"Lepas! Lepaskan aku!"
"Jangan bicara terus beautiful, nanti suaramu serak," ucap Alfonzo dengan senyuman miringnya.
"Aku tak perduli! Hentikan mobil ini ku mohon aku ingin pulang."
"Pulang? Kau lupa? Kau baru saja aku beli."
"Aku akan kembalikan uangmu, aku janji."
"Hahaha, 10 juta dolar semalam apa kau bisa kembalikan uang itu besok?"
"Kau gila?!"
"Sure!"
"Wah, kau cukup berani rupanya," ucap Alfonzo dengan smirk menakutkan di bibirnya.
"Lepas!"
"Jangan banyak bicara dulu, kita harus ke Roma sekarang!"
"No!"
Alfonzo meraih lakban dari dashboard mobil lalu melakban mulut Gia beserta tangan wanita itu dengan gerakan yang sialnya cukup membuat Gia membeku di tempatnya.
"Kau terlalu banyak bicara wanita, dengar aku kau akan aku beri kesempatan untuk mencari uang 10 juta dollar ku tapi itu nanti, kau mengerti," ujar Alfonzo seraya membelai pelan sisi wajah Gia.
Dengan napas yang memburu, Gia berusaha melepaskan tangan kasar Alfonzo dari sisi wajahnya. Jujur saja ia sama sekali tak tertarik pada Alfonzo ia hanya menginginkan satu pria dan itu hanya Leonardo seorang.
Sesampainya di landasan tempat jet pribadi milik Alfonzo terparkir, pria itu dengan cepat keluar dari mobilnya kemudian memutari mobil itu lalu membuka pintu mobilnya.
"Ayo sweetie, kita pulang," ujar Alfonzo seakan tak memiliki dosa sedikit pun.
Alfonzo meraih tubuh Gia kemudian ia menggendong wanita itu memasuki mobilnya. "Percayalah kau itu sempurna, aku heran mengapa kau bisa sampai tersesat di tempat kotor itu." Alfonzo tertawa sinis ia seakan mengejek Gia.
Sedangkan Gia berusaha berontak namun gendongan Alfonzo seakan mencengkram tubuhnya amat kencang bahkan seakan mampu meremukkan tulang-tulangnya.
Alfonzo menaiki tangga jet pribadinya kemudian memasuki jet miliknya, pria itu berjalan menuju ruangan kecil dengan ranjang yang bisa menampung satu orang, ia merebahkan tubuh Gia keatasnya kemudian membuka mulut Gia namun tak membuka tangan waniya itu.
"LEPASKAN AKU!"
"Jangan teriak wanita cantik, kau tau betul keinginanku."
"Mau apa kau?!"
"Mau apa? Sudah jelas kau milikku saat ini, aku mampu lakukan apapun padamu."
"Jangan macam-macam!"
"Memangnya apa yang ingin kau lakukan jika aku berbuat 'macam-macam'?"
"DENGAR! KAU AKAN DAPATKAN UANGMU, LAGIPULA AKU BUTUH WAKTU JIKA MEMANG AKU TAK MENDAPATKAN UANGMU AKU AKAN TERIMA APAPUN!"
"Well, aku tertarik." Alfonzo menuruni tempat tidur itu kemudian berkacak pinggang menatap Gia.
"Kau dapatkan waktumu, hanya sampai kita di Roma. Jika sampai di Roma kau belum brehasil dapatkan uangnya, maka kau milikku," bisik Alfonzo tepat di telinga kanan Gia.
Gia menatap Alfonzo yang mulai keluar dari ruangan tersebut, napasnya menggebu seraya air mata yang mulai menurun, ia mengedarkan pandangannya kemudian menemukan telepon, wanita itu dengan usaha yang cukup besar berusaha melepaskan tangannya dan hingga akhirnya lakban di tangannya terlepas.
Gia segera mendekati ponsel itu kemudian mendeal nomor Leonardo, untungnya ia mengingat nomor telepon pria itu.
Dengan menggigit bibirnya gemas, Gia menunggu sapaan atau apapun itu dari seberang telepon hingga akhirnya sang empu ponsel mengangkat panggilan dari Gia.
"Leo! Leo ku mohon tolong aku, aku takut Leo. Aku dijual oleh Max, ceritanya panjang, namun aku mohon Leonardo, bantu aku. Bantu aku lepas dari miliuner yang membeliku, aku mohon."
"Gia?"
Gia mengerutkan keningnya bingung kala sapaan dari seberang bukanlah suara Leonardo, melainkan suara seorang wanita, Alexa.
"Alexa?"
"Ya, Gia? Kenapa kau menghubungi kekasihku lagi? Bukankah sudah ku katakan padamu, ia akan segera menikahiku, jadi jangan ganggu ia lagi."
"Tapi Alexa, aku membutuhkannya. Ku mohon berikan ponselnya pada Leonardo."
"Tak akan aku biarkan ia bicara dengan mu Gia, urusannya saja sudah banyak tak akan aku biarkan kau merepotkannya."
"Alexa, ku mohon. Aku sangat memerlukan bantuannya sekarang," ucap Gia dengan melirih bahkan ia sudah meluruhkan tubuhnya dengan tangis yang sesenggukan.
"Maaf Gia, tapi kau tak bisa hubungi Leo lagi!"
"Baiklah, terserah jika memang kau tak memperbolehkan aku bicara pada Leonardo, tapi ku mohon bantu aku untuk lepas dari miliuner itu, tolong."
"Memangnya apa yang kau butuhkan?"
"Aku butu uang, sepuluh juta dollar sekarang juga."
"Kau gila?! Uang sebanyak itu?! Kau pikir aku sekaya Leonardo!"
"Ya! Oleh karena itu biarkan aku bicara pada Leonardo!"
"Tak akan aku biarkan kekasihku membuang uangnya cuma-cuma hanya untukmu!"
"ALEXA!"
"Apa? Kau marah? Tanggung saja sendiri masalah
mu Gia! Jangan membuat kami kerepotan!""Alexa, ku mohon."
"Maafkan aku Gia." Alexa memutuskan sambungan teleponnya sepihak, wanita itu sama sekali tak mengerti Gia.
"Argh!!" teriak Gia seraya melemparkan ponsel yang entah milik siapa. Wanita itu menjambak rambutnya frustrasi.
Decit pintu terdengar namun Gia seakan tak memperdulikan apapun yang terjadi, ia hanya menangis sesenggukan dengan sesekali merutuki nasibnya yang begitu buruk.
"Bagaimana? Kau berhasil mendapat uangku?" tanya suara bariton yang Gia yakini milik dari pria yang sudah membelinya.
"Ayolah wanita, jangan membuat ini susah. Hiduplah denganku apapun yang terjadi, kau akan jadi milikku sampai aku sudah puas dengan dirimu," ujar Alfonzo seraya mendudukkan tubuhnya tepat di depan Gia, ia meraih wajah itu dengan telunjuknya.
"Siapa namamu?"
"Apa urusanmu?!"
"Mulai malam ini kau penghibur ku, aku berhak tau siapa nama mu jal*ngku?"
"Sialan kau!"
"Jaga bicaramu, sopan pada pemilikmu!"
"Kau pikir aku hewan peliharaan hingga menurut padamu?!"
"Berikan aku perbedaan antara hewan peliharaan dengan wanita penghibur?"
"Brengsek kau!"
"Ku tanya baik-baik padamu, siapa namamu," tanya Alfonzo dengan suara lembutnya.
"Tak mau menjawab juga?" tanya Alfonzo lagi pasalnya Gia sama sekali bungkam, ia tak mempedulikan ucapan Alfonzo.
"Baiklah," ucap Alfonzo mengalah kemudian mendirikan tubuhnya, ia mengangkat tubuh Gia hingga ke atas ranjang. Sebelum itu ia memfoto terlebih dulu wajah Gia.
Alfonzo keluar dari ruangan pribadinya kemudian meraih ponselnya. "Ya, cari tau siapa wanita di dalam foto yang akan ku kirimkan padamu."
"Baik Tuan."
"Bisa sampai besok? Atau lebih baik sekarang?"
"Mungkin malam ini juga Tuan, aku akan mencarinya segera."
"Baiklah."
Alfonzo mematikan sambungan teleponnya, pria itu menghela napasnya pelan kemudian menduduki tempat duduk seraya menengadahkan kepalanya, sungguh! Wanita yang baru saja ia beli seakan berbeda, hanya ia yang mampu menolak pesona seorang Don Alfonzo Renzuis.
***
Roma, Italia
Alfonzo meraih tubuh Gia dan mengangkatnya tepat di pundaknya, pria itu terpaksa menggendong Gia paksa pasalnya Gia sama sekali tak ingin menggerakan tubuhnya barang seinci pun.
Alfonzo mendudukkan Gia tepat di mobilnya, sedangkan pria itu memutari mobilnya dan duduk tepat di samping Gia. Mobil Limosin hitam milik Alfonzo berangkat dengan rombingannya menuju mansion besar seorang Don Alfonzo Renzuis.
Sesampainya di mansion, Alfonzo kembali menggendong Gia kemudian memasuki mansionnya dan memasuki lift menuju kamarnya yang berada di lantai empat.
Sesampainya di kamar dengan nuansa gelap temaram dan beberapa lampu temaram berwarna merah mengisi kegelapan di kamar besar Alfonzo, Gia hanya diam kala tubuhnya di rebahkan tepat di atas ranjang milik Alfonzo.
Pria itu berbalik dan keluar dari kamarnya kala dering ponsel terdengar.
"Bagaimana?"
"Namanya Giavana Adeslay, dia lahir dan besar di New York, Tuan."
"Ada catatan lain?"
"Orang tuanya sudah meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan pesawat saat menuju ke New York dari Belanda, selain itu tak ada lagi Tuan."
"Baiklah, kembali bekerja."
"Baik Tuan."
Alfonzo tersenyum miring seraya menyimpan ponselnya kembali ke saku jasnya. "Giavana," lirihnya pelan.
Pria itu berjalan dengan gagah seraya mengunyah permen karet di mulutnya, ia berjalan menuruni tangga dan berhenti tepat di pantry.
"Buatkan Risotto dan Lasagna dan jus anggur ke kamarku, sekarang."
"Baik Tuan."
Alfonzo berjalan keluar dari mansionnya dengan memasang earphone di telinganya, ia memasuki mobil Buggati biru miliknya, pria itu mengaktifkan mobilnya dengan cepat dan keluar dari area mansionnya.
***
Gia menangis di dalam kamar yang sangat terlihat aneh di matanya, apalagi melihat foto pria bernama Alfonzo yang terpasang tepat di atas kepala ranjang dengan luas yang besar.
Wanita itu kembali menangis dengan kencang namun kegiatannya terhenti kala pintu diketuk dan dimasuki oleh seseorang dengan dandanan seperti maid dengan membawa rak makanan dan meletakkan makanan-makanan itu tepat di atas nakas.
"Anda diminta untuk makan, Nona," ucap Maid itu dengan menundukkan kepalanya.
"Saya permisi."
Gia sama sekali tak tertarik memakan makanan apapun yang ada di atas nakas saat ini, sungguh melihatnya saja Gia tak bernafsu, ia hanya ingin segera pulang dari mansion si iblis Alfonzo.
Gia mendirikan tubuhnya kemudian berjalan menuju balkon lalu melihat tepat ke bawah dimana ia cukup ngeri melihatnya, bayangkan saja kau berada tepat di lantai mansion dengan bawahmu kolam ikan dengan batu terjal di bawah kolam, Gia bisa mati apabila ia melompat dari sana. Wanita itu berlari dan mencoba membuka pintu namun nyatanya pintu terkunci rapat.
Gia meluruhkan tubuhnya dan kembali matanya berembun. "Aku takut Leo, aku takut."
***
Alfonzo pulang tepat pada pukul 1 pagi, pria itu memasuki mansion yang sudah mulai gelap dan beberapa maid menyambutnya dengan segan.
"Anda ingin makan malam Tuan?" tanya Maid itu penuh hormat.
"Tidak, bagaimana dengan wanita itu?" tanya Alfonzo dibalas gelengan dari si Maid tadi.
"Kami belum melihatnya lagi Tuan, tapi saat kami keluar ia belum memakan makanannya."
"Keras kepala!" Alfonzo berjalan dengan tergesa menaiki lift dan berhenti tepat di lantai teratas dan dengan langkah kaki yang tegap, pria itu membuka kunci kamarnya dan menemukan Gia berada di bawah ranjang dengan rambutnya yang sudah tak tertata rapih dan matanya yang terlihat begitu sembab
Alfonzo menaikkan tubuh Gia tepat ke atas ranjang, ia menatap wajah Gia sekilas kemudian menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik wanita itu.
"Kau cantik, tapi mengapa keras kepala dengan menolakku? Kau pikir ada pria lain yang jauh lebih baik dariku? Kau belum mengenalku, Gia," bisik Alfonzo dengan ciuman lembut di telinga wanita itu hingga membuat Gia menggeliat pelan dari tidurnya.
"Kau sangat cantik, dan pertama kali aku melihatmu. Kau sudah membuatku tertarik," bisik Alfonzo lagi dengan mengusap sisi wajah Gia kembali pria itu mencium kening Gia amat lembut.
"Artha," lirih Gia berhasil membuat kegiatan Alfonzo berhenti dan beralih menatap wajah Gia lekat.
"Artha," lirih Gia lagi kembali membuat kening Alfonzo mengerut.
Siapa pria yang berhasil datang ke dalam mimpi wanitanya, tangan Alfonzo mengepal erat ia tak suka miliknya masih terikat dengan pria manapun tak akan pernah Alfonzo izinkan!
Alfonzo melepaskan tautan kancing jasnya kemudian ia melepaskan tautan kancing kemejanya lalu melemparkan kemeja putih polosnya hingga tergeletak di atas lantai.
"You're mine!"
***
Kelopak mata Gia perlahan mulai terbuka sesaat setelah matahari pagi mengenai mata indahnya, wanita dengan kelopak mata hijau itu mengedarkan pandangannya hingga ia mulai sadar kala bahu telanjangnya tertepa hawa dingin yang menusuk, ia segera bangkit dari baringannya dan air mata kembali terkumpul di sudut matanya kala mengetahui fakta bahwa kejadian itu terulang kembali! Sungguh Gia membenci dirinya sendiri!
"Jangan menangis dipagi hari, Gia," lirih Alfonzo dengan suara paraunya.
Gia mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya, wanita itu menundukkan wajahnya sedangkan Alfonzo bangun dari tidurnya dan menatap Gia dengan senyum tipisnya.
"Kau tak perlu tutupi milikmu Gia, karena kau sekarang milikku."
"Jangan pikirkan hal ini, kau akan dapatkan apapun kecuali kebebasan mu, karena tentu saja aku belum bosan dengan tubuhmu."
"Dan ya, untuk yang semalam kau cukup baik," ucap Alfonzo berhasil membuat Gia terdiam dengan tangis yang kembali mengalir deras.
Alfonzo meraih kain bathrobe kemudian memakainya, pria itu menatap Gia dengan mengikat tali kainnya.
"Cepat bersihkan tubuhmu dan kita sarapan."
"Kau dengar aku kan? Gia?" ucap Alfonzo seraya mengusap kepala Gia.
Gia hanya mampu diam dengan mengepalkan kedua telapak tangannya kala mendengar rentetan ucapan dari Alfonzo.
Pria itu keluar dengan tubuhnya yang segar, aroma sabun yang bercampur dengan aroma kekayuan seakan menandakan kedatangan Alfonzo, pria itu memasuki walk in closet kemudian berganti di sana. Sesaat setelah keluar dengan setelan kerjanya ia menatap Gia seraya memakai jas miliknya.
"Mandilah Gia, dan makanlah. Karena percuma jika kau tak makan, kau akan tetap disini sampai mati, jadi saranku makanlah dengan benar dan hiduplah bersamaku sampai aku puas," ucap Alfonzo seraya berjalan dan kembali mencium puncak kepala Gia meninggalkan wanita itu di dalam kamarnya kembali dengan posisi terkunci dari luar.
"Breng*ek!" rutuk Gia dengan mengepalkan kedua telapak tangannya yang putih.
Wanita dengan manik hijau itu mendirikan tubuhnya dengan sangat perlahan, ia berjalan dengan lunglai memasuki kamar mandi dan membersihkan tubuhnya, ia menggosok tubuhnya keras berusaha menghapus jejak dari pria bernama Alfonzo itu.
Ia terduduk tepat di bawah guyuran shower yang menyala, wanita itu menjambak rambutnya frustrasi dan mengepalkan kedua telapak tangannya.
"Kalian harus membalasnya! Kalian harus membalasnya!" gumam Gia dengan memukul air.
Wanita itu tersakiti, sungguh! Apalagi yang lebih menyedihkan dari pada hidupnya. Dan Gia berjanji akan membalas siapapun yang menyakitinya saat ini. Maxime, Leonardo, Alexa termasuk pria yang membelinya dengan harga 10 juta dollar, Alfonzo.
••••
TO BE CONTINUED...
"Dia sudah makan?" tanya Alfonzo dengan nada rendahnya pada salah satu maid dibalas gelengan oleh maid tersebut."Siapkan makanan, sekarang!""Baik Tuan."Maid itu beringsut mundur dari hadapan Alfonzo, sedangkan pria dengan tubuh tegap itu mendirikan tubuhnya dan menganggukkan kepalanya kala maid suruhannya kembali membawa nampan berisi makanan untuk Gia. Alfonzo meraih nampan itu dengan satu tangannya lalu menjalankan kakinya menuju kamar Gia.Pria itu menempelkan ibu jarinya pada alat finger print hingga terdengar bunyi kunci yang terbuka, Alfonzo membuka pintu kamar Gia dengan satu kakinya, ia meletakkan nampan berisi makanan tersebut tepat diatas nakas sementara pandangannya mengedar mencari sosok sang empu kamar."Gia?""Gia?!" Alfonzo berseru keras ia bahkan membuka paksa pintu kamar mandi dan menemukan tubuh Gia yang menggigil di bawah guyuran shower."APA YANG KAU LAKUKAN?!" Alfonzo berteriak seraya mendesis tajam pada Gia yang justru memundurkan tubuhnya seolah menjauhi lang
"Wanitamu sudah siap, Tuan," ucap sang desainer dengan senyum manisnya."Terimakasih Grace.""Sama-sama Tuan."Grace undur diri, wanita itu tersenyum sekilas pada Gia kemudian keluar dari kamar wanita itu, sedangkan Alfonzo melangkahkan kakinya mendekati Gia, ia menaikkan wajah Gia dengan jari telunjuknya."You're so beautiful, Gia.""Thanks."Alfonzo memasuki walk in closet dan keluar dengan kemeja hitam dan blazer merah maroonnya, pria itu memasang dasi kupu-kupu di lehernya kemudian menatap Gia dengan tatapan memuja."Ayo kita berangkat," ucap Alfonzo seraya mengait lengan Gia dan menuntun wanita itu keluar dari kamarnya."So, kau membawa jalangmu sendiri ke pesta Mr. Renzuis?" tanya Gia dengan senyum tipisnya.Alfonzo terkekeh kemudian melepaskan kaitan lengan Gia digantikan dengan lengannya yang bertengger di pinggang wanita itu, pria itu menarik tubuh Gia lebih dekat dengan dirinya dan menciumnya sekilas."Hanya sekedar informasi, aku sudah sering membawa jalanngku ke pesta.""A
Gia menatap pintu yang perlahan terbuka menampilkan sosok besar Alfonzo dalam balutan turtleneck hitamnya, pria itu melepaskan rolex dari tangan kanannya kemudian melepaskan cepat turtleneck-nya, ia menatap Gia kala atasannya sudah tak tertutupi sehelai benangpun."Kenapa? Bukankah kita sudah memiliki kesepakatan?""Em, ya terserah saja.""Tidurlah, jangan anggap aku ada apabila itu membuatmu terganggu," ucap Alfonzo seraya berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya sekilas.Pria itu kembali keluar dan menatap Gia yang sedang duduk tepat di tengah ranjang, langkah kaki Alfonzo mendekat menuju ranjang dan duduk tepat di tepi ranjangnya maniknya menatap wajah Gia yang tampak lebih baik dari pada kemarin sesaat setelah ia membawanya dari New York."Kau tak menolakku lagi?" tanya Alfonzo dengan suara rendahnya menatap Gia lekat.Wanita itu menggelengkan kepalanya seraya menyampirkan helaian rambutnya ke belakang telinga. "Aku hanya mencoba berdamai dengan takdirku, aku mencoba unt
BAB 6 || NIGHTMARE "Datanglah ke ballroom hotelku sayang, aku menunggumu. Cepatlah datang, aku sangat merindukanmu dan our angel.""Dasar perayu kelas kakap! Kita bahkan dua jam yang lalu bertemu di kantormu, sekarang sudah mengumbar bualan!""Jangan berkata seperti itu cintaku, sungguh aku merindukanmu dua jam rasanya seperti dua tahun.""Sudahlah Alfonzo, semuanya sudah jelas aku akan datang sebentar lagi tunggu saja.""Ya, tentu aku akan menunggumu cepat datang Agatha Renzuis, France akan segera menjemputmu.""Sure my Renzuis."Alfonzo mematikan sambungan teleponnya seraya tersenyum manis, sungguh hari ini adalah hari ulang tahun pernikahannya dengan Agatha yang ke tiga tahun, senyum itu tak pernah lepas dari bibir Alfonzo.Ia tatap persiapan perayaan pernikahannya, ia menatap balon-balon yang dibiarkan mengambang di atas kolam renang di gelapnya malam, manik tajam pria itu menatap keatas dan menghembuskan napasnya.Hidupnya sudah lengkap semenjak menikahi Agatha, gadis itu sangat
Two months later...Suasana pagi ini cukup membahagiakan bagi Gia, bagaimana tidak pria yang tampak dingin itu saat ini tengah berenang di kolam renang di belakang mansion, Gia memperhatikan Alfonzo tanpa celah, itu semakin mengingatkannya terhadap Leonardo, nyatanya sekeras apapun Gia mencoba melupakan Leonardo namun pria itu seakan berada di pelupuk mata Gia selalu.Namun tiba-tiba Gia merasa mual menderanya dengan sangat, wanita itu segera mendirikan tubuhnya dan dengan gerakan cepat menuju ke toilet lantai bawah, wanita itu memuntahkan isi perutnya namun yang keluar hanyalah cairan bening.Gia menatap pantulan dirinya di cermin kemudian membelalakkan matanya kala menyadari satu hal, dengan gerakan cepat ia menaiki tangga dan menuju kamarnya, tangannya dengan gemetar mencari kalender dan saat menemukannya Gia hanya mampu bernapas kasar, benar dugaannya!Wanita itu meletakkan satu tangannya tepat di atas pusar kemudian mengelusnya amat lembut. "So you've been there, little boy.""I'
Sepulangnya Alfonzo dari kantor, pria itu menginjakkan kakinya menuju tangga dan berakhir di kamar Gia. "Gia?""Gia dimana kau?" Alfonzo semakin kalut saat tak menemukan jawaban apapun dari nama yang ia panggil. Matanya mengedar ke seisi kamar untuk mencari sosok Gia namun wanita itu tak menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Pria itu kalut, ia segera meraih ipad miliknya kemudian memeriksa CCTV.Brak!Alfonzo menendang kursi dengan kekuatannya yang besar hingga kursi itu sudah tak berbentuk. "CLARA!!""CLARA!" Alfonzo meneriaki nama maid-nya yang sudah membantu Gia keluar dari dalam mansionnya."Ya Tuan," balas Clara dengan menundukkan wajahnya."Dimana Gia?""Nyonya... ""Dimana dia Clara?!""Aku... ""Kau membantunya pergi bukan? Kenapa kau melanggar ucapan ku Clara?!""Maafkan aku tuan, aku kasihan padanya.""Kau tak pantas melakukan itu Clara! Kau hanya seorang maid disini!""Maaf Tuan."Dor!***"Kau sudah bangun?"Gia menatap asal suara, ia melihat seorang wanita yang sudah
"Bibi Marry!" Gia menatap asal suara, dimana seorang gadis cilik dengan membawa sekeranjang buah strawberry berdiri di ambang pintu."Bibi Marry! Aku datang!" ucapnya lagi, ia berjalan memasuki toko tanpa menyadari keberadaan Gia, wanita itu tersenyum dibuatnya, menatap anak kecil dengan dua kepang di rambutnya."Bibi_" ucapan bocah itu berhenti saat menatap ke belakang dan menemukan Gia dengan senyum manis dan tangan yang melambai ke arahnya."Bibi Marry berubah jadi muda," ucapnya polos hingga Gia tersenyum manis, ia berjalan dan bersimpuh di depan bocah tadi."Hai, namaku Gia. Siapa namamu?" tanya Gia dengan mengulurkan tangannya, tangan Gia di lihat tanpa celah oleh bocah tadi sebelum ia menyambut uluran tangan Gia."Hai, namaku Erika.""Hai Erika, kau sangat cantik.""Kau juga cantik bibi Gia," ujarnya polos, mata kecilnya mengedar mencari sosok Marry lalu kembali menatap Gia."Dimana Bibi Marry?""Bibi Marry sedang membuat teh, sebentar lagi akan kembali. Memangnya mengapa kau m
Marry menutup pintu cepat setelah dua pria tadi menanyakan tentang Gia padanya, wanita yang cukup berumur itu menatap ke kamar bekas anaknya yang sudah ditempati Gia selama dua hari ini. Kakinya berjalan menuju kamar tersebut dan mengetuk pintunya tiga kali."Gia?" panggil Marry tak berbalas. "Gia ini aku, bukalah pintumu, Gia," ulangnya menyakinkan.Benar saja kurang dari satu menit pintu sudah terbuka dengan lebar memperlihatkan wajah pias Gia saat ini dengan air mata yang sudah bercucuran membelah pipi putihnya."Bibi, apa mereka sudah pergi?" tanya Gia dengan nada suaranya yang bergetar. Marry yang melihat sekali raut ketakutan di wajah wanita yang ditolongnya segera memeluk Gia erat."Sst, tenanglah Gia. Aku akan menjagamu semampuku, aku akan berusaha menyembunyikanmu disini, tanpa ada yang tau.""Bibi, mengapa kebebasanku direnggut? Mengapa hidup serasa sangat sulit? Apa dosa yang sudah kuperbuat hingga aku diberikan hal seperti ini? Tuhan tak adil, Bi.""Sst, Gia. Percayalah se
Alfonzo langsung bergegas dan meninggalkan meeting yang sedang berjalan saat mengetahui keadaan istrinya yang konon pingsan di lobby, pria itu segera bergerak dan menuju ke ruangannya untuk bertemu dengan Gia. Tapi sebelum benar-benar memasuki ruangannya, Alfonzo justru bertabrakan dengan France. "France! Apa kau tak bisa melihat dengan benar, huh?!" sentak Alfonzo yang mulai terpancing karena kepanikan yang menderanya."Sig, maaf aku tak bermaksud begitu. Tadi aku berlari karena tau jika Nyonya pingsan dan kau pasti butuh bantuan ku, jadi apa yang bisa aku bantu Sig?" tanya France begitu mengerti kondisi yang sedang berlangsung.Alfonzo mengangguk dan ia menepuk bahu France bangga. "Bagus, sekarang kau ambil flashdisk yang ada pada Gia.""Maksud mu ini, Sig? Aku menemukannya di lobby dan segera membawanya.""Ya benar, sekarang kau menggantikan ku di ruangan meeting. Semua materi ada di dalam flashdisk itu ku harap kau mengerti dengan apa yang harus kau lakukan, France.""Yes Sig." F
Five Years Later ...."Mommy! Kemarin Theo bertemu dengan Gerrardo, dia mendapatkan adik barunya, kapan Mommy akan memberikan aku adik baru seperti Gerrardo? Kata Papà-nya Gerrardo aku bisa meminta adik baru kepada Mommy dan Papà, aku takut pada Papà jadi aku meminta kepadamu, jadi kapan Mom?" tanya Theodore dengan mata yang berbinar. Sedangkan Gia sendiri seakan tak bisa mengatakan banyak hal selain merasa gugup dan juga sedih dengan pertanyaan yang diberikan oleh Theodore. Memang Gia sudah lama mengharapkan kehadiran sang anak kedua setelah kejadian lima tahun yang lalu, Theodore bahkan selalu meminta untuk mendapatkan teman yaitu sang adik, tapi Alfonzo selalu memberikan harapan, dan Gia cukup lelah sebab ia merasa sering dikecewakan. Ia sering terlambat mendapat tamu bulanannya, tapi selalu saja tak seperti apa yang di harapkan. "Theo, maafkan Mommy. Mommy juga tidak tau kapan adik kecil Theodore akan datang tapi mungkin sebentar lagi.""Mommy selalu berkata sebentar lagi terus m
"We have to stop this." Gia tersadar dan ia mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan oleh Alfonzo. Wanita itu menjauhkan tubuhnya dari tubuh Alfonzo masih menggenggam tangan suaminya tersebut."Kau benar, ayo naik lagi." Alfonzo membalas ajakan Gia dengan senyum tipisnya, keduanya segera kembali ke lantai utama dimana kamar Theodore berada.Sesampainya di depan kamar Theodore, Alfonzo menghentikan langkahnya dan menatap Gia. "Aku harus bertemu dengan France untuk membicarakan beberapa hal, tak apa jika aku tinggal?""Tentu saja kenapa aku bermasalah dengan itu?"Alfonzo tersenyum, ia mencium kening Gia sebelum akhirnya pergi meninggalkan wanita itu untuk bertemu dengan France dan membahas mengenai dunia gelapnya. "France!" seru Alfonzo memanggil sang asisten, tak lama yang dipanggil pun akhirnya datang dan berhadapan langsung dengan sang tuan."Ada yang bisa aku lakukan untuk mu, Sig?" tanya France dengan menundukkan kepalanya penuh hormat kepada Alfonzo."Kita ke markas sekarang."
Alfonzo melepaskan pelukannya dari tubuh Gia, ia menatap sang istri dengan penuh cinta lalu menggenggam tangannya erat mengecupnya begitu lembut penuh dengan kasih sayang. "Kita harus kembali ke pesta, sebelum nanti ada yang menyadari ketidakhadiran kita berdua."Gia mengangguk mengerti dengan apa yang di maksud oleh Alfonzo, ia pun segera mendirikan tubuhnya keduanya berjalan beriringan menuju ke taman dan kembali menyambung keceriaan pesta ulang tahun sang anak. Tak lama Leonardo dan Florence datang menghampiri Alfonzo dan juga Gia. "Hei aku sudah mencari kalian dari tadi tapi tak dapat menemukan kalian, dari mana kalian berdua?" tanya Florence penasaran."Well, kami hanya berbicara sesuatu hal di bagian belakang, Flo," jawab Gia diiringi senyum manisnya.Florence tersenyum manis ia mengusap bahu Gia. "Putramu sangat tampan, Gia. Dia menuruni warna mata Alfonzo," ucapnya memuji ketampanan putra Gia."Terimakasih banyak Flo, sama seperti Theodore yang mewarisi warna mata Alfonzo, put
"Mom, where is my birthday present?"Gia tersadar dari lamunannya dan ia segera mengalihkan fokusnya yang semula terpaku pada taman yang ada di depan mansion, ia tau harusnya ia tak mengalihkan fokusnya dari ulang tahun Theodore tapi memang akhir-akhir ini ia selalu saja kehilangan fokusnya tanpa sadar. "Sorry honey, Mommy tak sengaja. Sebentar, Mommy ambilkan spesial untuk mu," ucap Gia seraya mendirikan tubuhnya ia menyentuh kepala Theodore sebelum akhirnya berlalu memasuki mansion meninggalkan para tamu undangan yang tengah berbahagia di ulang tahun Theodore yang ketiga.Sementara di sisi lain Alfonzo bisa merasakan keanehan pada Gia, ia sadar sejak dua bulan yang lalu tepatnya semenjak Gia tau bahwa ia kehilangan bayinya ia berubah secara perlahan menjadi pendiam, Gia sering sekali melamun dan kehilangan fokusnya tapi Alfonzo bisa apa, sudah ribuan kali ia menghibur Gia tapi Gia tak juga bisa move on dari kejadian pahit itu. "Hei, ada apa Al? Kenapa terdiam menatap Gia seperti itu
"NO!!" Gia berteriak sesaat setelah melihat Alfonzo yang masih belum bangun dari simpuhannya tapi tetap di tendang dengan kasar oleh Xavier.Davis tak dapat berbuat banyak, pria itu sibuk membidik musuhnya hingga tak melihat kondisi Alfonzo yang benar-benar sudah berada di titik terendah. Gia menggeram marah saat kedua cekalan di tangannya semakin erat ia menatap kedua anak buah Alfonzo dengan mata merah dan penuh air matanya. "Lepas! Kau ingin Tuanmu mati disana, huh! Kau gila! Lepaskan aku!" sentak Gia tajam.Kedua The Devil itu menundukkan kepalanya ia terlalu patuh terhadap perintah Alfonzo yang akhirnya membuat ia diam tak berkutik dan hanya bisa menjaga Gia tetap aman. "Kami tak bisa lepaskan Nyonya apapun yang terjadi sesuai dengan perintah Tuan," ucap salah satu The Devil yang mencekal lengan Gia.Gia menggelengkan kepalanya. "Dasar bodoh!" sentak Gia.Sementara Alfonzo, pria itu sudah tak bisa lagi untuk fokus. Telinganya berdenging dan pandangannya memburam ia tak bisa melih
"Welcome, Al." Suara berat seseorang terdengar membuat Alfonzo mengalihkan pandangannya yang semula tertuju pada Theodore kini menatap asal suara."Xavier?""Ya, i am," jawab Xavier dengan senyum tipisnya.Alfonzo mengepalkan kedua telapak tangannya erat saat pria itu semakin menodongkan ujung pistolnya di kepala anaknya. "Jangan sakiti dia, Xavier. Atau aku akan menbunuhmu saat ini juga," desis Alfonzo tajam."Nyatanya kau tak bisa melindungi istri dan anakmu, sama seperti istrimu yang dulu."Alfonzo mengetatkan rahangnya lalu mendekati Xavier. "Kau pelakunya? Kau yang membunuh Agatha?!" sentak Alfonzo tajam.Tawa Xavier menggelegar setelah mendengar sentakan dari Alfonzo, pria itu melepaskan ujung pistolnya dari kepala Theodore lalu melemparkan anak itu ke salah satu anak buahnya. "JANGAN SAKITI DIA BRENGSEK!" teriak Alfonzo menahan marah.Xavier menganggukkan kepalanya kemudian mendekati Alfonzo ia menatap pria itu dengan smirk di ujung bibirnya. "Aku tak akan mengincar garis ketur
Gia semakin mengeratkam pelukannya pada Theodore sesaat setelah mendengar bunyi tembakan dari jarak dekat apalagi kini bisa Gia lihat perlahan pintu terbuka sedikit demi sedikit menampilkan sepatu hitam dengan langkah kaki perlahan dari seseorang. Gia paham betul itu bukan Alfonzo oleh karena itu tubuhnya tidak berhenti menggigil. "Hai," sapa orang itu dengan suara rendahnya. Gia semakin mengertakan pelukannya pada Theodore mencoba melindungi anak itu di dalam dekapannya.Tak lama langkah kaki dari beberapa orang terdengar dan kini gerombolan orang terlihat, mereka menatap Gia dan Theodore saling bergantian. "Bring them," ujarnya membuat Gia kalut dan menatap sosok di hadapannya pria itu memakai topi yang menutupi setengah wajahnya hingga Gia tidak terlalu jelas melihat wajah pria itu.Akhirnya pelukan Gia di lepas secara paksa oleh orang-orang tadi, ia berusaha menggapai Theodore kembali tapi orang-orang tadi terlalu kencang meremas tangannya dan Gia tak tau lagi harus bagaimana meny
Alfonzo seakan tersadar dari sisi gelapnya, ia menatap wajah lelah Gia lalu mengalihkan tatapannya menatap punggung Theodore yang bergetar karena menangis saat ini. "Hentikan, kalian membuatnya takut. Tolong biarkan kami pergi dan silahkan saling membunuh aku tak perduli" lirih Gia dengan meremas jas yang Alfonzo pakai."Gia aku tak mendengar mu, maaf," ucap Alfonzo dibalas gelengan pelan dari Gia.Wanita itu membalikkan tubuhnya menatap Maxime kemudian.Plak!"Jika kau datang hanya untuk membuat kerusuhan dan membuat hidupku bertambah sakit, lebih baik kau pergi karena kau berhasil. Dan tolong Max, berhenti mengganggu hidupku dan putraku. Hanya ia yang tersisa diantara harapanku, jangan membuatku bertindak di luar logis saat kau mengambilnya karena aku tak akan izinkan. Pergilah jika kau sudah puas menyiksaku," lirih Gia dengan kesedihan di matanya.Maxime menggelengkan kepalanya tak membenarkan ucapan Gia. "Jangan berkata seperti itu, Gia. Aku tak bermaksud untuk mengacaukan hidupmu