"Bibi," tanya Flinz dengan hati-hati, "Kenapa cairan ini begitu penting? Apa yang bisa dilakukan dengan benda seperti ini?" Bibi Helen menatap Flinz sebentar sebelum menjawab. "Cairan dari slime adalah bahan dasar untuk membuat ramuan. Jika diolah dengan benar, cairan ini bisa menjadi obat penyembuh luka, bahan bakar untuk lentera, bahkan perekat yang kuat. Tapi itu semua tergantung pada keahlian orang yang mengolahnya." Flinz memiringkan kepalanya, mencoba memahami penjelasan itu. "Jadi, slime ini seperti... sumber daya di dunia ini?" "Bibi, bagaimana orang-orang di desa ini bisa melakukan hal-hal luar biasa seperti tadi? Mengendalikan tanah, membentuk batu... itu seperti sihir dalam dongeng," tanya Flinz, duduk di kursi dekat meja. Bibi Helen berhenti sejenak, lalu menatap Flinz dengan serius. "Sihir di dunia ini adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Tapi seperti yang kau lihat, tidak semua orang bisa melakukannya. Mereka yang memiliki kemampuan sihir biasanya dilahirkan
Langit di kota itu memancarkan warna jingga saat mentari pagi mulai menembus jalanan kota yang sibuk. Orang-orang berlalu-lalang, sibuk dengan urusan masing-masing. Di salah satu sudut jalan, seorang pria muda bernama Flinz sedang menyapu trotoar. Dengan tubuh tegap namun wajah penuh kelelahan, ia menggerakkan sapunya, mengumpulkan dedaunan dan sampah yang berserakan.Flinz mengenakan seragam oranye khas tukang sapu. Pakaian itu penuh noda dan debu, mencerminkan rutinitasnya yang tak pernah berubah. Ia bekerja tanpa banyak bicara, wajahnya kosong tanpa ekspresi. Sesekali, ia berhenti sejenak untuk menghapus keringat di dahinya.Flinz menatap ke arah jalan yang dipenuhi kendaraan. Matanya mengikuti mobil-mobil yang melaju cepat, membayangkan kehidupan yang jauh dari apa yang ia miliki sekarang."Lihat mereka, semua punya tujuan. Mereka punya tempat untuk pergi, hal-hal yang harus dilakukan. Sementara aku...? Aku hanya di sini, berdiri dengan sapu ini setiap hari. Apa gunanya semua ini?
Flinz meraba wajahnya, lalu menatap tangannya sekali lagi, mencoba memahami apa yang telah terjadi. Ia merasakan perutnya, kaki, dan dada, memastikan bahwa ini nyata. Tubuhnya benar-benar telah berubah menjadi anak berusia sekitar 14 tahun."Bagaimana ini mungkin? Apa aku sedang bermimpi?"Ketika Flinz mencoba berdiri, tubuhnya sedikit goyah, tetapi akhirnya ia berhasil menopang dirinya sendiri. Saat itulah, ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya—seperti ada kekuatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kekuatan itu tidak terlihat, tetapi kehadirannya begitu nyata, seperti bayangan gelap yang melingkupinya."Apa ini? Aku... merasa berbeda. Tubuh ini tidak hanya kecil, tapi juga ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang... tidak biasa."Flinz mengamati sekeliling gua yang gelap. Dinding-dindingnya dipenuhi lumut bercahaya redup, memberikan sedikit penerangan. Ia mendengar suara gemuruh kecil dari jauh, mungkin dari sungai bawah tanah atau air terjun.Dengan rasa bingung dan taku
Setelah beberapa saat berjalan, Flinz memberanikan diri bertanya, "Siapa nama Anda, Bu?" Wanita itu menoleh, sedikit tersenyum. "Kau bisa memanggilku Bibi Helen." Nama itu terukir di ingatan Flinz. Bibi Helen, orang pertama yang ia temui di dunia baru ini, adalah titik awal dari perjalanannya untuk memahami kehidupan barunya. Namun, di balik rasa syukurnya, Flinz tidak bisa menghilangkan perasaan gelisah. Dunia ini terasa asing, dan kekuatan misterius dalam tubuhnya masih menjadi tanda tanya besar. Flinz mengikuti Bibi Helen dengan langkah ragu, sementara mereka melewati jalan setapak yang mengarah ke pinggiran hutan. Di sepanjang perjalanan, Bibi Helen tidak banyak bicara, hanya sesekali menoleh untuk memastikan Flinz benar-benar mengikutinya. Namun, rasa ingin tahu Flinz tak bisa diredam. Hutan di sekitar mereka terlihat indah sekaligus misterius. Pohon-pohon tinggi menjulang, dengan daun-daun yang memancarkan kilauan hijau keemasan setiap kali terkena sinar matahari. Burung-bur
Flashback: Perjalanan Menuju Rumah Bibi Helen "Baiklah, Nak," kata Bibi Helen sembari menghela napas panjang. "Aku tidak tahu siapa kau sebenarnya atau dari mana asalmu. Tapi... aku tidak tega meninggalkanmu sendirian. Kau bisa tinggal di rumahku untuk sementara waktu." Flinz tertegun. Perasaan lega menyelimuti dirinya, dan ia menundukkan kepala sebagai tanda hormat. "Terima kasih, Bibi Helen. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa membalas kebaikanmu." Wanita paruh baya itu hanya tersenyum tipis, lalu melangkah lebih dulu. "Ayo, kita harus segera pergi sebelum matahari semakin tinggi. Jalan menuju rumahku tidak mudah, dan kau masih harus banyak belajar." Flinz mengangguk dan mengikuti langkah kaki Bibi Helen. Namun, tubuhnya yang baru, yang lebih kecil dan ringan dibandingkan tubuhnya sebelumnya, masih terasa aneh. Langkahnya kerap goyah, dan beberapa kali ia hampir terjatuh. "Pelan-pelan, Nak," ujar Bibi Helen sambil menoleh ke belakang. "Kau terlihat seperti anak rusa yang baru
"Bibi," tanya Flinz dengan hati-hati, "Kenapa cairan ini begitu penting? Apa yang bisa dilakukan dengan benda seperti ini?" Bibi Helen menatap Flinz sebentar sebelum menjawab. "Cairan dari slime adalah bahan dasar untuk membuat ramuan. Jika diolah dengan benar, cairan ini bisa menjadi obat penyembuh luka, bahan bakar untuk lentera, bahkan perekat yang kuat. Tapi itu semua tergantung pada keahlian orang yang mengolahnya." Flinz memiringkan kepalanya, mencoba memahami penjelasan itu. "Jadi, slime ini seperti... sumber daya di dunia ini?" "Bibi, bagaimana orang-orang di desa ini bisa melakukan hal-hal luar biasa seperti tadi? Mengendalikan tanah, membentuk batu... itu seperti sihir dalam dongeng," tanya Flinz, duduk di kursi dekat meja. Bibi Helen berhenti sejenak, lalu menatap Flinz dengan serius. "Sihir di dunia ini adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Tapi seperti yang kau lihat, tidak semua orang bisa melakukannya. Mereka yang memiliki kemampuan sihir biasanya dilahirkan
Bibi Helen mengangguk. "Bisa dibilang begitu. Setiap makhluk di dunia ini memiliki sesuatu yang dapat dimanfaatkan, baik itu untuk bertahan hidup, untuk berdagang, atau untuk keperluan lain. Bahkan monster yang terlihat tidak berguna seperti slime ini punya nilai." Flinz terdiam sejenak, menatap tangannya yang masih sedikit gemetar setelah pertarungannya tadi. Ia merasa lega karena berhasil mengalahkan monster itu, tetapi ia juga sadar betapa lemahnya dirinya. "Apakah semua orang di dunia ini tahu cara memanfaatkan hal-hal seperti ini?" tanya Flinz lagi, nada suaranya menunjukkan rasa ingin tahu yang semakin besar. "Tidak semua," jawab Bibi Helen sambil memasukkan wadah cairan slime ke dalam keranjangnya. "Ada yang memilih hidup sederhana tanpa terlibat dengan monster atau dunia luar. Tapi bagi mereka yang ingin bertahan di luar desa, memahami cara memanfaatkan sumber daya ini adalah hal yang wajib." Flinz mengangguk perlahan, menyerap informasi itu. Dalam hatinya, ia merasa dunia
Flashback: Perjalanan Menuju Rumah Bibi Helen "Baiklah, Nak," kata Bibi Helen sembari menghela napas panjang. "Aku tidak tahu siapa kau sebenarnya atau dari mana asalmu. Tapi... aku tidak tega meninggalkanmu sendirian. Kau bisa tinggal di rumahku untuk sementara waktu." Flinz tertegun. Perasaan lega menyelimuti dirinya, dan ia menundukkan kepala sebagai tanda hormat. "Terima kasih, Bibi Helen. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa membalas kebaikanmu." Wanita paruh baya itu hanya tersenyum tipis, lalu melangkah lebih dulu. "Ayo, kita harus segera pergi sebelum matahari semakin tinggi. Jalan menuju rumahku tidak mudah, dan kau masih harus banyak belajar." Flinz mengangguk dan mengikuti langkah kaki Bibi Helen. Namun, tubuhnya yang baru, yang lebih kecil dan ringan dibandingkan tubuhnya sebelumnya, masih terasa aneh. Langkahnya kerap goyah, dan beberapa kali ia hampir terjatuh. "Pelan-pelan, Nak," ujar Bibi Helen sambil menoleh ke belakang. "Kau terlihat seperti anak rusa yang baru
Setelah beberapa saat berjalan, Flinz memberanikan diri bertanya, "Siapa nama Anda, Bu?" Wanita itu menoleh, sedikit tersenyum. "Kau bisa memanggilku Bibi Helen." Nama itu terukir di ingatan Flinz. Bibi Helen, orang pertama yang ia temui di dunia baru ini, adalah titik awal dari perjalanannya untuk memahami kehidupan barunya. Namun, di balik rasa syukurnya, Flinz tidak bisa menghilangkan perasaan gelisah. Dunia ini terasa asing, dan kekuatan misterius dalam tubuhnya masih menjadi tanda tanya besar. Flinz mengikuti Bibi Helen dengan langkah ragu, sementara mereka melewati jalan setapak yang mengarah ke pinggiran hutan. Di sepanjang perjalanan, Bibi Helen tidak banyak bicara, hanya sesekali menoleh untuk memastikan Flinz benar-benar mengikutinya. Namun, rasa ingin tahu Flinz tak bisa diredam. Hutan di sekitar mereka terlihat indah sekaligus misterius. Pohon-pohon tinggi menjulang, dengan daun-daun yang memancarkan kilauan hijau keemasan setiap kali terkena sinar matahari. Burung-bur
Flinz meraba wajahnya, lalu menatap tangannya sekali lagi, mencoba memahami apa yang telah terjadi. Ia merasakan perutnya, kaki, dan dada, memastikan bahwa ini nyata. Tubuhnya benar-benar telah berubah menjadi anak berusia sekitar 14 tahun."Bagaimana ini mungkin? Apa aku sedang bermimpi?"Ketika Flinz mencoba berdiri, tubuhnya sedikit goyah, tetapi akhirnya ia berhasil menopang dirinya sendiri. Saat itulah, ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya—seperti ada kekuatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kekuatan itu tidak terlihat, tetapi kehadirannya begitu nyata, seperti bayangan gelap yang melingkupinya."Apa ini? Aku... merasa berbeda. Tubuh ini tidak hanya kecil, tapi juga ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang... tidak biasa."Flinz mengamati sekeliling gua yang gelap. Dinding-dindingnya dipenuhi lumut bercahaya redup, memberikan sedikit penerangan. Ia mendengar suara gemuruh kecil dari jauh, mungkin dari sungai bawah tanah atau air terjun.Dengan rasa bingung dan taku
Langit di kota itu memancarkan warna jingga saat mentari pagi mulai menembus jalanan kota yang sibuk. Orang-orang berlalu-lalang, sibuk dengan urusan masing-masing. Di salah satu sudut jalan, seorang pria muda bernama Flinz sedang menyapu trotoar. Dengan tubuh tegap namun wajah penuh kelelahan, ia menggerakkan sapunya, mengumpulkan dedaunan dan sampah yang berserakan.Flinz mengenakan seragam oranye khas tukang sapu. Pakaian itu penuh noda dan debu, mencerminkan rutinitasnya yang tak pernah berubah. Ia bekerja tanpa banyak bicara, wajahnya kosong tanpa ekspresi. Sesekali, ia berhenti sejenak untuk menghapus keringat di dahinya.Flinz menatap ke arah jalan yang dipenuhi kendaraan. Matanya mengikuti mobil-mobil yang melaju cepat, membayangkan kehidupan yang jauh dari apa yang ia miliki sekarang."Lihat mereka, semua punya tujuan. Mereka punya tempat untuk pergi, hal-hal yang harus dilakukan. Sementara aku...? Aku hanya di sini, berdiri dengan sapu ini setiap hari. Apa gunanya semua ini?