“Rasa penasaran ini mencambuk hingga membuat memar hatiku.”
***
Langit senja begitu mendung. Rain yakin kalau sebentar lagi akan turun hujan. Sebelum keroyokan air dari langit itu menjatuhi bumi, lebih baik dia mengunci pintu depan rumahnya. Sambil memegang sebatang lilin yang diletakkkan dalam wadah mirip gelas berwarna perak, Rain berjalan menuruni anak tangganya.
Rumahnya mulai gelap karena tirai-tirai yang tidak pernah lagi dibuka sejak kematian kedua orang tuanya. Uang untuk hidup pun hanya dari sisa-sisa warisan keluarga yang masih bisa disimpannya dengan baik. Itulah sebabnya dia sangat ingin cepat lulus sekolah agar bisa bekerja dan hidup di kota yang jauh dari Breavork. Memulai hidup baru dengan menjadi Rain yang lain. Bukan Rain yang tenggelam karena masa lalu.
Tap … tap … tap ….
Rain mengerutkan keningnya saat mendengar suara dari depan pintunya.
Siapa? … batinnya.
Rain memindahkan gelas lilin itu ke tangan kirinya dan memegang kenop pintu dengan tangan kanannya. Dia langsung membuka pintu tanpa mengintip terlebih dulu lewat jendela.
Krieet … pintu terbuka dan tidak ada siapa pun di depan pintu rumahnya. Rain melangkahkan kaki keluar untuk memastikan apakah memang tidak ada orang, karena dia sangat yakin dengan apa yang didengarnya. Suara langkah kaki yang menginjak teras kayu lapuk rumahnya.
Setelah melihat sekitar dan yakin kalau itu mungkin hanya salah mendengar, Rain kembali masuk ke rumah dan mengunci pintu.
Sementara di luar, Selena memerhatikan Rain dari balik pohon ek yang besar di halaman rumah. Matanya menatap tajam Rain yang sempat kebingungan mencari sesuatu hingga memutuskan untuk kembali ke dalam rumah.
Detik berikutnya saat Rain menutup kembali pintu rumah, Selena merasa lega. Dia membalikkan badan dan berniat kembali ke rumah. Namun, sesaat dia berjalan beberapa langkah, matanya menangkap satu benda di atas tanah antara dedaunan yang gugur. Dia mengenal benda itu. Kakinya berjalan mendekati benda kecil berwarna putih dengan motif bunga daisy lalu memungutnya.
“Syilea,” gumamnya.
Dia ingat kalau benda itu sebelumnya ada di atas kepala Syilea. Jepit rambut cantik yang menjepit poninya agar tidak jatuh menutupi mata gadis manis itu.
Selena menggenggam jepit rambut dan memasukkan ke dalam saku jaketnya. Dia kembali berjalan keluar wilayah rumah Rain.
***
Matt masih saja merasa gusar dan hatinya tidak karuan sejak bertengkar lagi dengan Selena. Kali ini dalam hatinya diliputi merasa bersalah karena tidak bisa sabar. Seharusnya Matt bisa mengontrol emosi seperti biasa meskipun Selena memakinya atau menghinanya. Bahkan biasanya di saat Selena murka, Matt memilih untuk mengalah. Hanya saja untuk hari ini Matt benar-benar khawatir dengan apa yang terjadi pada adiknya.
“Shit!” teriak Matt sambil mengacak rambut dengan frustasi.
Kalau saja dia dari bangsa manusia, mungkin sekarang Matt akan menghabiskan waktu di Bar kecil pusat kota Breavork. Menghabiskan berbotol-botol alkohol sebagai pelampiasan kekesalannya. Namun sayang, dia seorang vampire yang bahkan tidak menelan secuil pun makanan manusia.
“Kamu ingin pergi jalan-jalan?” tawar Henry yang sudah selesai melakukan tugasnya. Dia menghampiri Matt yang duduk di teras rumah menunggu Selena pulang.
“Aku hanya ingin memastikan kalau Selena baik-baik saja,” jawab Matt dengan nada pasrah.
Henry memutar bola mata dengan malas. “Buat apa melakukan itu? Tidak akan terjadi apa-apa padanya. Percayalah,” bujuk Henry.
“Dia begitu marah saat pergi.”
“Kau pun juga sama, Matt. Kau sangat marah padanya. Kalian berdua dalam kondisi emosi yang tidak stabil. Apa aku harus melaporkan ini pada ayah, agar beliau saja yang membujuk Selena?” usul Henry.
“Tidak akan ada yang bisa membujuknya, Henry. Kau tahu itu ‘kan?”
Henry sebenarnya sudah mengerti betul. Selena memiliki prinsip yang kuat. Sekali dia benci maka selamanya akan seperti itu. Sekali dia tidak peduli, maka Selena bisa membiarkan orang itu mati di depannya tanpa berniat membantunya. Vampire cantik satu itu memang memiliki pendirian.
“Lalu … bagaimana?” tanya Henry sambil menatap Matt.
Matt menoleh dan melihat Henry yang sudah siap dengan mantel coklatnya. Rambutnya disisir rapi dan tercium aroma wangi parfum mahal yang dia beli. Tidak masalah seberapa mahal dan banyaknya uang mereka keluarkan. Keluarga vampir itu memiliki harta yang melimpah tanpa orang tahu. Bukankah itu sangat tidak adil ketika mereka yang memiliki wajah rupawan seolah malaikat yang menjelma jadi manusia, kemudian memiliki kekayaan tak ternilai. Seperti karunia yang diberi semesta untuk mereka semua.
“Kau mau pergi?” tanya Matt pada Henry.
Henry melihat baju yang dia pakai. Kaos hitam tersembunyi di balik mantel. Di dalam mantel juga sudah terselip dompet dengan jumlah uang yang tidak sedikit.
“Aku merasa lapar,” jawab Henry sembari tersenyum manis.
Matt tentu saja mengerti dengan jawaban itu. Lapar yang mereka rasakan bukan ingin mencari roti, biskuit atau makanan apapun. Henry jelas membutuhkan seorang gadis atau minimal berburu binatang. Tapi, dengan penampilan serapi itu tidak mungkin untuknya berjalan menuju hutan.
“Kemana kau akan berburu?” tanya Matt dengan kening berkerut.
“Bar.”
“Kita tidak mabuk-mabukan, Henry.”
Henry langsung tertawa keras sambil menepuk-nepuk pundak Matt. “Ya ampun! Hahahaha. Sejak kapan kita mencoba untuk mabuk?”
Matt hanya diam dan membiarkan Henry terus menepuk pundak lalu beralih ke punggung.
“Aku mencari mangsa. Bukan untuk minum-minum,” lanjutnya.
“Terserah lah. Aku tidak ingin kemana-mana,” jawab Matt malas.
“Ya sudah … aku pergi sendirian saja kalau begitu.” Henry berdiri dan merapikan ujung mantelnya. Saat dia ingin beranjak, Matt mulai menanyakan perihal Bianca.
“Bagaimana dengan Bia?” tanya Matt.
“Sudah tidak ada teriakan. Sepertinya dia sudah mulai normal,” jawab Henry.
“Kau tidak membebaskannya?”
“Bukan hak aku untuk membuka pintu itu. Bukankah kamu yang memasukkannya, itu artinya hanya kamu yang boleh melepaskan Bianca,” jelas Henry.
Matt hanya menganggukkan kepala. Dia tidak ingin bertanya apapun sehingga membuat Henry menunda kepergiannya.
“Kalau begitu aku pergi dulu,” pamit Henry.
“Ya … semoga dapat makanan yang cocok dengan jiwamu,” jawab Matt.
Henry hanya terkekeh lalu pergi dengan kecepatan sekelebat angin. Matt berdiri dan memperhatikan sekeliling, mencoba menangkap keberadaan Selena. Namun, nyatanya tidak ada tanda-tanda Selena berada di sekitar rumah.
***
Di rumah Syilea.
Gadis itu memeriksa kembali lukanya yang sudah diobati oleh Rain. Perban yang membungkus bagian betisnya tampak sangat rapi. Rain mengerjakan itu dengan sangat baik. Dia juga kembali teringat satu pertanyaan yang diajukan lelaki itu selama menolongnya.
“Kenapa dia ingin tahu tentang aku?” tanya Rain dengan suara dingin dan berat. Di tangannya sambil memegang obat merah dan perban untuk membantu Syilea.
“Hhh … aku juga tidak tahu alasannya kenapa,” gumam Syilea lalu menghempaskan badan di atas tempat tidur.
Matanya menatap langit-langit kamar. Dia ingat bagaimana ekspresi Selena yang sangat kaget saat melihat darah di kakinya. Selena yang tampak ketakutan dan kulitnya berubah menjadi pucat pasi. Matanya yang membelalak sempurna. Tangannya yang mendadak gemetar seperti takut akan sesuatu.
“Kenapa dia begitu? Kenapa dia meninggalkanku? Kenapa dia tampak ketakutan? Hhh … aku tidak tahu.” Syilea menutup wajah dengan kedua tangannya. “INI MEMBINGUNGKANKUUU! ERGH!”
Di waktu bersamaan tiba-tiba saja terdengar ketukan aneh dari jendela Syilea.
Tok, tok!
“Eh?” Syilea bangun dan berusaha memasang pendengarannya dengan baik.
Tok, tok!
Lagi-lagi berbunyi.
Syilea langsung beringsut ke ujung tempat tidur. Meraih selimut dan menutup sebagian tubuhnya.
“I‒itu siapa? Jangan-jangan … hantu penunggu rumah Rain?” gemetarnya sambil menelan ludah. Itu memang suatu keanehan dan wajah kalau dia memikirkan sesosok hantu dibalik jendela kamarnya. Karena, kamar Syilea terletak di lantai dua rumah itu.
-Bersambung-
Hai, terima kasih sudah membaca karya Ontelicious. Jangan lupa untuk tinggalkan komentar agar bisa menjadi semangat penulis. Terima kasih.
“Mungkin kita pernah bertemu sebelumnya. Hanya kau saja yang tidak menyadarinya.”***Syilea masih beringsut ke tepi tempat tidur ketika suara ketukan semakin cepat dan berulang-ulang. Dida tidak yakin kalau itu adalah manusia. Namun, tiba-tiba sebuah suara terdengar dan membuatnya mengernyit.“Lea!” panggilnya dari luar.Syilea menyibak selimut yang melindungi dirinya. Turun dari tempat tidur dan mencoba berjalan menuju jendela meski sangat ketakutan. Hanya karena dia kenal suara tersebut, makanya dia meyakinkan diri.Krieet … Syilea menggeser tirai dan melihat dari balik kaca. Tampak di bawah ada Selena yang berdiri menatap lurus ke arah jendelanya.“ELLE?!” seru Syilea lalu membuka jendela dan berbicara dari atas. Dia melihat di tangan Selena memegang beberapa kerikil. Ternyata Selena melempari jendelanya dengan benda kecil itu. Malu rasanya ketika Syilea sadar bahwa dia berpikir sudah d
“Apa saja yang kau lakukan, selalu menyita atensiku. Kenapa?”***Keesokan harinya. Tidak ada yang spesial atau berubah dari hari-hari sebelumnya. Selena yang masih dengan sifat pendiamnya dan Bianca yang masih sebal karena kejadian kemarin. Gadis itu merengut dan tidak ingin bicara pada siapa pun termasuk John. Dia tengah mengajukan protes tutup mulut dengan wajah datar.“Ayolah, Bia … aku kan sudah minta maaf padamu,” rengek Henry yang mengikuti langkah kaki Bianca menuju mobil yang siap mengantar mereka ke sekolah.Bianca yang berjalan menuju mobil sambil bersedekap tidak ingin menjawab bahkan menoleh pun tidak.“Biaaa ….” Suara Henry terdengar seperti anak kecil yang meminta gula-gula pada orang tuanya. Dia tidak menyerah meminta maaf pada Bianca meski itu bukan salahnya sepenuhnya.Sementara itu Selena yang duduk tenang di dalam mobil sambil membaca novel mulai risih dengan kela
“Andai aku memiliki jantung. Mungkin sekarang detakannya akan terdengar sampai keluar.”***Selena tidak dapat membuka suara. Dia bungkam dan seolah semua yang ada di bumi berhenti bergerak. Bumi berhenti berputar dan waktu menjadi terhenti. Tatapan dalam dan teduh dari sepasang netra biru itu menyita seluruh perhatiannya. Dua mata indah penuh kesedihan yang mendalam tersimpan di dalamnya. Selena tidak dapat membaca apa yang ada di dalam pikiran Rain.Sementara lelaki itu juga melakukan hal yang sama. Untuk pertama kalinya dia melihat wajah Selena lebih dari tiga detik. Mengagumi paras yang terpahat sempurna dimiliki gadis bertubuh kurus dan tinggi itu. Bibirnya begitu merah seperti darah yang menetes di atas tumpukan salju putih. Rambut hitamnya bergelombang dan tersisir rapi. Hidung mancungnya begitu kecil sama seperti bibirnya yang sekarang tengah sedikit terbuka. Rain belum pernah melihat perempuan berwajah malaikat seperti Selena.
Selena bak bintang lapangan, dia begitu menguasai olahraga voli. Bukan hanya Selena, bahkan saudaranya juga seperti itu. Matt tidak ingin kalah oleh adiknya. Dia terlihat begitu unggul dalam permainan ini. Seolah paket sempurna dimiliki mereka berdua, semua murid langsung saja mengidolakan Selena dan Matt.Selama jam pelajaran olahraga berlangsung, Selena tidak melihat kehadiran Rain. Lelaki itu lagi-lagi bolos pelajaran ini.Apa yang dia inginkan di sekolah kalau apa saja dia lewatkan? Kenapa dia harus sekolah? Lebih baik dia di rumah saja. Dasar manusia aneh! … Selena terus memaki dalam hati saat sadar Rain hanya duduk di tribun sambil membaca buku.“Lea,” panggil Selena pada Syilea yang sedang duduk di lantai meluruskan kakinya yang pegal-pegal.“Ya?”Selena duduk di samping Syilea. Dia tidak tampak kelelahan sedikit pun meski sudah mengeluarkan banyak tenaga dan itu aneh pikir Syilea.“Kenapa
“Hal yang paling kubenci adalah saat aku tidak bisa membenci orang yang membenciku.”***Bianca begitu berani karena dia memutuskan untuk keluar dari sekolah sementara pelajaran masih berlangsung. Dia menyelinap keluar lalu berjalan lewat belakang sekolah, di mana tidak banyak orang-orang yang akan lewat sana.Pohon pinus yang tinggi dan besar menjulang ke langit. Dia terus berjalan dengan mata mengawasi sekitar. Memperhatikan apakah aka nada mangsa yang bisa dia buru hari ini. Dahaga yang dia rasakan sudah sangat tidak tertahankan.Diam-diam dia menyetujui permintaan Henry untuk tidak membuat onar dengan cara mencari manusia untuk dijadikan tumbal. Cukup dia mencari rusa di hutan untuk diambil darahnya lalu mencabik sehingga terlihat bahwa si rusa malang itu telah dimakan binatang buas. Setidaknya itu yang selalu mereka lakukan.“Kenapa tidak ada rusa satu pun?!” geram Bianca.Tenggorokannya semakin terasa p
“Berterima kasih lah pada semesta dan Tuhan karena kau masih diberikan napas.”***Syilea tampak merasa sangat bersalah. Beberapa kali dia berbisik pada Selena selama jam pelajaran untuk memaafkan dirinya. Meski bingung apa yang terjadi pada teman sebangkunya, setidaknya Syilea merasa tidak enak hati karena sudah membuat Selena mual hingga muntah seperti itu.“Padahal coklatnya masih bagus. Mana mungkin aku memberikanmu coklat yang sudah basi,” ucap Syilea setelah pulang sekolah. Dia terus berjalan mengimbangi langkah cepat Selena yang menuju ke pintu gerbang.“Sudah kubilang tidak masalah, Lea … aku hanya sedang tidak sehat. Pencernaanku begitu buruk hari ini, makanya aku mual,” jawab Selena mencoba menenangkan Syilea dari perasaan bersalah.“Benarkah? Aku sungguh-sungguh meminta maaf,” ucapnya lagi.Selena memaksakan senyumnya dan mengangguk. Di depan sana berjarak sekitar lim
“Entah manusia bahkan mahkluk abadi, mereka tidak bisa menahan satu hal yaitu nafsu.”***Selena mengepalkan tangannya. Tubuhnya mendadak gemetar. Lidahnya kelu dan matanya membulat sempurna. Dalam batinnya terus berperang untuk menahan diri agar tidak tergoda dengan wangi darah yang memenuhi kamar Bianca.Sementara di depan mata Selena tampak John yang memegangi badan Bianca yang berontak. Gadis itu seperti bukan dirinya. Matanya merah menyala sama seperti Selena dan wajahnya berlumuran dengan darah segar.“ELLE! TELPON SAUDARA-SAUDARAMU!” perintah John dengan nada tinggi untuk mengimbangi suara musik opera yang begitu keras.Aku tidak bisa. Aku tidak bisa menghubungi mereka. Badanku tidak bisa bergerak.Selena membatin. Dalam kepalanya terdengar suara-suara untuk mencicipi darah itu. Kejadian ini seperti dejavu, di mana saat dia melihat darah yang keluar dari kaki Syilea.“ELLE!”
“Apakah vampir juga bisa merasakan peduli? Jawabannya, iya.”***Selena terus berlari masuk ke dalam hutan. Berlari, berlari dan terus berlari tanpa melihat ke belakang. Dia tahu takkan ada yang berani mengikutinya, entah Matt, Henry bahkan John sekali pun. Selena merasakan sangat murka sekarang. Dia bahkan tidak ingin mendengar nama saudara-saudaranya.Beberapa kali dia hampir terjatuh karena terus berlari tanpa melihat arah di depannya. Tidak ada tujuan, hanya ingin terus menjauh dari rumahnya.Jahat! Kenapa yang mereka lakukan padaku selalu hal yang jahat?! Kenapa mereka begitu lancang? KENAPA?!Pertanyaan demi pertanyaan memutar di dalam kepalanya. Menuntut penjelasan kenapa hal itu bisa terjadi. Sungguh hari ini begitu sial rasanya. Di sekolah dia mendapatkan penolakan tegas dari lelaki yang mencuri seluruh perhatiannya, kemudian di rumah dia menemukan fakta bahwa dirinya sama menjijikan seperti saudaranya karena
Setelah musim panas berakhir, maka masuklah musim paling syahdu yaitu musim gugur. Sisa hawa panas memang masih ada, namun angin pun sudah mulai berembus. Selena memakai kaos tipis yang dilapisi dengan mantel panjang berwarna merah favoritnya, Ia tampak begitu sangat cantik malam ini. Terlebih jeans panjang dengan sepatu ankle boot hitam membuatnya menjadi tampak sempurna.Sama seperti Selena, Bianca dan Erika pun juga memakai outfit yang sama meski beda warna dan hiasan baju lainnya. Mereka semua sudah siap untuk pergi ke festival musim gugur bersama dengan pasangan masing-masing.“Aku tidak memiliki pasangan. Lalu, nanti sama siapa setelah di sana?” tanya Erika kebingungan.“Jangan cemas. Kamu bisa bersamaku, Bianca atau Syilea.” Selena mencoba menenangkan Erika.“Aku tidak ingin mengganggu kesenangan kalian,” tolak Erika dengan segan.“Ah, begini saja … bagaimana kalau kita tidak usah berpencar? K
Syilea sangat terkejut dengan serangan ciuman dari Henry. Pupil matanya membulat sempurna tatkala sebuah memori ingatan melemparkannya ke suatu tempat yang aneh. Di mana ia melihat dirinya dan Henry yang sedang berciuman di ruang tamu rumahnya, pernyataan cinta dari Henry, hadiah bunga dan jalan-jalan malam di festival hingga akhirnya ia melihat seorang vampir yang berdiri di hadapannya dengan seringai menyeramkan beserta taring tajam.Jantung Syilea berdentam dengan sangat cepat ketika dia potongan memori ingatannya kembali seperti puzzle yang mulai tersusun hingga membentuk gambar sempurna.Satu detik … Dua detik … Tiga detik … Empat detik … Lima detik.Seketika pandangan Syilea menjadi samar bersamaan dengan Henry yang menarik mundur wajahnya. Dengan tatapan sayu, Syilea menatap Henry yang dikenalnya sebagai kekasihnya, bukan orang asing lagi.“Henry,” bisik Syilea dengan lirih.“Apa kamu sudah ingat
Keesokan harinya, Selena sudah bersiap menuju sekolah dijemput Rain seperti biasa. Seperti yang dikatakan Arion tadi malam, mulai hari ini dia tidak akan muncul lagi di hadapannya. Perpisahan tadi malam sudah cukup menguras emosinya hingga membuat Selena merasakan seperti ada duri tertancap di hatinya.“Kenapa aku merasa tidak rela untuk kehilangannya?” gumam Selena sambil berjalan menuju anak tangga.“Elle … berangkat dengan Rain?” tanya Bianca yang tiba-tiba saja berjalan di sisinya.“Ya.” Selena menjawab singkat.“Ada apa denganmu? Wajahmu terlihat linglung,” heran adiknya.“Bia … apa kamu tahu kalau Arion pergi?” tanya Selena akhirnya pada Bianca.“Iya, tau. Ayah sudah menceritakan pada kami semua tadi malam saat kamu dan dia pergi jalan-jalan,” jawab Bianca.“Kenapa kamu tidak sedih?”“Buat apa? Dia kan hanya pergi untuk
Masih di bar khusus para vampir. Selena tidak meminum apapun, ia hanya melihat Arion yang sudah menghabiskan empat gelas kecil berisi darah manusia.“Sepertinya kamu sudah terlalu lama menahan ini semua,” sindir Selena pada Arion yang meletakkan gelas terakhir di atas meja.“Maafkan aku. Tidak mudah untuk membuang kebiasaan,” jawab Arion yang memberi kode pada bartender untuk mengisi gelasnya lagi.“Setidaknya sekarang kamu sudah bersahabat dengan kata maaf,” jawab Selena tersenyum. “Setelah ini, kamu ingin membawaku kemana lagi?”“Pantai,” jawab Arion.Selena mengernyit dan bingung. “Pantai?” ulangnya.“Bukankan kamu sangat suka melihat laut?” tanya Arion.Selena mengangguk. Ia tak membantah tebakan Arion. “Ya. Aku suka.”“Laut akan terlihat indah bila dilihat saat malam hari,” lanjut Arion lalu kembali minum.&ld
Para gadis sudah tiba di rumah saat pukul delapan malam. Saat itulah mereka melihat para lelaki berkumpul di ruang keluarga. Ada John, Arion, Stefan, Henry dan Matt. Mereka tengah berbincang santai dan sesekali terdengar tawa karena joke yang dilontarkan oleh Arion.Selena tersenyum ketika melihat bagaimana Arion yang berdiri di depan mereka semua sambil membawakan sebuah lelucon seolah sedang melakukan stand up, lalu terdengar suara tawa Henry yang paling keras.“Hai, girls … sudah selesai bersenang-senangnya?” tanya Matt ketika sadar dengan kehadiran Bianca, Selena dan Erika.Bianca menghampiri Matt dan langsung duduk di pangkuan lelaki itu tanpa malu dilihat oleh John dan Stefan. Lagipula mereka adalah keluarga, bersikap romantis di depan keluarga bukan hal yang aneh, kan?“Ya … itu tadi adalah shopping paling menyenangkan,” ungkap Bianca dengan penuh semangat yang menggebu-gebu. Ia lalu melemparkan pandangan pada
Sambungan via telepon handphone antara Henry dan Syilea ….“Kenapa kamu baru tiba di rumah?” tanya Henry setelah teleponnya baru diangkat oleh gadis tersebut dan Syilea mengatakan bahwa dia baru saja sampai rumah.“Aku harus pergi ke rumah sakit untuk bertemu dengan ibu sebentar,” jawab Syilea jujur.Henry mengangguk paham. “Seharusnya kamu tidak perlu menolak tawaranku ketika ingin mengantarkanmu pulang,” sesalnya lagi.“Tidak apa-apa. Aku tidak ingin merepotkanmu. Kita hanya teman dan seharusnya aku harus tahu batasan,” jelas Syilea dengan bijaksana.“Kalau begitu … bagaimana jika seandainya kita bukan hanya sekedar teman?” pancing Henry.“Ma-maksudmu?” gagap Syilea mendengar hal yang bisa langsung dia asumsikan tentang hal lebih dari teman.“Ya, maksudku … seperti hubungan yang lebih dekat,” jawab Henry pelan. Dia sendiri merasa
Selena membawa Erika ke kamar yang akan ditinggali oleh gadis penyihir itu. Sengaja ia memilihkan kamar dengan kasur baru dengan alasan khusus untuk manusia.“Karena kamu membutuhkan tidur yang nyenyak daripada kami,” kata Selena saat mendapati Erika yang begitu sungkan.“Terima kasih,” ucap Erika dengan tulus.“Tapi … apa kamu tidak takut tinggal serumah dengan banyak vampir?” tanya Selena ragu.Erika hanya tersenyum penuh arti. “Bahkan sebelumnya aku pernah serumah dengan vampir yang sangat bengis dan haus darah manusia.”Selena mengerti siapa yang dimaksud oleh Erika. Tentu saja dia adalah Arion. Mereka memang pernah serumah dan bahkan bercinta karena memiliki hubungan khusus.Erika mulai mengeluarkan beberapa pakaiannya yang usang dan lusuh lalu membuka lemari. Selena mengernyit melihat pakaian penyihir itu. Baru dia sadari ada sesuatu yang memprihatinkan sekarang.“Erik
Rain dan Selena hari ini pulang sekolah sambil berjalan kaki. Ini sesuai permintaan Selena yang katanya rindu berjalan-jalan di tengah hutan sambil menuju rumahnya sendiri. John sudah menyampaikan pesan lewat Arion yang datang ke sekolah untuk menyuruh semua anaknya pulang ke rumah tepat waktu. Tidak ada yang boleh mampir ke suatu tempat apalagi pacaran kata Arion tadi. Dan tentu saja mendapat dengusan sebal dari Selena dan Bianca.“Memangnya ayah kenapa menyuruh kita langsung pulang?” tanya Selena pada Rain. Mereka berjalan sambil berpegangan tangan satu sama lain.Rain mengedikkan bahu. “Aku tidak tahu. Mungkin ayah kalian ingin mengumumkan sesuatu mungkin.”“Apa ayah akan menikah lagi?” tanya Selena dengan tatapan tak percaya.“Masa? Bukankah ayah kalian tidak dekat dengan siapapun juga,” heran Rain yang kurang percaya dengan kesimpulan tak masuk akal dari Selena.“Selama ini ayah paling pint
Keesokan harinya John dan Arion akhirnya memutuskan untuk menemui Stefan di kediamannya. Sebuah rumah kecil dengan dinding kayu di tengah hutan. Pagar kayu setinggi pinggang orang dewasa dan ada pohon di depannya. Bisa ditebak bahwa pohon tersebut adalah pohon cokelat yang tumbuh dengan suburnya. Stefan sengaja membangun rumah di samping pepohonan cokelat agar bisa bertahan hidup.Melihat kehadiran Arion dan John yang datang bersama-sama awalnya membuat Stefan sedikit kaget, namun pada akhirnya ia tersenyum dan mempersilakan dua anak adopsinya masuk ke dalam.Arion memerhatikan sekitar rumah yang begitu hangat meski tak terlalu besar. Beda dengan rumahnya yang mewah dan besar namun terasa dingin.Stefan memberikan dua gelas cokelat hitam panas pada dua lelaki yang dia sayangi. Lelaki tua itu tersenyum bijaksana dan terlihat jelas bagaimana ia senang melihat kehadiran kakak beradik itu. Melihat keakuran yang akhirnya terjalin di antara keduanya. Stefan benar-bena