, seperti biasa kami sekeluarga jalan pagi seusai salat Subuh berjamaah di masjid. Mama absen karena sedang datang bulan, padahal biasanya hal itu bukan jadi alasan. Sepertinya cukup jelas kalau Mama cenderung menghindari kontak dengan Bang Chandra.Beberapa hari ini atmosfer di rumah memang terasa berbeda sejak Bang Chandra membuka wacana soal pernikahan. Mama terlihat sekali belum siap melepas anak sulungnya. Mungkin bagi Mama, kami berlima selalu menjadi anak bayi yang semakin besar saja, padahal seiring waktu kami semakin tua dan mau tak mau harus belajar dewasa."Pelan-pelan saja. Mama begini karena sayang banget sama kalian. Kami berdua dulu komitmen, setelah menikah dan punya anak, kami harus membesarkan kalian tanpa pengasuh, makanya kita saling bergantung satu sama lainnya, bukan? Harap maklumi jika kam
Aku membuka pintu gerbang, membimbing Ayana dan kakaknya masuk ke rumah. Panik, kalut juga takut tergambar jelas dari wajah keduanya."A-Ayesha masih di dalam rumah. Di-dia tadi di kamarnya, sedang tidur. To-tolong bantu kami." Teh Aliya, kakak pertama Ayana tergagap, ia tampak shock.Ayana menangis sambil memeluk lengan kakaknya.Bang Jerry dan Juna berlari ke rumah Ayana walaupun itu cukup berbahaya, mereka mencoba menolong Teh Ayesha yang berteriak minta tolong dari lantai dua rumahnya dengan wajah ketakutan.Kami semua berteriak histeris ketika ledakan kedua terdengar keras dari dalam rumah Ayana. Bang Jerry dan Juna berhenti sejenak, lalu menyambar tangga lipat yang tergantung
Suara riuh terdengar dari lantai dua balkon rumah. Ada tiga anak muda bersuara emas bernyanyi merdu seirama petikan gitar.Tak lama, suara tepukan tangan membahana. Seorang perempuan muda dengan rambut kuncir kuda, berkaos abu-abu dengan celana hitam selutut melangkah maju dan duduk santai bersama mereka. Perempuan muda itu adalah aku, Suri Nafisa. Satu-satunya anak perempuan di keluarga ini. Usiaku tahun ini delapan belas tahun, meninggalkan sweet seventen yang ternyata biasa saja, tidak semanis gula.Aku adalah anak ke-empat dari lima bersaudara. Kata Tante Mira, tetangga depan rumah, seharusnya aku jadi anak bungsu, kalau saja Juna adikku tidak lahir bertepatan di ulang tahunku yang kedua. Seperti yang kubilang tadi, aku satu-satunya perempuan di antara empat saudaraku yang kesemuanya berjenis kelamin laki-laki. Terkadang aku hampir kehilangan jati diriku sebagai perempuan jika sudah bertengkar dengan mereka. Gaya bicara, cara berjalan dan kelakua
Hari minggu pagi merupakan waktu kumpul keluarga. Selepas subuh berjamaah di masjid, biasanya keluarga kami mempunyai ritual jalan pagi sambil mencari sarapan. Kegiatan yang wajib diikuti semua anggota keluarga tanpa terkecuali.Jika tidak ada kesibukan dan mood traveling Papa bagus, disertai cuaca cerah yang mendukung, kadang Papa spontan mengajak kami jalan-jalan ke mana saja, bahkan piknik ke luar kota. One day traveling, berangkat pagi pulang sore.Namun, pagi ini cuaca mendung. Tadi malam hujan deras disertai angin yang lumayan kencang. Bang Chandra cerita, dia hampir kecelakaan karena ada pohon rubuh di perjalanan ketika pulang dari kantornya. Mas Doni pulang kemalaman karena menunggu hujan reda di kostan temannya. Hanya Bang Jerry yang pulang ke rumah dengan jas hujan yang basah kuyup dari atas kep