“Rasa penasaran bukan hanya bisa dirasakan oleh manusia, melainkan bangsa vampir pun juga.”
***
Selena berusaha untuk terus menyamakan langkah kakinya dengan Syilea. Dia berpikir apakah manusia selalu berjalan dengan begitu pelannya. Bagi Selena langkah kecil dan pelan seperti ini memakan waktu banyak.
“Apa rumahnya masih jauh?” tanya Selena pada Syilea.
Gadis yang memakai ransel berwarna putih gading itu menoleh pada Selena sambil memakan crepes rasa coklat keju di tangannya. “Lima menit lagi kita sampai,” jawabnya sambil mengulurkan cemilan di tangannya. “Kamu mau, Elle?”
“Tidak. Terima kasih.” Selena menolak dengan suara pelannya. Mana mungkin dia memakan makanan manusia.
“Oh iya … apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Syilea.
“Ya?”
“Kenapa kamu ingin tahu rumah Rain?”
Selena tidak perlu waktu lama untuk membuat alasan. Dia langsung menjawab, “Bukankah kamu yang menawarkan diri untuk mengajakku ke rumah dia?”
“Haa … iya. Benar juga.” Wajah Syilea tampak seperti gadis bodoh yang bahkan tidak menyadari kalimat diucapkan saat di kelas. “Tapi … apa tidak ada alasan khusus?” desaknya yang mulai penasaran.
“Tidak ada.”
“Kalau seandainya kita tidak jadi ke sana, bagaimana?”
Selena tidak menjawab. Dia hanya diam. Dalam hatinya membatin … Jangan membuang waktuku, Lea. Kita sudah hampir sampai dan kamu ingin membatalkan ini? Yang benar saja!
Syilea melirik Selena yang tidak menjawab. Dia melihat raut serius di wajah murid baru itu. Bukannya merasa tidak enak hati, melainkan Syilea langsung terkekeh seperti biasa.
“Ada apa?” heran Selena.
“Kenapa kamu selalu menganggap segala sesuatunya serius, Elle?” tanya Syilea.
“Aku?”
“Ya … kamu tidak menjawab pertanyaanku. Kamu pikir aku akan membatalkan tujuan kita ke rumah Rain? Hahahaa.”
“Itu tidak lucu, Lea,” gerutu Selena sambil terus berjalan dan tidak ingin melihat wajah konyol gadis itu.
“Apa aku boleh menebak?” tanya Syilea.
“Ya?”
“Kamu suka dengan Rain?” tebaknya.
Beruntung Selena bukan manusia sehingga semburat merah muda tidak nampak di pipinya. Dia juga bisa mengontrol dirinya agar tidak kaget dengan tebakan itu. Mungkin karena hatinya yang dingin sehingga bisa bersikap tenang dan tidak cepat salah tingkah.
“Tidak,” jawab Selena singkat.
“Lalu … kenapa kamu begitu penasaran, Elle?”
“Tidak apa-apa.”
“Jawaban macam apa itu?” sungut Syilea dengan tangan bersedekap di dada.
“Apa rumahnya masih jauh?” Selena mengalihkan pembicaraan.
Syilea menghentikan langkahnya. Mereka sudah berdiri di depan gerbang besar dengan pagar tinggi yang rusak. Tumbuhan merayap begitu rimbun menutupi pagar besi berkarat itu.
“Rumahnya ada di dalam, Elle.”
Selena diam dan menatap ujung jalan kecil yang dipenuhi dengan dedaunan gugur. Ada juga timbunan daun-daun kering yang belum dibakar seolah sang empunya rumah terlalu sibuk untuk melakukan itu.
Sambil memegang tali ranselnya, Selena sudah siap untuk melanjutkan langkah kakinya masuk ke dalam wilayah yang dibatasi pagar rusak itu.
“Elle … tunggu!” Syilea menahan tangan Selena. “AW!!”
Sentuhan kulit yang dilakukan tanpa sengaja itu membuat Syilea sangat kaget. Begitu juga dengan Selena. Meski hanya terjadi satu detik, namun Selena bisa merasakan keanehan dalam dirinya. Dengan cepat dia langsung memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket agar tidak tersentuh lagi.
Kening Syilea berkerut sambil memegang telapak tangannya sendiri. Dia seperti telah memegang sesuatu yang sangat dingin melebihi es. “Kamu … dingin ….”
Selena harus tetap bersikap tenang. Dia tidak boleh terlihat panik atau melarikan diri karena sudah menyentuh manusia secara tidak sengaja.
“Ya … aku memang kedinginan,” jawab Selena dengan nada biasa.
Tidak ada yang aneh kecuali kulitnya yang sedingin mayat. Syilea belum pernah menyentuh kulit manusia dengan suhu tubuh seperti itu.
“Kamu baik-baik saja, Elle?” tanya Syilea memastikan.
Selena mengangguk yakin. “Aku harus ke dalam.”
“Jangan dulu!” larang Syilea.
“Ada apa?”
“Kamu yakin ingin masuk ke dalam? Maksudku di dalam itu sangat mengerikan. Bahkan … rumah besar itu terlihat seperti bukan dihuni manusia, melainkan hantu,” bisik Syilea dengan ragu dan takut.
“Tidak ada hantu di dunia ini, Lea.”
“Ada! Sepupuku pernah melihat sesuatu yang besar di depan rumah itu,” jelas Syilea sambil menunjuk rumah Rain.
“Mungkin itu bayangan pohon.”
“Aku yakin tidak ada bayangan pohon yang memiliki mata merah menyala! Itu menakutkan, Elle!”
Selena mendengus dan menggelengkan kepala. “Bisa jadi itu adalah kunang-kunang.”
“Ish! Kenapa kamu tidak percaya padaku?” protes Syilea.
“Sudahlah … sekarang kita masuk ke dalam atau kamu ingin di sini saja menungguku?” Selena memberikan dua opsi yang bisa dipilih oleh Syilea.
Ragu untuk memilih yang mana. Syilea merasa harus bertanggung jawab karena sudah membawa Selena ke rumah Rain. Tapi, di satu sisi cerita sepupunya itu membuat nyalinya menciut.
“Baiklah. Aku masuk sendiri saja,” kata Selena.
“Eh! Aku belum memilih, Elle!” teriak Syilea.
Namun, Selena sudah tidak ada waktu untuk bernegosiasi dengan Syilea lagi. Terserah teman barunya itu ingin ikut atau tidak. Yang jelas dia harus menyelesaikan rasa penasarannya dengan cara mengetahui apa yang terjadi pada Rain sehingga dia tidak ada di sekolah.
Langkah kaki Selena sedikit terdengar berisik ketika dia menginjak daun-daun rapuh berwarna jingga di atas tanah. Matanya mengitari sekitar. Terlihat jelas kalau rumah yang mirip mansion itu memiliki halaman sangat luas. Bahkan masih bisa membangun satu mansion lagi di dalamnya.
Hanya saja keadaan begitu mengerikan karena rumah itu tidak dijaga sama sekali. Seolah dulu memang sangat terawat dan sekarang diabaikan oleh pemiliknya. Terbukti di depan rumah besar itu ada kolam air mancur yang terbengkalai.
“Elle … apa sebaiknya kita kembali saja?” bisik Syilea yang berjalan di belakang Selena. Dia memegang ransel gadis vampir itu. Matanya juga melihat kiri dan kanan seolah waspada kalau tiba-tiba saja nanti ada sesuatu yang mengerikan keluar.
“Kenapa kamu tidak menungguku di depan?” tanya Selena yang terus berjalan tenang.
“Aku takut sendirian.”
“Dan sekarang kau bersamaku. Kenapa masih takut?”
“Karena kita masuk ke tempat mengerikan.”
“Bukankah ini rumah Rain? Apa yang harus kau takutkan?” kesal Selena dengan kemanjaan dan rengekan gadis penakut di belakangnya.
“Aku tahu … tapi kata sepupuku kalau‒.”
“Kita sudah sampai,” potong Selena dengan cepat.
Syilea mengintip dari balik tas Selena. Dia melihat dua pintu kembar yang besar tepat di hadapannya. Benar, mereka sudah berada di teras rumah berhantu itu.
“Gosh! Aku ingin kembali saja!” rajuk Syilea lalu membalikkan badannya dan bersiap lari menuju gerbang tanpa pintu itu.
Namun, tiba-tiba tanpa sengaja kakinya menginjak salah satu papan rapuh teras rumah. Srukk! Kakinya langsung masuk ke dalam lubang yang dibuatnya sendiri sehingga ujung patahan dari kayu itu menggores kakinya hingga berdarah.
“Awwhh!” Syilea meringis kesakitan.
Selena terkejut dan ingin membantu Syilea, tapi sadar kalau dia tidak bisa menyentuh gadis itu. Dengan inisiatif cepat, Selena menarik tas ransel Syilea agar bisa membantunya berdiri.
“Terima kasih,” ucap Syilea masih merintih kesakitan.
Selena tidak menjawab. Matanya fokus pada kaki Syilea yang berdarah. Seketika dia mencium aroma wangi yang sangat segar sehingga mampu membangkitkan rasa lapar dan hausnya.
Ada apa ini? Kenapa aku tiba-tiba sangat lapar? Dan … bau ini sangat nikmat ….
“Ouch! Ini sangat perih, Elle.” Syilea terus meniup-niup kakinya yang berdarah.
Selena mengalihkan perhatiannya ke bagian luka di kaki Syilea. Rasa lapar dan hausnya bergejolak dan meronta. Sekarang dia mengerti permasalahannya di mana. Dia sadar apa yang terjadi padanya setelah dua buah taring runcing tiba-tiba saja muncul di antara bibirnya.
Gawat!
Selena langsung menutup mulutnya. Matanya terbelalak sempurna. Dia tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Bukankah ini belum bulan purnama, tapi kenapa dia merasa sangat ingin mencicipi darah segar.
Sementara otaknya terus memerintahkan dirinya untuk menahan diri, namun alam bawah sadarnya meminta Selena untuk merasakan darah wangi yang keluar dari tubuh Syilea.
-Bersambung-
"Sekali lagi mengutuk diri sendiri. Aku benci pada diriku."***Selena melangkah mundur. Ekspresinya begitu kaget dan tampak jelas dia sedang menahan diri sekuat mungkin. Sementara Syilea terus merintih kesakitan dan mencoba bangun, namun Selena tidak bergeming sedikit pun."Elle … bisa bantu aku?" pinta Syilea sambil meringis.Selena tidak menjawab, sekali lagi dia melangkahkan mundur kakinya."Elle! Kau mau kemana?!" teriak Syilea yang masih duduk di posisi jatuhnya.Selena menggelengkan kepala dengan kuat. Bisikan yang entah darimana datangnya terus menggema di dalam kepalanya. Suara-suara aneh yang menakutkan, memerintahkan Selena untuk mencicipi darah segar di depan mata.Tanpa suara dan pamit, Selena membalikkan badan lalu berlari sekuat mungkin menjauh dari Syilea. Sementara suara Syilea mulai terdengar sayup terdengar memanggil namanya."Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Kontrol dirimu, Elle!!" seru Selena
“Pepatah mengatakan untuk jangan rubah dirimu. Namun, bagaimana jadinya apabila bukan aku yang merubah diriku. Melainkan orang lain yang sudah mencampuri hidupku. Apa aku harus tetap membencinya?”***BRUGH!!Bianca terhempas dan terpental jauh ketika Henry mencoba untuk menahannya. Saudarinya benar-benar sudah di luar kendali. Henry sampai kewalahan menjaga Bianca agar tidak masuk ke dalam kamar Selena.Mendengar suara gaduh dari luar, John memerintahkan Matt untuk memeriksa keadaan Bianca dan Henry. Sementara Selena sudah diberi minum darah manusia untuk pertama kalinya.Matt keluar dan melihat beberapa perabotan yang hancur karena perkelahian dua vampir. Bahkan lampu gantung yang berada di tengah ruangan saja jatuh ke bawah dan beberapa vas bunga pajangan yang besar harus pecah berkeping-keping.“ASTAGA! APA YANG KALIAN LAKUKAN?!” murka Matt dengan wajah merahnya.Henry menoleh dan menyengir sebenta
“Ketika menginginkanmu hanya sebuah ambisi. Maka, biarkan aku terus berjuang meski hanya sendiri.”***Ada keanehan dalam raut wajah Selena setelah sadar apa yang terjadi pada rumahnya. Seluruh perabotan hancur dan sebagian sudah dibersihkan oleh Henry. Matt yang berjalan di belakangnya tidak bersuara. Dia hanya diam dan menunggu Selena bertanya. Tetapi kalau Selena tidak mengajukan pertanyaan, maka Matt tidak perlu mengatakan apapun untuk menjelaskan.“Henry,” panggil Selena.Henry melepas headphone yang terpasang menutupi kedua telinganya. Di tangannya memegang karung berisi pecahan vas bunga. Dia menoleh ke belakang dan tersenyum lebar melihat Selena yang menyapanya terlebih dulu.“Hey … senang melihatmu baik-baik saja, Elle.” Henry tersenyum tulus seperti biasa. Dia menatap sekilas Matt yang berdiri canggung di belakang perempuan itu.“Apa yang terjadi?” tanya Selen
“Rasa penasaran ini mencambuk hingga membuat memar hatiku.” *** Langit senja begitu mendung. Rain yakin kalau sebentar lagi akan turun hujan. Sebelum keroyokan air dari langit itu menjatuhi bumi, lebih baik dia mengunci pintu depan rumahnya. Sambil memegang sebatang lilin yang diletakkkan dalam wadah mirip gelas berwarna perak, Rain berjalan menuruni anak tangganya. Rumahnya mulai gelap karena tirai-tirai yang tidak pernah lagi dibuka sejak kematian kedua orang tuanya. Uang untuk hidup pun hanya dari sisa-sisa warisan keluarga yang masih bisa disimpannya dengan baik. Itulah sebabnya dia sangat ingin cepat lulus sekolah agar bisa bekerja dan hidup di kota yang jauh dari Breavork. Memulai hidup baru dengan menjadi Rain yang lain. Bukan Rain yang tenggelam karena masa lalu. Tap … tap … tap …. Rain mengerutkan keningnya saat mendengar suara dari depan pintunya. Siapa? … batinnya. Rain memindahkan gelas li
“Mungkin kita pernah bertemu sebelumnya. Hanya kau saja yang tidak menyadarinya.”***Syilea masih beringsut ke tepi tempat tidur ketika suara ketukan semakin cepat dan berulang-ulang. Dida tidak yakin kalau itu adalah manusia. Namun, tiba-tiba sebuah suara terdengar dan membuatnya mengernyit.“Lea!” panggilnya dari luar.Syilea menyibak selimut yang melindungi dirinya. Turun dari tempat tidur dan mencoba berjalan menuju jendela meski sangat ketakutan. Hanya karena dia kenal suara tersebut, makanya dia meyakinkan diri.Krieet … Syilea menggeser tirai dan melihat dari balik kaca. Tampak di bawah ada Selena yang berdiri menatap lurus ke arah jendelanya.“ELLE?!” seru Syilea lalu membuka jendela dan berbicara dari atas. Dia melihat di tangan Selena memegang beberapa kerikil. Ternyata Selena melempari jendelanya dengan benda kecil itu. Malu rasanya ketika Syilea sadar bahwa dia berpikir sudah d
“Apa saja yang kau lakukan, selalu menyita atensiku. Kenapa?”***Keesokan harinya. Tidak ada yang spesial atau berubah dari hari-hari sebelumnya. Selena yang masih dengan sifat pendiamnya dan Bianca yang masih sebal karena kejadian kemarin. Gadis itu merengut dan tidak ingin bicara pada siapa pun termasuk John. Dia tengah mengajukan protes tutup mulut dengan wajah datar.“Ayolah, Bia … aku kan sudah minta maaf padamu,” rengek Henry yang mengikuti langkah kaki Bianca menuju mobil yang siap mengantar mereka ke sekolah.Bianca yang berjalan menuju mobil sambil bersedekap tidak ingin menjawab bahkan menoleh pun tidak.“Biaaa ….” Suara Henry terdengar seperti anak kecil yang meminta gula-gula pada orang tuanya. Dia tidak menyerah meminta maaf pada Bianca meski itu bukan salahnya sepenuhnya.Sementara itu Selena yang duduk tenang di dalam mobil sambil membaca novel mulai risih dengan kela
“Andai aku memiliki jantung. Mungkin sekarang detakannya akan terdengar sampai keluar.”***Selena tidak dapat membuka suara. Dia bungkam dan seolah semua yang ada di bumi berhenti bergerak. Bumi berhenti berputar dan waktu menjadi terhenti. Tatapan dalam dan teduh dari sepasang netra biru itu menyita seluruh perhatiannya. Dua mata indah penuh kesedihan yang mendalam tersimpan di dalamnya. Selena tidak dapat membaca apa yang ada di dalam pikiran Rain.Sementara lelaki itu juga melakukan hal yang sama. Untuk pertama kalinya dia melihat wajah Selena lebih dari tiga detik. Mengagumi paras yang terpahat sempurna dimiliki gadis bertubuh kurus dan tinggi itu. Bibirnya begitu merah seperti darah yang menetes di atas tumpukan salju putih. Rambut hitamnya bergelombang dan tersisir rapi. Hidung mancungnya begitu kecil sama seperti bibirnya yang sekarang tengah sedikit terbuka. Rain belum pernah melihat perempuan berwajah malaikat seperti Selena.
Selena bak bintang lapangan, dia begitu menguasai olahraga voli. Bukan hanya Selena, bahkan saudaranya juga seperti itu. Matt tidak ingin kalah oleh adiknya. Dia terlihat begitu unggul dalam permainan ini. Seolah paket sempurna dimiliki mereka berdua, semua murid langsung saja mengidolakan Selena dan Matt.Selama jam pelajaran olahraga berlangsung, Selena tidak melihat kehadiran Rain. Lelaki itu lagi-lagi bolos pelajaran ini.Apa yang dia inginkan di sekolah kalau apa saja dia lewatkan? Kenapa dia harus sekolah? Lebih baik dia di rumah saja. Dasar manusia aneh! … Selena terus memaki dalam hati saat sadar Rain hanya duduk di tribun sambil membaca buku.“Lea,” panggil Selena pada Syilea yang sedang duduk di lantai meluruskan kakinya yang pegal-pegal.“Ya?”Selena duduk di samping Syilea. Dia tidak tampak kelelahan sedikit pun meski sudah mengeluarkan banyak tenaga dan itu aneh pikir Syilea.“Kenapa
Setelah musim panas berakhir, maka masuklah musim paling syahdu yaitu musim gugur. Sisa hawa panas memang masih ada, namun angin pun sudah mulai berembus. Selena memakai kaos tipis yang dilapisi dengan mantel panjang berwarna merah favoritnya, Ia tampak begitu sangat cantik malam ini. Terlebih jeans panjang dengan sepatu ankle boot hitam membuatnya menjadi tampak sempurna.Sama seperti Selena, Bianca dan Erika pun juga memakai outfit yang sama meski beda warna dan hiasan baju lainnya. Mereka semua sudah siap untuk pergi ke festival musim gugur bersama dengan pasangan masing-masing.“Aku tidak memiliki pasangan. Lalu, nanti sama siapa setelah di sana?” tanya Erika kebingungan.“Jangan cemas. Kamu bisa bersamaku, Bianca atau Syilea.” Selena mencoba menenangkan Erika.“Aku tidak ingin mengganggu kesenangan kalian,” tolak Erika dengan segan.“Ah, begini saja … bagaimana kalau kita tidak usah berpencar? K
Syilea sangat terkejut dengan serangan ciuman dari Henry. Pupil matanya membulat sempurna tatkala sebuah memori ingatan melemparkannya ke suatu tempat yang aneh. Di mana ia melihat dirinya dan Henry yang sedang berciuman di ruang tamu rumahnya, pernyataan cinta dari Henry, hadiah bunga dan jalan-jalan malam di festival hingga akhirnya ia melihat seorang vampir yang berdiri di hadapannya dengan seringai menyeramkan beserta taring tajam.Jantung Syilea berdentam dengan sangat cepat ketika dia potongan memori ingatannya kembali seperti puzzle yang mulai tersusun hingga membentuk gambar sempurna.Satu detik … Dua detik … Tiga detik … Empat detik … Lima detik.Seketika pandangan Syilea menjadi samar bersamaan dengan Henry yang menarik mundur wajahnya. Dengan tatapan sayu, Syilea menatap Henry yang dikenalnya sebagai kekasihnya, bukan orang asing lagi.“Henry,” bisik Syilea dengan lirih.“Apa kamu sudah ingat
Keesokan harinya, Selena sudah bersiap menuju sekolah dijemput Rain seperti biasa. Seperti yang dikatakan Arion tadi malam, mulai hari ini dia tidak akan muncul lagi di hadapannya. Perpisahan tadi malam sudah cukup menguras emosinya hingga membuat Selena merasakan seperti ada duri tertancap di hatinya.“Kenapa aku merasa tidak rela untuk kehilangannya?” gumam Selena sambil berjalan menuju anak tangga.“Elle … berangkat dengan Rain?” tanya Bianca yang tiba-tiba saja berjalan di sisinya.“Ya.” Selena menjawab singkat.“Ada apa denganmu? Wajahmu terlihat linglung,” heran adiknya.“Bia … apa kamu tahu kalau Arion pergi?” tanya Selena akhirnya pada Bianca.“Iya, tau. Ayah sudah menceritakan pada kami semua tadi malam saat kamu dan dia pergi jalan-jalan,” jawab Bianca.“Kenapa kamu tidak sedih?”“Buat apa? Dia kan hanya pergi untuk
Masih di bar khusus para vampir. Selena tidak meminum apapun, ia hanya melihat Arion yang sudah menghabiskan empat gelas kecil berisi darah manusia.“Sepertinya kamu sudah terlalu lama menahan ini semua,” sindir Selena pada Arion yang meletakkan gelas terakhir di atas meja.“Maafkan aku. Tidak mudah untuk membuang kebiasaan,” jawab Arion yang memberi kode pada bartender untuk mengisi gelasnya lagi.“Setidaknya sekarang kamu sudah bersahabat dengan kata maaf,” jawab Selena tersenyum. “Setelah ini, kamu ingin membawaku kemana lagi?”“Pantai,” jawab Arion.Selena mengernyit dan bingung. “Pantai?” ulangnya.“Bukankan kamu sangat suka melihat laut?” tanya Arion.Selena mengangguk. Ia tak membantah tebakan Arion. “Ya. Aku suka.”“Laut akan terlihat indah bila dilihat saat malam hari,” lanjut Arion lalu kembali minum.&ld
Para gadis sudah tiba di rumah saat pukul delapan malam. Saat itulah mereka melihat para lelaki berkumpul di ruang keluarga. Ada John, Arion, Stefan, Henry dan Matt. Mereka tengah berbincang santai dan sesekali terdengar tawa karena joke yang dilontarkan oleh Arion.Selena tersenyum ketika melihat bagaimana Arion yang berdiri di depan mereka semua sambil membawakan sebuah lelucon seolah sedang melakukan stand up, lalu terdengar suara tawa Henry yang paling keras.“Hai, girls … sudah selesai bersenang-senangnya?” tanya Matt ketika sadar dengan kehadiran Bianca, Selena dan Erika.Bianca menghampiri Matt dan langsung duduk di pangkuan lelaki itu tanpa malu dilihat oleh John dan Stefan. Lagipula mereka adalah keluarga, bersikap romantis di depan keluarga bukan hal yang aneh, kan?“Ya … itu tadi adalah shopping paling menyenangkan,” ungkap Bianca dengan penuh semangat yang menggebu-gebu. Ia lalu melemparkan pandangan pada
Sambungan via telepon handphone antara Henry dan Syilea ….“Kenapa kamu baru tiba di rumah?” tanya Henry setelah teleponnya baru diangkat oleh gadis tersebut dan Syilea mengatakan bahwa dia baru saja sampai rumah.“Aku harus pergi ke rumah sakit untuk bertemu dengan ibu sebentar,” jawab Syilea jujur.Henry mengangguk paham. “Seharusnya kamu tidak perlu menolak tawaranku ketika ingin mengantarkanmu pulang,” sesalnya lagi.“Tidak apa-apa. Aku tidak ingin merepotkanmu. Kita hanya teman dan seharusnya aku harus tahu batasan,” jelas Syilea dengan bijaksana.“Kalau begitu … bagaimana jika seandainya kita bukan hanya sekedar teman?” pancing Henry.“Ma-maksudmu?” gagap Syilea mendengar hal yang bisa langsung dia asumsikan tentang hal lebih dari teman.“Ya, maksudku … seperti hubungan yang lebih dekat,” jawab Henry pelan. Dia sendiri merasa
Selena membawa Erika ke kamar yang akan ditinggali oleh gadis penyihir itu. Sengaja ia memilihkan kamar dengan kasur baru dengan alasan khusus untuk manusia.“Karena kamu membutuhkan tidur yang nyenyak daripada kami,” kata Selena saat mendapati Erika yang begitu sungkan.“Terima kasih,” ucap Erika dengan tulus.“Tapi … apa kamu tidak takut tinggal serumah dengan banyak vampir?” tanya Selena ragu.Erika hanya tersenyum penuh arti. “Bahkan sebelumnya aku pernah serumah dengan vampir yang sangat bengis dan haus darah manusia.”Selena mengerti siapa yang dimaksud oleh Erika. Tentu saja dia adalah Arion. Mereka memang pernah serumah dan bahkan bercinta karena memiliki hubungan khusus.Erika mulai mengeluarkan beberapa pakaiannya yang usang dan lusuh lalu membuka lemari. Selena mengernyit melihat pakaian penyihir itu. Baru dia sadari ada sesuatu yang memprihatinkan sekarang.“Erik
Rain dan Selena hari ini pulang sekolah sambil berjalan kaki. Ini sesuai permintaan Selena yang katanya rindu berjalan-jalan di tengah hutan sambil menuju rumahnya sendiri. John sudah menyampaikan pesan lewat Arion yang datang ke sekolah untuk menyuruh semua anaknya pulang ke rumah tepat waktu. Tidak ada yang boleh mampir ke suatu tempat apalagi pacaran kata Arion tadi. Dan tentu saja mendapat dengusan sebal dari Selena dan Bianca.“Memangnya ayah kenapa menyuruh kita langsung pulang?” tanya Selena pada Rain. Mereka berjalan sambil berpegangan tangan satu sama lain.Rain mengedikkan bahu. “Aku tidak tahu. Mungkin ayah kalian ingin mengumumkan sesuatu mungkin.”“Apa ayah akan menikah lagi?” tanya Selena dengan tatapan tak percaya.“Masa? Bukankah ayah kalian tidak dekat dengan siapapun juga,” heran Rain yang kurang percaya dengan kesimpulan tak masuk akal dari Selena.“Selama ini ayah paling pint
Keesokan harinya John dan Arion akhirnya memutuskan untuk menemui Stefan di kediamannya. Sebuah rumah kecil dengan dinding kayu di tengah hutan. Pagar kayu setinggi pinggang orang dewasa dan ada pohon di depannya. Bisa ditebak bahwa pohon tersebut adalah pohon cokelat yang tumbuh dengan suburnya. Stefan sengaja membangun rumah di samping pepohonan cokelat agar bisa bertahan hidup.Melihat kehadiran Arion dan John yang datang bersama-sama awalnya membuat Stefan sedikit kaget, namun pada akhirnya ia tersenyum dan mempersilakan dua anak adopsinya masuk ke dalam.Arion memerhatikan sekitar rumah yang begitu hangat meski tak terlalu besar. Beda dengan rumahnya yang mewah dan besar namun terasa dingin.Stefan memberikan dua gelas cokelat hitam panas pada dua lelaki yang dia sayangi. Lelaki tua itu tersenyum bijaksana dan terlihat jelas bagaimana ia senang melihat kehadiran kakak beradik itu. Melihat keakuran yang akhirnya terjalin di antara keduanya. Stefan benar-bena