“Kenapa harus kau yang menyita perhatianku? Apa kelebihanmu?”
***
Mobil akhirnya sudah tiba di rumah. Selama perjalanan hanya terdengar suara Bianca yang berisik, bercerita pada John bagaimana menyenangkan hari pertama di sekolah. Tentu saja dia melewatkan bagian terburuk karena membuat masalah dengan salah satu siswa dari tim basket itu.
Selena masuk ke dalam rumah dan langsung berjalan ke satu tujuan yaitu kamarnya. Mengabaikan rencana-rencana keluarganya yang ingin berburu hewan malam ini.
“Elle, kau mau ikut dengan kami malam ini?” tawar Matt sembari tersenyum sebelum Selena masuk ke dalam kamarnya.
“Tidak.” Selena menjawab singkat tanpa menoleh dan sambil memegang kenop pintu kamarnya.
“Kenapa? Kita penduduk baru di sini. Mungkin kau harus melihat-lihat kota Breavork yang indah ini,” bujuk Matt tanpa menyerah.
Selena berdecih. “Mau kita berada di mana pun, aku sama sekali tidak tertarik untuk berburu. Lagipula … bukankah itu sangat konyol ketika kalian masih bisa bertahan hidup dengan darah hewan, tapi tetap saja memburu manusia,” ejeknya dengan wajah sinis.
Mendengar kalimat sarkas itu, senyum Matt langsung pudar. “Elle, kau benar-benar tidak bisa memaafkanku?” tanya Matt dengan suara rendah.
“Menurutmu bagaimana?” Selena balik bertanya sambil masuk ke dalam kamarnya.
“Peristiwa itu sudah berlalu selama beratus-ratus tahun, Elle.”
“Peristiwa yang membuatku jadi makhluk menjijikkan seperti ini takkan pernah kulupakan seumur hidupku!” tegas Selena dan berhasil membungkam mulut Matt.
Setelah mengatakan itu, Selena menutup pintu dengan keras tepat di depan wajah Matt. Bukti bahwa dirinya benar-benar tidak menyukai lelaki itu.
Matt berjalan lesu menuju anak tangga dan duduk di salah satunya. Memorinya terhempas ke beberapa ratus tahun yang lalu. Sebuah peristiwa yang sudah membuat gadis remaja tujuh belas tahun itu terselamatkan hidupnya dari kematian.
Malam itu, di sebuah desa yang begitu tentram, tenang dan damai telah menjadi target amukan para vampir tepat saat bulan purnama. Tempat di mana Selena menghabiskan hari-hari indahnya bersama keluarga tercinta.
Namun, malam itu bagaikan kutukan baginya. Tubuh Selena bergetar hebat karena tak berhenti meraung meratapi tubuh dingin kedua orang tuanya. Di atas genangan darah, dua orang yang dia cintai sudah tak bernyawa lagi.
Matt adalah salah satu vampir yang ikut dalam tragedi malam itu. Dia berdiri mematung saat melihat Selena dari kejauhan. Tangannya penuh dengan darah manusia, namun wajahnya masih bersih tak ada noda merah sama sekali.
“Ayah … ibu ….” Selena terisak sembari memeluk tubuh ibunya. Sedangkan ayahnya terbujur kaku di sampingnya.
Selena tidak peduli pada hiruk pikuk teriakan manusia dan amukan vampir di belakangnya. Dia juga tidak mempermasalahkan kalau seumpama dirinya akan menjadi korban selanjutnya. Dia hanya ingin bisa tetap bersama ibu dan ayahnya.
“Selena ikut kalian! Selena tidak ingin sendirian di dunia ini!” raungnya.
Matt yang mendengar hanya bisa berdiri terpaku di belakang Selena. Dia bisa saja menyerang gadis itu dan mengisap habis darahnya. Tetapi, entah kenapa intuisi vampirnya menginginkan Selena untuk tetap bertahan di dunia. Bahkan dia mulai menginginkan gadis itu.
Matt tidak mengalihkan pandangannya pada gadis putus asa yang langsung berdiri sempoyongan mengambil sebilah pisau tertancap di tanah. Entah pisau milik siapa, yang jelas senjata tajam itu telah dijadikan manusia untuk melakukan perlawanan terhadap vampir.
“Selena akan bertemu dengan ayah dan ibu secepatnya,” lirih Selena dengan pipi basah seraya menggenggam pisau tajam berlumuran darah tersebut.
Tanpa ragu dan menunggu waktu lama, Selena langsung menyayatkan pisau ke lengan kiri hingga memutus nadinya. Darah segar dan wangi langsung mengucur begitu deras karena sayatan yang begitu dalam.
Mata Matt membelalak. Dia terkejut dengan perbuatan nekat Selena yang mengakhiri hidupnya seperti itu. Sesaat hasrat ingin meminum darah Selena bergejolak dan meronta dalam dirinya. Namun, dia harus menahan itu semua. Kakinya sudah ingin bergerak maju, tapi sekuat tenaga dia menahan langkahnya agar tidak mendekati Selena. Matt menadahkan kepalanya dan melihat bulan purnama yang hampir menghilang di antara awan-awan gelap. Dia harus menahan diri sedikit lagi sebelum mendekati gadis itu.
Jangan! Jangan lakukan itu, Matt. Kau sudah bersumpah untuk tidak meminum darah manusia lagi!
Batin Matt terus membujuk dirinya agar bisa menahan keinginannya. Dia tidak boleh meminum setetes darah manusia. Apapun alasannya, karena itu yang diajarkan oleh John; ayah angkatnya.
Bulan purnama akhirnya menghilang dibalik awan gelap. Semua vampir yang semula begitu agresif, berubah menjadi pasif di antara jasad manusia yang berserakan. Tanpa pikir panjang, Matt bergegas meraih badan Selena yang menggelepar hampir kehabisan darah dan oksigen.
John melihat apa yang dilakukan Matt. Dengan gerakan cepat dia langsung menghampiri anak itu. Dia memegang pundak Matt dan berpikir kalau anaknya lah yang membuat gadis berparas cantik itu meregang nyawa.
“Bukan aku!” elak Matt yang terus memegang badan Selena. “Dia bunuh diri,” lanjutnya.
Selena yang matanya sudah terpejam dan tak sadarkan diri begitu pucat wajahnya. Dia sudah di ambang kematian.
“Kalau begitu, tinggalkan dia!” perintah John tegas.
“Tidak bisa.”
John menatap heran Matt dan mengernyit. “Apa yang kau inginkan?”
“Aku … ingin dia.”
John sangat kaget dengan permintaan Matt. Ia lalu menatap wajah Selena, kemudian menggeleng. “Dia bunuh diri, itu pilihannya.”
“Tapi, aku menginginkannya!” seru Matt lagi.
“Tidak bisa, Matteo!” bentak John lagi. “Kau hanya akan menumbuhkan kebencian di dalam hatinya!”
“Aku tidak peduli. Dia tidak boleh mati!”
John tidak mengerti dengan sikap berontak Matt. Sejauh ini anak lelaki itu selalu mengikuti apa perintah yang diujarkan olehnya.Tetapi, kali ini dia melihat ada sesuatu yang berbeda dari mata Matt.
John mengusap kasar wajahnya dan gelisah. Dia tidak boleh membawa pergi salah satu manusia dalam pertempuran ini. Akan sangat beresiko bila ketahuan para vampir lainnya.
“Cepat, Ayah! Dia bisa mati kehabisan darah!” desak Matt panik.
John tak memiliki jalan lain kecuali menuruti permintaan Matt. Dia memerintahkan anaknya untuk langsung membawa Selena pergi dari desa dan mencari tempat sepi.
“Bawa dia menjauh dari tempat ini. Jangan sampai ada bangsa vampir yang dapat mengendus bau darahnya. Karena‒” John menggantungkan kalimatnya. Dia menatap dalam wajah pucat Selena lalu memejamkan matanya. Dia menghirup udara sekitar dengan dalam. “Hanya darahnya saja yang terasa begitu manis dan berbeda.”
Matt mengerti. Beruntungnya sekarang mereka berada di tempat penuh darah sehingga aroma darah Selena tercampur dengan darah lainnya. Sehingga para vampir tidak menyadari hal itu.
Tanpa menunggu waktu lama, Matt langsung berdiri menggendong tubuh lemah Selena. Mendekapnya dengan erat lalu pergi secepat angin menuju tempat yang takkan mungkin bisa dijangkau oleh vampir lainnya.
Malam itu, Selena tidak berhasil menemui ajalnya dengan tenang. Dia terjebak di dunia dan menjadi makhluk abadi yang menawan. Meski bukan itu keinginannya.
***
Selena benar-benar tidak ingin ikut serta acara berburu malam ini. Dia duduk di sofa tepat samping jendela kamarnya. Memangku buku novel yang tidak fokus dibacanya sejak tadi.
Dia mulai merasa sedikit bosan berada di dalam kamar. Dia ingat perkataan Matt yang menyuruhnya untuk jalan-jalan di kota indah ini. Selena menutup bukunya kemudian berdiri mengambil mantel merahnya. Diputuskannya untuk pergi keluar sendirian menikmati udara malam.
Sepanjang trotoar yang diterangi lampu jalanan, Selena melangkah tenang sendirian. Ekspresinya yang dingin dan misterius menarik perhatian orang-orang saat dia melewati beberapa toko, kafe dan bar. Namun, anehnya tak ada yang berani mendekatinya apalagi menggodanya.
Selena terus saja berjalan dengan pikiran yang mengarah pada satu hal, yaitu kejadian tadi pagi. Rain, lelaki itu adalah manusia pertama yang berhasil mengganggu pikirannya.
Aku membencinyanya. Tetapi, kenapa aku tidak bisa mengenyahkan dia dalam pikiranku? Ini benar-benar aneh dan tak masuk akal! … Selena terus memikirkan hal itu berulang-ulang.
Beberapa detik berikutnya, tiba-tiba saja kaki Selena berhenti melangkah dan matanya melihat seorang lelaki yang sejak tadi menghuni alam bawah sadarnya tengah berjalan sendirian tepat di depannya. Rain!
“Kenapa aku harus bertemu dengannya di sini?” gumam Selena yang terkejut. “Dan kenapa dia harus ada di depanku?” lanjutnya.
Selena memerhatikan bagian punggung Rain yang terus berjalan dengan topi hoodie menutupi kepalanya. Langkah kakinya tidak terburu-buru, tak seperti tadi siang sewaktu pulang sekolah. Tanpa sadar Selena ikut melangkah, mengekori jejak kaki Rain.
Hentikan langkahmu, Selena! Apa yang kau lakukan?
Percuma saja. Semakin Selena melarang dirinya untuk berhenti, langkah kakinya semakin cepat. Ketika pikiran dan raganya sudah tidak bisa sinkron, Selena hanya bisa pasrah. Seperti ada magnet yang menarik dirinya agar bisa dekat dengan Rain.
Berhenti, Selena!
Tetapi, bukan langkah Selena yang berhenti. Sebaliknya, Rain yang mendadak menghentikan langkah. Otomatis Selena juga tidak melanjutkan langkah, namun dengan jarak yang sangat dekat. Selena hanya bisa berharap semoga Rain tidak membalikkan badannya.
Jangan berbalik. Kumohon jangan balikkan badanmu. Teruslah berjalan!
Lagi-lagi permintaan Selena tidak dikabulkan. Bertolak belakang dengan perintahnya dalam hati, Rain langsung menurunkan topi hoodie dari kepalanya dan berbalik.
Detik berikutnya Selena bisa melihat wajah tampan yang begitu dingin dengan garis rahang yang tegas. Netra birunya bertemu dengan dua bola mata Selena lagi. Mereka berdua seperti sedang bercermin satu sama lain. Atmosfer dingin dan misterius langsung menjadi satu menyergap mereka berdua. Selena tidak dapat berpikir bahkan memerintahkan dirinya untuk menjauhi Rain. Lantas dia hanya bisa pasrah sekarang.
“Kenapa kau mengikutiku?” tanya lelaki itu.
Tanpa ada intonasi nada yang tinggi atau rendah, Rain berkata dengan suara datar. Kulitnya yang putih dengan sorot mata teduh tapi misterius, semakin mengacaukan pikiran Selena. Lelaki itu juga memiliki kelopak mata dan bulu mata yang panjang. Wajahnya simetris karena memiliki rasio hidung dan bibir yang nyaris sempurna. Belum pernah selama hidup Selena menemui manusia tampan melebihi dua saudara laki-lakinya.
“Apa yang kau lihat?” hardiknya dengan kasar karena Selena tidak menjawab.
Selena memutar bola matanya, memerhatikan objek lain. Dia tidak ingin menatap lebih dalam wajah Rain. “Tidak ada,” jawabnya tenang. Dia sudah puas memindai wajah lelaki itu.
“Kau penguntit?” tanya Rain lagi.
Apa aku terlihat seperti penguntit? Aku bahkan tidak ingin berada di hadapannya sekarang! … marah Selena dalam hati.
Bukannya menjawab pertanyaan Rain. Selena lebih memilih untuk memutar badannya dan pergi menjauhi Rain. Dia bersyukur karena akhirnya bisa memerintahkan anggota badannya lagi.
Rain mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti dengan keanehan siswi baru, perebut tempat duduknya itu. Tak ingin memikirkan apa pun, Rain memilih menyumbat telinganya dengan sepasang earphone putih. Menutup kembali kepalanya dengan topi hoodie dan kembali berjalan menuju rumahnya.
-Bersambung-
“Setenang dan selembut apapun dirimu, pasti akan ada seseorang yang hatinya bising karenamu.” *** Kediaman keluarga Walter. Selena baru saja melewati pintu masuk kembar rumahnya. Sepintas dia melihat Bianca yang duduk sendiri sambil memainkan smartphone miliknya. Jangan heran ketika vampire jaman sekarang sudah mengerti teknologi canggih. Mereka harus membiasakan diri dan beradaptasi dengan perilaku umum manusia. “Baru pulang? Darimana saja?” tanya Bianca yang langsung berdiri menghampiri Selena. Sementara Selena terus berjalan tidak berniat menghentikan langkah. “Bukan urusanmu,” jawab Selena dengan suara datar. “Habis berburu, ya? Kenapa tidak mengajak kami semua?” Selena enggan menjawab. “Elle,” panggil Bianca lagi yang tidak menyerah untuk mengekori langkah Selena. Selena masih tidak menjawab. Sampai saat dia dan Bianca berada di tangga, lalu berpapasan dengan Matteo. Sekilas Matt b
“Yang kudamba hanya kamu. Yang kutakutkan hanya satu. Kau menghilang dari pandanganku.”***Walter’s house.Selena berdiri di depan pintu rumah dengan tangan bersedekap. Wajahnya yang dingin ditambah dengan ekspresi tidak suka ketika melihat Matt dan Henry yang keluar dari mobil sambil tertawa. Sementara tak jauh dari dua saudaranya, ada Bianca yang pulang diantar oleh seorang lelaki dengan motor bisingnya.Sekelebat dia memiliki rasa iri pada tiga saudaranya yang tidak pernah merasa sedih, sakit hati atau benci dengan keadaan mereka yang menjadi abadi ini.“Hai, Elle … ada apa?” tanya Henry dengan senyum ramahnya.“Darimana saja?” Selena balik bertanya.“Whoa … tumben sekali seorang Selena ingin tahu kita habis darimana,” sindir Bianca yang melenggang langsung masuk ke dalam rumah. Melewati Selena dengan gaya angkuhnya. Selena benci itu.&ldq
“Setiap tindakan selalu ada konsekuensinya. Berhati-hatilah dalam mengambil keputusan.”****Malam itu, setelah Selena bertanya tentang detak jantung seorang vampire, John tidak dapat tenang semalaman. Dia belum bisa menjawab dengan benar dan memuaskan untuk Selena. Dia sendiri tidak menyangka kalau Selena bertanya hal yang belum pernah dia dengar selama beratus-ratus tahun ini. Bahkan Matt yang usianya jauh lebih tua daripada Selena, atau pun Bianca dan Henry yang lebih sering berinteraksi dengan manusia, tidak pernah sekalipun menanyakan itu.“Ada apa yang terjadi dengan Selena? Apakah dia merasakan hal itu? Kalau memang benar, dengan siapa?” gumam John sambil menatap perapian yang menyala.Di luar semakin dingin karena hujan mulai turun. Selena terus menatap hujan yang jatuh dari langit sambil bersedekap. Kaca jendela menjadi basah karena bias hujan. Dia sendiri juga berusaha mencari jawaban atas pertanyaannya.S
“Kelebihan yang kau miliki adalah yang diingankan orang lain.”***Valley High School.Selena bergegas mengayunkan langkahnya menuju kelas. Dia tidak sabar ingin bertemu dengan Rain, lelaki yang mengusik pikirannya selama beberapa jam terakhir. Konyol rasanya dia bisa menjadi seperti ini. Bahkan kalau diingat-ingat terasa sangat aneh ketika Selena tidak dapat menghentikan langkahnya ketika berpapasan dengan Rain di jalan tempo hari.Di kelas hanya ada beberapa orang saja. Tidak ada Rain di sana.“Selamat pagi!” sapa seorang gadis ceria pada Selena. Tentunya dia adalah manusia.Selena menoleh sebentar kemudian menjawab, “Pagi.” Sambil meletakkan tas miliknya di atas meja.Gadis manusia bernama Syilea itu terus mengikuti Selena hingga duduk di kursi sampingnya. “Kita belum berkenalan secara resmi.”Aku sudah tahu namamu, batin Selena.“Hai, na
“Rasa penasaran bukan hanya bisa dirasakan oleh manusia, melainkan bangsa vampir pun juga.”***Selena berusaha untuk terus menyamakan langkah kakinya dengan Syilea. Dia berpikir apakah manusia selalu berjalan dengan begitu pelannya. Bagi Selena langkah kecil dan pelan seperti ini memakan waktu banyak.“Apa rumahnya masih jauh?” tanya Selena pada Syilea.Gadis yang memakai ransel berwarna putih gading itu menoleh pada Selena sambil memakan crepes rasa coklat keju di tangannya. “Lima menit lagi kita sampai,” jawabnya sambil mengulurkan cemilan di tangannya. “Kamu mau, Elle?”“Tidak. Terima kasih.” Selena menolak dengan suara pelannya. Mana mungkin dia memakan makanan manusia.“Oh iya … apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Syilea.“Ya?”“Kenapa kamu ingin tahu rumah Rain?”Selena tidak perlu
"Sekali lagi mengutuk diri sendiri. Aku benci pada diriku."***Selena melangkah mundur. Ekspresinya begitu kaget dan tampak jelas dia sedang menahan diri sekuat mungkin. Sementara Syilea terus merintih kesakitan dan mencoba bangun, namun Selena tidak bergeming sedikit pun."Elle … bisa bantu aku?" pinta Syilea sambil meringis.Selena tidak menjawab, sekali lagi dia melangkahkan mundur kakinya."Elle! Kau mau kemana?!" teriak Syilea yang masih duduk di posisi jatuhnya.Selena menggelengkan kepala dengan kuat. Bisikan yang entah darimana datangnya terus menggema di dalam kepalanya. Suara-suara aneh yang menakutkan, memerintahkan Selena untuk mencicipi darah segar di depan mata.Tanpa suara dan pamit, Selena membalikkan badan lalu berlari sekuat mungkin menjauh dari Syilea. Sementara suara Syilea mulai terdengar sayup terdengar memanggil namanya."Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Kontrol dirimu, Elle!!" seru Selena
“Pepatah mengatakan untuk jangan rubah dirimu. Namun, bagaimana jadinya apabila bukan aku yang merubah diriku. Melainkan orang lain yang sudah mencampuri hidupku. Apa aku harus tetap membencinya?”***BRUGH!!Bianca terhempas dan terpental jauh ketika Henry mencoba untuk menahannya. Saudarinya benar-benar sudah di luar kendali. Henry sampai kewalahan menjaga Bianca agar tidak masuk ke dalam kamar Selena.Mendengar suara gaduh dari luar, John memerintahkan Matt untuk memeriksa keadaan Bianca dan Henry. Sementara Selena sudah diberi minum darah manusia untuk pertama kalinya.Matt keluar dan melihat beberapa perabotan yang hancur karena perkelahian dua vampir. Bahkan lampu gantung yang berada di tengah ruangan saja jatuh ke bawah dan beberapa vas bunga pajangan yang besar harus pecah berkeping-keping.“ASTAGA! APA YANG KALIAN LAKUKAN?!” murka Matt dengan wajah merahnya.Henry menoleh dan menyengir sebenta
“Ketika menginginkanmu hanya sebuah ambisi. Maka, biarkan aku terus berjuang meski hanya sendiri.”***Ada keanehan dalam raut wajah Selena setelah sadar apa yang terjadi pada rumahnya. Seluruh perabotan hancur dan sebagian sudah dibersihkan oleh Henry. Matt yang berjalan di belakangnya tidak bersuara. Dia hanya diam dan menunggu Selena bertanya. Tetapi kalau Selena tidak mengajukan pertanyaan, maka Matt tidak perlu mengatakan apapun untuk menjelaskan.“Henry,” panggil Selena.Henry melepas headphone yang terpasang menutupi kedua telinganya. Di tangannya memegang karung berisi pecahan vas bunga. Dia menoleh ke belakang dan tersenyum lebar melihat Selena yang menyapanya terlebih dulu.“Hey … senang melihatmu baik-baik saja, Elle.” Henry tersenyum tulus seperti biasa. Dia menatap sekilas Matt yang berdiri canggung di belakang perempuan itu.“Apa yang terjadi?” tanya Selen
Setelah musim panas berakhir, maka masuklah musim paling syahdu yaitu musim gugur. Sisa hawa panas memang masih ada, namun angin pun sudah mulai berembus. Selena memakai kaos tipis yang dilapisi dengan mantel panjang berwarna merah favoritnya, Ia tampak begitu sangat cantik malam ini. Terlebih jeans panjang dengan sepatu ankle boot hitam membuatnya menjadi tampak sempurna.Sama seperti Selena, Bianca dan Erika pun juga memakai outfit yang sama meski beda warna dan hiasan baju lainnya. Mereka semua sudah siap untuk pergi ke festival musim gugur bersama dengan pasangan masing-masing.“Aku tidak memiliki pasangan. Lalu, nanti sama siapa setelah di sana?” tanya Erika kebingungan.“Jangan cemas. Kamu bisa bersamaku, Bianca atau Syilea.” Selena mencoba menenangkan Erika.“Aku tidak ingin mengganggu kesenangan kalian,” tolak Erika dengan segan.“Ah, begini saja … bagaimana kalau kita tidak usah berpencar? K
Syilea sangat terkejut dengan serangan ciuman dari Henry. Pupil matanya membulat sempurna tatkala sebuah memori ingatan melemparkannya ke suatu tempat yang aneh. Di mana ia melihat dirinya dan Henry yang sedang berciuman di ruang tamu rumahnya, pernyataan cinta dari Henry, hadiah bunga dan jalan-jalan malam di festival hingga akhirnya ia melihat seorang vampir yang berdiri di hadapannya dengan seringai menyeramkan beserta taring tajam.Jantung Syilea berdentam dengan sangat cepat ketika dia potongan memori ingatannya kembali seperti puzzle yang mulai tersusun hingga membentuk gambar sempurna.Satu detik … Dua detik … Tiga detik … Empat detik … Lima detik.Seketika pandangan Syilea menjadi samar bersamaan dengan Henry yang menarik mundur wajahnya. Dengan tatapan sayu, Syilea menatap Henry yang dikenalnya sebagai kekasihnya, bukan orang asing lagi.“Henry,” bisik Syilea dengan lirih.“Apa kamu sudah ingat
Keesokan harinya, Selena sudah bersiap menuju sekolah dijemput Rain seperti biasa. Seperti yang dikatakan Arion tadi malam, mulai hari ini dia tidak akan muncul lagi di hadapannya. Perpisahan tadi malam sudah cukup menguras emosinya hingga membuat Selena merasakan seperti ada duri tertancap di hatinya.“Kenapa aku merasa tidak rela untuk kehilangannya?” gumam Selena sambil berjalan menuju anak tangga.“Elle … berangkat dengan Rain?” tanya Bianca yang tiba-tiba saja berjalan di sisinya.“Ya.” Selena menjawab singkat.“Ada apa denganmu? Wajahmu terlihat linglung,” heran adiknya.“Bia … apa kamu tahu kalau Arion pergi?” tanya Selena akhirnya pada Bianca.“Iya, tau. Ayah sudah menceritakan pada kami semua tadi malam saat kamu dan dia pergi jalan-jalan,” jawab Bianca.“Kenapa kamu tidak sedih?”“Buat apa? Dia kan hanya pergi untuk
Masih di bar khusus para vampir. Selena tidak meminum apapun, ia hanya melihat Arion yang sudah menghabiskan empat gelas kecil berisi darah manusia.“Sepertinya kamu sudah terlalu lama menahan ini semua,” sindir Selena pada Arion yang meletakkan gelas terakhir di atas meja.“Maafkan aku. Tidak mudah untuk membuang kebiasaan,” jawab Arion yang memberi kode pada bartender untuk mengisi gelasnya lagi.“Setidaknya sekarang kamu sudah bersahabat dengan kata maaf,” jawab Selena tersenyum. “Setelah ini, kamu ingin membawaku kemana lagi?”“Pantai,” jawab Arion.Selena mengernyit dan bingung. “Pantai?” ulangnya.“Bukankan kamu sangat suka melihat laut?” tanya Arion.Selena mengangguk. Ia tak membantah tebakan Arion. “Ya. Aku suka.”“Laut akan terlihat indah bila dilihat saat malam hari,” lanjut Arion lalu kembali minum.&ld
Para gadis sudah tiba di rumah saat pukul delapan malam. Saat itulah mereka melihat para lelaki berkumpul di ruang keluarga. Ada John, Arion, Stefan, Henry dan Matt. Mereka tengah berbincang santai dan sesekali terdengar tawa karena joke yang dilontarkan oleh Arion.Selena tersenyum ketika melihat bagaimana Arion yang berdiri di depan mereka semua sambil membawakan sebuah lelucon seolah sedang melakukan stand up, lalu terdengar suara tawa Henry yang paling keras.“Hai, girls … sudah selesai bersenang-senangnya?” tanya Matt ketika sadar dengan kehadiran Bianca, Selena dan Erika.Bianca menghampiri Matt dan langsung duduk di pangkuan lelaki itu tanpa malu dilihat oleh John dan Stefan. Lagipula mereka adalah keluarga, bersikap romantis di depan keluarga bukan hal yang aneh, kan?“Ya … itu tadi adalah shopping paling menyenangkan,” ungkap Bianca dengan penuh semangat yang menggebu-gebu. Ia lalu melemparkan pandangan pada
Sambungan via telepon handphone antara Henry dan Syilea ….“Kenapa kamu baru tiba di rumah?” tanya Henry setelah teleponnya baru diangkat oleh gadis tersebut dan Syilea mengatakan bahwa dia baru saja sampai rumah.“Aku harus pergi ke rumah sakit untuk bertemu dengan ibu sebentar,” jawab Syilea jujur.Henry mengangguk paham. “Seharusnya kamu tidak perlu menolak tawaranku ketika ingin mengantarkanmu pulang,” sesalnya lagi.“Tidak apa-apa. Aku tidak ingin merepotkanmu. Kita hanya teman dan seharusnya aku harus tahu batasan,” jelas Syilea dengan bijaksana.“Kalau begitu … bagaimana jika seandainya kita bukan hanya sekedar teman?” pancing Henry.“Ma-maksudmu?” gagap Syilea mendengar hal yang bisa langsung dia asumsikan tentang hal lebih dari teman.“Ya, maksudku … seperti hubungan yang lebih dekat,” jawab Henry pelan. Dia sendiri merasa
Selena membawa Erika ke kamar yang akan ditinggali oleh gadis penyihir itu. Sengaja ia memilihkan kamar dengan kasur baru dengan alasan khusus untuk manusia.“Karena kamu membutuhkan tidur yang nyenyak daripada kami,” kata Selena saat mendapati Erika yang begitu sungkan.“Terima kasih,” ucap Erika dengan tulus.“Tapi … apa kamu tidak takut tinggal serumah dengan banyak vampir?” tanya Selena ragu.Erika hanya tersenyum penuh arti. “Bahkan sebelumnya aku pernah serumah dengan vampir yang sangat bengis dan haus darah manusia.”Selena mengerti siapa yang dimaksud oleh Erika. Tentu saja dia adalah Arion. Mereka memang pernah serumah dan bahkan bercinta karena memiliki hubungan khusus.Erika mulai mengeluarkan beberapa pakaiannya yang usang dan lusuh lalu membuka lemari. Selena mengernyit melihat pakaian penyihir itu. Baru dia sadari ada sesuatu yang memprihatinkan sekarang.“Erik
Rain dan Selena hari ini pulang sekolah sambil berjalan kaki. Ini sesuai permintaan Selena yang katanya rindu berjalan-jalan di tengah hutan sambil menuju rumahnya sendiri. John sudah menyampaikan pesan lewat Arion yang datang ke sekolah untuk menyuruh semua anaknya pulang ke rumah tepat waktu. Tidak ada yang boleh mampir ke suatu tempat apalagi pacaran kata Arion tadi. Dan tentu saja mendapat dengusan sebal dari Selena dan Bianca.“Memangnya ayah kenapa menyuruh kita langsung pulang?” tanya Selena pada Rain. Mereka berjalan sambil berpegangan tangan satu sama lain.Rain mengedikkan bahu. “Aku tidak tahu. Mungkin ayah kalian ingin mengumumkan sesuatu mungkin.”“Apa ayah akan menikah lagi?” tanya Selena dengan tatapan tak percaya.“Masa? Bukankah ayah kalian tidak dekat dengan siapapun juga,” heran Rain yang kurang percaya dengan kesimpulan tak masuk akal dari Selena.“Selama ini ayah paling pint
Keesokan harinya John dan Arion akhirnya memutuskan untuk menemui Stefan di kediamannya. Sebuah rumah kecil dengan dinding kayu di tengah hutan. Pagar kayu setinggi pinggang orang dewasa dan ada pohon di depannya. Bisa ditebak bahwa pohon tersebut adalah pohon cokelat yang tumbuh dengan suburnya. Stefan sengaja membangun rumah di samping pepohonan cokelat agar bisa bertahan hidup.Melihat kehadiran Arion dan John yang datang bersama-sama awalnya membuat Stefan sedikit kaget, namun pada akhirnya ia tersenyum dan mempersilakan dua anak adopsinya masuk ke dalam.Arion memerhatikan sekitar rumah yang begitu hangat meski tak terlalu besar. Beda dengan rumahnya yang mewah dan besar namun terasa dingin.Stefan memberikan dua gelas cokelat hitam panas pada dua lelaki yang dia sayangi. Lelaki tua itu tersenyum bijaksana dan terlihat jelas bagaimana ia senang melihat kehadiran kakak beradik itu. Melihat keakuran yang akhirnya terjalin di antara keduanya. Stefan benar-bena