“Aku hanya berusaha membuat dinding tebal yang tinggi dengan alasan agar mereka tidak dapat menjangkauku.”
***
Sudah lima hari Selena memerintahkan hati dan dirinya sendiri agar tidak memperhatikan Rain meski jarak mereka semakin dekat. Namun, semesta sepertinya berpihak pada mereka berdua untuk semakin dekat. Contohnya seperti tanpa sengaja mereka satu kelompok dalam tugas di sekolah, berpapasan di depan kelas atau juga mereka berdua disuruh oleh guru untuk membawa buku tugas ke ruang guru.
Huh! Kenapa jadi seperti ini? … batin Selena.
Sekarang dia ada di ruang musik bersama Syilea. Pelajaran kesenian hari ini membuat Selena sedikit tenang karena tidak ada Rain di sana. Mungkin dia pergi membolos lagi, bukankah itu kebiasaannya.
“Ada apa, Elle?” tanya Syilea yang memegang biola.
Sudah beberapa kali dia mencoba memainkan alat musik itu dan hasilnya selalu sama. Nada yang keluar dari gesekan bi
“Ibu … aku merindukanmu.” *** Rain menatap sendu sebuah makam yang ada di depannya. Di dalam sana terbaring wanita cinta pertamanya. Wanita yang melahirkan dan membesarkannya dengan penuh cinta. Wanita yang bahkan tidak pernah marah padanya. Wanita yang begitu berharga dan harus pergi begitu cepat hingga membuatnya hampir kehilangan akal karena tidak terima dengan keputusan semesta. “Ibu …,” ucapnya lirih lagi. Entah itu panggilan yang ke berapa kali dia ucapkan sejak dia berdiri di samping makam ibunya. Di tangannya memegang bunga mawar putih segar. Dia ingat bagaimana dulu ibunya selalu menanam berbagai jenis bunga di halaman rumahnya yang luas. Namun, hanya bunga mawar yang menjadi favorit beliau. Rain pernah bertanya kenapa ibunya menyukai mawar lebih dari bunga lainnya. Ibu menjawab seraya tersenyum hangat, beliau mengatakan bahwa bunga mawar melambangkan simbol penuh cinta, kemurnian dan ketulusan. Bunga itu memang sangat cocok
“Tidak ada yang tahu bagaimana aku kecuali diriku sendiri.”***Selena membuka perlahan sebuah peti yang sudah disimpannya selama beratus-ratus tahun di dalam lemari. Kemana pun dia berpindah tempat tinggal, peti itu selalu dibawanya. Peti berwarna coklat muda berukir indah itu adalah peninggalan miliknya sejak dia masih menjadi manusia. Hanya itu satu-satunya kenangan yang dia miliki.Engsel berkarat dari peti tersebut berderit. Tutupnya terbuka dan tampak sebuah biola yang tampak bersih dan terawat di dalamnya. Selena tersenyum melihat benda kesayangannya itu.Selama menjadi vampir, dia selalu menjaga hadiah dari kedua orang tuanya di ulang tahun ke tujuh belasnya. Meski tidak pernah memainkannya lagi, dia ingin tetap menjaga benda itu dengan baik. Seolah biola itu lebih berharga dari apapun juga.Diangkatnya dengan pelan biola yang belum pernah terdengar dawainya itu. Tangannya sedikit gemetar. Ingatan bagaimana bahagianya d
“Kamu tahu lagu apa yang kusukai? Lagu yang bisa membuatku meneteskan airmata tanpa aku menyadarinya.”***Selena lupa bagaimana caranya mengedipkan mata dan bernapas layaknya manusia normal. Dia terpaku menatap wajah dingin dan angkuh Rain. Badannya tidak bergerak dan berdiri tegap berhadapan dengan lelaki itu.Sementara Rain yang memang memiliki aura sangat dingin dan misterius itu, sekarang membalas tatapan mata Selena. Bukan dengan tatapan tidak suka seperti sebelumnya melainkan sorot mata yang lebih lembut dan dalam. Bulu mata lelaki itu panjang dan lebat sehingga tampak semakin teduh bila ditatap lebih lama.“Apa kabar?” tanya Rain pada Selena.“Baik.”“Mau kubantu memilih?”“Ya,” jawab Selena tanpa ragu.Rain mengambil salah satu kemasan kecil berisi senar yang sudah dia sebutkan sebelumnya. Dia memberikan itu pada Selena. “Pakailah ini … s
“Mendekatimu pelan-pelan. Dari sentuhan, rasa kemudian menuju hati.”***Rain mengucapkan kalau dirinya hanya penasaran pada Selena sehingga melakukan hal di luar dugaan seperti mendadak muncul di depannya kemudian menawarkan diri untuk mengantarkan pulang. Itu hal baru yang tidak pernah dibayangkan Selena sebelumnya.“Penasaran?” ulang Selena meyakinkan pendengarannya tidak salah.Rain mengangguk membenarkan. “Iya … aku penasaran denganmu.”“Tentang hal apa?” Jujur saja Selena tidak dapat membaca pikiran dan ekspresi Rain yang hampir tidak pernah berubah dalam suasana hati seperti apapun sehingga itu menyulitkannya.“Banyak,” jawabnya yakin.“Sebutkan salah satunya.”“Bagaimana kamu bisa bermain biola seindah itu?”“Apa?” Selena tidak tahu kalau pertanyaan pertama yang diutarakan Rain adalah hal itu. Bukan ten
“Kita sama … hanya saja beda dunia.”***Selena sudah tiba di rumahnya. Dia memutuskan untuk meninggalkan Rain di hutan dan pulang dengan penglihatan tajamnya. Tanpa takut sedikit pun pada hewan buas atau manusia jahat. Justru yang dia takutkan sekarang adalah Rain. Lelaki yang menjadi sangat aneh menurutnya.“Sudah pulang,” ucap seseorang yang berdiri di balik pintu di dalam rumahnya.Matt menyandar di dinding samping daun pintu sambil memainkan gadget miliknya. Entah apa yang dia lihat sekarang.“Iya,” jawab Selena singkat dan ingin melanjutkan langkah kakinya menuju anak tangga.“Apa tidak ada yang ingin kau sampaikan pada kami yang sudah menunggumu?” tanya Matt lagi.Nada bicaranya terdengar sarkas dan menyindir. Selena tahu itu. Dia menyadari kalau ini memang salahnya. Tiba-tiba saja pergi bersama Rain tanpa ijin dari Matt atau berpamitan dengan Bianca dan H
“Sebagian dari mereka, bulan purnama adalah moment menyenangkan. Tapi, tidak untukku.”***Syilea menatap bingung layar HP miliknya. Setelah mengajak dirinya bertemu, kontak Selena bahkan tidak dapat dihubungi.“Dia kenapa tiba-tiba ingin bertemu di rumah Rain?” Syilea melihat jam dinding dan menyipitkan matanya. “Jam sepuluh malam. Hhh … membuatku tidak tenang saja,” gumamnya.Meski awalnya dia sangat ragu, namun setelah mendengar permintaan Selena dia tidak mungkin bisa mengabaikannya. Meski dia berusaha untuk tidak peduli, tentu saja itu mampu mengusiknya semalaman hingga tak dapat tidur.“Ah, ya sudah!” Syilea meraih mantel tebalnya. Dia tahu kalau sekarang di luar sana jelas dingin sekali meski sedikit terang karena bulan purnama.Syilea memasang syal miliknya dan keluar rumah mengendap-endap tanpa ketahuan oleh orang tuanya. Dia tak ingin tertangkap basah lalu mencari alas
“Saat bisa menemukan zat yang cocok dengan jiwa mereka. Maka dia akan mengikat pemilik zat tersebut.” **** Bianca memperhatikan Matt yang mengintai rumah Rain dari luar. Matt belum menyadari kehadiran saudarinya itu. “Apa yang akan dia lakukan?” gumam Bianca pelan. Matt menoleh ke belakang karena dia mendengar suara Bianca. Meskipun jauh, ketika bulan purnama semua vampir akan mendapatkan kekuatan lebih seperti pendengaran dan penglihatan yang menjadi jauh lebih tajam. Bianca bersembunyi di balik pohon dan memejamkan matanya. Hampir saja dia ketahuan Matt. Padahal dia sendiri tidak melakukan salah apapun jadi tidak perlu takut. Namun, Bianca hanya merasa penasaran dengan apa yang dilakukan kakak tertuanya itu. “Hampir saja,” ucap Bianca lega. “Hampir saja?” ulang seseorang. Bianca membuka mata dan langsung membelalak kaget saat Matt tersenyum menyeringai tepat di depannya. Matanya merah menyala bagaikan darah.
“Kau mengikat jiwa dan ragaku. Maka aku takkan bisa lepas darimu.”***Henry termenung melihat Syilea yang sudah tertidur pulas di dalam kamarnya. Henry menggendong gadis itu sejak pingsan lalu diam-diam membawanya ke kamar tidur melewati jendela yang tak dikunci.“Kenapa seperti ini? Bukankah usiaku belum tiga ratus tahun?” gumam Henry dengan berpangku dagu dengan tangannya. Matanya tidak lepas memindai seluk wajah Syilea.Gadis itu manis meski memiliki kulit coklat, tidak seputih dirinya. Rambutnya juga keriting dan tampak menggemaskan.Henry tersenyum simpul dan ingin menyentuh Syilea lagi, tapi diurungkannya. Dia tidak ingin membuat gadis itu semakin lemas karenanya.“Sebaiknya aku pulang,” ucap Henry pelan lalu keluar lagi di tempat pertama dia masuk, jendela.***Sementara itu di sisi lain. John terpaku dengan keberadaan Danna yang berdiri mematung di depan hotel. Berteduh di b