Sembilan bulan berlalu sejak Duchess Riri pertama kali mengetahui kehamilan pelayan di rumah besarnya. Sepanjang waktu itu, pelayan yang hamil itu tetap berada di bawah pengawasan ketat. Riri memastikan setiap kebutuhan dasar wanita itu terpenuhi, tetapi tanpa ada empati atau perhatian. Tidak ada yang diizinkan mendekatinya kecuali pelayan-pelayan tertentu yang dipercaya oleh Riri untuk menjaga rahasia ini.
Ketika waktu persalinan tiba, suasana di rumah besar itu terasa semakin sunyi dan menegangkan. Pelayan tersebut melahirkan seorang putri yang manis di bawah pengawasan bidan dan pelayan khusus. Ketika tangis pertama bayi itu menggema, suasana yang sebelumnya dingin seakan mencair sesaat. Riri memutuskan untuk melihat bayi itu. Dengan ragu, ia melangkah masuk ke kamar tempat bayi itu berada. Riri berhenti di tepi tempat tidur, memandang bayi itu dengan tatapan sulit dibaca. Ia menoleh pada bidan yang berdiri di sudut ruangan. "Dia sehat?" tanyanya dingin.
Bidan itu mengangguk cepat. "Iya, Nyonya. Bayi perempuan yang sehat dan kuat."
Riri menghela napas tipis. "Pastikan dia tetap begitu. Aku tidak ingin mendengar masalah apa pun."
Pelayan yang melahirkan itu, meski lemah, berani mengangkat wajahnya. "Duchess, apakah saya boleh... memegangnya sebentar?"
Tatapan Riri berubah tajam, seperti belati yang menusuk. “Dia bukan anakmu lagi. Mulai sekarang, dia adalah tanggung jawabku.” Suaranya tegas, tanpa ruang untuk penolakan.
"Tapi...," pelayan itu mencoba membela diri, tetapi Riri memotongnya.
"Tidak ada tapi. Kau seharusnya bersyukur masih hidup setelah semua ini," ujar Riri dengan nada dingin sambil melangkah mendekati bayi itu.
Riri menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. "Dia akan dibesarkan sebagai bagian dari keluarga ini. Tapi tidak ada yang boleh tahu asal-usulnya. Tidak ada. Aku ingin rahasia ini terkubur selamanya."
Pelayan-pelayan itu mengangguk patuh, dan suasana di ruangan kembali sunyi. Hanya tangis kecil bayi yang terdengar. Bayi itu menangis keras, tetapi sesuatu terjadi saat Riri menggendongnya. Tangis bayi itu perlahan mereda, dan ia menatap Riri dengan mata kecilnya yang jernih. Ketika Riri mengulurkan jarinya, bayi itu menggenggamnya erat, seolah-olah mencari kehangatan dalam hati sang Duchess. Untuk sesaat, senyum tipis muncul di wajah Riri. Namun, kesan lembut itu segera menghilang. Riri menyerahkan bayi itu kepada pelayan dan berjalan keluar dari ruangan tanpa sepatah kata.
Di luar kamar, Riri memberikan perintah dingin kepada pelayan yang bertugas membantu persalinan, “Lakukan seperti yang sudah kuperintahkan.” Pelayan itu mengangguk patuh. Tanpa banyak bicara, ia memberikan semangkuk cairan kepada wanita yang kelelahan setelah melahirkan. Wanita itu, meskipun curiga, terlalu lemah untuk menolak. Beberapa saat setelah meminum cairan itu, ia mulai muntah darah dan akhirnya meninggal. Suasana menjadi sunyi sekali lagi. Pelayan yang lain membersihkan semua bukti dengan hati-hati, sementara tubuh wanita itu dibawa pergi secara diam-diam.
Kini, bayi perempuan itu tinggal bersama Riri. Sang Duchess memberi nama bayi itu Ariadne. Namun, hubungan mereka jauh dari hangat. Setiap kali Riri memandang Ariadne, ia tidak melihat seorang anak yang harus dicintai, melainkan bukti pengkhianatan suaminya, Arton, dengan pelayan itu. Kenangan akan cinta yang dikhianati selalu menghantui Riri, bahkan ketika ia tahu bahwa bayi itu tidak bersalah.
Dalam hati kecilnya, Riri menyadari bahwa Ariadne adalah korban, sama seperti dirinya. Namun, luka di hatinya terlalu dalam untuk memaafkan keadaan. Ia menyediakan semua kebutuhan dasar Ariadne—tempat tinggal, makanan, dan pakaian—tetapi tidak pernah memberinya cinta. Semua yang ia lakukan adalah karena tanggung jawab, bukan kasih sayang.
Riri memutuskan untuk membesarkan Ariadne di rumah besar itu, tetapi ia menjaga jarak dengannya. Pelayan-pelayan lain tahu bahwa mereka tidak boleh menunjukkan perhatian yang berlebihan kepada Ariadne jika tidak ingin memicu kemarahan Riri. Gadis kecil itu tumbuh tanpa tahu apa itu kasih sayang dari seorang ibu, meskipun ia berada di lingkungan yang mewah.
Namun, ada saat-saat di mana Riri tidak bisa mengabaikan kehadiran Ariadne. Gadis kecil itu memiliki senyuman yang mengingatkan Riri pada masa-masa bahagianya sebelum pengkhianatan menghancurkan segalanya. Dalam diam, Riri sering memperhatikan Ariadne dari jauh, merasakan campuran emosi yang sulit ia kendalikan—kemarahan, kepedihan, dan bahkan sedikit kasih yang tidak ingin ia akui.
Seiring waktu, Ariadne tumbuh menjadi seorang gadis yang cerdas dan ceria. Ia memiliki sifat yang memancarkan kehangatan, seolah-olah berusaha melawan dinding dingin yang dibangun oleh Riri. Namun, bagi sang Duchess, setiap senyum dan tawa Ariadne hanyalah pengingat akan luka yang belum sembuh. Di dalam hatinya, Riri terus berperang dengan dirinya sendiri—antara rasa benci dan cinta yang tak diinginkannya.
Ariadne adalah simbol dari segala kesalahan yang pernah terjadi dalam hidup Duchess Riri. Setiap kali melihat gadis kecil itu, Riri diingatkan akan pengkhianatan Arton, suaminya, dengan seorang pelayan yang pernah ia percayai. Namun, terlepas dari luka hatinya, Riri memiliki tekad kuat: Ariadne akan menjadi penerusnya. Gadis itu tidak boleh lemah, tidak boleh gagal seperti dirinya yang pernah hancur karena cinta dan pengkhianatan. Ariadne harus menjadi kepala keluarga, sesuai keinginan Arton. Keluarga yang sudah mereka bangun susah payah untuk mendapatkan kejayaan. Nama keluarga yang dipertahankan mati matian oleh Arton sampai sampai menghianati dirinya dengan seorang pelayan.
Sejak kecil, Ariadne hidup dalam disiplin keras yang tak kenal ampun. Riri memastikan bahwa anak itu mendapatkan pelatihan yang tak masuk akal. Dalam pandangan Riri, kelemahan tidak bisa dimaafkan. Ia percaya bahwa hanya melalui penderitaan dan ketahanan, Ariadne bisa menjadi seseorang yang cukup kuat untuk memimpin dan melindungi nama besar keluarga mereka.
Latihan-latihan itu sering kali tidak manusiawi. Ariadne diajarkan mengenali racun, membuat racun, dan yang terpenting bertahan dari racun. Riri tidak segan menggunakan metode yang ekstrem demi memastikan Ariadne memahami betapa pentingnya pelatihan ini. Suatu hari, saat pelajaran tentang racun berlangsung, Ariadne membuat kesalahan fatal. Dengan polosnya, ia meminum racun yang seharusnya hanya untuk dipelajari. Tubuh kecilnya langsung bereaksi—wajahnya memucat, napasnya tersengal-sengal, dan ia terjatuh dengan tubuh gemetar.
Selama dua hari penuh, Ariadne terbaring pingsan, di ambang hidup dan mati. Riri berusaha keras menyelamatkannya. Ia memanggil tabib terbaik dan tidak tidur untuk memastikan Ariadne bertahan. Ketika akhirnya Ariadne membuka matanya, Riri merasa lega, tetapi hanya untuk sesaat. Rasa lega itu segera digantikan oleh amarah. Baginya, kesalahan seperti ini tidak bisa ditoleransi. Riri memutuskan untuk memberikan pelajaran yang tak akan dilupakan Ariadne.
Tanpa ragu, Riri mencambuk Ariadne. Gadis kecil itu menangis kesakitan, tetapi Riri tidak berhenti sampai ia merasa bahwa hukuman itu cukup untuk membuat Ariadne paham bahwa tidak boleh melakukan kesalahan. "Kesalahan seperti ini tidak boleh terulang," kata Riri dengan suara dingin. "Jika kau ingin bertahan di dunia ini, kau harus belajar. Kau harus kuat."
Hukuman itu meninggalkan bekas fisik dan emosional pada Ariadne, tetapi Riri tidak peduli. Baginya, itu adalah harga yang harus dibayar demi memastikan gadis itu tumbuh menjadi sosok yang tangguh demi nama baik keluarga. Setiap tindakan Riri didasarkan pada keyakinan bahwa hanya melalui penderitaan, seseorang bisa menjadi lebih kuat. Ia ingin Ariadne menjadi lebih dari sekadar anak—ia ingin gadis itu menjadi pewaris yang layak untuk memimpin keluarga mereka.
Namun, di balik semua ketegasan dan kekerasannya, ada sisi lain dari Riri yang tidak pernah ia tunjukkan. Saat Ariadne tidur setelah hukuman itu, Riri menghabiskan waktu memandangi gadis kecil itu dalam diam. Di lubuk hatinya yang terdalam, ia merasa bersalah atas apa yang ia lakukan. Namun, ia menekan perasaan itu, meyakinkan dirinya bahwa semuanya dilakukan demi masa depan Ariadne dan keluarganya. Baginya, cinta adalah kelemahan. Ia tidak bisa menunjukkan kelemahan itu pada Ariadne, tidak sekarang, tidak pernah.
Seiring waktu, Ariadne tumbuh menjadi seorang gadis. Ia belajar menerima pelatihan keras dari Riri tanpa banyak bertanya.
Walaupun melihat kejadian seorang anak perempuan kecil dicambuk, Xylon tidak bisa berbuat apa apa. Xylon kecil hanya bisa diam, tubuhnya bersembunyi di balik pintu. Ia menyaksikan kejadian itu dengan dada bergemuruh. Xylon ingin berbuat sesuatu. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Keluarganya hanyalah pedagang besar, tanpa gelar bangsawan, meskipun ayahnya cukup dihormati karena menguasai tambang dan perdagangan rempah-rempah.Saat ingin pergi Kaki Xylon yang gemetar tanpa sengaja menyenggol vas kaca. Suara pecahan kaca itu membuat semua orang menoleh, termasuk Duchess Riri. Mata gadis itu memicing, seolah menangkap keberadaan anak laki-laki itu. Namun, sebelum ada yang bertindak, Duke Arton tiba tiba muncul, menarik tangan Xylon.Arton membawa Xylon ke hadapan ayahnya. " bocah kecil," ujarnya dengan nada ancaman. "Jangan pernah ceritakan apa yang kau lihat hari ini. Jika kau ingin keluargamu tetap kaya, dan ayahmu tetap hidup, tutup mulutmu.”Xylon kecil hanya mengangguk. Bagaimana mungk
Setelah selesai mengobati Tyran, ada seorang yang terus saja mengikuti Ariadne dari tadi."Kenapa terus mengikutiku?" kata Ariadne dengan nada tegas, tetapi matanya menghindari tatapan pemuda di hadapannya."Karena aku suka padamu," balas Xylon tanpa ragu."Pergi sana! Aku tidak suka padamu," sahut Ariadne lagi, lebih keras kali ini, berusaha menahan emosi yang sudah mendidih dalam dadanya."Aku akan terus menempel padamu. Tidak peduli kau suka atau tidak," jawab Xylon mantap, senyumnya kecil tapi penuh makna.Saat kegiatan nya mengekori Ariadne, Xyon dipanggil oleh serorang prajurit dan dinyatakan bahwa raja ingin berjumpa dengan Xylon. Namun, kedamaian momen itu segera terganggu ketika seorang prajurit datang tergopoh-gopoh. "Jenderal Xylon!" seru prajurit itu dengan suara tegas. "Raja memanggil Anda. Beliau ingin bertemu segera."Xylon menghela napas berat, menatap Ariadne sekali lagi sebelum menoleh pada prajurit tersebut. “Hah, kenapa selalu di waktu yang salah?” gumamnya."Jend
Baru saja Jenderal Xylon meninggalkan ruangan audiensi dengan senyum lebar, seorang pelayan kerajaan mengantar masuk tamu berikutnya: Duchess Riri. Wanita anggun itu memasuki ruangan dengan kepala tegak, meskipun hatinya berdebar-debar. Ada sesuatu dalam nada undangan Raja yang membuatnya tidak tenang.Duchess Riri membungkuk hormat di hadapan Raja. “Salam hormat, Paduka.”Raja mengangguk singkat, lalu langsung ke pokok pembicaraan. “Duchess Riri, aku memanggilmu karena ada tugas penting yang perlu segera ditangani. Kau tahu, perang di wilayah Selatan telah memakan korban besar, termasuk di kalangan tenaga medis. Bahkan pemimpin medis kita gugur di sana. Aku membutuhkan seseorang yang mampu mengemban tanggung jawab besar itu, dan aku yakin hanya kau yang memiliki kualifikasi untuk menunjuk penggantinya.”Duchess Riri mengerutkan dahi, firasat buruknya semakin menjadi. “Paduka, saya dan para tabib kerajaan selalu siap melayani, namun tugas seperti ini memerlukan pertimbangan matang.”R
"Kenapa terus mengikutiku?" kata Ariadne dengan nada tegas, tetapi matanya menghindari tatapan pemuda di hadapannya."Karena aku suka padamu," balas Xylon tanpa ragu."Pergi sana! Aku tidak suka padamu," sahut Ariadne lagi, lebih keras kali ini, berusaha menahan emosi yang sudah mendidih dalam dadanya."Aku akan terus menempel padamu. Tidak peduli kau suka atau tidak," jawab Xylon mantap, senyumnya kecil tapi penuh makna.Raut wajah Ariadne berubah masam. Ia memutar tubuh dan berjalan menjauh dengan langkah-langkah cepat. Namun, Xylon tidak bergeming. Ia hanya berdiri di tempatnya, memandangi punggung gadis itu dengan tatapan yang sulit diartikan—sebuah perpaduan antara kasih sayang yang meluap-luap dan obsesi yang berbahaya.Rasa suka yang Xylon miliki untuk Ariadne bukanlah cinta biasa. Itu lebih mirip obsesi, api yang ia kobarkan tanpa kendali. Xylon tahu segalanya tentang Ariadne. Ia mengenalnya sejak kecil, gadis yang tidak punya apa apa namun kini memiliki suatu yang penting dit
Baru saja Jenderal Xylon meninggalkan ruangan audiensi dengan senyum lebar, seorang pelayan kerajaan mengantar masuk tamu berikutnya: Duchess Riri. Wanita anggun itu memasuki ruangan dengan kepala tegak, meskipun hatinya berdebar-debar. Ada sesuatu dalam nada undangan Raja yang membuatnya tidak tenang.Duchess Riri membungkuk hormat di hadapan Raja. “Salam hormat, Paduka.”Raja mengangguk singkat, lalu langsung ke pokok pembicaraan. “Duchess Riri, aku memanggilmu karena ada tugas penting yang perlu segera ditangani. Kau tahu, perang di wilayah Selatan telah memakan korban besar, termasuk di kalangan tenaga medis. Bahkan pemimpin medis kita gugur di sana. Aku membutuhkan seseorang yang mampu mengemban tanggung jawab besar itu, dan aku yakin hanya kau yang memiliki kualifikasi untuk menunjuk penggantinya.”Duchess Riri mengerutkan dahi, firasat buruknya semakin menjadi. “Paduka, saya dan para tabib kerajaan selalu siap melayani, namun tugas seperti ini memerlukan pertimbangan matang.”R
Setelah selesai mengobati Tyran, ada seorang yang terus saja mengikuti Ariadne dari tadi."Kenapa terus mengikutiku?" kata Ariadne dengan nada tegas, tetapi matanya menghindari tatapan pemuda di hadapannya."Karena aku suka padamu," balas Xylon tanpa ragu."Pergi sana! Aku tidak suka padamu," sahut Ariadne lagi, lebih keras kali ini, berusaha menahan emosi yang sudah mendidih dalam dadanya."Aku akan terus menempel padamu. Tidak peduli kau suka atau tidak," jawab Xylon mantap, senyumnya kecil tapi penuh makna.Saat kegiatan nya mengekori Ariadne, Xyon dipanggil oleh serorang prajurit dan dinyatakan bahwa raja ingin berjumpa dengan Xylon. Namun, kedamaian momen itu segera terganggu ketika seorang prajurit datang tergopoh-gopoh. "Jenderal Xylon!" seru prajurit itu dengan suara tegas. "Raja memanggil Anda. Beliau ingin bertemu segera."Xylon menghela napas berat, menatap Ariadne sekali lagi sebelum menoleh pada prajurit tersebut. “Hah, kenapa selalu di waktu yang salah?” gumamnya."Jend
Walaupun melihat kejadian seorang anak perempuan kecil dicambuk, Xylon tidak bisa berbuat apa apa. Xylon kecil hanya bisa diam, tubuhnya bersembunyi di balik pintu. Ia menyaksikan kejadian itu dengan dada bergemuruh. Xylon ingin berbuat sesuatu. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Keluarganya hanyalah pedagang besar, tanpa gelar bangsawan, meskipun ayahnya cukup dihormati karena menguasai tambang dan perdagangan rempah-rempah.Saat ingin pergi Kaki Xylon yang gemetar tanpa sengaja menyenggol vas kaca. Suara pecahan kaca itu membuat semua orang menoleh, termasuk Duchess Riri. Mata gadis itu memicing, seolah menangkap keberadaan anak laki-laki itu. Namun, sebelum ada yang bertindak, Duke Arton tiba tiba muncul, menarik tangan Xylon.Arton membawa Xylon ke hadapan ayahnya. " bocah kecil," ujarnya dengan nada ancaman. "Jangan pernah ceritakan apa yang kau lihat hari ini. Jika kau ingin keluargamu tetap kaya, dan ayahmu tetap hidup, tutup mulutmu.”Xylon kecil hanya mengangguk. Bagaimana mungk
Sembilan bulan berlalu sejak Duchess Riri pertama kali mengetahui kehamilan pelayan di rumah besarnya. Sepanjang waktu itu, pelayan yang hamil itu tetap berada di bawah pengawasan ketat. Riri memastikan setiap kebutuhan dasar wanita itu terpenuhi, tetapi tanpa ada empati atau perhatian. Tidak ada yang diizinkan mendekatinya kecuali pelayan-pelayan tertentu yang dipercaya oleh Riri untuk menjaga rahasia ini.Ketika waktu persalinan tiba, suasana di rumah besar itu terasa semakin sunyi dan menegangkan. Pelayan tersebut melahirkan seorang putri yang manis di bawah pengawasan bidan dan pelayan khusus. Ketika tangis pertama bayi itu menggema, suasana yang sebelumnya dingin seakan mencair sesaat. Riri memutuskan untuk melihat bayi itu. Dengan ragu, ia melangkah masuk ke kamar tempat bayi itu berada. Riri berhenti di tepi tempat tidur, memandang bayi itu dengan tatapan sulit dibaca. Ia menoleh pada bidan yang berdiri di sudut ruangan. "Dia sehat?" tanyanya dingin.Bidan itu mengangguk cepat.
"Kenapa terus mengikutiku?" kata Ariadne dengan nada tegas, tetapi matanya menghindari tatapan pemuda di hadapannya."Karena aku suka padamu," balas Xylon tanpa ragu."Pergi sana! Aku tidak suka padamu," sahut Ariadne lagi, lebih keras kali ini, berusaha menahan emosi yang sudah mendidih dalam dadanya."Aku akan terus menempel padamu. Tidak peduli kau suka atau tidak," jawab Xylon mantap, senyumnya kecil tapi penuh makna.Raut wajah Ariadne berubah masam. Ia memutar tubuh dan berjalan menjauh dengan langkah-langkah cepat. Namun, Xylon tidak bergeming. Ia hanya berdiri di tempatnya, memandangi punggung gadis itu dengan tatapan yang sulit diartikan—sebuah perpaduan antara kasih sayang yang meluap-luap dan obsesi yang berbahaya.Rasa suka yang Xylon miliki untuk Ariadne bukanlah cinta biasa. Itu lebih mirip obsesi, api yang ia kobarkan tanpa kendali. Xylon tahu segalanya tentang Ariadne. Ia mengenalnya sejak kecil, gadis yang tidak punya apa apa namun kini memiliki suatu yang penting dit