Beranda / Fiksi Remaja / The Siblings / Rutinitas Minggu Pagi

Share

Rutinitas Minggu Pagi

Hari minggu pagi merupakan waktu kumpul keluarga. Selepas subuh berjamaah di masjid, biasanya keluarga kami mempunyai ritual jalan pagi sambil mencari sarapan. Kegiatan yang wajib diikuti semua anggota keluarga tanpa terkecuali.

Jika tidak ada kesibukan dan mood traveling Papa bagus, disertai cuaca cerah yang mendukung, kadang Papa spontan mengajak kami jalan-jalan ke mana saja, bahkan piknik ke luar kota. One day traveling, berangkat pagi pulang sore.

Namun, pagi ini cuaca mendung. Tadi malam hujan deras disertai angin yang lumayan kencang. Bang Chandra cerita, dia hampir kecelakaan karena ada pohon rubuh di perjalanan ketika pulang dari kantornya. Mas Doni pulang kemalaman karena menunggu hujan reda di kostan temannya. Hanya Bang Jerry yang pulang ke rumah dengan jas hujan yang basah kuyup dari atas kepala hingga ke ujung kakinya.

"Mama sering bilang 'kan, Jer. Kalau lagi jalan terus hujan deras lebih baik nepi dulu, sayangi badan dan motor kamu," omel Mama sambil memberikan handuk kecil pada Bang Jerry yang sedang bersin-bersin.

"Kalau nunggu reda nggak asyik, Ma. Jerry paling nggak suka di PHP, apalagi sama hujan. Hujan itu kata pak ustadz ‘kan rahmat, masa' kita harus takut sama hujan, sih. Nggak keren," kilah Bang Jerry.

"Hujan memang rahmat, Jer. Tapi lihat kondisi kamu juga, dong. Dari kemarin udah bilang nggak enak badan, tapi tetep maksa hujan-hujanan, motoran pula Jakarta-Bekasi. Itu namanya cari penyakit. Sama sekali nggak kereeen," balas Mas Doni sambil memberikan segelas seduhan wedang jahe instan favorit keluarga kami.

"Nggak demam, 'kan? Hari ini istirahat aja, nggak usah ke mana-mana. Badan juga butuh istirahat, Bro." Giliran Bang Chandra yang peduli, ia memijat kepala Bang Jerry yang hangat.

"Sini, Juna pijitin kaki Bang Jerry," kata Juna yang langsung memijat kaki Bang Jerry di pangkuannya.

"Masyaallah ... kalau kalian berempat akur gini, Mama ‘kan jadi terharu. Nggak sia-sia Mama hamil dan lahirin kalian. Sini, sini... kita berpelukaaan ...," ujar Mama sambil berjalan dan memeluk ke-empat putra kesayangannya.

"Ish, norak banget, sih," kataku sebal melihat Mama tampak begitu peduli pada ke-empat saudara laki-lakiku.

"Walah ... ada yang cemburu, ya? Tenang aja Cin, Papa selalu ada di samping kamu," kata Papa. "Kita jalan-jalan aja, yuk!" ajaknya sambil merangkul bahuku.

Aku mendelik kesal dengan panggilan sayang Papa kepadaku. Cuma Papa yang memanggilku Cinta di rumah ini. Walau sudah jutaan kali aku menyangkal nama panggilan menyebalkan itu. Mama saja kadang sampai cemburu kalau Papa sudah memanggilku Cinta, padahal Mama sendiri yang memberikan nama itu sebagai nama tengahku. Sungguh terlalu!

"Sudah-sudah ... yang mau ikut jalan sama Papa mending siap-siap. Kalau yang mau istirahat di rumah, mending di kamar aja," kata Papa menengahi.

"Jalan-jalan ke mana, Pa?" tanya Juna si bungsu dengan antusias.

"Papa mau ke mal. Kangen makan siang di restoran jepang favorit kita dulu. Alhamdulillah, Papa baru dapat rezeki," ujar Papa tersenyum lebar.

"Serius, Pa? Proyek yang mana? Kok, Mama nggak tahu," tanya Mama penasaran.

"Proyek yang mana, yaaa ...," goda Papa sambil melirik ke Bang Chandra.

"Proyek bareng kementerian pariwisata itu goal, Pa?" tanya Bang Chandra.

Papa mengangguk senang. "Alhamdulillah, goal. Lusa kita mulai start. Makasih ya, Chand, Jer. Kalian udah bantu Papa desain proposal dan kasih ide yang luar biasa. Kata staf kementrian kemarin, proposal kita sangat kreatif dan inspiratif. Mereka memuji kalian, jadi lusa kalian ikut Papa, ya. Doni juga ikut. Praktek kuliah bisnis kamu sekalian," kata Papa pada ketiga abangku.

"Alhamdulillaaah, ya Allah. Mama seneng banget, Pa," kata Mama euforia. Papa dan Mama pun berpelukan.

Papa dan Mama merintis usaha katering dan event organizer mereka sejak dua puluhan tahun lalu. Mereka berkenalan ketika menjadi panitia acara di kampusnya. Kalau kata Mas Doni, julukan pasangan yang bertemu di kampus namanya campus couple.

Ketika keduanya memutuskan untuk menikah muda, bahkan sebelum keduanya lulus kuliah, Papa giat bekerja apa saja untuk mencari nafkah. Sebisa mungkin ia tak mau tergantung pada orang tua, walau keluarganya cukup berada.

Beruntung Papa orang yang supel dengan kefasihan bahasa Inggris diatas rata-rata. Ditambah wajah tampannya yang mempesona. Papa pernah menjadi kebanggaan mahasiswa jurusan public relation di masa kuliahnya. Itu karena gaya komunikasi Papa luwes dan enak diajak bicara oleh siapa saja. Mungkin sebab itu Mama terpesona dan merasa beruntung menjadi pasangannya.

Walau Papa sosok yang bisa dibilang sempurna, tetapi Papa juga punya kekurangan. Sejak memulai usaha setelah Bang Chandra lahir, Papa berulang kali ditipu rekan bisnisnya sehingga mennggakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Puncaknya ketika Mas Doni lahir, ditambah era reformasi dengan krisis moneter, semua harta yang Papa kumpulkan habis tidak bersisa. Rumah yang baru dibelinya dengan KPR diambil bank karena tidak bisa membayar cicilannya, mobil pemberian orang tuanya semasa kuliah untuk transportasi kemana-mana akhirnya terpaksa dijual untuk kebutuhan sehari-hari diganti dengan motor matic.

Pernah juga Papa dan Mama mengontrak rumah di sebuah gang kecil yang hanya bisa masuk dua motor. Di sinilah Mama memulai usaha katering rumahannya, Papa keliling perumahan dekat kontrakan untuk memasarkan masakan Mama sekaligus menjadi kurirnya. Seiring waktu katering Mama dikenal orang karena kelezatan masakannya.

Dua tahun kemudian lahirlah Bang Jerry dan Papa punya rezeki untuk mengontrak rumah yang lebih besar.

Ketika aku lahir, Papa memulai bisnis event organizer secara profesional dibantu kerabat Papa dan sahabat semasa kuliahnya. Mereka mengerjakan proyek apa saja dari skala kecil hingga skala besar.

Sering mendapat pujian dari kliennya, bisnis event organizer dan katering mereka perlahan mulai dikenal orang dan menjadi semakin besar. Papa Mama memutuskan membeli rumah kontrakan tiga pintu yang dulu pernah kami tinggali, lalu diubah fungsinya menjadi dapur katering, sedangkan kami masih tinggal mengontrak di rumah lebih besar yang juga berfungsi sebagai kantor.

Baru ketika lahir Juna, Papa membeli rumah yang kami tempati sampai sekarang. Rumah hook di perumahan perbatasan Jakarta-Bekasi dengan luas 250 meter yang Papa beli dengan angsuran bertahap pada pemilik sebelumnya. Rumah yang awalnya hanya memiliki dua kamar kini menjadi lima kamar setelah direnovasi. Satu kamar utama untuk Papa Mama, satu kamar untuk Bang Chandra dan Mas Doni, satu kamar untuk Bang Jerry dan Juna, satu kamar untukku dan satu kamar tamu yang juga berfungsi sebagai musala dan perpustakaan.

Keluwesan pergaulan Papa dan bakat memasak Mama itu kini entah menurun ke siapa, tetapi pastinya keluwesan bicara Papa tidak menurun kepadaku.

Aku orang yang paling tidak nyaman berbicara di depan orang. Bukan karena minder, hanya merasa tidak nyaman. Aku lebih senang berada di belakang panggung dan mengerjakan pekerjaan dengan tenang.

"Ayo, Pa. Juna udah siap jalan," kata Juna sambil merapikan sweater putihnya. Bukannya tadi anak itu sedang memijat kaki Bang Jerry?

"Jerry juga udah siap, Pa. Ayo, kita jalan sekarang." Tiba-tiba Bang Jerry sudah berada di samping Papa sambil memakai topinya.

"Lagi sakit jalan-jalan, nanti makin sakit, lho," ejekku.

"Obat pusing itu jalan-jalan dan makan-makan, Sur. Kamu siap-siap juga sana. Jangan lupa dandan yang cakep. Kali nanti ada yang naksir di mal. Walau kemungkinan itu nol persen, hahaha," goda Bang Jerry.

Aku pun mendengus kesal.

❤️

Dua jam kemudian kami tiba di mal besar yang anggak jauh dari rumah. Juna berteriak kegirangan, mal ini tempat favoritnya waktu kecil untuk bermain keseruan arkade.

"Juna boleh main sepuasnya 'kan, Pa?" tanya Juna antusias, matanya berbinar.

Papa mengangguk seraya memarkirkan mobilnya.

"Boleh beli baju nggak, Pa? Kemeja Jerry udah pada kekecilan," tanya Bang Jerry.

Papa mengangguk lagi sambil melirik Mama.

"Kalau Mama mau belanja aja. Tadi lihat ada banyak promo di supermarket langganan," kata Mama seraya merapikan make up-nya.

Papa tersenyum mengangguk lalu menjawil hidung bangir Mama.

Kami memasuki lobi mal sibuk dengan pikiran masing-masing. Terutama aku yang sudah membayangkan makan siang dengan masakan Jepang yang pastinya menyenangkan.

"Sur, di kepala kamu, kok, ada bintang-bintangnya?" kata Bang Jerry yang berjalan tepat di belakangku.

Aku melengos ke arahnya dan tak sengaja melihat bibir Bang Jerry yang tampak pucat, tak merah seperti biasanya.

"Bang, Jerry pusing," bisiknya pada Bang Chandra yang berjalan tepat di sebelahnya. Bang Chandra merangkul bahunya.

Brukkk!

Tiba-tiba terdengar suara benda jatuh di belakangku.

Aku mencari asal suara. Bang Jerry terjatuh pingsan di samping Bang Chandra.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status