“Kamu tahu lagu apa yang kusukai? Lagu yang bisa membuatku meneteskan airmata tanpa aku menyadarinya.”
***
Selena lupa bagaimana caranya mengedipkan mata dan bernapas layaknya manusia normal. Dia terpaku menatap wajah dingin dan angkuh Rain. Badannya tidak bergerak dan berdiri tegap berhadapan dengan lelaki itu.
Sementara Rain yang memang memiliki aura sangat dingin dan misterius itu, sekarang membalas tatapan mata Selena. Bukan dengan tatapan tidak suka seperti sebelumnya melainkan sorot mata yang lebih lembut dan dalam. Bulu mata lelaki itu panjang dan lebat sehingga tampak semakin teduh bila ditatap lebih lama.
“Apa kabar?” tanya Rain pada Selena.
“Baik.”
“Mau kubantu memilih?”
“Ya,” jawab Selena tanpa ragu.
Rain mengambil salah satu kemasan kecil berisi senar yang sudah dia sebutkan sebelumnya. Dia memberikan itu pada Selena. “Pakailah ini … s
“Mendekatimu pelan-pelan. Dari sentuhan, rasa kemudian menuju hati.”***Rain mengucapkan kalau dirinya hanya penasaran pada Selena sehingga melakukan hal di luar dugaan seperti mendadak muncul di depannya kemudian menawarkan diri untuk mengantarkan pulang. Itu hal baru yang tidak pernah dibayangkan Selena sebelumnya.“Penasaran?” ulang Selena meyakinkan pendengarannya tidak salah.Rain mengangguk membenarkan. “Iya … aku penasaran denganmu.”“Tentang hal apa?” Jujur saja Selena tidak dapat membaca pikiran dan ekspresi Rain yang hampir tidak pernah berubah dalam suasana hati seperti apapun sehingga itu menyulitkannya.“Banyak,” jawabnya yakin.“Sebutkan salah satunya.”“Bagaimana kamu bisa bermain biola seindah itu?”“Apa?” Selena tidak tahu kalau pertanyaan pertama yang diutarakan Rain adalah hal itu. Bukan ten
“Kita sama … hanya saja beda dunia.”***Selena sudah tiba di rumahnya. Dia memutuskan untuk meninggalkan Rain di hutan dan pulang dengan penglihatan tajamnya. Tanpa takut sedikit pun pada hewan buas atau manusia jahat. Justru yang dia takutkan sekarang adalah Rain. Lelaki yang menjadi sangat aneh menurutnya.“Sudah pulang,” ucap seseorang yang berdiri di balik pintu di dalam rumahnya.Matt menyandar di dinding samping daun pintu sambil memainkan gadget miliknya. Entah apa yang dia lihat sekarang.“Iya,” jawab Selena singkat dan ingin melanjutkan langkah kakinya menuju anak tangga.“Apa tidak ada yang ingin kau sampaikan pada kami yang sudah menunggumu?” tanya Matt lagi.Nada bicaranya terdengar sarkas dan menyindir. Selena tahu itu. Dia menyadari kalau ini memang salahnya. Tiba-tiba saja pergi bersama Rain tanpa ijin dari Matt atau berpamitan dengan Bianca dan H
“Sebagian dari mereka, bulan purnama adalah moment menyenangkan. Tapi, tidak untukku.”***Syilea menatap bingung layar HP miliknya. Setelah mengajak dirinya bertemu, kontak Selena bahkan tidak dapat dihubungi.“Dia kenapa tiba-tiba ingin bertemu di rumah Rain?” Syilea melihat jam dinding dan menyipitkan matanya. “Jam sepuluh malam. Hhh … membuatku tidak tenang saja,” gumamnya.Meski awalnya dia sangat ragu, namun setelah mendengar permintaan Selena dia tidak mungkin bisa mengabaikannya. Meski dia berusaha untuk tidak peduli, tentu saja itu mampu mengusiknya semalaman hingga tak dapat tidur.“Ah, ya sudah!” Syilea meraih mantel tebalnya. Dia tahu kalau sekarang di luar sana jelas dingin sekali meski sedikit terang karena bulan purnama.Syilea memasang syal miliknya dan keluar rumah mengendap-endap tanpa ketahuan oleh orang tuanya. Dia tak ingin tertangkap basah lalu mencari alas
“Saat bisa menemukan zat yang cocok dengan jiwa mereka. Maka dia akan mengikat pemilik zat tersebut.” **** Bianca memperhatikan Matt yang mengintai rumah Rain dari luar. Matt belum menyadari kehadiran saudarinya itu. “Apa yang akan dia lakukan?” gumam Bianca pelan. Matt menoleh ke belakang karena dia mendengar suara Bianca. Meskipun jauh, ketika bulan purnama semua vampir akan mendapatkan kekuatan lebih seperti pendengaran dan penglihatan yang menjadi jauh lebih tajam. Bianca bersembunyi di balik pohon dan memejamkan matanya. Hampir saja dia ketahuan Matt. Padahal dia sendiri tidak melakukan salah apapun jadi tidak perlu takut. Namun, Bianca hanya merasa penasaran dengan apa yang dilakukan kakak tertuanya itu. “Hampir saja,” ucap Bianca lega. “Hampir saja?” ulang seseorang. Bianca membuka mata dan langsung membelalak kaget saat Matt tersenyum menyeringai tepat di depannya. Matanya merah menyala bagaikan darah.
“Kau mengikat jiwa dan ragaku. Maka aku takkan bisa lepas darimu.”***Henry termenung melihat Syilea yang sudah tertidur pulas di dalam kamarnya. Henry menggendong gadis itu sejak pingsan lalu diam-diam membawanya ke kamar tidur melewati jendela yang tak dikunci.“Kenapa seperti ini? Bukankah usiaku belum tiga ratus tahun?” gumam Henry dengan berpangku dagu dengan tangannya. Matanya tidak lepas memindai seluk wajah Syilea.Gadis itu manis meski memiliki kulit coklat, tidak seputih dirinya. Rambutnya juga keriting dan tampak menggemaskan.Henry tersenyum simpul dan ingin menyentuh Syilea lagi, tapi diurungkannya. Dia tidak ingin membuat gadis itu semakin lemas karenanya.“Sebaiknya aku pulang,” ucap Henry pelan lalu keluar lagi di tempat pertama dia masuk, jendela.***Sementara itu di sisi lain. John terpaku dengan keberadaan Danna yang berdiri mematung di depan hotel. Berteduh di b
"Akan selalu ada yang datang dan pergi. Lahir dan mati. Sedih dan tawa. Semesta hanya ingin kita belajar dari berbagai banyak hal."***Selena bersyukur ketika hujan turun dengan derasnya sehingga tidak perlu baginya sepanjang malam berada dalam kamar karena bulan purnama. Awan hitam dengan baik hatinya menutupi bulan tersebut sehingga membuat kondisinya menjadi lebih stabil.Sekarang hujan hanya rintik-rintik saja. Tanpa membuang banyak waktu, Selena memilih untuk berlari keluar setelah menyambar mantel berwarna coklat tua miliknya. Dia harus pergi ke rumah Rain sekarang juga. Memastikan apakah lelaki itu masih hidup atau ancaman Matt hanya sebatas isapan jempol semata.“Rain … kau baik-baik saja ‘kan?” gumam Selena sambil berlari menuju rumah lelaki itu.Di persimpangan jalan, tiba-tiba saja dia menabrak seseorang dengan kerasnya sehingga harus terpental ke belakang dan lumayan jauh. Tentu saja yang dia
“Ketika kenyataan mengalahkan logika dan perasaan. Kau takkan bisa berbuat apa-apa.”***Valley High School.Selena sudah mengatakan pada Henry tadi malam bahwa dia tidak akan berangkat sekolah bersama Matt. Untuk ke sekian kalinya dia dan Matt harus tidak bertegur sapa atau perang dingin dalam satu rumah. Namun, untuk sekarang Matt sepertinya membiarkan Selena dan tidak ada niat sedikit pun untuk meminta maaf. Dia masih marah dan Selena tak peduli akan hal itu.Koridor masih lumayan sepi dari murid sekolah. Selena menggerai rambutnya yang sedikit basah karena hujan belum juga berhenti sejak tadi malam. Dia tidak sabar menuju kelasnya agar bisa melihat Rain di sana. Memastikan apakah lelaki itu masih bernapas atau berdarah dingin seperti dirinya.Ruang kelas sangat sepi, tentu saja. Tidak ada yang masuk ke sekolah di jam 06.30 pagi kecuali dirinya. Bahkan di luar sana langit masih gelap karena mendung.“Se
“Menjadi lemah di matamu, agar aku bisa kau lindungi.”***Rain tidak pernah begitu semangat. Meski di luar langit masih kelabu karena hujan, setidaknya dia begitu tak sabar untuk ke sekolah. Alasan satu-satunya kenapa dia sangat bersemangat hanyalah ingin bertemu dengan Selena. Ya, ini memang gila. Tapi, entah sejak kapan semua jadi berbalik. Rain menjadi candu untuk menatap wajah bak peri itu.Selena memang seperti dewi atau malaikat yang diutus oleh Tuhan untuk selalu muncul di sisinya. Terus terang saja dia selalu merasa tenang setiap kali menatap dua bola mata indah gadis tersebut. Namun, karena sifatnya yang tertutup dan begitu dingin itulah yang menyebabkan dia susah untuk menunjukkan secara terus terang pada Selena.“Hari ini aku akan membawanya ke tempat itu. Aku harus menjelaskan padanya apa yang terjadi padaku. Aku tidak membencinya. Hanya itu yang ingin kukatakan.” Rain sudah berlatih tersenyum sejak pagi sekal