“Rain! Kau terlambat lagi?” bentak wali kelas dengan tangan di pinggang. Tangannya masih memegang buku dan spidol hitam.
“Maaf,” ucap Rain singkat dan langsung masuk ke dalam sebelum dipersilakan.
Pak Guru seolah sudah mengerti dan maklum dengan tabiat lelaki yang terlihat tidak beres itu. Beliau hanya bisa geleng-geleng kepala, kemudian melanjutkan penjelasan. Sementara itu mata Selena tidak bisa beralih dari sosok Rain yang langsung berjalan menuju ke arahnya. Selena sedikit bingung kenapa lelaki itu ingin menghampiri dia.
Mau apa dia? Batin Selena kebingungan di dalam hati.
Sekarang Rain sudah berdiri tepat di samping meja Selena. Mata mereka langsung bertemu. Selena nyaris terpana beberapa detik saat melihat bola mata berwarna biru. Sama seperti warna mata miliknya. Selena terpaku dan terpesona dalam waktu yang bersamaan.
Rain menaikkan satu alisnya tak suka, “Kenapa kau duduk di kursiku?!” tanyanya dingin dan begitu angkuh. Gadis yang belum pernah dia lihat itu mengambil tempat duduknya. Dan dia tidak menyukai jika apa yang sudah menjadi miliknya di ambil oleh orang lain.
Selena langsung menggerakkan badannya yang tadi sempat membeku. Terkejut karena nada suara Rain yang membentaknya meski pelan.
“Rain! Apa yang kau lakukan?! Jangan ganggu siswi baru!” bentak pak guru itu setelah melihat apa yang sudah Rain perbuat pada siswi baru di kelasnya.
Rain memutar bola matanya dan melengos, ia menjawab ketus, “Pak guru, ini tempat duduk saya!”
”Kau bisa mencari kursi kosong yang lain! Berbaik hatilah pada teman sekelas yang baru!”
“Tapi pak …”
Belum sempat Rain menyuarakan keberatannya, ucapannya langsung dihentikan oleh guru tersebut.
“Jangan menganggu pelajaran atau kau akan Bapak hukum! Cepat duduk di kursi kosong itu!” katanya mengeraskan suaranya sambil menunjuk pada bangku kosong yang ada di barisan belakang dekat jendela.
Tidak punya pilihan, Rain pun mengalah dengan perasaan kesal yang kentara. Sebelum dia pergi, dia menatap tajam ke arah Selena. Seolah-olah Selena lah yang memicu masalah baginya.
Selena yang tanpa sadar menahan napas akibat tatapan tajam pemuda tampan itu akhirnya mengembuskan napas secara perlahan. Merasa lega karena tidak ditatap dengan sepasang mata yang dingin. Baru kali ini dia mengalami kejadian seperti sekarang, dimana seorang laki-laki tak terpesona akan kecantikan yang dia miliki, dan justru sebaliknya malah berbuat kasar padanya.
Matt yang duduk di belakang Selena terus memperhatikan gadis itu. Dia sedikit khawatir karena selama ini tak ada yang pernah membentak Selena hingga membuatnya membeku tanpa sepatah katapun untuk membalas balik.
Kontak batin yang dilakukan oleh Matt, membuat Selena menoleh ke belakang. Dia tersenyum tipis dan mengangguk, memberikan kode bahwa dirinya baik-baik saja. Kemudian Selena berusaha fokus dengan penjelasan di depan. Meski hatinya terus menggerutu marah karena tidak terima akan perlakuan Rain.
“Aku membencinya,” gumam Selena sambil menggenggam pensil yang dipegangnya hingga patah menjadi dua.
*
Jam sekolah berakhir sudah. Selena dan Matt keluar kelas bersama atau lebih tepatnya Matt mengekori langkah Selena dari belakang. Diabaikan oleh saudarinya seperti itu bukan hal baru baginya. Matt tidak peduli. Baginya asal bisa mengawasi Selena dari dekat, itu sudah cukup.
Di dekat pintu gerbang sudah ada Henry dan Bianca. Dari kejauhan Selena bisa melihat kalau Henry sedang kesal. Bahasa tubuh Henry seolah sedang memarahi Bianca yang memberikan respon santai dan sesekali tersenyum tanpa dosa.
“Ada apa dengan mereka?” gumam Matt mempercepat langkahnya dan mendahului Selena. Dia harus tahu apa masalah yang terjadi antara Bianca dan Henry karena selama di sekolah, ia yang bertanggung jawab atas tiga adiknya.
“Henry, ada apa?” tanya Matt memegang pundak Henry.
Wajah Henry tampak merah, rahangnya mengeras dan giginya gemerutuk. “Dia sudah gila, Matt!” tunjuk Henry tepat di depan wajah Bianca.
“Sst … pelankan suaramu, Henry,” ucap Matt mengingatkan sembari menurunkan tangan adik laki-lakinya.
Henry memalingkan wajah. Dia tidak sudi menatap Bianca yang seolah tidak peduli sama sekali akan kesalahan yang gadis itu sudah perbuat.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Matt penuh kesabaran. Sebagai saudara yang tertua diantara mereka, Matt adalah orang yang paling dewasa dan memiliki tanggung jawab untuk menjaga ketiga saudaranya.
“Tanya sendiri padanya!” ketus Henry.
Matt menoleh pada Bianca yang masih tersenyum innocent. Matt mulai mencurigai ekspresi tersebut. Dia mendekati Bianca dan bertanya dengan suara berbisik. Bianca pun akhirnya menjelaskan sembari berbisik juga di telinga Matt.
Detik berikutnya, Selena bisa melihat dengan jelas bagaimana wajah merah Matt. Raut mukanya mirip seperti Henry sebelumnya. Dia memijat pelipis mata dan tampak menahan amarah.
“Maafkan aku,” ucap Bianca. Melihat Matt yang seperti itu membuatnya takut daripada Henry yang marah. “Aku hanya‒”
“Jangan membuat alasan, Bia!” marah Matt dengan nada pelan, namun penuh penekanan. “Ini adalah pelanggaran kesekian kalinya yang kau lakukan! Aku sudah memperingatkan dirimu untuk menahan diri, tapi kau tidak pernah mendengarkan saranku!” ucap Matt frustasi dihadapkan dengan sikap Bianca yang belum juga berubah. Membuat masalah dimana pun mereka berada.
Bukan satu atau dua kali jika Bianca melakukan tindakan yang menyebabkan sakit kepalanya bertambah parah. Jika Selena indentik dengan sikapnya yang acuh tak acuh dan terkesan dingin, tapi sejauh ini Selena belum pernah membuat dia tidak bahagia. Sedangkan Bianca berkebalikan dengan Selena, Bianca itu memang terkenal dengan sifat bebal, egois, keras kepala dan tentunya pembuat masalah. Sudah tak terhitung banyaknya masalah yang gadis itu perbuat selama ini.
Selena mengerti kalau sekarang Bianca tengah membuat ulah di hari pertama mereka bersekolah. Ia memilih bungkam dan tak peduli sama sekali. Bianca dengan kenakalannya bukanlah menjadi urusannya. Lagipula tak peduli seberapa keras Matt dan Henry menasehati gadis itu, Bianca hanya akan menganggap segala nasehat itu sebagai lelucon yang tak perlu dianggap serius.
Beberapa saat dalam keheningan, Matt yang sudah mulai tenang bertanya gusar pada Bianca, “Lalu bagaimana dengan siswa itu?”
“Ditinggalkannya begitu saja di dalam toilet.” Jawab Henry dengan ekspresi jijik.
“Fuck!” maki Matt sambil melotot ke arah Bianca yang kini memasang wajah cemberut. Dia mengembungkan pipinya dan memasang wajah polos seperti bayi yang tak berdosa. Terus terang saja, Selena jijik melihat ekspresi itu.
Matt langsung mengajak Henry untuk memeriksa toilet perempuan. Dia tidak ingin kalau ada masalah di hari pertama mereka datang ke sekolah. Jangan sampai ayah mereka tahu, kalau tidak akan ada hukuman yang menanti mereka di rumah. Dan dia menghindari itu. Sebisa mungkin, menerima hukuman sang ayah di kota baru ini, dia berusaha untuk menghindarinya.
Sementara dua lelaki itu pergi untuk membereskan kekacauan yang dilakukan oleh Bianca, Selena memilih diam tak ingin berbincang dengan topik apapun bersama Bianca. Namun rupanya, seolah gadis itu tak tahan dengan hanya berdiam diri saja, ia pun mulai mengganggu Selena; saudarinya yang lebih tua untuk diajaknya bicara. Meskipun tahu jika Selena benci berbasa-basi, tidak membuat Bianca mengurungkan niat untuk menganggu gadis berwajah batu tersebut.
“Hey, Elle.” panggil Bianca seraya terkikik sambil menatap kukunya yang dipolesi nail-art yang membuat jari-jarinya berkilau indah.
Jangankan menjawab, menoleh saja Selena enggan.
Tidak sakit hati diperlakukan dingin oleh Selena, Bianca kembali bertanya sambil tersenyum lebar, “Bagaimana hari pertamamu? Apakah menyenangkan?”
Selena mengerutkan alisnya, sadar betul kalau Bianca bertanya bukan karena gadis itu perhatian padanya, melainkan sebaliknya, pastilah Bianca sedang mencari kesempatan untuk mengejek dia seperti biasa. Akan tetapi meskipun sudah tahu perangai Bianca yang satu itu, Selena tetap menjawab datar, “Begitulah.”
“Kutebak, pasti membosankan seperti biasanya. Iya kan?” tanyanya lagi dengan nada menyindir.
Selena menyeringai, tidak keberatan akan ejekan Bianca yang memang tepat sekali, “Setidaknya di hari pertama aku sekolah, aku tidak membuat masalah seperti yang kau lakukan.” jawabnya kembali mengejek.
Bianca mengekeh pelan. Dia sama sekali tidak menyesali perbuatannya yang sudah membuat salah satu siswa terkapar pingsan di dalam toilet setelah semua zat feromonnya dihisap habis olehnya.
Selena melengos, tidak mau berbicara lagi dengan Bianca. Sambil menunggu kedatangan Henry dan Matt, ia melihat ke sekelilingnya. Tiba-tiba saja, tatapannya terpaku pada sosok yang tampak familiar baginya.
Rain! Seorang pemuda yang berhasil membuatnya terpaku di tempat dan di saat bersamaan membuat dia kesal setengah mati setelah dia mengingat kejadian di dalam kelas tadi pagi.
Selena tidak mengalihkan tatapannya dan terus melihat sosok Rain yang saat itu memakai mantel tebal berbahan wol berwarna abu-abu. Pemuda tampan itu melangkah dengan terburu-buru dan sesekali menatap langit yang mulai gelap. Seolah-olah bertanya-tanya apakah hujan akan turun atau tidak sebelum dia tiba di rumah.
“Elle, apa yang kau lihat? Kenapa serius sekali?” Bianca yang penasaran akan sikap Selena dengan tubuh membeku ikut melihat ke arah Selena memandang.
Merasa tidak ada jawaban dari Selena, Bianca langsung melihat ke arah tatapan saudarinya. Tidak jauh dari tempat mereka berdua berdiri, tampak seorang pria berambut hitam legam, tubuh jangkung, wajah rupawan, dan berkulit putih sedang berjalan dengan langkah tergesa-gesa. Terlintas dalam pikirannya kalau laki-laki itu mirip Selena, dingin dan angkuh.
Pantas saja dia membeku seperti itu. Rupanya ada orang sejenisnya! Cibir Bianca di dalam hati mengomentari Selena dan laki-laki asing yang baru saja dia lihat.
“Apa kau melihat dia?” tunjuk Bianca pada Rain. “Siapa laki-laki itu? Pacarmu?”
Selena langsung berdecak sebal. “Tidak bisakah kau bersikap lebih sopan untuk tidak menunjuk orang lain seperti itu?”
“Aku hanya memastikan,” sungut Bianca menurunkan tangannya. “Aku pikir kau gadis tak punya ketertarikan pada lawan jenis. Tak tahunya, kau juga bisa terpesona dengan manusia. Apa aku perlu memberimu selamat karena berubah menjadi dewasa?” tambah Bianca asal-asalan. Dilihat dari romannya, tidak menunjukkan ketulusan sama sekali.
“Hidup dua ratus tahun ternyata tidak cukup membuatmu menjadi lebih pintar rupanya,” sindir Selena sekali lagi dengan nada sarkas.
Bianca memilih diam daripada harus berdebat dengan Selena. Dia takkan mungkin berani dengan kakak perempuannya itu. Baginya Selena lebih menakutkan daripada ayahnya sendiri. Walaupun dia kerap kali memiliki kesempatan untuk mengejek saudari perempuannya itu, jika dihadapkan dengan kemarahan Selena dia tidak cukup berani untuk melangkah lebih jauh memprovokasi emosinya.
Beruntungnya bersamaan dengan itu, Henry dan Matt muncul. Dua lelaki itu sudah terlihat lebih santai dan tak panik seperti sebelumnya.
“Bagaimana?” tanya Bianca harap-harap cemas. Takut sekali jika masalah kali ini membuat Matt kembali marah dan mengadu pada ayah mereka.
Matt masih menyimpan perasaan jengkelnya terhadap Bianca. Ia hanya mengangguk memberikan tanda semua masalah sudah bersih. Bianca langsung tersenyum lega pada Matt dan Henry.
“Henry … Maafkan aku,” rengek Bianca pada adiknya dengan suara sengaja dimanjakan. Tak jelas apakah itu benar-benar penyesalan atau bukan. Karena ketiganya tahu jika Bianca tidak akan berhenti membuat masalah semudah itu.
Henry mendengus sebagai tanggapan. Tidak berminat membalas permintaan maaf dari Bianca.
Sekali lagi, Selena bergidik geli melihat tingkah Bianca. Henry terus mengabaikan Bianca hingga mobil jemputan datang.
Matt terlebih dulu masuk ke dalam mobil, mengambil duduk di kursi depan dekat kemudi. Lalu disusul oleh Henry, Bianca dan Selena.
Selena dalam perjalanan pulang menuju ke rumah, tidak terdengar percakapan dari ketiganya. Selain Matt yang sesekali berbincang dengan sang sopir, sisanya yang lain memilih diam dan sibuk dengan ponsel masing-masing.
Beberapa menit kemudian ketika mobil itu sampai ke rumah, Selena terlebih dulu turun. Gadis itu masuk ke dalam, dan menemukan keberadaan ayahnya sedang duduk di sofa.
“Selena, kau sudah pulang?”
Tanpa menjawab sapaan sang ayah, Selena langsung pergi ke kamarnya dengan raut wajah dingin tanpa ekspresi. Seakan sapaan dari ayahnya barusan bukanlah hal penting yang perlu dia respon.
-Bersambung-
“Kenapa harus kau yang menyita perhatianku? Apa kelebihanmu?” *** Mobil akhirnya sudah tiba di rumah. Selama perjalanan hanya terdengar suara Bianca yang berisik, bercerita pada John bagaimana menyenangkan hari pertama di sekolah. Tentu saja dia melewatkan bagian terburuk karena membuat masalah dengan salah satu siswa dari tim basket itu. Selena masuk ke dalam rumah dan langsung berjalan ke satu tujuan yaitu kamarnya. Mengabaikan rencana-rencana keluarganya yang ingin berburu hewan malam ini. “Elle, kau mau ikut dengan kami malam ini?” tawar Matt sembari tersenyum sebelum Selena masuk ke dalam kamarnya. “Tidak.” Selena menjawab singkat tanpa menoleh dan sambil memegang kenop pintu kamarnya. “Kenapa? Kita penduduk baru di sini. Mungkin kau harus melihat-lihat kota Breavork yang indah ini,” bujuk Matt tanpa menyerah. Selena berdecih. “Mau kita berada di mana pun, aku sama sekali tidak tertarik untuk berburu. Lagipula … b
“Setenang dan selembut apapun dirimu, pasti akan ada seseorang yang hatinya bising karenamu.” *** Kediaman keluarga Walter. Selena baru saja melewati pintu masuk kembar rumahnya. Sepintas dia melihat Bianca yang duduk sendiri sambil memainkan smartphone miliknya. Jangan heran ketika vampire jaman sekarang sudah mengerti teknologi canggih. Mereka harus membiasakan diri dan beradaptasi dengan perilaku umum manusia. “Baru pulang? Darimana saja?” tanya Bianca yang langsung berdiri menghampiri Selena. Sementara Selena terus berjalan tidak berniat menghentikan langkah. “Bukan urusanmu,” jawab Selena dengan suara datar. “Habis berburu, ya? Kenapa tidak mengajak kami semua?” Selena enggan menjawab. “Elle,” panggil Bianca lagi yang tidak menyerah untuk mengekori langkah Selena. Selena masih tidak menjawab. Sampai saat dia dan Bianca berada di tangga, lalu berpapasan dengan Matteo. Sekilas Matt b
“Yang kudamba hanya kamu. Yang kutakutkan hanya satu. Kau menghilang dari pandanganku.”***Walter’s house.Selena berdiri di depan pintu rumah dengan tangan bersedekap. Wajahnya yang dingin ditambah dengan ekspresi tidak suka ketika melihat Matt dan Henry yang keluar dari mobil sambil tertawa. Sementara tak jauh dari dua saudaranya, ada Bianca yang pulang diantar oleh seorang lelaki dengan motor bisingnya.Sekelebat dia memiliki rasa iri pada tiga saudaranya yang tidak pernah merasa sedih, sakit hati atau benci dengan keadaan mereka yang menjadi abadi ini.“Hai, Elle … ada apa?” tanya Henry dengan senyum ramahnya.“Darimana saja?” Selena balik bertanya.“Whoa … tumben sekali seorang Selena ingin tahu kita habis darimana,” sindir Bianca yang melenggang langsung masuk ke dalam rumah. Melewati Selena dengan gaya angkuhnya. Selena benci itu.&ldq
“Setiap tindakan selalu ada konsekuensinya. Berhati-hatilah dalam mengambil keputusan.”****Malam itu, setelah Selena bertanya tentang detak jantung seorang vampire, John tidak dapat tenang semalaman. Dia belum bisa menjawab dengan benar dan memuaskan untuk Selena. Dia sendiri tidak menyangka kalau Selena bertanya hal yang belum pernah dia dengar selama beratus-ratus tahun ini. Bahkan Matt yang usianya jauh lebih tua daripada Selena, atau pun Bianca dan Henry yang lebih sering berinteraksi dengan manusia, tidak pernah sekalipun menanyakan itu.“Ada apa yang terjadi dengan Selena? Apakah dia merasakan hal itu? Kalau memang benar, dengan siapa?” gumam John sambil menatap perapian yang menyala.Di luar semakin dingin karena hujan mulai turun. Selena terus menatap hujan yang jatuh dari langit sambil bersedekap. Kaca jendela menjadi basah karena bias hujan. Dia sendiri juga berusaha mencari jawaban atas pertanyaannya.S
“Kelebihan yang kau miliki adalah yang diingankan orang lain.”***Valley High School.Selena bergegas mengayunkan langkahnya menuju kelas. Dia tidak sabar ingin bertemu dengan Rain, lelaki yang mengusik pikirannya selama beberapa jam terakhir. Konyol rasanya dia bisa menjadi seperti ini. Bahkan kalau diingat-ingat terasa sangat aneh ketika Selena tidak dapat menghentikan langkahnya ketika berpapasan dengan Rain di jalan tempo hari.Di kelas hanya ada beberapa orang saja. Tidak ada Rain di sana.“Selamat pagi!” sapa seorang gadis ceria pada Selena. Tentunya dia adalah manusia.Selena menoleh sebentar kemudian menjawab, “Pagi.” Sambil meletakkan tas miliknya di atas meja.Gadis manusia bernama Syilea itu terus mengikuti Selena hingga duduk di kursi sampingnya. “Kita belum berkenalan secara resmi.”Aku sudah tahu namamu, batin Selena.“Hai, na
“Rasa penasaran bukan hanya bisa dirasakan oleh manusia, melainkan bangsa vampir pun juga.”***Selena berusaha untuk terus menyamakan langkah kakinya dengan Syilea. Dia berpikir apakah manusia selalu berjalan dengan begitu pelannya. Bagi Selena langkah kecil dan pelan seperti ini memakan waktu banyak.“Apa rumahnya masih jauh?” tanya Selena pada Syilea.Gadis yang memakai ransel berwarna putih gading itu menoleh pada Selena sambil memakan crepes rasa coklat keju di tangannya. “Lima menit lagi kita sampai,” jawabnya sambil mengulurkan cemilan di tangannya. “Kamu mau, Elle?”“Tidak. Terima kasih.” Selena menolak dengan suara pelannya. Mana mungkin dia memakan makanan manusia.“Oh iya … apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Syilea.“Ya?”“Kenapa kamu ingin tahu rumah Rain?”Selena tidak perlu
"Sekali lagi mengutuk diri sendiri. Aku benci pada diriku."***Selena melangkah mundur. Ekspresinya begitu kaget dan tampak jelas dia sedang menahan diri sekuat mungkin. Sementara Syilea terus merintih kesakitan dan mencoba bangun, namun Selena tidak bergeming sedikit pun."Elle … bisa bantu aku?" pinta Syilea sambil meringis.Selena tidak menjawab, sekali lagi dia melangkahkan mundur kakinya."Elle! Kau mau kemana?!" teriak Syilea yang masih duduk di posisi jatuhnya.Selena menggelengkan kepala dengan kuat. Bisikan yang entah darimana datangnya terus menggema di dalam kepalanya. Suara-suara aneh yang menakutkan, memerintahkan Selena untuk mencicipi darah segar di depan mata.Tanpa suara dan pamit, Selena membalikkan badan lalu berlari sekuat mungkin menjauh dari Syilea. Sementara suara Syilea mulai terdengar sayup terdengar memanggil namanya."Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Kontrol dirimu, Elle!!" seru Selena
“Pepatah mengatakan untuk jangan rubah dirimu. Namun, bagaimana jadinya apabila bukan aku yang merubah diriku. Melainkan orang lain yang sudah mencampuri hidupku. Apa aku harus tetap membencinya?”***BRUGH!!Bianca terhempas dan terpental jauh ketika Henry mencoba untuk menahannya. Saudarinya benar-benar sudah di luar kendali. Henry sampai kewalahan menjaga Bianca agar tidak masuk ke dalam kamar Selena.Mendengar suara gaduh dari luar, John memerintahkan Matt untuk memeriksa keadaan Bianca dan Henry. Sementara Selena sudah diberi minum darah manusia untuk pertama kalinya.Matt keluar dan melihat beberapa perabotan yang hancur karena perkelahian dua vampir. Bahkan lampu gantung yang berada di tengah ruangan saja jatuh ke bawah dan beberapa vas bunga pajangan yang besar harus pecah berkeping-keping.“ASTAGA! APA YANG KALIAN LAKUKAN?!” murka Matt dengan wajah merahnya.Henry menoleh dan menyengir sebenta
Setelah musim panas berakhir, maka masuklah musim paling syahdu yaitu musim gugur. Sisa hawa panas memang masih ada, namun angin pun sudah mulai berembus. Selena memakai kaos tipis yang dilapisi dengan mantel panjang berwarna merah favoritnya, Ia tampak begitu sangat cantik malam ini. Terlebih jeans panjang dengan sepatu ankle boot hitam membuatnya menjadi tampak sempurna.Sama seperti Selena, Bianca dan Erika pun juga memakai outfit yang sama meski beda warna dan hiasan baju lainnya. Mereka semua sudah siap untuk pergi ke festival musim gugur bersama dengan pasangan masing-masing.“Aku tidak memiliki pasangan. Lalu, nanti sama siapa setelah di sana?” tanya Erika kebingungan.“Jangan cemas. Kamu bisa bersamaku, Bianca atau Syilea.” Selena mencoba menenangkan Erika.“Aku tidak ingin mengganggu kesenangan kalian,” tolak Erika dengan segan.“Ah, begini saja … bagaimana kalau kita tidak usah berpencar? K
Syilea sangat terkejut dengan serangan ciuman dari Henry. Pupil matanya membulat sempurna tatkala sebuah memori ingatan melemparkannya ke suatu tempat yang aneh. Di mana ia melihat dirinya dan Henry yang sedang berciuman di ruang tamu rumahnya, pernyataan cinta dari Henry, hadiah bunga dan jalan-jalan malam di festival hingga akhirnya ia melihat seorang vampir yang berdiri di hadapannya dengan seringai menyeramkan beserta taring tajam.Jantung Syilea berdentam dengan sangat cepat ketika dia potongan memori ingatannya kembali seperti puzzle yang mulai tersusun hingga membentuk gambar sempurna.Satu detik … Dua detik … Tiga detik … Empat detik … Lima detik.Seketika pandangan Syilea menjadi samar bersamaan dengan Henry yang menarik mundur wajahnya. Dengan tatapan sayu, Syilea menatap Henry yang dikenalnya sebagai kekasihnya, bukan orang asing lagi.“Henry,” bisik Syilea dengan lirih.“Apa kamu sudah ingat
Keesokan harinya, Selena sudah bersiap menuju sekolah dijemput Rain seperti biasa. Seperti yang dikatakan Arion tadi malam, mulai hari ini dia tidak akan muncul lagi di hadapannya. Perpisahan tadi malam sudah cukup menguras emosinya hingga membuat Selena merasakan seperti ada duri tertancap di hatinya.“Kenapa aku merasa tidak rela untuk kehilangannya?” gumam Selena sambil berjalan menuju anak tangga.“Elle … berangkat dengan Rain?” tanya Bianca yang tiba-tiba saja berjalan di sisinya.“Ya.” Selena menjawab singkat.“Ada apa denganmu? Wajahmu terlihat linglung,” heran adiknya.“Bia … apa kamu tahu kalau Arion pergi?” tanya Selena akhirnya pada Bianca.“Iya, tau. Ayah sudah menceritakan pada kami semua tadi malam saat kamu dan dia pergi jalan-jalan,” jawab Bianca.“Kenapa kamu tidak sedih?”“Buat apa? Dia kan hanya pergi untuk
Masih di bar khusus para vampir. Selena tidak meminum apapun, ia hanya melihat Arion yang sudah menghabiskan empat gelas kecil berisi darah manusia.“Sepertinya kamu sudah terlalu lama menahan ini semua,” sindir Selena pada Arion yang meletakkan gelas terakhir di atas meja.“Maafkan aku. Tidak mudah untuk membuang kebiasaan,” jawab Arion yang memberi kode pada bartender untuk mengisi gelasnya lagi.“Setidaknya sekarang kamu sudah bersahabat dengan kata maaf,” jawab Selena tersenyum. “Setelah ini, kamu ingin membawaku kemana lagi?”“Pantai,” jawab Arion.Selena mengernyit dan bingung. “Pantai?” ulangnya.“Bukankan kamu sangat suka melihat laut?” tanya Arion.Selena mengangguk. Ia tak membantah tebakan Arion. “Ya. Aku suka.”“Laut akan terlihat indah bila dilihat saat malam hari,” lanjut Arion lalu kembali minum.&ld
Para gadis sudah tiba di rumah saat pukul delapan malam. Saat itulah mereka melihat para lelaki berkumpul di ruang keluarga. Ada John, Arion, Stefan, Henry dan Matt. Mereka tengah berbincang santai dan sesekali terdengar tawa karena joke yang dilontarkan oleh Arion.Selena tersenyum ketika melihat bagaimana Arion yang berdiri di depan mereka semua sambil membawakan sebuah lelucon seolah sedang melakukan stand up, lalu terdengar suara tawa Henry yang paling keras.“Hai, girls … sudah selesai bersenang-senangnya?” tanya Matt ketika sadar dengan kehadiran Bianca, Selena dan Erika.Bianca menghampiri Matt dan langsung duduk di pangkuan lelaki itu tanpa malu dilihat oleh John dan Stefan. Lagipula mereka adalah keluarga, bersikap romantis di depan keluarga bukan hal yang aneh, kan?“Ya … itu tadi adalah shopping paling menyenangkan,” ungkap Bianca dengan penuh semangat yang menggebu-gebu. Ia lalu melemparkan pandangan pada
Sambungan via telepon handphone antara Henry dan Syilea ….“Kenapa kamu baru tiba di rumah?” tanya Henry setelah teleponnya baru diangkat oleh gadis tersebut dan Syilea mengatakan bahwa dia baru saja sampai rumah.“Aku harus pergi ke rumah sakit untuk bertemu dengan ibu sebentar,” jawab Syilea jujur.Henry mengangguk paham. “Seharusnya kamu tidak perlu menolak tawaranku ketika ingin mengantarkanmu pulang,” sesalnya lagi.“Tidak apa-apa. Aku tidak ingin merepotkanmu. Kita hanya teman dan seharusnya aku harus tahu batasan,” jelas Syilea dengan bijaksana.“Kalau begitu … bagaimana jika seandainya kita bukan hanya sekedar teman?” pancing Henry.“Ma-maksudmu?” gagap Syilea mendengar hal yang bisa langsung dia asumsikan tentang hal lebih dari teman.“Ya, maksudku … seperti hubungan yang lebih dekat,” jawab Henry pelan. Dia sendiri merasa
Selena membawa Erika ke kamar yang akan ditinggali oleh gadis penyihir itu. Sengaja ia memilihkan kamar dengan kasur baru dengan alasan khusus untuk manusia.“Karena kamu membutuhkan tidur yang nyenyak daripada kami,” kata Selena saat mendapati Erika yang begitu sungkan.“Terima kasih,” ucap Erika dengan tulus.“Tapi … apa kamu tidak takut tinggal serumah dengan banyak vampir?” tanya Selena ragu.Erika hanya tersenyum penuh arti. “Bahkan sebelumnya aku pernah serumah dengan vampir yang sangat bengis dan haus darah manusia.”Selena mengerti siapa yang dimaksud oleh Erika. Tentu saja dia adalah Arion. Mereka memang pernah serumah dan bahkan bercinta karena memiliki hubungan khusus.Erika mulai mengeluarkan beberapa pakaiannya yang usang dan lusuh lalu membuka lemari. Selena mengernyit melihat pakaian penyihir itu. Baru dia sadari ada sesuatu yang memprihatinkan sekarang.“Erik
Rain dan Selena hari ini pulang sekolah sambil berjalan kaki. Ini sesuai permintaan Selena yang katanya rindu berjalan-jalan di tengah hutan sambil menuju rumahnya sendiri. John sudah menyampaikan pesan lewat Arion yang datang ke sekolah untuk menyuruh semua anaknya pulang ke rumah tepat waktu. Tidak ada yang boleh mampir ke suatu tempat apalagi pacaran kata Arion tadi. Dan tentu saja mendapat dengusan sebal dari Selena dan Bianca.“Memangnya ayah kenapa menyuruh kita langsung pulang?” tanya Selena pada Rain. Mereka berjalan sambil berpegangan tangan satu sama lain.Rain mengedikkan bahu. “Aku tidak tahu. Mungkin ayah kalian ingin mengumumkan sesuatu mungkin.”“Apa ayah akan menikah lagi?” tanya Selena dengan tatapan tak percaya.“Masa? Bukankah ayah kalian tidak dekat dengan siapapun juga,” heran Rain yang kurang percaya dengan kesimpulan tak masuk akal dari Selena.“Selama ini ayah paling pint
Keesokan harinya John dan Arion akhirnya memutuskan untuk menemui Stefan di kediamannya. Sebuah rumah kecil dengan dinding kayu di tengah hutan. Pagar kayu setinggi pinggang orang dewasa dan ada pohon di depannya. Bisa ditebak bahwa pohon tersebut adalah pohon cokelat yang tumbuh dengan suburnya. Stefan sengaja membangun rumah di samping pepohonan cokelat agar bisa bertahan hidup.Melihat kehadiran Arion dan John yang datang bersama-sama awalnya membuat Stefan sedikit kaget, namun pada akhirnya ia tersenyum dan mempersilakan dua anak adopsinya masuk ke dalam.Arion memerhatikan sekitar rumah yang begitu hangat meski tak terlalu besar. Beda dengan rumahnya yang mewah dan besar namun terasa dingin.Stefan memberikan dua gelas cokelat hitam panas pada dua lelaki yang dia sayangi. Lelaki tua itu tersenyum bijaksana dan terlihat jelas bagaimana ia senang melihat kehadiran kakak beradik itu. Melihat keakuran yang akhirnya terjalin di antara keduanya. Stefan benar-bena