Aku, Juna, Mas Doni dan Bang Jerry berkumpul di kamarku. Ini seperti konferensi meja bundar yang judulnya important meeting talking about Bang Chandra.
"Bang Chandra udah punya pacar??" tanya Mas Doni tak percaya.
Aku dan Bang Jerry mengangguk bersamaan. Sebelumnya kami berdua menceritakan hasil 'nguping' pembicaraan orang dewasa ala Bang Chandra dengan kedua orang tua kami.
Mama kaget dengan permintaan izin menikah dari Bang Chandra. Papa cenderung memahami permintaan Bang Chandra. Papa bilang sudah sewajarnya Bang Chandra mulai memikirkan pernikahan di usianya. Namun, Bang Chandra belum mengatakan siapa nama calonnya. Dia hanya mengatakan akan mengenalkan calonnya ke rumah jika Mama dan Papa sudah membolehkannya menikah dalam waktu dekat. .
<Minggu pagi, seperti biasa kami sekeluarga jalan pagi seusai salat Subuh berjamaah di masjid. Mama absen karena sedang datang bulan, padahal biasanya hal itu bukan jadi alasan. Sepertinya cukup jelas kalau Mama cenderung menghindari kontak dengan Bang Chandra.Beberapa hari ini atmosfer di rumah memang terasa berbeda sejak Bang Chandra membuka wacana soal pernikahan. Mama terlihat sekali belum siap melepas anak sulungnya. Mungkin bagi Mama, kami berlima selalu menjadi anak bayi yang semakin besar saja, padahal seiring waktu kami semakin tua dan mau tak mau harus belajar dewasa."Pelan-pelan saja. Mama begini karena sayang banget sama kalian. Kami berdua dulu komitmen, setelah menikah dan punya anak, kami harus membesarkan kalian tanpa pengasuh, makanya kita saling bergantung satu sama lainnya, bukan? Harap maklumi jika kam
Aku membuka pintu gerbang, membimbing Ayana dan kakaknya masuk ke rumah. Panik, kalut juga takut tergambar jelas dari wajah keduanya."A-Ayesha masih di dalam rumah. Di-dia tadi di kamarnya, sedang tidur. To-tolong bantu kami." Teh Aliya, kakak pertama Ayana tergagap, ia tampak shock.Ayana menangis sambil memeluk lengan kakaknya.Bang Jerry dan Juna berlari ke rumah Ayana walaupun itu cukup berbahaya, mereka mencoba menolong Teh Ayesha yang berteriak minta tolong dari lantai dua rumahnya dengan wajah ketakutan.Kami semua berteriak histeris ketika ledakan kedua terdengar keras dari dalam rumah Ayana. Bang Jerry dan Juna berhenti sejenak, lalu menyambar tangga lipat yang tergantung
Suara riuh terdengar dari lantai dua balkon rumah. Ada tiga anak muda bersuara emas bernyanyi merdu seirama petikan gitar.Tak lama, suara tepukan tangan membahana. Seorang perempuan muda dengan rambut kuncir kuda, berkaos abu-abu dengan celana hitam selutut melangkah maju dan duduk santai bersama mereka. Perempuan muda itu adalah aku, Suri Nafisa. Satu-satunya anak perempuan di keluarga ini. Usiaku tahun ini delapan belas tahun, meninggalkan sweet seventen yang ternyata biasa saja, tidak semanis gula.Aku adalah anak ke-empat dari lima bersaudara. Kata Tante Mira, tetangga depan rumah, seharusnya aku jadi anak bungsu, kalau saja Juna adikku tidak lahir bertepatan di ulang tahunku yang kedua. Seperti yang kubilang tadi, aku satu-satunya perempuan di antara empat saudaraku yang kesemuanya berjenis kelamin laki-laki. Terkadang aku hampir kehilangan jati diriku sebagai perempuan jika sudah bertengkar dengan mereka. Gaya bicara, cara berjalan dan kelakua
Hari minggu pagi merupakan waktu kumpul keluarga. Selepas subuh berjamaah di masjid, biasanya keluarga kami mempunyai ritual jalan pagi sambil mencari sarapan. Kegiatan yang wajib diikuti semua anggota keluarga tanpa terkecuali.Jika tidak ada kesibukan dan mood traveling Papa bagus, disertai cuaca cerah yang mendukung, kadang Papa spontan mengajak kami jalan-jalan ke mana saja, bahkan piknik ke luar kota. One day traveling, berangkat pagi pulang sore.Namun, pagi ini cuaca mendung. Tadi malam hujan deras disertai angin yang lumayan kencang. Bang Chandra cerita, dia hampir kecelakaan karena ada pohon rubuh di perjalanan ketika pulang dari kantornya. Mas Doni pulang kemalaman karena menunggu hujan reda di kostan temannya. Hanya Bang Jerry yang pulang ke rumah dengan jas hujan yang basah kuyup dari atas kep
Bang Jerry dirawat. Ini pertama kalinya aku melihat kakak yang lahir tepat dua tahun di atasku itu masuk ruang perawatan rumah sakit, ia tampak terkulai tak berdaya dengan selang infus di pergelangan tangan kirinya.Lama-lama aku kasihan juga, apalagi ketika deru nafasnya terdengar berat, bukan dengkuran tidur pulas, tetapi karena merintih kesakitan.Mama dan Papa kini sedang makan siang di kantin rumah sakit, setelah berkonsultasi dengan dokter tentang Bang Jerry yang ternyata positif tifus, ia mesti dirawat inap setidaknya tiga hari ke depan karena demamnya tinggi, dan kesadarannya menurun hingga tadi pingsan di mal.Bang Chandra dan Mas Doni pulang ke rumah untuk mengambil pakaian ganti Bang Jerry.
Seperti kata Papa tadi pagi, sore ini, aku, Juna dan Mas Doni akan ke rumah sakit untuk menjenguk Bang Jerry. Sekalian aplausan dengan Mama yang pasti sudah lelah menjaga Bang Jerry sejak kemarin.Mas Doni yang baru pulang dari kampus, bergegas mengambil pakaian ganti untuknya dan Bang Jerry. Setelah itu ia memanaskan mobil sedan yang biasa di pakai Bang Chandra ke kantor.“Assalamu’alaikum, Suri,” sapa seseorang. Ayana.Aku menjawab salam Ayana. Ia kini tersenyum pada Mas Doni dan Juna yang sedang bersiap mengeluarkan mobil.“Mau pergi, ya?” tanya Ayana. Kedua tangannya memeluk sesuatu yang dibungkus goody bag berwarna merah.
Di depan rumahku telah berdiri tenggak tenda ungu muda dengan hiasan bunga warna warni. Sepertinya acara pengajian rumah baru Ayana hari ini akan dihadiri orang luar, bukan dari tetangga perumahan saja.Aku yang sedang menjemur pakaian di lantai dua melihat beberapa perempuan berseragam putih hitam sedang merapikan meja prasmanan."Suriii, nanti datang, ya. Aku tunggu," teriak Ayana yang ternyata melihatku dari teras lantai dua rumahnya. Hijab coklatnya senada dengan gamis peach yang dikenakannya."Ayana, ya?" tanya Bang Jerry yang sedang berjemur sambil olahraga ringan dekat aku menjemur pakaian.Penampakan Bang Jerry benar-benar cuek, ia hanya memakai kaos singlet putih tanpa lengan dan ce
Aku terpaku di tempatku berdiri. Ketukan di pintu dan suara orang yang memanggil namaku terdengar samar.Dada dan napasku terasa sesak, keringat dingin membasahi telapak tangan, tengkuk juga dahi. Panick attack kah ini? Kalau manusia masih bisa dilawan dengan jurus bela diri yang kukuasai, tetapi kalau jin perempuan dengan tampilan menyeramkan seperti yang dulu kecil pernah aku lihat bagaimana? Tiba-tiba pandanganku kabur, tubuhku lemas tak berdaya. Pandanganku kini benar-benar gelap."Kak Suri, bangun! Kakak kenapa?" Samar kudengar suara Juna mencoba membangunkanku."Suri, kamu kenapa? Coba istigfar ya, pelan-pelan ikuti aku. Astaghfirullah ... Astaghfirullahaladzim ...." Entah suara siapa yang kini membimbingku beristigfar.Perlahan sesak di dadamenghilang, napasku mulai kembali normal, badanku juga sedikit bisa kugerakkan, kala kudengar suara seorang perempuan membacakan surat Al Fatihah, An Naas, Al Falaq, A