"Sekali lagi mengutuk diri sendiri. Aku benci pada diriku."
***
Selena melangkah mundur. Ekspresinya begitu kaget dan tampak jelas dia sedang menahan diri sekuat mungkin. Sementara Syilea terus merintih kesakitan dan mencoba bangun, namun Selena tidak bergeming sedikit pun.
"Elle … bisa bantu aku?" pinta Syilea sambil meringis.
Selena tidak menjawab, sekali lagi dia melangkahkan mundur kakinya.
"Elle! Kau mau kemana?!" teriak Syilea yang masih duduk di posisi jatuhnya.
Selena menggelengkan kepala dengan kuat. Bisikan yang entah darimana datangnya terus menggema di dalam kepalanya. Suara-suara aneh yang menakutkan, memerintahkan Selena untuk mencicipi darah segar di depan mata.
Tanpa suara dan pamit, Selena membalikkan badan lalu berlari sekuat mungkin menjauh dari Syilea. Sementara suara Syilea mulai terdengar sayup terdengar memanggil namanya.
"Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Kontrol dirimu, Elle!!" seru Selena sambil berlari cepat pada dirinya semdiri.
Dia mencoba menyadarkan dirinya. Mata yang mulai berubah warna merah menyala terus dia kedipkan beberapa kali agar irisnya bisa kembali hitam. Taring yang mencuat masih belum kembali normal. Selena semakin mengubah dirinya sendiri menjadi vampir sejati.
***
Sementara itu Syilea menangis ketakutan. Sekuat tenaga dia berdiri dan berjalan meski tertatih-tatih. Dia tidak menyangka kalau Selena berbuat sejahat itu padanya.
"Kenapa dia kejam sekali meninggalkanku sendiri?" lirih Syilea yang berjalan terpincang-pincang. Tangan kirinya terus memegang pahanya dan ingin secepat mungkin keluar dari rumah menyeramkan ini.
Namun, tiba-tiba sebuah tangan memegang pundaknya dan sontak saja Syilea berteriak nyaring dan melengking.
"AAAAAAAKHH!!!"
Syilea menutup matanya sambil berteriak, sementara orang yang sudah mengejutkannya langsung menutup kedua telinganya.
"Suaramu membuat telingaku sakit!" bentak orang itu.
Syilea mendengar suara lelaki yang tampak tidak begitu asing di telinganya. Perlahan dibukanya mata lalu mengerjap tidak yakin.
"Rain?!" pekiknya.
"Apa yang kau lakukan di rumahku?" tanya Rain dengan wajah dingin.
Ah, sial! … Syilea memaki dirinya sendiri.
"Anu– aku … aku …." Bingung ingin menjawab apa. Sedangkan Rain masih berniat menunggu jawaban itu.
"Kamu ingin menguntitku?" tanya dia lagi dan masih dengan nada yang sama.
"T–tidak!!" Syilea mengibaskan tangan dengan cepat karena tidak ingin Rain salah paham.
"Lalu?" desaknya.
"A–aku kesini karena … hanya ingin membawa Selena."
Rain mengernyit. Dia tidak mengenal nama itu sebelumnya. Atau mungkin saja dia melupakan nama yang begitu umum itu.
"Selena, siswi baru di kelas kita!" lanjut Syilea menjelaskan.
"Aku tidak tahu. Tapi, di mana dia sekarang? Apa dia di dalam rumahku dan menyelinap?"
"Dia sudah pergi."
"Pergi?" ulang Rain.
Raut sedih di wajah Syilea langsung tergambar jelas. "Aku jatuh terperosok di teras rumahmu dan terluka," lirihnya sambil melihat luka di kakinya sendiri.
Rain ikut melihat luka tersebut lalu menoleh ke belakang memastikan bagian mana Syilea terperosok. "Maaf tentang terasnya. Itu memang sudah sangat lapuk," ucapnya tulus.
Syilea tidak percaya kalau sekarang dia bicara pada Rain dan bahkan mendengar permintaan maaf dari lelaki yang ditakuti di Valley High School.
"Tidak masalah … mungkin Selena pergi karena takut," jawab Syilea.
"Apa yang dia takutkan?"
"Rumahmu," jawab Syilea tanpa pikir panjang.
Rain sedikit tersinggung dengan kalimar Syilea. Dia mengakui kalau rumahnya memang sangat angker karena selalu gelap dan tak berpenghuni kecuali dirinya sendiri.
Namun, di satu sisi hatinya merasa kalimat itu menusuk dadanya. Syilea tidaklah tahu bagaimana hangatnya rumah yang sekarang disebut seperti rumah hantu itu. Bagaimana Rain yang selalu tertawa bahagia di sekitar halaman rumah yang mereka pijak ini.
"A–aku minta maaf. Aku tidak bermaksud untuk–."
"Ikut aku. Lukamu harus diobati agar tidak infeksi!" potong Rain dengan tegas. Dia membalikkan badan lebih dulu dan berjalan menuju rumah.
Syilea awalnya sedikit ragu untuk ikut atau pulang ke rumah saja. Namun, kata infeksi yang dikatakan Rain cukup mengganggunya. Dia akhirnya memutuskan untuk percaya pada lelaki yang bahkan sebelumnya tidak pernah bicara sepatah kata pun padanya.
***
Tatap mata Selena semakin nyalang mengkilat dengan iris merah darah. Sebisa mungkin dia memfokuskan untuk kembali ke rumahnya, berharap di sana ada John atau saudara-saudaranya. Dengan kekuatan secepat angin, dia terlihat hanya bayangan sekelebat yang lewat sepintas lalu. Hingga akhirnya mata Selena melihat rumah besar yang dia tinggali.
“Akhirnya!”
BRAK!
Pintu utama rumah itu ditutup Selena dengan sangat keras. Dia menyandar di daun pintu dan membiarkan kegaduhan itu membuat seluruh penghuni rumah keluar. Yang pertama muncul adalah John. Tentu saja ayah angkatnya itu terlihat panik saat melihat perubahan aneh pada anak adopsinya.
“SELENA! KAMU BAIK-BAIK SAJA?!” seru John langsung menangkap tubuh Selena yang ambruk ke tanah.
“T‒tolong aku …,” lirih Selena lalu memejamkan matanya dan membiarkan semua saudaranya melihat taring di antara dua bibirnya.
“Gosh! Ada apa dengannya?” kaget Bianca sambil menutup mulut. Sejauh ini selama mereka bersaudara, Bianca tidak pernah melihat Selena mengeluarkan taring meski malam bulan purnama sekalipun.
“Matt! Bawa Selena ke kamarnya!” perintah John dengan tegas.
Matt langsung sigap dan menggantikan posisi John. Dia menggendong Selena dengan ringannya seperti kapas kering lalu membawanya ke kamar. Di belakang Matt diikuti Henry dan Bianca yang masih menyimpan pertanyaan.
John menuju gudang persediaan makanan. Dia tidak langsung ke kamar Selena. Tangannya sibuk mengobrak abrik sebuah peti kayu yang besar. Dibukanya peti yang tergembok itu dengan kasar. Hanya dengan tangannya saja, gembok kuat tersebut sudah hancur. Tampak di dalam peti banyak persediaan darah yang dikemas dalam kantung. Itu adalah darah manusia yang selama ini disimpan oleh John untuk menjaga-jaga kalau hal seperti ini terjadi. Satu kantung darah diraihnya lalu membawa ke kamar Selena.
Di dalam kamar gadis yang terkapar lemas itu tampak dikelilingi tiga saudaranya. Bianca menggigit ujung kukunya, dia begitu penasaran.
“Apa yang terjadi padanya?” tanya Bianca pada Matt.
“Bukankah kamu tahu kalau kita semua ada di rumah? Aku juga tidak mengerti apa yang terjadi,” jawab Matt dengan nada kesal.
“Kenapa kamu memarahiku, Matt? Aku kan hanya bertanya?!” dengus Bianca.
“Bia … Matt … tenanglah.” Henry meminta dua saudaranya agar diam dan menunggu John datang.
Detik berikutnya muncul John membawa sekantung darah manusia di tangannya. Sebagai vampir yang sudah terlalu sering meminum darah hewan, tentu saja Matt, Bianca dan Henry langsung tahu darah apa yang dibawa John.
“Ayah … itu ….” Matt membulatkan matanya tidak percaya.
“Darah ….” Bianca mematung dengan tatapan fokus ke kantung yang dipegang oleh John.
Menyadari bahwa Bianca tidak mungkin tahan dengan aroma darah manusia, John langsung memerintahkan Henry untuk membawa jauh Bianca.
“Henry, bawa dia keluar!” perintah John dengan tegas.
Henry mengangguk paham. Dengan cepat dia memegang kedua tangan saudarinya dan membawa keluar. Bianca hanya diam seolah terhipnotis dengan darah yang langsung membuat dirinya dahaga.
“AKU MAU DARAH ITU!!” teriak Bianca yang langsung berontak saat berada di luar kamar Selena.
“BIA! KONTROL DIRIMU!!” tegas Henry sambil mengguncang kedua bahu Bianca.
Namun, kekuatan vampir muda itu terlalu kuat. Hasratnya yang ingin merasakan darah manusia begitu besar. Bukan apa-apa ketika vampir merasakan darah manusia, hanya saja ketika lidahnya mencicipi darah nikmat itu, mereka pasti menginginkannya lagi dan lagi.
-Bersambung-
“Pepatah mengatakan untuk jangan rubah dirimu. Namun, bagaimana jadinya apabila bukan aku yang merubah diriku. Melainkan orang lain yang sudah mencampuri hidupku. Apa aku harus tetap membencinya?”***BRUGH!!Bianca terhempas dan terpental jauh ketika Henry mencoba untuk menahannya. Saudarinya benar-benar sudah di luar kendali. Henry sampai kewalahan menjaga Bianca agar tidak masuk ke dalam kamar Selena.Mendengar suara gaduh dari luar, John memerintahkan Matt untuk memeriksa keadaan Bianca dan Henry. Sementara Selena sudah diberi minum darah manusia untuk pertama kalinya.Matt keluar dan melihat beberapa perabotan yang hancur karena perkelahian dua vampir. Bahkan lampu gantung yang berada di tengah ruangan saja jatuh ke bawah dan beberapa vas bunga pajangan yang besar harus pecah berkeping-keping.“ASTAGA! APA YANG KALIAN LAKUKAN?!” murka Matt dengan wajah merahnya.Henry menoleh dan menyengir sebenta
“Ketika menginginkanmu hanya sebuah ambisi. Maka, biarkan aku terus berjuang meski hanya sendiri.”***Ada keanehan dalam raut wajah Selena setelah sadar apa yang terjadi pada rumahnya. Seluruh perabotan hancur dan sebagian sudah dibersihkan oleh Henry. Matt yang berjalan di belakangnya tidak bersuara. Dia hanya diam dan menunggu Selena bertanya. Tetapi kalau Selena tidak mengajukan pertanyaan, maka Matt tidak perlu mengatakan apapun untuk menjelaskan.“Henry,” panggil Selena.Henry melepas headphone yang terpasang menutupi kedua telinganya. Di tangannya memegang karung berisi pecahan vas bunga. Dia menoleh ke belakang dan tersenyum lebar melihat Selena yang menyapanya terlebih dulu.“Hey … senang melihatmu baik-baik saja, Elle.” Henry tersenyum tulus seperti biasa. Dia menatap sekilas Matt yang berdiri canggung di belakang perempuan itu.“Apa yang terjadi?” tanya Selen
“Rasa penasaran ini mencambuk hingga membuat memar hatiku.” *** Langit senja begitu mendung. Rain yakin kalau sebentar lagi akan turun hujan. Sebelum keroyokan air dari langit itu menjatuhi bumi, lebih baik dia mengunci pintu depan rumahnya. Sambil memegang sebatang lilin yang diletakkkan dalam wadah mirip gelas berwarna perak, Rain berjalan menuruni anak tangganya. Rumahnya mulai gelap karena tirai-tirai yang tidak pernah lagi dibuka sejak kematian kedua orang tuanya. Uang untuk hidup pun hanya dari sisa-sisa warisan keluarga yang masih bisa disimpannya dengan baik. Itulah sebabnya dia sangat ingin cepat lulus sekolah agar bisa bekerja dan hidup di kota yang jauh dari Breavork. Memulai hidup baru dengan menjadi Rain yang lain. Bukan Rain yang tenggelam karena masa lalu. Tap … tap … tap …. Rain mengerutkan keningnya saat mendengar suara dari depan pintunya. Siapa? … batinnya. Rain memindahkan gelas li
“Mungkin kita pernah bertemu sebelumnya. Hanya kau saja yang tidak menyadarinya.”***Syilea masih beringsut ke tepi tempat tidur ketika suara ketukan semakin cepat dan berulang-ulang. Dida tidak yakin kalau itu adalah manusia. Namun, tiba-tiba sebuah suara terdengar dan membuatnya mengernyit.“Lea!” panggilnya dari luar.Syilea menyibak selimut yang melindungi dirinya. Turun dari tempat tidur dan mencoba berjalan menuju jendela meski sangat ketakutan. Hanya karena dia kenal suara tersebut, makanya dia meyakinkan diri.Krieet … Syilea menggeser tirai dan melihat dari balik kaca. Tampak di bawah ada Selena yang berdiri menatap lurus ke arah jendelanya.“ELLE?!” seru Syilea lalu membuka jendela dan berbicara dari atas. Dia melihat di tangan Selena memegang beberapa kerikil. Ternyata Selena melempari jendelanya dengan benda kecil itu. Malu rasanya ketika Syilea sadar bahwa dia berpikir sudah d
“Apa saja yang kau lakukan, selalu menyita atensiku. Kenapa?”***Keesokan harinya. Tidak ada yang spesial atau berubah dari hari-hari sebelumnya. Selena yang masih dengan sifat pendiamnya dan Bianca yang masih sebal karena kejadian kemarin. Gadis itu merengut dan tidak ingin bicara pada siapa pun termasuk John. Dia tengah mengajukan protes tutup mulut dengan wajah datar.“Ayolah, Bia … aku kan sudah minta maaf padamu,” rengek Henry yang mengikuti langkah kaki Bianca menuju mobil yang siap mengantar mereka ke sekolah.Bianca yang berjalan menuju mobil sambil bersedekap tidak ingin menjawab bahkan menoleh pun tidak.“Biaaa ….” Suara Henry terdengar seperti anak kecil yang meminta gula-gula pada orang tuanya. Dia tidak menyerah meminta maaf pada Bianca meski itu bukan salahnya sepenuhnya.Sementara itu Selena yang duduk tenang di dalam mobil sambil membaca novel mulai risih dengan kela
“Andai aku memiliki jantung. Mungkin sekarang detakannya akan terdengar sampai keluar.”***Selena tidak dapat membuka suara. Dia bungkam dan seolah semua yang ada di bumi berhenti bergerak. Bumi berhenti berputar dan waktu menjadi terhenti. Tatapan dalam dan teduh dari sepasang netra biru itu menyita seluruh perhatiannya. Dua mata indah penuh kesedihan yang mendalam tersimpan di dalamnya. Selena tidak dapat membaca apa yang ada di dalam pikiran Rain.Sementara lelaki itu juga melakukan hal yang sama. Untuk pertama kalinya dia melihat wajah Selena lebih dari tiga detik. Mengagumi paras yang terpahat sempurna dimiliki gadis bertubuh kurus dan tinggi itu. Bibirnya begitu merah seperti darah yang menetes di atas tumpukan salju putih. Rambut hitamnya bergelombang dan tersisir rapi. Hidung mancungnya begitu kecil sama seperti bibirnya yang sekarang tengah sedikit terbuka. Rain belum pernah melihat perempuan berwajah malaikat seperti Selena.
Selena bak bintang lapangan, dia begitu menguasai olahraga voli. Bukan hanya Selena, bahkan saudaranya juga seperti itu. Matt tidak ingin kalah oleh adiknya. Dia terlihat begitu unggul dalam permainan ini. Seolah paket sempurna dimiliki mereka berdua, semua murid langsung saja mengidolakan Selena dan Matt.Selama jam pelajaran olahraga berlangsung, Selena tidak melihat kehadiran Rain. Lelaki itu lagi-lagi bolos pelajaran ini.Apa yang dia inginkan di sekolah kalau apa saja dia lewatkan? Kenapa dia harus sekolah? Lebih baik dia di rumah saja. Dasar manusia aneh! … Selena terus memaki dalam hati saat sadar Rain hanya duduk di tribun sambil membaca buku.“Lea,” panggil Selena pada Syilea yang sedang duduk di lantai meluruskan kakinya yang pegal-pegal.“Ya?”Selena duduk di samping Syilea. Dia tidak tampak kelelahan sedikit pun meski sudah mengeluarkan banyak tenaga dan itu aneh pikir Syilea.“Kenapa
“Hal yang paling kubenci adalah saat aku tidak bisa membenci orang yang membenciku.”***Bianca begitu berani karena dia memutuskan untuk keluar dari sekolah sementara pelajaran masih berlangsung. Dia menyelinap keluar lalu berjalan lewat belakang sekolah, di mana tidak banyak orang-orang yang akan lewat sana.Pohon pinus yang tinggi dan besar menjulang ke langit. Dia terus berjalan dengan mata mengawasi sekitar. Memperhatikan apakah aka nada mangsa yang bisa dia buru hari ini. Dahaga yang dia rasakan sudah sangat tidak tertahankan.Diam-diam dia menyetujui permintaan Henry untuk tidak membuat onar dengan cara mencari manusia untuk dijadikan tumbal. Cukup dia mencari rusa di hutan untuk diambil darahnya lalu mencabik sehingga terlihat bahwa si rusa malang itu telah dimakan binatang buas. Setidaknya itu yang selalu mereka lakukan.“Kenapa tidak ada rusa satu pun?!” geram Bianca.Tenggorokannya semakin terasa p
Setelah musim panas berakhir, maka masuklah musim paling syahdu yaitu musim gugur. Sisa hawa panas memang masih ada, namun angin pun sudah mulai berembus. Selena memakai kaos tipis yang dilapisi dengan mantel panjang berwarna merah favoritnya, Ia tampak begitu sangat cantik malam ini. Terlebih jeans panjang dengan sepatu ankle boot hitam membuatnya menjadi tampak sempurna.Sama seperti Selena, Bianca dan Erika pun juga memakai outfit yang sama meski beda warna dan hiasan baju lainnya. Mereka semua sudah siap untuk pergi ke festival musim gugur bersama dengan pasangan masing-masing.“Aku tidak memiliki pasangan. Lalu, nanti sama siapa setelah di sana?” tanya Erika kebingungan.“Jangan cemas. Kamu bisa bersamaku, Bianca atau Syilea.” Selena mencoba menenangkan Erika.“Aku tidak ingin mengganggu kesenangan kalian,” tolak Erika dengan segan.“Ah, begini saja … bagaimana kalau kita tidak usah berpencar? K
Syilea sangat terkejut dengan serangan ciuman dari Henry. Pupil matanya membulat sempurna tatkala sebuah memori ingatan melemparkannya ke suatu tempat yang aneh. Di mana ia melihat dirinya dan Henry yang sedang berciuman di ruang tamu rumahnya, pernyataan cinta dari Henry, hadiah bunga dan jalan-jalan malam di festival hingga akhirnya ia melihat seorang vampir yang berdiri di hadapannya dengan seringai menyeramkan beserta taring tajam.Jantung Syilea berdentam dengan sangat cepat ketika dia potongan memori ingatannya kembali seperti puzzle yang mulai tersusun hingga membentuk gambar sempurna.Satu detik … Dua detik … Tiga detik … Empat detik … Lima detik.Seketika pandangan Syilea menjadi samar bersamaan dengan Henry yang menarik mundur wajahnya. Dengan tatapan sayu, Syilea menatap Henry yang dikenalnya sebagai kekasihnya, bukan orang asing lagi.“Henry,” bisik Syilea dengan lirih.“Apa kamu sudah ingat
Keesokan harinya, Selena sudah bersiap menuju sekolah dijemput Rain seperti biasa. Seperti yang dikatakan Arion tadi malam, mulai hari ini dia tidak akan muncul lagi di hadapannya. Perpisahan tadi malam sudah cukup menguras emosinya hingga membuat Selena merasakan seperti ada duri tertancap di hatinya.“Kenapa aku merasa tidak rela untuk kehilangannya?” gumam Selena sambil berjalan menuju anak tangga.“Elle … berangkat dengan Rain?” tanya Bianca yang tiba-tiba saja berjalan di sisinya.“Ya.” Selena menjawab singkat.“Ada apa denganmu? Wajahmu terlihat linglung,” heran adiknya.“Bia … apa kamu tahu kalau Arion pergi?” tanya Selena akhirnya pada Bianca.“Iya, tau. Ayah sudah menceritakan pada kami semua tadi malam saat kamu dan dia pergi jalan-jalan,” jawab Bianca.“Kenapa kamu tidak sedih?”“Buat apa? Dia kan hanya pergi untuk
Masih di bar khusus para vampir. Selena tidak meminum apapun, ia hanya melihat Arion yang sudah menghabiskan empat gelas kecil berisi darah manusia.“Sepertinya kamu sudah terlalu lama menahan ini semua,” sindir Selena pada Arion yang meletakkan gelas terakhir di atas meja.“Maafkan aku. Tidak mudah untuk membuang kebiasaan,” jawab Arion yang memberi kode pada bartender untuk mengisi gelasnya lagi.“Setidaknya sekarang kamu sudah bersahabat dengan kata maaf,” jawab Selena tersenyum. “Setelah ini, kamu ingin membawaku kemana lagi?”“Pantai,” jawab Arion.Selena mengernyit dan bingung. “Pantai?” ulangnya.“Bukankan kamu sangat suka melihat laut?” tanya Arion.Selena mengangguk. Ia tak membantah tebakan Arion. “Ya. Aku suka.”“Laut akan terlihat indah bila dilihat saat malam hari,” lanjut Arion lalu kembali minum.&ld
Para gadis sudah tiba di rumah saat pukul delapan malam. Saat itulah mereka melihat para lelaki berkumpul di ruang keluarga. Ada John, Arion, Stefan, Henry dan Matt. Mereka tengah berbincang santai dan sesekali terdengar tawa karena joke yang dilontarkan oleh Arion.Selena tersenyum ketika melihat bagaimana Arion yang berdiri di depan mereka semua sambil membawakan sebuah lelucon seolah sedang melakukan stand up, lalu terdengar suara tawa Henry yang paling keras.“Hai, girls … sudah selesai bersenang-senangnya?” tanya Matt ketika sadar dengan kehadiran Bianca, Selena dan Erika.Bianca menghampiri Matt dan langsung duduk di pangkuan lelaki itu tanpa malu dilihat oleh John dan Stefan. Lagipula mereka adalah keluarga, bersikap romantis di depan keluarga bukan hal yang aneh, kan?“Ya … itu tadi adalah shopping paling menyenangkan,” ungkap Bianca dengan penuh semangat yang menggebu-gebu. Ia lalu melemparkan pandangan pada
Sambungan via telepon handphone antara Henry dan Syilea ….“Kenapa kamu baru tiba di rumah?” tanya Henry setelah teleponnya baru diangkat oleh gadis tersebut dan Syilea mengatakan bahwa dia baru saja sampai rumah.“Aku harus pergi ke rumah sakit untuk bertemu dengan ibu sebentar,” jawab Syilea jujur.Henry mengangguk paham. “Seharusnya kamu tidak perlu menolak tawaranku ketika ingin mengantarkanmu pulang,” sesalnya lagi.“Tidak apa-apa. Aku tidak ingin merepotkanmu. Kita hanya teman dan seharusnya aku harus tahu batasan,” jelas Syilea dengan bijaksana.“Kalau begitu … bagaimana jika seandainya kita bukan hanya sekedar teman?” pancing Henry.“Ma-maksudmu?” gagap Syilea mendengar hal yang bisa langsung dia asumsikan tentang hal lebih dari teman.“Ya, maksudku … seperti hubungan yang lebih dekat,” jawab Henry pelan. Dia sendiri merasa
Selena membawa Erika ke kamar yang akan ditinggali oleh gadis penyihir itu. Sengaja ia memilihkan kamar dengan kasur baru dengan alasan khusus untuk manusia.“Karena kamu membutuhkan tidur yang nyenyak daripada kami,” kata Selena saat mendapati Erika yang begitu sungkan.“Terima kasih,” ucap Erika dengan tulus.“Tapi … apa kamu tidak takut tinggal serumah dengan banyak vampir?” tanya Selena ragu.Erika hanya tersenyum penuh arti. “Bahkan sebelumnya aku pernah serumah dengan vampir yang sangat bengis dan haus darah manusia.”Selena mengerti siapa yang dimaksud oleh Erika. Tentu saja dia adalah Arion. Mereka memang pernah serumah dan bahkan bercinta karena memiliki hubungan khusus.Erika mulai mengeluarkan beberapa pakaiannya yang usang dan lusuh lalu membuka lemari. Selena mengernyit melihat pakaian penyihir itu. Baru dia sadari ada sesuatu yang memprihatinkan sekarang.“Erik
Rain dan Selena hari ini pulang sekolah sambil berjalan kaki. Ini sesuai permintaan Selena yang katanya rindu berjalan-jalan di tengah hutan sambil menuju rumahnya sendiri. John sudah menyampaikan pesan lewat Arion yang datang ke sekolah untuk menyuruh semua anaknya pulang ke rumah tepat waktu. Tidak ada yang boleh mampir ke suatu tempat apalagi pacaran kata Arion tadi. Dan tentu saja mendapat dengusan sebal dari Selena dan Bianca.“Memangnya ayah kenapa menyuruh kita langsung pulang?” tanya Selena pada Rain. Mereka berjalan sambil berpegangan tangan satu sama lain.Rain mengedikkan bahu. “Aku tidak tahu. Mungkin ayah kalian ingin mengumumkan sesuatu mungkin.”“Apa ayah akan menikah lagi?” tanya Selena dengan tatapan tak percaya.“Masa? Bukankah ayah kalian tidak dekat dengan siapapun juga,” heran Rain yang kurang percaya dengan kesimpulan tak masuk akal dari Selena.“Selama ini ayah paling pint
Keesokan harinya John dan Arion akhirnya memutuskan untuk menemui Stefan di kediamannya. Sebuah rumah kecil dengan dinding kayu di tengah hutan. Pagar kayu setinggi pinggang orang dewasa dan ada pohon di depannya. Bisa ditebak bahwa pohon tersebut adalah pohon cokelat yang tumbuh dengan suburnya. Stefan sengaja membangun rumah di samping pepohonan cokelat agar bisa bertahan hidup.Melihat kehadiran Arion dan John yang datang bersama-sama awalnya membuat Stefan sedikit kaget, namun pada akhirnya ia tersenyum dan mempersilakan dua anak adopsinya masuk ke dalam.Arion memerhatikan sekitar rumah yang begitu hangat meski tak terlalu besar. Beda dengan rumahnya yang mewah dan besar namun terasa dingin.Stefan memberikan dua gelas cokelat hitam panas pada dua lelaki yang dia sayangi. Lelaki tua itu tersenyum bijaksana dan terlihat jelas bagaimana ia senang melihat kehadiran kakak beradik itu. Melihat keakuran yang akhirnya terjalin di antara keduanya. Stefan benar-bena