"Kenapa terus mengikutiku?" kata Ariadne dengan nada tegas, tetapi matanya menghindari tatapan pemuda di hadapannya.
"Karena aku suka padamu," balas Xylon tanpa ragu.
"Pergi sana! Aku tidak suka padamu," sahut Ariadne lagi, lebih keras kali ini, berusaha menahan emosi yang sudah mendidih dalam dadanya.
"Aku akan terus menempel padamu. Tidak peduli kau suka atau tidak," jawab Xylon mantap, senyumnya kecil tapi penuh makna.
Raut wajah Ariadne berubah masam. Ia memutar tubuh dan berjalan menjauh dengan langkah-langkah cepat. Namun, Xylon tidak bergeming. Ia hanya berdiri di tempatnya, memandangi punggung gadis itu dengan tatapan yang sulit diartikan—sebuah perpaduan antara kasih sayang yang meluap-luap dan obsesi yang berbahaya.
Rasa suka yang Xylon miliki untuk Ariadne bukanlah cinta biasa. Itu lebih mirip obsesi, api yang ia kobarkan tanpa kendali. Xylon tahu segalanya tentang Ariadne. Ia mengenalnya sejak kecil, gadis yang tidak punya apa apa namun kini memiliki suatu yang penting ditangannya.
Ariadne adalah anak tiri dari Duke Arton, seorang bangsawan terpandang yang terkenal karena kekayaannya. Namun, di balik megahnya kedudukan sang bangsawan, tersembunyi rahasia kelam yang tidak pernah dibicarakan di hadapan orang banyak.
Xylon masih ingat dengan jelas hari itu. Ia berusia sekitar sepuluh tahun saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah Duke Arton. Ayahnya yang seorang pedagang kaya membawanya untuk berkenalan dengan keluarga bangsawan tersebut. Sore itu, ketika ia sedang bermain-main di taman belakang, sebuah suara tajam menusuk gendang telinganya.
"Mengapa tidak mengerjakan dengan baik apa yang kukatakan padamu?" suara seorang wanita terdengar marah.
Xylon terhenti. Ia mendekati arah suara dengan langkah-langkah kecil, rasa ingin tahunya lebih besar daripada naluri untuk menjauh. Dari balik celah pintu , ia melihat seorang anak perempuan kecil, berusia sekitar lima tahun, berdiri ketakutan. Bajunya putih, tapi noda merah yang mencolok sudah mulai menyebar di kainnya. Di hadapan anak itu, seorang wanita paruh baya memegang cambuk.
"Tcasss!" Suara cambukan menggema. Anak perempuan itu tersentak, tubuhnya gemetar.
"Maafkan aku, Bu. Maafkan aku. Aku akan belajar dengan giat lain kali," suara anak itu parau, berlinang air mata.
"Anak haram sepertimu! Sudah kuberi hak memanggilku 'Ibu', tapi masih saja belum pantas kuanggap anak. Otakmu bodoh, tubuhmu juga lemah," sergah Duchess Riri dengan nada penuh penghinaan. Suaranya tajam seperti bilah pedang yang menusuk hati. Tanpa ragu, ia kembali mencambuk anak perempuan yang sedang meringkuk di lantai itu.
Ariadne menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis. Tubuh kecilnya menggigil, bukan hanya karena rasa sakit dari cambukan itu, tetapi juga karena dinginnya kebencian yang terpancar dari wanita yang seharusnya melindunginya.
Duchess Riri memang sering mencambuk Ariadne. Baginya, itu adalah hal yang wajar. Ariadne bukanlah anak kandungnya—hanya seorang anak haram yang dipaksakan ke dalam hidupnya oleh keputusan Duke Arton enam tahun yang lalu.
Hari itu masih sangat jelas dalam ingatan Riri. Saat ia kembali lebih awal dari perjalanannya di kota sebelah untuk mengurus urusan keluarga. Namun, ketika memasuki kamarnya, pemandangan yang ia saksikan seperti mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan.
Suaminya, Duke Arton, berada di atas ranjang, bersama seorang pelayan muda yang tidak mengenakan sehelai benang pun. Tawa mereka berhenti seketika ketika mata Riri bertemu dengan mata Arton. Wajahnya memerah karena marah, tetapi Arton hanya menatapnya dengan dingin, tidak menunjukkan sedikit pun rasa bersalah.
"Apa yang kau lakukan?! Apa maksdunya ini?!" teriak Riri, suaranya pecah oleh emosi.
Pelayan itu buru-buru meraih selimut untuk menutupi tubuhnya, tetapi Arton tidak bergerak. Ia hanya berdiri, mengenakan pakaiannya dengan tenang seolah tidak ada yang terjadi.
"Kau melihat sendiri, bukan?," jawab Arton, suaranya datar. "Kau tidak bisa memberikan aku penerus. Apa yang harus kulakukan? Keluarga ini membutuhkan seorang pewaris. Jika kau tidak bisa memberikannya, biarkan aku mendapatkannya dari wanita lain."
Hati Riri serasa dihantam palu. "Bagaimana bisa kau berkata seperti itu? Setelah semua kulakukan untukmu?" Suaranya mulai bergetar, air mata menggenang di matanya.
Namun, Arton tidak peduli. "Dengar baik-baik," lanjutnya, matanya menatap Riri dengan dingin. "Pelayan ini sedang mengandung anakku. Anak itu akan menjadi penerus keluarga ini. Dan setelah lahir, kau bisa mengambilnya dan menjadikannya anakmu. Anggap saja ini solusi untuk masalah kita."
Kata-kata itu membuat Riri kehilangan kekuatan di kakinya. Tubuhnya meluruh ke lantai. Tangisannya pecah, tetapi Arton tidak menunjukkan empati. Ia meninggalkan ruangan, membiarkan istrinya.
Riri mencintai Arton dengan sepenuh hatinya. Pernikahan mereka, meski diatur oleh keluarga, tetap saja memberikan Riri harapan tentang kehidupan bahagia. Namun, kejadian itu menunjukkan: Arton lebih mencintai nama keluarga ini daripada dirinya.
Arton tidak pernah meninggalkan Riri atau mencari istri lain, tetapi bukan karena cinta. Ia tahu betul bahwa kedudukan Riri sebagai seorang bangsawan dari keluarga terpandang adalah aset yang tidak bisa ia lepaskan. Riri adalah perempuan yang lahir dari darah biru, cerdas, dan bahkan mengelola bisnis gelap yang menguntungkan. Kehadirannya membawa kekuatan dan kehormatan bagi nama keluarga Arton.
Namun, di balik wajahnya yang anggun di depan umum. Ia berpikir bahwa Arton tidak menghargainya sebagai seorang istri, hanya sebagai alat untuk mempertahankan status keluarga. Hal itu membuat hatinya terluka, penuh amarah yang belum bisa disalurkan.
Beberapa bulan setelah itu tampak pelayan itu hamil. Sebelumnya duchess sudah mengurungnya disebuah ruangan yang layak. Duchess sangat tidak menyukai gosip di antara para pelayannya. Dia meliburkan hampir sembilan puluh persen pelayan yang bekerja di rumah itu. Rumah besar yang biasanya ramai dengan aktivitas kini menjadi sunyi. Hanya beberapa pegawai kepercayaan yang diizinkan untuk tinggal dan tetap melayani kebutuhan pribadi istana itu.
Tak hanya itu, Duchess Riri juga memutuskan untuk menutup rumahnya sepenuhnya. Pintu-pintu gerbang yang besar dan megah dikunci rapat, dan para penjaga diperintahkan untuk tidak mengizinkan siapa pun masuk, termasuk tamu-tamu dekat. Aktivitas di dalam rumah itu benar-benar berhenti. Sang Duchess, yang biasanya dikenal sebagai seorang wanita yang suka tampil di berbagai acara sosial, mendadak menghilang dari pandangan publik.
Berita ini tentu saja tidak dapat sepenuhnya dirahasiakan. Tidak butuh waktu lama sebelum gosip mulai menyebar ke seluruh penjuru kota. Orang-orang mulai berbicara tentang Duchess Riri yang diduga sedang hamil. Namun, ada perbedaan pendapat di antara mereka. Beberapa mengatakan bahwa kehamilan itu adalah hasil dari sebuah hubungan rahasia dengan pria misterius, sementara yang lain berspekulasi bahwa Duchess sebenarnya tidak sedang hamil, melainkan sakit parah. Dalam setiap versi cerita, penutupan rumah itu menjadi pusat perhatian.
Untuk menjaga reputasi dan ketenangannya, Duchess Riri tetap tidak memberikan pernyataan resmi. Namun, kabar bahwa tubuhnya menjadi sangat sensitif terhadap berbagai hal—baik itu makanan, suara keras, atau bahkan aroma tertentu—mulai menjadi bahan pembicaraan. Hal ini diyakini publik sebagai alasan mengapa ia memilih untuk mengisolasi dirinya sendiri di rumah besar itu. Kebanyakan masyarakat berpikir bahwa Duchess sedang hamil.
Sembilan bulan berlalu sejak Duchess Riri pertama kali mengetahui kehamilan pelayan di rumah besarnya. Sepanjang waktu itu, pelayan yang hamil itu tetap berada di bawah pengawasan ketat. Riri memastikan setiap kebutuhan dasar wanita itu terpenuhi, tetapi tanpa ada empati atau perhatian. Tidak ada yang diizinkan mendekatinya kecuali pelayan-pelayan tertentu yang dipercaya oleh Riri untuk menjaga rahasia ini.Ketika waktu persalinan tiba, suasana di rumah besar itu terasa semakin sunyi dan menegangkan. Pelayan tersebut melahirkan seorang putri yang manis di bawah pengawasan bidan dan pelayan khusus. Ketika tangis pertama bayi itu menggema, suasana yang sebelumnya dingin seakan mencair sesaat. Riri memutuskan untuk melihat bayi itu. Dengan ragu, ia melangkah masuk ke kamar tempat bayi itu berada. Riri berhenti di tepi tempat tidur, memandang bayi itu dengan tatapan sulit dibaca. Ia menoleh pada bidan yang berdiri di sudut ruangan. "Dia sehat?" tanyanya dingin.Bidan itu mengangguk cepat.
Walaupun melihat kejadian seorang anak perempuan kecil dicambuk, Xylon tidak bisa berbuat apa apa. Xylon kecil hanya bisa diam, tubuhnya bersembunyi di balik pintu. Ia menyaksikan kejadian itu dengan dada bergemuruh. Xylon ingin berbuat sesuatu. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Keluarganya hanyalah pedagang besar, tanpa gelar bangsawan, meskipun ayahnya cukup dihormati karena menguasai tambang dan perdagangan rempah-rempah.Saat ingin pergi Kaki Xylon yang gemetar tanpa sengaja menyenggol vas kaca. Suara pecahan kaca itu membuat semua orang menoleh, termasuk Duchess Riri. Mata gadis itu memicing, seolah menangkap keberadaan anak laki-laki itu. Namun, sebelum ada yang bertindak, Duke Arton tiba tiba muncul, menarik tangan Xylon.Arton membawa Xylon ke hadapan ayahnya. " bocah kecil," ujarnya dengan nada ancaman. "Jangan pernah ceritakan apa yang kau lihat hari ini. Jika kau ingin keluargamu tetap kaya, dan ayahmu tetap hidup, tutup mulutmu.”Xylon kecil hanya mengangguk. Bagaimana mungk
Setelah selesai mengobati Tyran, ada seorang yang terus saja mengikuti Ariadne dari tadi."Kenapa terus mengikutiku?" kata Ariadne dengan nada tegas, tetapi matanya menghindari tatapan pemuda di hadapannya."Karena aku suka padamu," balas Xylon tanpa ragu."Pergi sana! Aku tidak suka padamu," sahut Ariadne lagi, lebih keras kali ini, berusaha menahan emosi yang sudah mendidih dalam dadanya."Aku akan terus menempel padamu. Tidak peduli kau suka atau tidak," jawab Xylon mantap, senyumnya kecil tapi penuh makna.Saat kegiatan nya mengekori Ariadne, Xyon dipanggil oleh serorang prajurit dan dinyatakan bahwa raja ingin berjumpa dengan Xylon. Namun, kedamaian momen itu segera terganggu ketika seorang prajurit datang tergopoh-gopoh. "Jenderal Xylon!" seru prajurit itu dengan suara tegas. "Raja memanggil Anda. Beliau ingin bertemu segera."Xylon menghela napas berat, menatap Ariadne sekali lagi sebelum menoleh pada prajurit tersebut. “Hah, kenapa selalu di waktu yang salah?” gumamnya."Jend
Baru saja Jenderal Xylon meninggalkan ruangan audiensi dengan senyum lebar, seorang pelayan kerajaan mengantar masuk tamu berikutnya: Duchess Riri. Wanita anggun itu memasuki ruangan dengan kepala tegak, meskipun hatinya berdebar-debar. Ada sesuatu dalam nada undangan Raja yang membuatnya tidak tenang.Duchess Riri membungkuk hormat di hadapan Raja. “Salam hormat, Paduka.”Raja mengangguk singkat, lalu langsung ke pokok pembicaraan. “Duchess Riri, aku memanggilmu karena ada tugas penting yang perlu segera ditangani. Kau tahu, perang di wilayah Selatan telah memakan korban besar, termasuk di kalangan tenaga medis. Bahkan pemimpin medis kita gugur di sana. Aku membutuhkan seseorang yang mampu mengemban tanggung jawab besar itu, dan aku yakin hanya kau yang memiliki kualifikasi untuk menunjuk penggantinya.”Duchess Riri mengerutkan dahi, firasat buruknya semakin menjadi. “Paduka, saya dan para tabib kerajaan selalu siap melayani, namun tugas seperti ini memerlukan pertimbangan matang.”R
Baru saja Jenderal Xylon meninggalkan ruangan audiensi dengan senyum lebar, seorang pelayan kerajaan mengantar masuk tamu berikutnya: Duchess Riri. Wanita anggun itu memasuki ruangan dengan kepala tegak, meskipun hatinya berdebar-debar. Ada sesuatu dalam nada undangan Raja yang membuatnya tidak tenang.Duchess Riri membungkuk hormat di hadapan Raja. “Salam hormat, Paduka.”Raja mengangguk singkat, lalu langsung ke pokok pembicaraan. “Duchess Riri, aku memanggilmu karena ada tugas penting yang perlu segera ditangani. Kau tahu, perang di wilayah Selatan telah memakan korban besar, termasuk di kalangan tenaga medis. Bahkan pemimpin medis kita gugur di sana. Aku membutuhkan seseorang yang mampu mengemban tanggung jawab besar itu, dan aku yakin hanya kau yang memiliki kualifikasi untuk menunjuk penggantinya.”Duchess Riri mengerutkan dahi, firasat buruknya semakin menjadi. “Paduka, saya dan para tabib kerajaan selalu siap melayani, namun tugas seperti ini memerlukan pertimbangan matang.”R
Setelah selesai mengobati Tyran, ada seorang yang terus saja mengikuti Ariadne dari tadi."Kenapa terus mengikutiku?" kata Ariadne dengan nada tegas, tetapi matanya menghindari tatapan pemuda di hadapannya."Karena aku suka padamu," balas Xylon tanpa ragu."Pergi sana! Aku tidak suka padamu," sahut Ariadne lagi, lebih keras kali ini, berusaha menahan emosi yang sudah mendidih dalam dadanya."Aku akan terus menempel padamu. Tidak peduli kau suka atau tidak," jawab Xylon mantap, senyumnya kecil tapi penuh makna.Saat kegiatan nya mengekori Ariadne, Xyon dipanggil oleh serorang prajurit dan dinyatakan bahwa raja ingin berjumpa dengan Xylon. Namun, kedamaian momen itu segera terganggu ketika seorang prajurit datang tergopoh-gopoh. "Jenderal Xylon!" seru prajurit itu dengan suara tegas. "Raja memanggil Anda. Beliau ingin bertemu segera."Xylon menghela napas berat, menatap Ariadne sekali lagi sebelum menoleh pada prajurit tersebut. “Hah, kenapa selalu di waktu yang salah?” gumamnya."Jend
Walaupun melihat kejadian seorang anak perempuan kecil dicambuk, Xylon tidak bisa berbuat apa apa. Xylon kecil hanya bisa diam, tubuhnya bersembunyi di balik pintu. Ia menyaksikan kejadian itu dengan dada bergemuruh. Xylon ingin berbuat sesuatu. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Keluarganya hanyalah pedagang besar, tanpa gelar bangsawan, meskipun ayahnya cukup dihormati karena menguasai tambang dan perdagangan rempah-rempah.Saat ingin pergi Kaki Xylon yang gemetar tanpa sengaja menyenggol vas kaca. Suara pecahan kaca itu membuat semua orang menoleh, termasuk Duchess Riri. Mata gadis itu memicing, seolah menangkap keberadaan anak laki-laki itu. Namun, sebelum ada yang bertindak, Duke Arton tiba tiba muncul, menarik tangan Xylon.Arton membawa Xylon ke hadapan ayahnya. " bocah kecil," ujarnya dengan nada ancaman. "Jangan pernah ceritakan apa yang kau lihat hari ini. Jika kau ingin keluargamu tetap kaya, dan ayahmu tetap hidup, tutup mulutmu.”Xylon kecil hanya mengangguk. Bagaimana mungk
Sembilan bulan berlalu sejak Duchess Riri pertama kali mengetahui kehamilan pelayan di rumah besarnya. Sepanjang waktu itu, pelayan yang hamil itu tetap berada di bawah pengawasan ketat. Riri memastikan setiap kebutuhan dasar wanita itu terpenuhi, tetapi tanpa ada empati atau perhatian. Tidak ada yang diizinkan mendekatinya kecuali pelayan-pelayan tertentu yang dipercaya oleh Riri untuk menjaga rahasia ini.Ketika waktu persalinan tiba, suasana di rumah besar itu terasa semakin sunyi dan menegangkan. Pelayan tersebut melahirkan seorang putri yang manis di bawah pengawasan bidan dan pelayan khusus. Ketika tangis pertama bayi itu menggema, suasana yang sebelumnya dingin seakan mencair sesaat. Riri memutuskan untuk melihat bayi itu. Dengan ragu, ia melangkah masuk ke kamar tempat bayi itu berada. Riri berhenti di tepi tempat tidur, memandang bayi itu dengan tatapan sulit dibaca. Ia menoleh pada bidan yang berdiri di sudut ruangan. "Dia sehat?" tanyanya dingin.Bidan itu mengangguk cepat.
"Kenapa terus mengikutiku?" kata Ariadne dengan nada tegas, tetapi matanya menghindari tatapan pemuda di hadapannya."Karena aku suka padamu," balas Xylon tanpa ragu."Pergi sana! Aku tidak suka padamu," sahut Ariadne lagi, lebih keras kali ini, berusaha menahan emosi yang sudah mendidih dalam dadanya."Aku akan terus menempel padamu. Tidak peduli kau suka atau tidak," jawab Xylon mantap, senyumnya kecil tapi penuh makna.Raut wajah Ariadne berubah masam. Ia memutar tubuh dan berjalan menjauh dengan langkah-langkah cepat. Namun, Xylon tidak bergeming. Ia hanya berdiri di tempatnya, memandangi punggung gadis itu dengan tatapan yang sulit diartikan—sebuah perpaduan antara kasih sayang yang meluap-luap dan obsesi yang berbahaya.Rasa suka yang Xylon miliki untuk Ariadne bukanlah cinta biasa. Itu lebih mirip obsesi, api yang ia kobarkan tanpa kendali. Xylon tahu segalanya tentang Ariadne. Ia mengenalnya sejak kecil, gadis yang tidak punya apa apa namun kini memiliki suatu yang penting dit