“Kelebihan yang kau miliki adalah yang diingankan orang lain.”
***
Valley High School.
Selena bergegas mengayunkan langkahnya menuju kelas. Dia tidak sabar ingin bertemu dengan Rain, lelaki yang mengusik pikirannya selama beberapa jam terakhir. Konyol rasanya dia bisa menjadi seperti ini. Bahkan kalau diingat-ingat terasa sangat aneh ketika Selena tidak dapat menghentikan langkahnya ketika berpapasan dengan Rain di jalan tempo hari.
Di kelas hanya ada beberapa orang saja. Tidak ada Rain di sana.
“Selamat pagi!” sapa seorang gadis ceria pada Selena. Tentunya dia adalah manusia.
Selena menoleh sebentar kemudian menjawab, “Pagi.” Sambil meletakkan tas miliknya di atas meja.
Gadis manusia bernama Syilea itu terus mengikuti Selena hingga duduk di kursi sampingnya. “Kita belum berkenalan secara resmi.”
Aku sudah tahu namamu, batin Selena.
“Hai, namaku Syilea.” Gadis itu mengulurkan tangannya.
Selena melihat uluran tangan Syilea. Kulit gadis itu coklat dengan iris mata abu-abu, sangat cantik. Terlebih rambutnya yang keriting hitam panjang. Dia selalu tersenyum dan menunjukkan keceriaan.
“Selena.” Hanya itu yang diucapkan vampir muda yang enggan menjabat tangan Syilea.
“Tanganku bau, ya?” gumam Syilea sambil mencium tangannya. “Ah, tidak, kok. Tapi, kenapa kamu tidak ingin bersalaman denganku?” herannya.
Selena membelalak sedikit kaget. Kenapa bisa Syilea berpikir tangannya bau. Padahal dia hanya tidak ingin bersentuhan kulit dengan manusia.
“Bukan begitu, aku hanya‒.” Selena ingin menjelaskan, tapi Syilea sudah tertawa kecil yang membuat dia heran sendiri.
“Aku hanya bergurau. Jangan diambil hati,” ucapnya tulus.
Diambil hati? Bukankah seharusnya dia yang tersinggung karena aku tidak menjabat tangannya? Dasar aneh!
Selena tidak tertarik untuk melanjutkan obrolan dengan Syilea. Dia mengeluarkan satu persatu buku matematika, pulpen dan penggaris. Meskipun bosan dengan pelajaran yang itu-itu saja, Selena harus tetap menjalani itu semua. Ini seperti lelucon yang selalu diulang sehingga membuatnya jengah.
“Nanti kita akan ada pelajaran olahraga,” kata Syilea semangat.
“Hm.”
“Oh iya, kamu dari sekolah mana sebelumnya?”
“Sekolah yang jauh dari Breavork,” jawab Selena enggan memberitahu di mana sekolah asalnya.
“Apakah sekolah itu memiliki matahari yang terik?” lanjutnya.
Selena menggelengkan kepala. Sesekali dia melihat ke arah pintu, berharap kalau Rain akan tiba. Namun, Selena harus kecewa ketika sampai bel masuk berbunyi masih belum muncul lelaki penggoda pikirannya.
Kemana dia? Kenapa tidak ada?
Pelajaran berlangsung. Selena tidak menikmati hari ini, meskipun sebelumnya memang dia tidak pernah menikmati hari-hari yang dia lalui. Tapi, hari ini memang agak sedikit berbeda.
“Lea,” panggil Selena pada Syilea yang duduk di sampingnya sambil menulis catatan di papan tulis ke bukunya.
“Ya, Elle?” jawab Syilea sambil terus mencatat.
“Kenapa anak laki-laki dingin dan pemarah itu tidak masuk kelas?”
“Dingin dan pemarah?” ulang Syilea dengan kening berkerut dan menghentikan gerak pulpen miliknya. “Maksudmu Justin?”
“Justin?” heran Selena. Dia ingat kalau Justin adalah anak lelaki gembul dengan tangan yang selalu memegang makanan. Bagaimana bisa Syilea langsung memikirkan nama Justin saat Selena menyebutkan petunjuk seperti itu.
“Iya. Dia kan pemarah,” jelas Syilea dengan lugunya.
Selena menggelengkan kepala lalu mengoreksi. “Bukan. Bukan Justin yang kumaksud.”
“Lalu?”
“Mmm … dia sedikit tam … pan.” Ada nada rendah ketika menyebutkan kata tampan di kalimat Selena.
“Aaah … Rain?”
Tanpa sadar senyum Selena langsung mengembang saat mendengar nama lelaki itu. Dia mengangguk pelan meskipun yakin.
“Ng … tunggu kucari,” kata Syilea lalu melihat satu persatu wajah temannya di kelas.
“Dia tidak ada, Lea.”
“Iya, benar. Dia tidak ada,” sahut Syilea membenarkan. “Kalau begitu dia membolos lagi seperti biasa.”
“Memangnya dia selalu melakukan itu?”
Syilea mengangguk. “Selalu dan selalu. Bahkan dalam seminggu dia bisa tidak masuk sampai empat hari. Herannya dia selalu naik kelas karena tidak pernah mendapatkan nilai merah saat test atau ujian.”
Kening Selena mengernyit. Penjelasan yang aneh dari Syilea membuatnya semakin tertarik ingin tahu tentang Rain.
“Apa kau tahu di mana tempat tinggalnya?” tanya Selena lagi.
Sayangnya kali ini Syilea menggeleng dan menjawab, “Tidak ada yang tahu dia tinggal di mana. Pernah ada yang mengatakan dia tinggal di rumah ujung jalan. Rumah besar yang tidak terawat itu.”
“Aku belum pernah melihatnya.”
“Jelaslah … kamu kan warga baru di Breavork,” jawab Syilea sambil terkekeh.
Selena tidak ikut tertawa, menurutnya itu tidak lucu melainkan masuk akal. Jadi tidak ada yang perlu ditertawakan.
“Apa kamu ingin jalan-jalan ke sana?” ajak Syilea tiba-tiba.
“Kamu mengajakku?”
“Memangnya siapa lagi?”
Selena langsung mengangguk tanpa berpikir dua kali. Dia harus mencari tahu tentang kehidupan Rain. Siapa Rain sesungguhnya dan bagaimana bisa lelaki itu terus menghantui pikirannya.
***
Sepulang sekolah.
Selena lebih dulu menghampiri Matt yang sudah merapikan barang-barang miliknya di dalam loker. Mengetahui Selena datang, Matt langsung tersenyum lebar.
“Ada apa, Elle?” tanya Matt dengan antusias dan semangat.
“Aku tidak pulang dengan kalian.”
Kening Matt berkerut. “Ada apa lagi, Elle? Apa yang ingin kamu lakukan?”
“Bukan urusanmu,” jawab Selena dingin.
“Setidaknya beritahu aku … kalau kamu merasa tidak nyaman satu mobil denganku. Aku bisa menyuruh Henry yang menyetir dan biarkan aku pulang sendirian.”
Selena menggelengkan kepalanya tanpa menatap wajah penuh sesal Matt.
“Ayolah, Elle … jangan bersikap seperti ini. Kamu sudah membuat saudara kita menjadi tidak nyaman dengan hubungan kita yang dingin.”
Selena tidak menggubris. Dia membalikkan badan dan ingin pergi. Baginya sudah minta ijin pada Matt itu lebih dari cukup.
“Elle … wait!” panggil Matt mengunci lokernya lalu mengejar Selena.
Di koridor mereka berpapasan dengan Henry dan Bianca.
“Hai … ada apa?” heran Bianca melihat Matt yang terlihat seperti mengemis pada Selena.
“Dia tidak ingin pulang dengan kita,” jawab Matt.
“Oh ya? Bagus, dong!” seru Bianca sambil melirik Selena yang tidak peduli.
“Elle, mau kemana?” tanya Henry dengan lembut.
Selena menghentikan langkahnya dan menatap Henry. Baginya, hanya Henry yang bisa bersikap tulus dan sangat baik padanya. Meskipun sebenarnya Matt juga begitu. Hanya saja dia terlanjur membenci kakaknya itu.
“Beritahu aku saja,” pinta Henry sembari tersenyum.
Selena meraih tangan Henry. Menggunakan kekuatannya untuk memberitahu dia ingin kemana. Seketika Henry melihat bayangan Selena dan Syilea yang berjalan bersama hingga berdiri di depan sebuah rumah gelap seperti tidak berpenghuni.
Lima detik kemudian, Selena melepaskan genggaman tangannya. Henry mengerjap kemudian berkata, “ Jadi kamu ingin ke sana?”
“Ya … tolong jaga rahasia ini,” pinta Selena.
Henry mengangguk setuju. “Baiklah … aku tidak akan memberitahu siapa pun.”
Selena kembali melangkahkan kakinya meninggalkan Henry, Bianca dan Matt. Sejauh ini dia selalu percaya pada Henry karena saudaranya itu belum pernah membocorkan rahasianya sekali pun meski sudah dipaksa oleh Bianca.
“Mau kemana dia?” tanya Matt pada Henry.
“Kamu tenang saja. Dia pergi ke tempat aman. Dia hanya sedang mencoba menjawab pertanyaan,” jelas Henry.
Bianca menggaruk kepalanya. Tidak mengerti dengan maksud Henry. “Maksudmu apa?”
Henry terkekeh lalu mengacak rambut Bianca dengan gemas. “Sudahlah … jangan pikirkan Elle. Kita pulang saja. Mungkin ayah sudah ada di rumah,” ajaknya lalu berjalan lebih dulu.
“Huh! Kenapa aku selalu diperlakukan seperti anak kecil di mata Matt dan Henry?” sungut Bianca sambil bergegas mengimbangi langkah kedua saudaranya.
-Bersambung-
“Rasa penasaran bukan hanya bisa dirasakan oleh manusia, melainkan bangsa vampir pun juga.”***Selena berusaha untuk terus menyamakan langkah kakinya dengan Syilea. Dia berpikir apakah manusia selalu berjalan dengan begitu pelannya. Bagi Selena langkah kecil dan pelan seperti ini memakan waktu banyak.“Apa rumahnya masih jauh?” tanya Selena pada Syilea.Gadis yang memakai ransel berwarna putih gading itu menoleh pada Selena sambil memakan crepes rasa coklat keju di tangannya. “Lima menit lagi kita sampai,” jawabnya sambil mengulurkan cemilan di tangannya. “Kamu mau, Elle?”“Tidak. Terima kasih.” Selena menolak dengan suara pelannya. Mana mungkin dia memakan makanan manusia.“Oh iya … apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Syilea.“Ya?”“Kenapa kamu ingin tahu rumah Rain?”Selena tidak perlu
"Sekali lagi mengutuk diri sendiri. Aku benci pada diriku."***Selena melangkah mundur. Ekspresinya begitu kaget dan tampak jelas dia sedang menahan diri sekuat mungkin. Sementara Syilea terus merintih kesakitan dan mencoba bangun, namun Selena tidak bergeming sedikit pun."Elle … bisa bantu aku?" pinta Syilea sambil meringis.Selena tidak menjawab, sekali lagi dia melangkahkan mundur kakinya."Elle! Kau mau kemana?!" teriak Syilea yang masih duduk di posisi jatuhnya.Selena menggelengkan kepala dengan kuat. Bisikan yang entah darimana datangnya terus menggema di dalam kepalanya. Suara-suara aneh yang menakutkan, memerintahkan Selena untuk mencicipi darah segar di depan mata.Tanpa suara dan pamit, Selena membalikkan badan lalu berlari sekuat mungkin menjauh dari Syilea. Sementara suara Syilea mulai terdengar sayup terdengar memanggil namanya."Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Kontrol dirimu, Elle!!" seru Selena
“Pepatah mengatakan untuk jangan rubah dirimu. Namun, bagaimana jadinya apabila bukan aku yang merubah diriku. Melainkan orang lain yang sudah mencampuri hidupku. Apa aku harus tetap membencinya?”***BRUGH!!Bianca terhempas dan terpental jauh ketika Henry mencoba untuk menahannya. Saudarinya benar-benar sudah di luar kendali. Henry sampai kewalahan menjaga Bianca agar tidak masuk ke dalam kamar Selena.Mendengar suara gaduh dari luar, John memerintahkan Matt untuk memeriksa keadaan Bianca dan Henry. Sementara Selena sudah diberi minum darah manusia untuk pertama kalinya.Matt keluar dan melihat beberapa perabotan yang hancur karena perkelahian dua vampir. Bahkan lampu gantung yang berada di tengah ruangan saja jatuh ke bawah dan beberapa vas bunga pajangan yang besar harus pecah berkeping-keping.“ASTAGA! APA YANG KALIAN LAKUKAN?!” murka Matt dengan wajah merahnya.Henry menoleh dan menyengir sebenta
“Ketika menginginkanmu hanya sebuah ambisi. Maka, biarkan aku terus berjuang meski hanya sendiri.”***Ada keanehan dalam raut wajah Selena setelah sadar apa yang terjadi pada rumahnya. Seluruh perabotan hancur dan sebagian sudah dibersihkan oleh Henry. Matt yang berjalan di belakangnya tidak bersuara. Dia hanya diam dan menunggu Selena bertanya. Tetapi kalau Selena tidak mengajukan pertanyaan, maka Matt tidak perlu mengatakan apapun untuk menjelaskan.“Henry,” panggil Selena.Henry melepas headphone yang terpasang menutupi kedua telinganya. Di tangannya memegang karung berisi pecahan vas bunga. Dia menoleh ke belakang dan tersenyum lebar melihat Selena yang menyapanya terlebih dulu.“Hey … senang melihatmu baik-baik saja, Elle.” Henry tersenyum tulus seperti biasa. Dia menatap sekilas Matt yang berdiri canggung di belakang perempuan itu.“Apa yang terjadi?” tanya Selen
“Rasa penasaran ini mencambuk hingga membuat memar hatiku.” *** Langit senja begitu mendung. Rain yakin kalau sebentar lagi akan turun hujan. Sebelum keroyokan air dari langit itu menjatuhi bumi, lebih baik dia mengunci pintu depan rumahnya. Sambil memegang sebatang lilin yang diletakkkan dalam wadah mirip gelas berwarna perak, Rain berjalan menuruni anak tangganya. Rumahnya mulai gelap karena tirai-tirai yang tidak pernah lagi dibuka sejak kematian kedua orang tuanya. Uang untuk hidup pun hanya dari sisa-sisa warisan keluarga yang masih bisa disimpannya dengan baik. Itulah sebabnya dia sangat ingin cepat lulus sekolah agar bisa bekerja dan hidup di kota yang jauh dari Breavork. Memulai hidup baru dengan menjadi Rain yang lain. Bukan Rain yang tenggelam karena masa lalu. Tap … tap … tap …. Rain mengerutkan keningnya saat mendengar suara dari depan pintunya. Siapa? … batinnya. Rain memindahkan gelas li
“Mungkin kita pernah bertemu sebelumnya. Hanya kau saja yang tidak menyadarinya.”***Syilea masih beringsut ke tepi tempat tidur ketika suara ketukan semakin cepat dan berulang-ulang. Dida tidak yakin kalau itu adalah manusia. Namun, tiba-tiba sebuah suara terdengar dan membuatnya mengernyit.“Lea!” panggilnya dari luar.Syilea menyibak selimut yang melindungi dirinya. Turun dari tempat tidur dan mencoba berjalan menuju jendela meski sangat ketakutan. Hanya karena dia kenal suara tersebut, makanya dia meyakinkan diri.Krieet … Syilea menggeser tirai dan melihat dari balik kaca. Tampak di bawah ada Selena yang berdiri menatap lurus ke arah jendelanya.“ELLE?!” seru Syilea lalu membuka jendela dan berbicara dari atas. Dia melihat di tangan Selena memegang beberapa kerikil. Ternyata Selena melempari jendelanya dengan benda kecil itu. Malu rasanya ketika Syilea sadar bahwa dia berpikir sudah d
“Apa saja yang kau lakukan, selalu menyita atensiku. Kenapa?”***Keesokan harinya. Tidak ada yang spesial atau berubah dari hari-hari sebelumnya. Selena yang masih dengan sifat pendiamnya dan Bianca yang masih sebal karena kejadian kemarin. Gadis itu merengut dan tidak ingin bicara pada siapa pun termasuk John. Dia tengah mengajukan protes tutup mulut dengan wajah datar.“Ayolah, Bia … aku kan sudah minta maaf padamu,” rengek Henry yang mengikuti langkah kaki Bianca menuju mobil yang siap mengantar mereka ke sekolah.Bianca yang berjalan menuju mobil sambil bersedekap tidak ingin menjawab bahkan menoleh pun tidak.“Biaaa ….” Suara Henry terdengar seperti anak kecil yang meminta gula-gula pada orang tuanya. Dia tidak menyerah meminta maaf pada Bianca meski itu bukan salahnya sepenuhnya.Sementara itu Selena yang duduk tenang di dalam mobil sambil membaca novel mulai risih dengan kela
“Andai aku memiliki jantung. Mungkin sekarang detakannya akan terdengar sampai keluar.”***Selena tidak dapat membuka suara. Dia bungkam dan seolah semua yang ada di bumi berhenti bergerak. Bumi berhenti berputar dan waktu menjadi terhenti. Tatapan dalam dan teduh dari sepasang netra biru itu menyita seluruh perhatiannya. Dua mata indah penuh kesedihan yang mendalam tersimpan di dalamnya. Selena tidak dapat membaca apa yang ada di dalam pikiran Rain.Sementara lelaki itu juga melakukan hal yang sama. Untuk pertama kalinya dia melihat wajah Selena lebih dari tiga detik. Mengagumi paras yang terpahat sempurna dimiliki gadis bertubuh kurus dan tinggi itu. Bibirnya begitu merah seperti darah yang menetes di atas tumpukan salju putih. Rambut hitamnya bergelombang dan tersisir rapi. Hidung mancungnya begitu kecil sama seperti bibirnya yang sekarang tengah sedikit terbuka. Rain belum pernah melihat perempuan berwajah malaikat seperti Selena.
Setelah musim panas berakhir, maka masuklah musim paling syahdu yaitu musim gugur. Sisa hawa panas memang masih ada, namun angin pun sudah mulai berembus. Selena memakai kaos tipis yang dilapisi dengan mantel panjang berwarna merah favoritnya, Ia tampak begitu sangat cantik malam ini. Terlebih jeans panjang dengan sepatu ankle boot hitam membuatnya menjadi tampak sempurna.Sama seperti Selena, Bianca dan Erika pun juga memakai outfit yang sama meski beda warna dan hiasan baju lainnya. Mereka semua sudah siap untuk pergi ke festival musim gugur bersama dengan pasangan masing-masing.“Aku tidak memiliki pasangan. Lalu, nanti sama siapa setelah di sana?” tanya Erika kebingungan.“Jangan cemas. Kamu bisa bersamaku, Bianca atau Syilea.” Selena mencoba menenangkan Erika.“Aku tidak ingin mengganggu kesenangan kalian,” tolak Erika dengan segan.“Ah, begini saja … bagaimana kalau kita tidak usah berpencar? K
Syilea sangat terkejut dengan serangan ciuman dari Henry. Pupil matanya membulat sempurna tatkala sebuah memori ingatan melemparkannya ke suatu tempat yang aneh. Di mana ia melihat dirinya dan Henry yang sedang berciuman di ruang tamu rumahnya, pernyataan cinta dari Henry, hadiah bunga dan jalan-jalan malam di festival hingga akhirnya ia melihat seorang vampir yang berdiri di hadapannya dengan seringai menyeramkan beserta taring tajam.Jantung Syilea berdentam dengan sangat cepat ketika dia potongan memori ingatannya kembali seperti puzzle yang mulai tersusun hingga membentuk gambar sempurna.Satu detik … Dua detik … Tiga detik … Empat detik … Lima detik.Seketika pandangan Syilea menjadi samar bersamaan dengan Henry yang menarik mundur wajahnya. Dengan tatapan sayu, Syilea menatap Henry yang dikenalnya sebagai kekasihnya, bukan orang asing lagi.“Henry,” bisik Syilea dengan lirih.“Apa kamu sudah ingat
Keesokan harinya, Selena sudah bersiap menuju sekolah dijemput Rain seperti biasa. Seperti yang dikatakan Arion tadi malam, mulai hari ini dia tidak akan muncul lagi di hadapannya. Perpisahan tadi malam sudah cukup menguras emosinya hingga membuat Selena merasakan seperti ada duri tertancap di hatinya.“Kenapa aku merasa tidak rela untuk kehilangannya?” gumam Selena sambil berjalan menuju anak tangga.“Elle … berangkat dengan Rain?” tanya Bianca yang tiba-tiba saja berjalan di sisinya.“Ya.” Selena menjawab singkat.“Ada apa denganmu? Wajahmu terlihat linglung,” heran adiknya.“Bia … apa kamu tahu kalau Arion pergi?” tanya Selena akhirnya pada Bianca.“Iya, tau. Ayah sudah menceritakan pada kami semua tadi malam saat kamu dan dia pergi jalan-jalan,” jawab Bianca.“Kenapa kamu tidak sedih?”“Buat apa? Dia kan hanya pergi untuk
Masih di bar khusus para vampir. Selena tidak meminum apapun, ia hanya melihat Arion yang sudah menghabiskan empat gelas kecil berisi darah manusia.“Sepertinya kamu sudah terlalu lama menahan ini semua,” sindir Selena pada Arion yang meletakkan gelas terakhir di atas meja.“Maafkan aku. Tidak mudah untuk membuang kebiasaan,” jawab Arion yang memberi kode pada bartender untuk mengisi gelasnya lagi.“Setidaknya sekarang kamu sudah bersahabat dengan kata maaf,” jawab Selena tersenyum. “Setelah ini, kamu ingin membawaku kemana lagi?”“Pantai,” jawab Arion.Selena mengernyit dan bingung. “Pantai?” ulangnya.“Bukankan kamu sangat suka melihat laut?” tanya Arion.Selena mengangguk. Ia tak membantah tebakan Arion. “Ya. Aku suka.”“Laut akan terlihat indah bila dilihat saat malam hari,” lanjut Arion lalu kembali minum.&ld
Para gadis sudah tiba di rumah saat pukul delapan malam. Saat itulah mereka melihat para lelaki berkumpul di ruang keluarga. Ada John, Arion, Stefan, Henry dan Matt. Mereka tengah berbincang santai dan sesekali terdengar tawa karena joke yang dilontarkan oleh Arion.Selena tersenyum ketika melihat bagaimana Arion yang berdiri di depan mereka semua sambil membawakan sebuah lelucon seolah sedang melakukan stand up, lalu terdengar suara tawa Henry yang paling keras.“Hai, girls … sudah selesai bersenang-senangnya?” tanya Matt ketika sadar dengan kehadiran Bianca, Selena dan Erika.Bianca menghampiri Matt dan langsung duduk di pangkuan lelaki itu tanpa malu dilihat oleh John dan Stefan. Lagipula mereka adalah keluarga, bersikap romantis di depan keluarga bukan hal yang aneh, kan?“Ya … itu tadi adalah shopping paling menyenangkan,” ungkap Bianca dengan penuh semangat yang menggebu-gebu. Ia lalu melemparkan pandangan pada
Sambungan via telepon handphone antara Henry dan Syilea ….“Kenapa kamu baru tiba di rumah?” tanya Henry setelah teleponnya baru diangkat oleh gadis tersebut dan Syilea mengatakan bahwa dia baru saja sampai rumah.“Aku harus pergi ke rumah sakit untuk bertemu dengan ibu sebentar,” jawab Syilea jujur.Henry mengangguk paham. “Seharusnya kamu tidak perlu menolak tawaranku ketika ingin mengantarkanmu pulang,” sesalnya lagi.“Tidak apa-apa. Aku tidak ingin merepotkanmu. Kita hanya teman dan seharusnya aku harus tahu batasan,” jelas Syilea dengan bijaksana.“Kalau begitu … bagaimana jika seandainya kita bukan hanya sekedar teman?” pancing Henry.“Ma-maksudmu?” gagap Syilea mendengar hal yang bisa langsung dia asumsikan tentang hal lebih dari teman.“Ya, maksudku … seperti hubungan yang lebih dekat,” jawab Henry pelan. Dia sendiri merasa
Selena membawa Erika ke kamar yang akan ditinggali oleh gadis penyihir itu. Sengaja ia memilihkan kamar dengan kasur baru dengan alasan khusus untuk manusia.“Karena kamu membutuhkan tidur yang nyenyak daripada kami,” kata Selena saat mendapati Erika yang begitu sungkan.“Terima kasih,” ucap Erika dengan tulus.“Tapi … apa kamu tidak takut tinggal serumah dengan banyak vampir?” tanya Selena ragu.Erika hanya tersenyum penuh arti. “Bahkan sebelumnya aku pernah serumah dengan vampir yang sangat bengis dan haus darah manusia.”Selena mengerti siapa yang dimaksud oleh Erika. Tentu saja dia adalah Arion. Mereka memang pernah serumah dan bahkan bercinta karena memiliki hubungan khusus.Erika mulai mengeluarkan beberapa pakaiannya yang usang dan lusuh lalu membuka lemari. Selena mengernyit melihat pakaian penyihir itu. Baru dia sadari ada sesuatu yang memprihatinkan sekarang.“Erik
Rain dan Selena hari ini pulang sekolah sambil berjalan kaki. Ini sesuai permintaan Selena yang katanya rindu berjalan-jalan di tengah hutan sambil menuju rumahnya sendiri. John sudah menyampaikan pesan lewat Arion yang datang ke sekolah untuk menyuruh semua anaknya pulang ke rumah tepat waktu. Tidak ada yang boleh mampir ke suatu tempat apalagi pacaran kata Arion tadi. Dan tentu saja mendapat dengusan sebal dari Selena dan Bianca.“Memangnya ayah kenapa menyuruh kita langsung pulang?” tanya Selena pada Rain. Mereka berjalan sambil berpegangan tangan satu sama lain.Rain mengedikkan bahu. “Aku tidak tahu. Mungkin ayah kalian ingin mengumumkan sesuatu mungkin.”“Apa ayah akan menikah lagi?” tanya Selena dengan tatapan tak percaya.“Masa? Bukankah ayah kalian tidak dekat dengan siapapun juga,” heran Rain yang kurang percaya dengan kesimpulan tak masuk akal dari Selena.“Selama ini ayah paling pint
Keesokan harinya John dan Arion akhirnya memutuskan untuk menemui Stefan di kediamannya. Sebuah rumah kecil dengan dinding kayu di tengah hutan. Pagar kayu setinggi pinggang orang dewasa dan ada pohon di depannya. Bisa ditebak bahwa pohon tersebut adalah pohon cokelat yang tumbuh dengan suburnya. Stefan sengaja membangun rumah di samping pepohonan cokelat agar bisa bertahan hidup.Melihat kehadiran Arion dan John yang datang bersama-sama awalnya membuat Stefan sedikit kaget, namun pada akhirnya ia tersenyum dan mempersilakan dua anak adopsinya masuk ke dalam.Arion memerhatikan sekitar rumah yang begitu hangat meski tak terlalu besar. Beda dengan rumahnya yang mewah dan besar namun terasa dingin.Stefan memberikan dua gelas cokelat hitam panas pada dua lelaki yang dia sayangi. Lelaki tua itu tersenyum bijaksana dan terlihat jelas bagaimana ia senang melihat kehadiran kakak beradik itu. Melihat keakuran yang akhirnya terjalin di antara keduanya. Stefan benar-bena