Hari minggu pagi merupakan waktu kumpul keluarga. Selepas subuh berjamaah di masjid, biasanya keluarga kami mempunyai ritual jalan pagi sambil mencari sarapan. Kegiatan yang wajib diikuti semua anggota keluarga tanpa terkecuali.
Jika tidak ada kesibukan dan mood traveling Papa bagus, disertai cuaca cerah yang mendukung, kadang Papa spontan mengajak kami jalan-jalan ke mana saja, bahkan piknik ke luar kota. One day traveling, berangkat pagi pulang sore.
Namun, pagi ini cuaca mendung. Tadi malam hujan deras disertai angin yang lumayan kencang. Bang Chandra cerita, dia hampir kecelakaan karena ada pohon rubuh di perjalanan ketika pulang dari kantornya. Mas Doni pulang kemalaman karena menunggu hujan reda di kostan temannya. Hanya Bang Jerry yang pulang ke rumah dengan jas hujan yang basah kuyup dari atas kepala hingga ke ujung kakinya.
"Mama sering bilang 'kan, Jer. Kalau lagi jalan terus hujan deras lebih baik nepi dulu, sayangi badan dan motor kamu," omel Mama sambil memberikan handuk kecil pada Bang Jerry yang sedang bersin-bersin.
"Kalau nunggu reda nggak asyik, Ma. Jerry paling nggak suka di PHP, apalagi sama hujan. Hujan itu kata pak ustadz ‘kan rahmat, masa' kita harus takut sama hujan, sih. Nggak keren," kilah Bang Jerry.
"Hujan memang rahmat, Jer. Tapi lihat kondisi kamu juga, dong. Dari kemarin udah bilang nggak enak badan, tapi tetep maksa hujan-hujanan, motoran pula Jakarta-Bekasi. Itu namanya cari penyakit. Sama sekali nggak kereeen," balas Mas Doni sambil memberikan segelas seduhan wedang jahe instan favorit keluarga kami.
"Nggak demam, 'kan? Hari ini istirahat aja, nggak usah ke mana-mana. Badan juga butuh istirahat, Bro." Giliran Bang Chandra yang peduli, ia memijat kepala Bang Jerry yang hangat.
"Sini, Juna pijitin kaki Bang Jerry," kata Juna yang langsung memijat kaki Bang Jerry di pangkuannya.
"Masyaallah ... kalau kalian berempat akur gini, Mama ‘kan jadi terharu. Nggak sia-sia Mama hamil dan lahirin kalian. Sini, sini... kita berpelukaaan ...," ujar Mama sambil berjalan dan memeluk ke-empat putra kesayangannya.
"Ish, norak banget, sih," kataku sebal melihat Mama tampak begitu peduli pada ke-empat saudara laki-lakiku.
"Walah ... ada yang cemburu, ya? Tenang aja Cin, Papa selalu ada di samping kamu," kata Papa. "Kita jalan-jalan aja, yuk!" ajaknya sambil merangkul bahuku.
Aku mendelik kesal dengan panggilan sayang Papa kepadaku. Cuma Papa yang memanggilku Cinta di rumah ini. Walau sudah jutaan kali aku menyangkal nama panggilan menyebalkan itu. Mama saja kadang sampai cemburu kalau Papa sudah memanggilku Cinta, padahal Mama sendiri yang memberikan nama itu sebagai nama tengahku. Sungguh terlalu!
"Sudah-sudah ... yang mau ikut jalan sama Papa mending siap-siap. Kalau yang mau istirahat di rumah, mending di kamar aja," kata Papa menengahi.
"Jalan-jalan ke mana, Pa?" tanya Juna si bungsu dengan antusias.
"Papa mau ke mal. Kangen makan siang di restoran jepang favorit kita dulu. Alhamdulillah, Papa baru dapat rezeki," ujar Papa tersenyum lebar.
"Serius, Pa? Proyek yang mana? Kok, Mama nggak tahu," tanya Mama penasaran.
"Proyek yang mana, yaaa ...," goda Papa sambil melirik ke Bang Chandra.
"Proyek bareng kementerian pariwisata itu goal, Pa?" tanya Bang Chandra.
Papa mengangguk senang. "Alhamdulillah, goal. Lusa kita mulai start. Makasih ya, Chand, Jer. Kalian udah bantu Papa desain proposal dan kasih ide yang luar biasa. Kata staf kementrian kemarin, proposal kita sangat kreatif dan inspiratif. Mereka memuji kalian, jadi lusa kalian ikut Papa, ya. Doni juga ikut. Praktek kuliah bisnis kamu sekalian," kata Papa pada ketiga abangku.
"Alhamdulillaaah, ya Allah. Mama seneng banget, Pa," kata Mama euforia. Papa dan Mama pun berpelukan.
Papa dan Mama merintis usaha katering dan event organizer mereka sejak dua puluhan tahun lalu. Mereka berkenalan ketika menjadi panitia acara di kampusnya. Kalau kata Mas Doni, julukan pasangan yang bertemu di kampus namanya campus couple.
Ketika keduanya memutuskan untuk menikah muda, bahkan sebelum keduanya lulus kuliah, Papa giat bekerja apa saja untuk mencari nafkah. Sebisa mungkin ia tak mau tergantung pada orang tua, walau keluarganya cukup berada.
Beruntung Papa orang yang supel dengan kefasihan bahasa Inggris diatas rata-rata. Ditambah wajah tampannya yang mempesona. Papa pernah menjadi kebanggaan mahasiswa jurusan public relation di masa kuliahnya. Itu karena gaya komunikasi Papa luwes dan enak diajak bicara oleh siapa saja. Mungkin sebab itu Mama terpesona dan merasa beruntung menjadi pasangannya.
Walau Papa sosok yang bisa dibilang sempurna, tetapi Papa juga punya kekurangan. Sejak memulai usaha setelah Bang Chandra lahir, Papa berulang kali ditipu rekan bisnisnya sehingga mennggakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Puncaknya ketika Mas Doni lahir, ditambah era reformasi dengan krisis moneter, semua harta yang Papa kumpulkan habis tidak bersisa. Rumah yang baru dibelinya dengan KPR diambil bank karena tidak bisa membayar cicilannya, mobil pemberian orang tuanya semasa kuliah untuk transportasi kemana-mana akhirnya terpaksa dijual untuk kebutuhan sehari-hari diganti dengan motor matic.
Pernah juga Papa dan Mama mengontrak rumah di sebuah gang kecil yang hanya bisa masuk dua motor. Di sinilah Mama memulai usaha katering rumahannya, Papa keliling perumahan dekat kontrakan untuk memasarkan masakan Mama sekaligus menjadi kurirnya. Seiring waktu katering Mama dikenal orang karena kelezatan masakannya.
Dua tahun kemudian lahirlah Bang Jerry dan Papa punya rezeki untuk mengontrak rumah yang lebih besar.
Ketika aku lahir, Papa memulai bisnis event organizer secara profesional dibantu kerabat Papa dan sahabat semasa kuliahnya. Mereka mengerjakan proyek apa saja dari skala kecil hingga skala besar.
Sering mendapat pujian dari kliennya, bisnis event organizer dan katering mereka perlahan mulai dikenal orang dan menjadi semakin besar. Papa Mama memutuskan membeli rumah kontrakan tiga pintu yang dulu pernah kami tinggali, lalu diubah fungsinya menjadi dapur katering, sedangkan kami masih tinggal mengontrak di rumah lebih besar yang juga berfungsi sebagai kantor.
Baru ketika lahir Juna, Papa membeli rumah yang kami tempati sampai sekarang. Rumah hook di perumahan perbatasan Jakarta-Bekasi dengan luas 250 meter yang Papa beli dengan angsuran bertahap pada pemilik sebelumnya. Rumah yang awalnya hanya memiliki dua kamar kini menjadi lima kamar setelah direnovasi. Satu kamar utama untuk Papa Mama, satu kamar untuk Bang Chandra dan Mas Doni, satu kamar untuk Bang Jerry dan Juna, satu kamar untukku dan satu kamar tamu yang juga berfungsi sebagai musala dan perpustakaan.
Keluwesan pergaulan Papa dan bakat memasak Mama itu kini entah menurun ke siapa, tetapi pastinya keluwesan bicara Papa tidak menurun kepadaku.
Aku orang yang paling tidak nyaman berbicara di depan orang. Bukan karena minder, hanya merasa tidak nyaman. Aku lebih senang berada di belakang panggung dan mengerjakan pekerjaan dengan tenang.
"Ayo, Pa. Juna udah siap jalan," kata Juna sambil merapikan sweater putihnya. Bukannya tadi anak itu sedang memijat kaki Bang Jerry?
"Jerry juga udah siap, Pa. Ayo, kita jalan sekarang." Tiba-tiba Bang Jerry sudah berada di samping Papa sambil memakai topinya.
"Lagi sakit jalan-jalan, nanti makin sakit, lho," ejekku.
"Obat pusing itu jalan-jalan dan makan-makan, Sur. Kamu siap-siap juga sana. Jangan lupa dandan yang cakep. Kali nanti ada yang naksir di mal. Walau kemungkinan itu nol persen, hahaha," goda Bang Jerry.
Aku pun mendengus kesal.
❤️
Dua jam kemudian kami tiba di mal besar yang anggak jauh dari rumah. Juna berteriak kegirangan, mal ini tempat favoritnya waktu kecil untuk bermain keseruan arkade.
"Juna boleh main sepuasnya 'kan, Pa?" tanya Juna antusias, matanya berbinar.
Papa mengangguk seraya memarkirkan mobilnya.
"Boleh beli baju nggak, Pa? Kemeja Jerry udah pada kekecilan," tanya Bang Jerry.
Papa mengangguk lagi sambil melirik Mama.
"Kalau Mama mau belanja aja. Tadi lihat ada banyak promo di supermarket langganan," kata Mama seraya merapikan make up-nya.
Papa tersenyum mengangguk lalu menjawil hidung bangir Mama.
Kami memasuki lobi mal sibuk dengan pikiran masing-masing. Terutama aku yang sudah membayangkan makan siang dengan masakan Jepang yang pastinya menyenangkan.
"Sur, di kepala kamu, kok, ada bintang-bintangnya?" kata Bang Jerry yang berjalan tepat di belakangku.
Aku melengos ke arahnya dan tak sengaja melihat bibir Bang Jerry yang tampak pucat, tak merah seperti biasanya.
"Bang, Jerry pusing," bisiknya pada Bang Chandra yang berjalan tepat di sebelahnya. Bang Chandra merangkul bahunya.
Brukkk!
Tiba-tiba terdengar suara benda jatuh di belakangku.
Aku mencari asal suara. Bang Jerry terjatuh pingsan di samping Bang Chandra.
Bang Jerry dirawat. Ini pertama kalinya aku melihat kakak yang lahir tepat dua tahun di atasku itu masuk ruang perawatan rumah sakit, ia tampak terkulai tak berdaya dengan selang infus di pergelangan tangan kirinya.Lama-lama aku kasihan juga, apalagi ketika deru nafasnya terdengar berat, bukan dengkuran tidur pulas, tetapi karena merintih kesakitan.Mama dan Papa kini sedang makan siang di kantin rumah sakit, setelah berkonsultasi dengan dokter tentang Bang Jerry yang ternyata positif tifus, ia mesti dirawat inap setidaknya tiga hari ke depan karena demamnya tinggi, dan kesadarannya menurun hingga tadi pingsan di mal.Bang Chandra dan Mas Doni pulang ke rumah untuk mengambil pakaian ganti Bang Jerry.
Seperti kata Papa tadi pagi, sore ini, aku, Juna dan Mas Doni akan ke rumah sakit untuk menjenguk Bang Jerry. Sekalian aplausan dengan Mama yang pasti sudah lelah menjaga Bang Jerry sejak kemarin.Mas Doni yang baru pulang dari kampus, bergegas mengambil pakaian ganti untuknya dan Bang Jerry. Setelah itu ia memanaskan mobil sedan yang biasa di pakai Bang Chandra ke kantor.“Assalamu’alaikum, Suri,” sapa seseorang. Ayana.Aku menjawab salam Ayana. Ia kini tersenyum pada Mas Doni dan Juna yang sedang bersiap mengeluarkan mobil.“Mau pergi, ya?” tanya Ayana. Kedua tangannya memeluk sesuatu yang dibungkus goody bag berwarna merah.
Di depan rumahku telah berdiri tenggak tenda ungu muda dengan hiasan bunga warna warni. Sepertinya acara pengajian rumah baru Ayana hari ini akan dihadiri orang luar, bukan dari tetangga perumahan saja.Aku yang sedang menjemur pakaian di lantai dua melihat beberapa perempuan berseragam putih hitam sedang merapikan meja prasmanan."Suriii, nanti datang, ya. Aku tunggu," teriak Ayana yang ternyata melihatku dari teras lantai dua rumahnya. Hijab coklatnya senada dengan gamis peach yang dikenakannya."Ayana, ya?" tanya Bang Jerry yang sedang berjemur sambil olahraga ringan dekat aku menjemur pakaian.Penampakan Bang Jerry benar-benar cuek, ia hanya memakai kaos singlet putih tanpa lengan dan ce
Aku terpaku di tempatku berdiri. Ketukan di pintu dan suara orang yang memanggil namaku terdengar samar.Dada dan napasku terasa sesak, keringat dingin membasahi telapak tangan, tengkuk juga dahi. Panick attack kah ini? Kalau manusia masih bisa dilawan dengan jurus bela diri yang kukuasai, tetapi kalau jin perempuan dengan tampilan menyeramkan seperti yang dulu kecil pernah aku lihat bagaimana? Tiba-tiba pandanganku kabur, tubuhku lemas tak berdaya. Pandanganku kini benar-benar gelap."Kak Suri, bangun! Kakak kenapa?" Samar kudengar suara Juna mencoba membangunkanku."Suri, kamu kenapa? Coba istigfar ya, pelan-pelan ikuti aku. Astaghfirullah ... Astaghfirullahaladzim ...." Entah suara siapa yang kini membimbingku beristigfar.Perlahan sesak di dadamenghilang, napasku mulai kembali normal, badanku juga sedikit bisa kugerakkan, kala kudengar suara seorang perempuan membacakan surat Al Fatihah, An Naas, Al Falaq, A
Juna memulai investigasi ala-ala sejak kami melihat Bang Jerry bersama seorang perempuan beberapa hari yang lalu. Aku dan Mas Doni kadang bergantian mengamati kebiasaan Bang Jerry lebih saksama, mulai dari bangun sampai mau tidur lagi, dari belum mandi sampai harum mewangi.Rasa-rasanya tidak ada yang aneh. Bang Jerry malah kebingungan sendiri melihat kami yang tampak berlebihan memperhatikannya."Napa, sih? Pada mau ngapain?" tanya Bang Jerry saat Juna dan Mas Doni mencium parfum di kemeja yang baru saja dikenakannya."Gue tau gue wangi, mau pinjem parfum gue, ya? Nehi!" katanya lagi."Bang, mau ke mana, sih? Tumben cakepan," tanyaku basa-basi walau sedetik kemudian menyesali kalimat terakhir yang kulontarkan."Tumben muji, ada maunya lo, ya?" tuduhnya. Juna cengengesan seakan membenarkan apa kata Bang Jerry."Jun, Suryo baru sada
Aku, Juna, Mas Doni dan Bang Jerry berkumpul di kamarku. Ini seperti konferensi meja bundar yang judulnya important meeting talking about Bang Chandra."Bang Chandra udah punya pacar??" tanya Mas Doni tak percaya.Aku dan Bang Jerry mengangguk bersamaan. Sebelumnya kami berdua menceritakan hasil 'nguping' pembicaraan orang dewasa ala Bang Chandra dengan kedua orang tua kami.Mama kaget dengan permintaan izin menikah dari Bang Chandra. Papa cenderung memahami permintaan Bang Chandra. Papa bilang sudah sewajarnya Bang Chandra mulai memikirkan pernikahan di usianya. Namun, Bang Chandra belum mengatakan siapa nama calonnya. Dia hanya mengatakan akan mengenalkan calonnya ke rumah jika Mama dan Papa sudah membolehkannya menikah dalam waktu dekat. .
Minggu pagi, seperti biasa kami sekeluarga jalan pagi seusai salat Subuh berjamaah di masjid. Mama absen karena sedang datang bulan, padahal biasanya hal itu bukan jadi alasan. Sepertinya cukup jelas kalau Mama cenderung menghindari kontak dengan Bang Chandra.Beberapa hari ini atmosfer di rumah memang terasa berbeda sejak Bang Chandra membuka wacana soal pernikahan. Mama terlihat sekali belum siap melepas anak sulungnya. Mungkin bagi Mama, kami berlima selalu menjadi anak bayi yang semakin besar saja, padahal seiring waktu kami semakin tua dan mau tak mau harus belajar dewasa."Pelan-pelan saja. Mama begini karena sayang banget sama kalian. Kami berdua dulu komitmen, setelah menikah dan punya anak, kami harus membesarkan kalian tanpa pengasuh, makanya kita saling bergantung satu sama lainnya, bukan? Harap maklumi jika kam
Aku membuka pintu gerbang, membimbing Ayana dan kakaknya masuk ke rumah. Panik, kalut juga takut tergambar jelas dari wajah keduanya."A-Ayesha masih di dalam rumah. Di-dia tadi di kamarnya, sedang tidur. To-tolong bantu kami." Teh Aliya, kakak pertama Ayana tergagap, ia tampak shock.Ayana menangis sambil memeluk lengan kakaknya.Bang Jerry dan Juna berlari ke rumah Ayana walaupun itu cukup berbahaya, mereka mencoba menolong Teh Ayesha yang berteriak minta tolong dari lantai dua rumahnya dengan wajah ketakutan.Kami semua berteriak histeris ketika ledakan kedua terdengar keras dari dalam rumah Ayana. Bang Jerry dan Juna berhenti sejenak, lalu menyambar tangga lipat yang tergantung