Beranda / Fiksi Remaja / The Siblings / Bang Jerry itu ....

Share

Bang Jerry itu ....

Juna memulai investigasi ala-ala sejak kami melihat Bang Jerry bersama seorang perempuan beberapa hari yang lalu.

Aku dan Mas Doni kadang bergantian mengamati kebiasaan Bang Jerry lebih saksama, mulai dari bangun sampai mau tidur lagi, dari belum mandi sampai harum mewangi.

Rasa-rasanya tidak ada yang aneh. Bang Jerry malah kebingungan sendiri melihat kami yang tampak berlebihan memperhatikannya.

"Napa, sih? Pada mau ngapain?" tanya Bang Jerry saat Juna dan Mas Doni mencium parfum di kemeja yang baru saja dikenakannya.

"Gue tau gue wangi, mau pinjem parfum gue, ya? Nehi!" katanya lagi.

"Bang, mau ke mana, sih? Tumben cakepan," tanyaku basa-basi walau sedetik kemudian menyesali kalimat terakhir yang kulontarkan.

"Tumben muji, ada maunya lo, ya?" tuduhnya. Juna cengengesan seakan membenarkan apa kata Bang Jerry. 

"Jun, Suryo baru sadar gue cakep dari lahir. Ini keajaiban. Hahahaha, Nih, buat jajan," kata Bang Jerry seraya memberikan uang dua ribu rupiah di kantong celananya kepadaku.

Aku bengong, Juna dan Mas Doni tertawa keras.

"Efek kemeja baru kali, ya, Sur? Kegantengan gue melejit dua ratus persen. Lo yang perempuan aja ampe terkesima gitu," ujar Bang Jerry sambil mengancingkan lengan kemejanya.

"Hmm, emang mau ke mana pake kemeja rapi gitu? Ini 'kan hari Sabtu. Lo mau ngedate, ya?" tanya Mas Doni to the point.

Aku dan Juna berpandangan sambil menutup mulut dengan telapak tangan. Mas Doni keren!

"Hahaha, emang gue ada tampang mau ngedate? Wih, beneran keren berarti gue sekarang," jawab Bang Jerry lagi.

Mas Doni mati kutu, sepertinya dia juga menyesali kalimat terakhirnya kepada Bang Jerry, sama sepertiku.

"Bang, Senin kemarin pergi ke toko buku mal Citra nggak? Temen Juna cerita, katanya lihat Abang di sana, sama cewek," tanya Juna hati-hati.

Bang Jerry tampak terkejut, lalu kembali bersikap biasa lagi.

"Temen kamu yang mana? Kok, Abang nggak liat." Bang Jerry tersenyum datar.

"Ada. Temen Juna 'kan banyak. Bener, Bang Jerry jalan sama cewek? Kenalin, dong!" Juna konfirmasi lagi.

"Hmmm, siapa ya? Lupa! Banyak cewek yang deket-deket soalnya. Udah ah, mau jalan dulu. Kalau telat, bisa gawat," jawab Bang Jerry seraya mengambil tasnya.

Aku, Juna dan Mas Doni berurutan mengikutinya menuruni tangga.

"Mau pada ke mana berjejer kayak gerbong kereta api begitu?" tanya Bang Chandra yang tiba-tiba ada di belakangku.

Kami bertiga salah tingkah. Bang Chandra melihat kami seperti kucing yang baru saja mencuri ikan. Keki.

"Ayo, Bang! Hampir telat, nih," teriak Bang Jerry dari ruang tamu kepada Bang Chandra.

"Kalian emang mau ke mana?" tanya Mas Doni.

"Nyusul Papa survey tempat trus meeting sama vendor. Jangan bilang pada mau ikut, ya!" Bang Chandra tertawa lalu mengacak rambutku dan Juna.

"Mas Doni nggak ikut?" tanyaku dijawab gelengan kepala malas Mas Doni.

Tak lama, Bang Chandra dan Bang Jerry pamit cium tangan Mama di dapur. Kami bertiga kembali ke atas, melihat punggung mereka berlalu sambil melambaikan tangan dari balkon lantai dua.

"Belum ada penampakan mencurigakan. Mungkin benar perempuan yang kita lihat itu bukan siapa-siapanya Bang Jerry," kata Juna setengah yakin.

"Belum tentu. Coba kita cek kamar dan barang-barangnya. Kata pembawa acara kriminal, semua pelaku kejahatan sudah pasti meninggalkan jejak dan barang bukti," kataku sok tahu.

"Udah ah, Mas nggak ikutan. Mending kamu bantu Mama masak di dapur, Fis. Juna sama Mas Doni mau jalan-jalan pagi," ujar Mas Doni sambil merangkul Juna.

Kini Mas Doni dan Juna sepertinya hanya ingin berdua saja tanpaku.

"Nggak boleh ikut! Ini boys talk!" kata Mas Doni saat aku berusaha menyelinap di antara mereka.

Huh! Mereka mencampakkanku.

 

❤️

 

Aku membuka kulkas mencari minuman segar kepunyaan Mas Doni. Biasanya Mas Doni suka beli susu UHT juga jus kemasan satu liter di kulkas. Semua orang dilarang meminumnya, tetapi aku dan Juna suka diam-diam mencicipinya. Keburu expired, begitu alasanku jika Mas Doni memergokiku.

Ada sebuah botol berwarna hijau di tempat obat kulkas yang menarik perhatianku. Kubaca tulisannya, obat itu mengandung ramuan pelangsing badan yang terbuat dari daun-daunan, juga buah pilihan. Obat herbal istilahnya.

Apa Mama sedang diet? Sepertinya Mama sudah langsing.

Baiklah, kuakui sepenuh hati kalau di rumah ini, satu-satunya orang dengan penampakan pipi chubby kalau di foto dan berat badan jarumnya sering kekanan di timbangan adalah aku seorang.

Dengan tinggi 164 sentimeter dan berat lima puluh empat kilogram aku sering dibilang gendut bin tembem oleh Juna dan Bang Jerry. Bang Chandra dan Mas Doni kompak bilang no comment untuk menjaga perasaanku, sedangkan Mama berulang kali menyuruhku perbanyak jalan pagi dan olahraga ringan. Hanya Papa yang bilang aku selalu cantik dan langsing. Mungkin karena aku satu-satunya putri kesayangannya.

"Mau diet, Cin?" tanya Papa di sampingku, matanya melihat botol obat yang kini sedang kupegang.

"Bukan. Ini punya Mama kali," elakku.

"Apaan, Pa?" tanya Mama yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Ini lho, si Cinta pegang botol obat pelangsing, tapi katanya bukan punya dia. Ini punya Mama?" tanya Papa sambil menunjukan botol obat yang kupegang.

"Nggak, kok. Mama udah lama nggak diet pake obat-obatan. Mending olahraga, ngezumba atau jalan kaki. Itu lebih efektif buat Mama." Mama berlalu sambil menyiapkan makan malam.

"Terus, ini punya siapa, dong?" tanyaku penasaran.

"Itu punya Bang Jerry, Sur. Kamu mau juga? Minum aja satu kapsul sebelum tidur. Dijamin pas bangun tidur moncor," jawab Bang Jerry yang baru turun dari kamarnya.

"Ngapain Bang Jerry pake obat langsing? Mau diet emangnya? Mencurigakan, nih." Aku menatapnya penuh tanda tanya.

"Abis sakit kemarin, udahannya Bang Jerry kebanyakan makan, eh, jadi konstipasi. Katanya obat itu bisa bantu melancarkan buang air besar. Kalau kamu mau diet pake obat itu, kayaknya bisa. Coba aja minumnya dua kali sehari. Pagi sama sore, dijamin cepat kurus. Kelar makan, langsung nyetor ke kamar mandi, sorrr!" kata Bang Jerry seraya memegang perutnya.

Mama yang sedang mengunyah apel terbatuk-batuk. "Jer, nggak sopan, deh. Bisa-bisanya ngomongin urusan toilet di meja makan," kata Mama sebal.

Bang Jerry cengar-cengir. Papa mengacak rambutnya.

"Pa, Ma ... Chandra mau bicara. Boleh, nggak?" tanya Bang Chandra yang baru saja pulang.

"Silakan. Mau bicara apa emangnya, Chand?" tanya Papa.

"Ada apa, Bang? Mukanya serius banget." Mama mendekati sulungnya.

Bang Chandra memberi kode dengan matanya agar aku dan Bang Jerry meninggalkan mereka. Sayangnya, kami kurang peka.

"Urusan orang dewasa, kalian ke kamar dulu sana!" perintah Bang Chandra pada kami berdua.

Bang Jerry merangkul bahuku, ia berbisik, "Capek, deh. Di mata Bang Chand, kita selalu jadi anak kecil, Sur."

Aku mengangguk membenarkan. Namun, penasaran juga dengan apa yang ingin dibicarakan Bang Chandra dengan kedua orang tua kami sekarang. Tampaknya serius.

Aku mengikuti Bang Jerry yang berjalan lambat di sampingku, sepertinya ia juga punya pikiran yang sama denganku. Menguping pembicaraan orang dewasa.

Kami bersiap memasang mata dan telinga saat dirasa cukup jauh dari pandangan mata Papa, Mama, dan Bang Chandra. Kami berencana mencari informasi urusan dewasa apa yang ingin dibicarakan anak pertama keluarga kami itu.

"Pa, Ma ... Usia Chandra tahun ini 'kan udah dua lima. Usia ketika Rasulullah menikahi Khodijah. Hmmm, anu ... kalau seandainya tahun ini Chandra punya calon menantu solehah buat Papa Mama. Hmmm, menurut Papa Mama bagaimana?" Suara Bang Chandra terdengar canggung walau maksud dan tujuan yang diutarakannya begitu jelas dan lugas.

Hmmm, Bang Chand mau nikah?

Aku dan Bang Jerry kompak menutup mulut dengan jari telunjuk, supaya tidak begitu histeris ketika mendengar si kakak sulung sepertinya sudah punya calon menantu pertama untuk keluarga kami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status