"Wanitamu sudah siap, Tuan," ucap sang desainer dengan senyum manisnya.
"Terimakasih Grace."
"Sama-sama Tuan."
Grace undur diri, wanita itu tersenyum sekilas pada Gia kemudian keluar dari kamar wanita itu, sedangkan Alfonzo melangkahkan kakinya mendekati Gia, ia menaikkan wajah Gia dengan jari telunjuknya.
"You're so beautiful, Gia."
"Thanks."
Alfonzo memasuki walk in closet dan keluar dengan kemeja hitam dan blazer merah maroonnya, pria itu memasang dasi kupu-kupu di lehernya kemudian menatap Gia dengan tatapan memuja.
"Ayo kita berangkat," ucap Alfonzo seraya mengait lengan Gia dan menuntun wanita itu keluar dari kamarnya.
"So, kau membawa jalangmu sendiri ke pesta Mr. Renzuis?" tanya Gia dengan senyum tipisnya.
Alfonzo terkekeh kemudian melepaskan kaitan lengan Gia digantikan dengan lengannya yang bertengger di pinggang wanita itu, pria itu menarik tubuh Gia lebih dekat dengan dirinya dan menciumnya sekilas.
"Hanya sekedar informasi, aku sudah sering membawa jalanngku ke pesta."
"Aku cukup tersanjung."
"Tapi kau perlu tau, kau adalah satu-satunya jalang yang aku bawa untuk menemui klien elit-ku."
"Aku sangat tersanjung dengan sebutanmu Mr. Renzuis."
"Terimakasih."
Alfonzo kembali menuntun Gia memasuki mobil Limosin putih miliknya, sementara ia memutari mobil itu dan memasukinya dari arah yang berlawanan, Alfonzo menutup sekat pembatas antara supir dan dirinya, ia meraih sebotol vodka dan tanpa kata menyesapnya sementara Gia hanya mampu menatap dalam diam semua aktivitas Alfonzo.
Gia melirik sekilas ke belakang dan menemukan lima mobil hitam berada tepat di belakang mobil yang tengah ia tunggangi saat ini, Gia menatap Alfonzo yang masih sibuk dengan cerutunya.
"Mereka semua_"
"Bodyguard ku," sela Alfonzo seakan mengetahui kemana tujuan dari pertanyaan Gia barusan.
"Kenapa membawa banyak sekali?"
"Haruskah aku ceritakan semua masalahku padamu? Tolong sadarlah kau tak lebih dari sebatas jalangku," ucap Alfonzo berhasil membuat Gia tertohok seketika, ia bahkan segera mengalihkan tatapannya ke arah jalanan dan tak terasa satu air mata sudah mengalir dari manik indahnya.
"Kau tak seharusnya menangis Gia, ucapan seperti tadi sudah biasa aku lontarkan spontan pada jalangku, ingat saja statusmu," lanjut Alfonzo membuat Gia tersadar dan ia pun menyeka air matanya lalu menatap Alfonzo dengan mengangkat kepalanya seolah ia membenarkan semua ucapan Alfonzo.
"Kau benar, harusnya aku lebih cepat belajar dan menyadari bahwa statusku saat ini sudah berubah, aku milikmu."
"Aku senang kau menyadarinya, Gia."
Hening menyergap kedua orang berbeda jenis itu, mereka seakan mengunci mulutnya rapat-rapat, namun sesekali Alfonzo menatap Gia tanpa disadari oleh wanita itu. Sungguh, ucapan itu biasa ia lontarkan pada jalangnya yang cerewet dan menanyakan hal-hal yang tak seharusnya mereka tanyakan, dan saat ia mengatakan hal itu pada Gia, ia justru merasa sedikit tak suka akan air mata Gia yang ternyata ialah penyebabnya.
"Gia."
"Hm?"
"Kau marah?"
"No, untuk apa aku marah. Kau benar, kau tak salah Al, aku hanya merasa entahlah. Ini salahku, ekspektasi ku padamu terlalu tinggi."
"Gia."
"No, jangan katakan apapun."
Alfonzo menuruti ucapan wanita itu, ia mengunci mulutnya rapat-rapat, ia bahkan tak melirik lagi pada Gia ia hanya sesekali menghembuskan napas dan meneguk vodka miliknya.
Rombongan Alfonzo berhenti tepat di depan karpet merah yang sudah disiapkan, kamera paparazi memotret Alfonzo beberapa kali namun pria itu menutupi wajah Gia dengan telapak tangannya, ia hanya tak ingin identitas Gia diketahui banyak orang, belum waktunya Gia diketahui khalayak umum.
"Percepat jalanmu," bisik Alfonzo sesaat setelah keluar dari dalam mobil dan Gia pun mengerti ia mempercepat langkah kakinya hingga akhirnya mereka pun memasuki ballroom hotel yang sudah disulap menjadi pesta bintang lima.
"Tetap berjaga, setengah dari kalian mengikuti tanpa memberi petunjuk, jaga jarak tetap lindungi aku dan awasi aku dari jauh, mengerti?" ucap Alfonzo dibalas anggukan dari bodyguardnya.
Alfonzo balas mengangguk, ia meraih pinggang Gia dan menuntun wanita itu semakin memasuki hingar bingar pesta.
"Signor William?" sapa Alfonzo pada salah satu rekan kerjanya.
"Ciao, piacere di rivederti, signor Renzuis."
"Sì, come stai?"
"Aku baik, yah kau tau menetap di California cukup melelahkan bagi pekerjaan ku, aku harus kembali kesini minimal dua kali seminggu untuk mengontrol bisnisku, ini semua demi istriku," ucap rekan kerja Alfonzo seraya menatap wanita di sampingnya.
"Hai, Mrs. William, anda baik?"
"Tentu Mr. Renzuis, bagaimana kabarmu?"
"Sangat baik."
"Wow lihat ini, siapa yang kau bawa kali ini Mr. Renzuis? Wanita baru lagi setiap pesta baru? Kau memang brengsek," ucap Mr. William seraya menunjuk Gia. Sedangkan sang istri menyalami Gia dengan senyum manisnya.
"Jenny William, senang bertemu denganmu."
"Hai, aku Giavana Adeslay."
"Kau cantik sekali."
"Kau jauh lebih baik."
"Dia tampak berbeda, kau serius dengannya Al?" tanya William dibalas gelengan daru Alfonzo.
"I don't know, but I'll try it."
"Great she looks perfect, she's your new bitch?"
"Yeah, I found her in New York."
"She's wonderful, green eyes i like it."
"Please remember your wife."
"Oh, I remember. She's looks like a good woman," bisik William dibalas anggukan dari Alfonzo, ya pria itu pun merasa Gia adalah wanita yang baik namun tetap saja Alfonzo belum lama mengenal wanita itu dan Alfonzo masih punya alasan untuk berhati-hati atas Gia.
"Vado un momento, c'è il signor De Lavega qui."
"Benarkah?" tanya Alfonzo memastikan. Hell! Finally dia bisa bertemu dengan ketua Regnarok itu, pemimpin besar kelompok mafia di Italia dan Eropa, Arthur De Lavega.
Alfonzo menatap Gia dengan tatapan tanyanya. "Gia."
"Hm?"
"Kau mau ikut aku? Ada seseorang yang ingin aku temui."
"Tidak, aku akan duduk disini."
"Kenapa?"
"Kau pikir aku akan ikut denganmu sementara kau berbicara mengenai aku pada teman-teman mu? Maaf, aku tak sebodoh itu dengan mendengar ocehan kalian yang lebih pedas dari ucapan para heters."
"Well, aku tak suka dengan perumpamaan mu, tapi terserahlah aku harus menemuinya."
"Ya, pergilah, pergi saja agar aku juga bisa lari darimu."
"Kupastikan untuk itu kau tak akan bisa, tanyakan kenapa."
"Kenapa?"
"Karena tanpa sepengetahuan mu, semua bodyguard ku tersebar mengawasi pesta ini, mereka berada di setiap sudut ballroom dan apabila mereka melihat kau yang beranjak dari tempat dudukmu, aku pastikan orang-orang yang kau cintai akan terluka saat itu juga."
"Kau memang iblis Alfonzo!"
"Aku suka dengan panggilan itu jalangku."
"Brengsek!"
"Jangan mengumpat pada pemilikmu Gia, belajarlah sopan agar kau bisa terus aku beri hadiah, percayalah kau akan dapatkan apapun asal kau menurut padaku."
"Persetan!"
"Aku pergi," ucap Alfonzo seraya mencium pipi kanan Gia. Gia menggerutu sebal, dasar iblis berwujud malaikat! batinnya kesal.
Kembali pada Alfonzo, pria itu sesekali menyambut uluran tangan para rekan kerjanya dan berbincang sebentar seraya matanya mencari keberadaan pemimpin besar Regnarok.
Saat telah menemukan sosok yang ia cari, Alfonzo pun segera berjalan mendekati Arthur, ia berdiri tepat di belakang pria itu dan meneguk salivanya pelan, jantungnya berdetak sungguh! Ia amat sangat menghormati dan mengidolakan Arthur De Lavega, dan mungkin bukan hanya dirinya saja yang mengidolakan Arthur, para mafia di Italia pasti tunduk pada sosok De Lavega tersebut.
Alfonzo menepuk pelan bahu Arthur dan perlahan tubuh besar pria itu berbalik, Alfonzo tersenyum manis kala Arthur benar-benar menatapnya.
"Don Alfonzo Renzuis, sangat terhormat bisa bertemu denganmu Mr. De Lavega," ucap Alfonzo seraya mengulurkan tangannya pada Arthur dibalas hangat oleh pria itu, ia bahkan tersenyum sangat manis pada Alfonzo.
"Arthur De Lavega," ucap Arthur dengan suara baritonnya.
"Aku sangat bahagia bisa menatapmu langsung Mr. De Lavega, anda sangat merangsang saya untuk bisa sukses seperti anda, tanpa anda sadari anda membangkitkan saya untuk sukses seperti anda, saya sangat menjunjung anda Mr. De Lavega."
"Aku sangat tersanjung dengan ucapanmu Alfonzo, sangat bahagia juga bisa bertemu denganmu. Aku mendengar tentangmu sekilas, kau sangat baik di bidang properti dan aku juga mendengar bank yang kau kelola sangat baik hingga saat ini."
"Terimakasih banyak Mr. De Lavega, saya sangat bahagia mendengar penuturan anda," ucap Alfonzo dengan senyuman manisnya.
"Aku pun mendengar sisi lainmu Alfonzo, The Devil right?"
"Ya, kau benar," ucap Alfonzo dengan anggukan mantapnya, Arthur meraih bir dan menuangkannya pada dua gelas yang tersedia kemudian memberikannya pada Alfonzo sementara sisanya ia minum sendiri.
"Aku senang Italia masih memiliki mafia kuat sepertimu Al, aku hanya sedikit risau tentang dunia hitam kita."
"Well, banyak mafia lain sebenarnya Mr. De Lavega, hanya saja mereka kurang bisa mengatur bisnisnya di luar."
"Kau benar."
"Lalu bagaimana dengan Regnarok, Mr. De Lavega?"
"Sure, putraku yang mengurusnya kau tau ia sangat sangat aku banggakan, ia bisa menangani urusan dunia gelapku diusianya yang baru menginjak umur 17 tahun, aku percaya padanya oleh karena itu aku serahkan Regnarok padanya."
"Aku tak pernah melihat pemimpin Regnarok yang baru selama ini Mr. De Lavega."
"Aku memang hanya memberinya kuasa atas New York dan Amerika, sedangkan aku mengurus bisnis ku sendiri disini lebih tepatnya di Porto Venere."
"Pantas aku tak melihatnya di setiap pertemuan para mafia."
"Ya, dia sangat sulit untuk diajak ke acara seperti itu."
"Jika boleh tau siapa nama putramu?" tanya Alfonzo yang dibalas kekehan geli oleh Arthur.
"Leonardo, namanya Leonardo."
"Singa, nama yang bagus untuk ketua Regnarok."
"Ya, dia sangat luar biasa."
"Aku tak sabar bertemu dengannya."
"Ya, semoga kau akan segera bertemu," balas Arthur dibalas senyum manis oleh Alfonzo.
"Anda datang sendiri Mr. De Lavega?"
"Ya, istriku mengeluh jika datang di acara seperti ini, ia memilih diam di mansion."
"Ya, aku cukup mengerti."
"Bagaimana denganmu Alfonzo?"
"Aku membawa pasangan tentu saja."
"Seriously?"
"Ya, anda ingin melihatnya? Ku yakin anda akan terpesona."
"Sayangnya aku sudah jatuh sejatuh-jatuhnya pada istriku."
"Family man ternyata."
"Ya, kau benar."
"Mari aku kenalkan." Alfonzo menunjukkan arah Gia berada, mereka berjalan namun Alfonzo mengedarkan pandangannya mencari keberadaan wanitanya, karena Gia tak berada di kursi tempat ia duduk tadi.
"Maaf Mr. De Lavega, dia ... "
"Ya, tak apa mungkin dia sedang ke toilet."
"Ya kau benar."
"Mr. De Lavega?" panggilan itu berhasil menghentikan ucapan Arthur yang akan membalas ucapan Alfonzo, pria yang tak lagi muda itu memutar tubuhnya dan menatap rekan bisnisnya.
"Maaf Mr. De Lavega, ada beberapa klien yang ingin bertemu denganmu."
"Oh ya, baiklah." Arthur mengangguk dan pria itu pun pergi, ia menatap Alfonzo dengan tatapannya yang meredup.
"Maafkan aku, lain kali aku akan lihat pasanganmu Al, tapi terimakasih atas obrolan tadi, aku senang bisa melihatmu."
"Ya, sure. Terimakasih banyak Mr. De Lavega, lain kali aku akan kenalkan dia padamu."
"Sto aspettando quel momento," ujar Arthur dan ia pun pergi seraya menepuk pelan bahu Alfonzo.
Selepas kepergian Arthur, Alfonzo meraih ponselnya berusaha menghubungi bodyguardnya untuk menanyakan tentang Gia namun wanita itu terlebih dahulu berada di depan wajahnya kini.
"Kemana saja kau?!" tanya Alfonzo dengan desisan tajamnya pada Gia.
Gia mengerutkan keningnya, ia menghela napasnya pelan. "Maafkan aku, bukan maksudku pergi tapi tadi dress ku terkena tumpahan jus jadi aku ke toilet terlebih dahulu untuk membersihkannya."
"Astaga, aku hampir marah tadi ku kira kau kabur."
"Aku tak mungkin membahayakan nyawa orang-orang yang ku cintai."
"Pilihan yang bijak."
Gia menatap sekitarnya, sungguh jika ia boleh berharap ia ingin sekali bertemu seseorang yang mampu membebaskannya dari Alfonzo, ini pertemuan besar bukan? Artinya banyak pebisnis yang berada di sini. Lalu bisakah Gia berharap seseorang datang untuk menyelamatkannya, Leonardo? Atau Uncle Arthur-nya maybe?
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Alfonzo dibalas gelengan pelan oleh Gia.
"Dressmu basah Gia, kita pulang saja lagipula aku sudah menyapa beberapa rekan bisnis ku, aku bahkan sudah menemukan apa yang aku impikan selama ini, jadi mari kita pulang," ucap Alfonzo dibalas anggukan lemah dari Gia.
Mereka keluar dari pintu belakang untuk menghindari paparazi, mereka memasuki limosin putih milik Alfonzo dan kembali menuju mansion besar milik Alfonzo.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Alfonzo dibalas gelengan pelan dari Gia.
"Biasa saja, tak ada perasaan aneh seperti yang kau maksudkan."
"Memangnya apa maksud ku?"
"Tak ada, sudahlah lupakan."
Sesampainya di mansion Alfonzo menggandeng tangan Gia hingga memasuki mansion kemudian membiarkan wanita itu menaiki tangga namun tepat dianak tangga tengah Alfonzo memanggil nama Gia hingga membuat wanita itu membalikkan tubuhnya dan menatap Alfonzo.
"Bersihkan tubuhmu lalu kita makan malam."
"Tapi aku sudah makan tadi."
"Tapi aku belum, jadi temani tuanmu makan."
"Baiklah."
Alfonzo duduk di kursi makan dengan tangannya yang membuka dasi kupu-kupu beserta jas merah maroonnya, pria itu menatap Gia yang berjalan menuruni tangga dengan kaos selutut yang menenggelamkan tubuh rampingnya.
"Makanlah," ucap Gia seraya duduk tepat di samping Alfonzo.
"Siapkan."
Gia memutar bola matanya malas kemudian tanpa membalas ucapan Alfonzo, ia menyiapkan makanan untuk pria itu. "Aku ini jalangmu, bukan istri atau maid mu yang tugasnya menemani atau menyiapkan makananmu."
"Anggap saja latihan."
"Latihan apa? Aku tak ingin menjadi apapun," balas Gia acuh.
"Latihan, karena bisa saja kau akan jadi Mrs. Renzuis."
••••
Gia menatap pintu yang perlahan terbuka menampilkan sosok besar Alfonzo dalam balutan turtleneck hitamnya, pria itu melepaskan rolex dari tangan kanannya kemudian melepaskan cepat turtleneck-nya, ia menatap Gia kala atasannya sudah tak tertutupi sehelai benangpun."Kenapa? Bukankah kita sudah memiliki kesepakatan?""Em, ya terserah saja.""Tidurlah, jangan anggap aku ada apabila itu membuatmu terganggu," ucap Alfonzo seraya berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya sekilas.Pria itu kembali keluar dan menatap Gia yang sedang duduk tepat di tengah ranjang, langkah kaki Alfonzo mendekat menuju ranjang dan duduk tepat di tepi ranjangnya maniknya menatap wajah Gia yang tampak lebih baik dari pada kemarin sesaat setelah ia membawanya dari New York."Kau tak menolakku lagi?" tanya Alfonzo dengan suara rendahnya menatap Gia lekat.Wanita itu menggelengkan kepalanya seraya menyampirkan helaian rambutnya ke belakang telinga. "Aku hanya mencoba berdamai dengan takdirku, aku mencoba unt
BAB 6 || NIGHTMARE "Datanglah ke ballroom hotelku sayang, aku menunggumu. Cepatlah datang, aku sangat merindukanmu dan our angel.""Dasar perayu kelas kakap! Kita bahkan dua jam yang lalu bertemu di kantormu, sekarang sudah mengumbar bualan!""Jangan berkata seperti itu cintaku, sungguh aku merindukanmu dua jam rasanya seperti dua tahun.""Sudahlah Alfonzo, semuanya sudah jelas aku akan datang sebentar lagi tunggu saja.""Ya, tentu aku akan menunggumu cepat datang Agatha Renzuis, France akan segera menjemputmu.""Sure my Renzuis."Alfonzo mematikan sambungan teleponnya seraya tersenyum manis, sungguh hari ini adalah hari ulang tahun pernikahannya dengan Agatha yang ke tiga tahun, senyum itu tak pernah lepas dari bibir Alfonzo.Ia tatap persiapan perayaan pernikahannya, ia menatap balon-balon yang dibiarkan mengambang di atas kolam renang di gelapnya malam, manik tajam pria itu menatap keatas dan menghembuskan napasnya.Hidupnya sudah lengkap semenjak menikahi Agatha, gadis itu sangat
Two months later...Suasana pagi ini cukup membahagiakan bagi Gia, bagaimana tidak pria yang tampak dingin itu saat ini tengah berenang di kolam renang di belakang mansion, Gia memperhatikan Alfonzo tanpa celah, itu semakin mengingatkannya terhadap Leonardo, nyatanya sekeras apapun Gia mencoba melupakan Leonardo namun pria itu seakan berada di pelupuk mata Gia selalu.Namun tiba-tiba Gia merasa mual menderanya dengan sangat, wanita itu segera mendirikan tubuhnya dan dengan gerakan cepat menuju ke toilet lantai bawah, wanita itu memuntahkan isi perutnya namun yang keluar hanyalah cairan bening.Gia menatap pantulan dirinya di cermin kemudian membelalakkan matanya kala menyadari satu hal, dengan gerakan cepat ia menaiki tangga dan menuju kamarnya, tangannya dengan gemetar mencari kalender dan saat menemukannya Gia hanya mampu bernapas kasar, benar dugaannya!Wanita itu meletakkan satu tangannya tepat di atas pusar kemudian mengelusnya amat lembut. "So you've been there, little boy.""I'
Sepulangnya Alfonzo dari kantor, pria itu menginjakkan kakinya menuju tangga dan berakhir di kamar Gia. "Gia?""Gia dimana kau?" Alfonzo semakin kalut saat tak menemukan jawaban apapun dari nama yang ia panggil. Matanya mengedar ke seisi kamar untuk mencari sosok Gia namun wanita itu tak menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Pria itu kalut, ia segera meraih ipad miliknya kemudian memeriksa CCTV.Brak!Alfonzo menendang kursi dengan kekuatannya yang besar hingga kursi itu sudah tak berbentuk. "CLARA!!""CLARA!" Alfonzo meneriaki nama maid-nya yang sudah membantu Gia keluar dari dalam mansionnya."Ya Tuan," balas Clara dengan menundukkan wajahnya."Dimana Gia?""Nyonya... ""Dimana dia Clara?!""Aku... ""Kau membantunya pergi bukan? Kenapa kau melanggar ucapan ku Clara?!""Maafkan aku tuan, aku kasihan padanya.""Kau tak pantas melakukan itu Clara! Kau hanya seorang maid disini!""Maaf Tuan."Dor!***"Kau sudah bangun?"Gia menatap asal suara, ia melihat seorang wanita yang sudah
"Bibi Marry!" Gia menatap asal suara, dimana seorang gadis cilik dengan membawa sekeranjang buah strawberry berdiri di ambang pintu."Bibi Marry! Aku datang!" ucapnya lagi, ia berjalan memasuki toko tanpa menyadari keberadaan Gia, wanita itu tersenyum dibuatnya, menatap anak kecil dengan dua kepang di rambutnya."Bibi_" ucapan bocah itu berhenti saat menatap ke belakang dan menemukan Gia dengan senyum manis dan tangan yang melambai ke arahnya."Bibi Marry berubah jadi muda," ucapnya polos hingga Gia tersenyum manis, ia berjalan dan bersimpuh di depan bocah tadi."Hai, namaku Gia. Siapa namamu?" tanya Gia dengan mengulurkan tangannya, tangan Gia di lihat tanpa celah oleh bocah tadi sebelum ia menyambut uluran tangan Gia."Hai, namaku Erika.""Hai Erika, kau sangat cantik.""Kau juga cantik bibi Gia," ujarnya polos, mata kecilnya mengedar mencari sosok Marry lalu kembali menatap Gia."Dimana Bibi Marry?""Bibi Marry sedang membuat teh, sebentar lagi akan kembali. Memangnya mengapa kau m
Marry menutup pintu cepat setelah dua pria tadi menanyakan tentang Gia padanya, wanita yang cukup berumur itu menatap ke kamar bekas anaknya yang sudah ditempati Gia selama dua hari ini. Kakinya berjalan menuju kamar tersebut dan mengetuk pintunya tiga kali."Gia?" panggil Marry tak berbalas. "Gia ini aku, bukalah pintumu, Gia," ulangnya menyakinkan.Benar saja kurang dari satu menit pintu sudah terbuka dengan lebar memperlihatkan wajah pias Gia saat ini dengan air mata yang sudah bercucuran membelah pipi putihnya."Bibi, apa mereka sudah pergi?" tanya Gia dengan nada suaranya yang bergetar. Marry yang melihat sekali raut ketakutan di wajah wanita yang ditolongnya segera memeluk Gia erat."Sst, tenanglah Gia. Aku akan menjagamu semampuku, aku akan berusaha menyembunyikanmu disini, tanpa ada yang tau.""Bibi, mengapa kebebasanku direnggut? Mengapa hidup serasa sangat sulit? Apa dosa yang sudah kuperbuat hingga aku diberikan hal seperti ini? Tuhan tak adil, Bi.""Sst, Gia. Percayalah se
Gia meraih ponsel sederhana yang ia beli saat mendapat uang hasil membantu Marry selama lima bulan setelah berhentinya anak buah Alfonzo yang mencarinya saat di Monako.Saat ini, Gia mengedarkan pandangannya mencari titik kemana ia akan melangkah di kota yang sedari kecil ia tinggali namun telah menorehkan luka yang masih belum sembuh untuknya, New York.Wanita itu menenteng tas lusuh yang diberikan Marry, tanpa membawa hal yang penting Gia hanya membawa uang dan ponsel di tasnya. Namun, Gia langsung berjalan menuju tempat Lilia, bahkan untuk menuju apartemen Lilia pun Gia hanya berjalan tanpa menggunakan taxi, ia melupakan kenyataan bahwa ia baru saja melahirkan.Sesampainya di apartemen milik Lilia, Gia mengetuk pintu itu tanpa jeda namun tak ada jawaban atau sahutan dari dalam sana, hal itu semakin membuat Gia kalut. Ia menatap sekitarnya namun tak ada satu orang pun disana. Pikiran buruk mulai bermunculan di otaknya, wanita itu secepat kilat menuju mansion Leonardo untuk memastika
Alfonzo menjalankan kakinya dengan gagah memasuki kamar milik Gia, sesaat setelah ia membuka pintunya ia menatap Gia yang tampak menatap ke depan dengan pandangan kosongnya, wanita itu tak menolehkan sedikitpun wajahnya untuk melihat Alfonzo, ia lelah hanya lelah dan kepedihan yang ia rasakan kala menatap wajah pria itu.Pria dengan tubuh tegap itu berjalan dengan satu tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana, ia dudukkan tubuhnya tepat di tepi ranjang yang hanya berjarak lima senti saja dari tubuh Gia yang tampak kosong."Gia," panggil Alfonzo dengan suara rendahnya namun tak diindahkan oleh Gia, wanita itu justru memunggungi Alfonzo."Makanlah," ucap Alfonzo berusaha membujuk Gia agar wanita itu bersedia menerima sesuap atau dua suap nasi untuk mengganjal perutnya."Jika kau tak makan, kau akan sakit Gia," ucap Alfonzo lagi berusaha meruntuhkan kedinginan Gia."Jika kau sakit_""Apa? Kau takut kau tak dapat pelayanan dariku? Kau takut aku akan merepotkanmu? Kau pun takut jika ak
Alfonzo langsung bergegas dan meninggalkan meeting yang sedang berjalan saat mengetahui keadaan istrinya yang konon pingsan di lobby, pria itu segera bergerak dan menuju ke ruangannya untuk bertemu dengan Gia. Tapi sebelum benar-benar memasuki ruangannya, Alfonzo justru bertabrakan dengan France. "France! Apa kau tak bisa melihat dengan benar, huh?!" sentak Alfonzo yang mulai terpancing karena kepanikan yang menderanya."Sig, maaf aku tak bermaksud begitu. Tadi aku berlari karena tau jika Nyonya pingsan dan kau pasti butuh bantuan ku, jadi apa yang bisa aku bantu Sig?" tanya France begitu mengerti kondisi yang sedang berlangsung.Alfonzo mengangguk dan ia menepuk bahu France bangga. "Bagus, sekarang kau ambil flashdisk yang ada pada Gia.""Maksud mu ini, Sig? Aku menemukannya di lobby dan segera membawanya.""Ya benar, sekarang kau menggantikan ku di ruangan meeting. Semua materi ada di dalam flashdisk itu ku harap kau mengerti dengan apa yang harus kau lakukan, France.""Yes Sig." F
Five Years Later ...."Mommy! Kemarin Theo bertemu dengan Gerrardo, dia mendapatkan adik barunya, kapan Mommy akan memberikan aku adik baru seperti Gerrardo? Kata Papà-nya Gerrardo aku bisa meminta adik baru kepada Mommy dan Papà, aku takut pada Papà jadi aku meminta kepadamu, jadi kapan Mom?" tanya Theodore dengan mata yang berbinar. Sedangkan Gia sendiri seakan tak bisa mengatakan banyak hal selain merasa gugup dan juga sedih dengan pertanyaan yang diberikan oleh Theodore. Memang Gia sudah lama mengharapkan kehadiran sang anak kedua setelah kejadian lima tahun yang lalu, Theodore bahkan selalu meminta untuk mendapatkan teman yaitu sang adik, tapi Alfonzo selalu memberikan harapan, dan Gia cukup lelah sebab ia merasa sering dikecewakan. Ia sering terlambat mendapat tamu bulanannya, tapi selalu saja tak seperti apa yang di harapkan. "Theo, maafkan Mommy. Mommy juga tidak tau kapan adik kecil Theodore akan datang tapi mungkin sebentar lagi.""Mommy selalu berkata sebentar lagi terus m
"We have to stop this." Gia tersadar dan ia mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan oleh Alfonzo. Wanita itu menjauhkan tubuhnya dari tubuh Alfonzo masih menggenggam tangan suaminya tersebut."Kau benar, ayo naik lagi." Alfonzo membalas ajakan Gia dengan senyum tipisnya, keduanya segera kembali ke lantai utama dimana kamar Theodore berada.Sesampainya di depan kamar Theodore, Alfonzo menghentikan langkahnya dan menatap Gia. "Aku harus bertemu dengan France untuk membicarakan beberapa hal, tak apa jika aku tinggal?""Tentu saja kenapa aku bermasalah dengan itu?"Alfonzo tersenyum, ia mencium kening Gia sebelum akhirnya pergi meninggalkan wanita itu untuk bertemu dengan France dan membahas mengenai dunia gelapnya. "France!" seru Alfonzo memanggil sang asisten, tak lama yang dipanggil pun akhirnya datang dan berhadapan langsung dengan sang tuan."Ada yang bisa aku lakukan untuk mu, Sig?" tanya France dengan menundukkan kepalanya penuh hormat kepada Alfonzo."Kita ke markas sekarang."
Alfonzo melepaskan pelukannya dari tubuh Gia, ia menatap sang istri dengan penuh cinta lalu menggenggam tangannya erat mengecupnya begitu lembut penuh dengan kasih sayang. "Kita harus kembali ke pesta, sebelum nanti ada yang menyadari ketidakhadiran kita berdua."Gia mengangguk mengerti dengan apa yang di maksud oleh Alfonzo, ia pun segera mendirikan tubuhnya keduanya berjalan beriringan menuju ke taman dan kembali menyambung keceriaan pesta ulang tahun sang anak. Tak lama Leonardo dan Florence datang menghampiri Alfonzo dan juga Gia. "Hei aku sudah mencari kalian dari tadi tapi tak dapat menemukan kalian, dari mana kalian berdua?" tanya Florence penasaran."Well, kami hanya berbicara sesuatu hal di bagian belakang, Flo," jawab Gia diiringi senyum manisnya.Florence tersenyum manis ia mengusap bahu Gia. "Putramu sangat tampan, Gia. Dia menuruni warna mata Alfonzo," ucapnya memuji ketampanan putra Gia."Terimakasih banyak Flo, sama seperti Theodore yang mewarisi warna mata Alfonzo, put
"Mom, where is my birthday present?"Gia tersadar dari lamunannya dan ia segera mengalihkan fokusnya yang semula terpaku pada taman yang ada di depan mansion, ia tau harusnya ia tak mengalihkan fokusnya dari ulang tahun Theodore tapi memang akhir-akhir ini ia selalu saja kehilangan fokusnya tanpa sadar. "Sorry honey, Mommy tak sengaja. Sebentar, Mommy ambilkan spesial untuk mu," ucap Gia seraya mendirikan tubuhnya ia menyentuh kepala Theodore sebelum akhirnya berlalu memasuki mansion meninggalkan para tamu undangan yang tengah berbahagia di ulang tahun Theodore yang ketiga.Sementara di sisi lain Alfonzo bisa merasakan keanehan pada Gia, ia sadar sejak dua bulan yang lalu tepatnya semenjak Gia tau bahwa ia kehilangan bayinya ia berubah secara perlahan menjadi pendiam, Gia sering sekali melamun dan kehilangan fokusnya tapi Alfonzo bisa apa, sudah ribuan kali ia menghibur Gia tapi Gia tak juga bisa move on dari kejadian pahit itu. "Hei, ada apa Al? Kenapa terdiam menatap Gia seperti itu
"NO!!" Gia berteriak sesaat setelah melihat Alfonzo yang masih belum bangun dari simpuhannya tapi tetap di tendang dengan kasar oleh Xavier.Davis tak dapat berbuat banyak, pria itu sibuk membidik musuhnya hingga tak melihat kondisi Alfonzo yang benar-benar sudah berada di titik terendah. Gia menggeram marah saat kedua cekalan di tangannya semakin erat ia menatap kedua anak buah Alfonzo dengan mata merah dan penuh air matanya. "Lepas! Kau ingin Tuanmu mati disana, huh! Kau gila! Lepaskan aku!" sentak Gia tajam.Kedua The Devil itu menundukkan kepalanya ia terlalu patuh terhadap perintah Alfonzo yang akhirnya membuat ia diam tak berkutik dan hanya bisa menjaga Gia tetap aman. "Kami tak bisa lepaskan Nyonya apapun yang terjadi sesuai dengan perintah Tuan," ucap salah satu The Devil yang mencekal lengan Gia.Gia menggelengkan kepalanya. "Dasar bodoh!" sentak Gia.Sementara Alfonzo, pria itu sudah tak bisa lagi untuk fokus. Telinganya berdenging dan pandangannya memburam ia tak bisa melih
"Welcome, Al." Suara berat seseorang terdengar membuat Alfonzo mengalihkan pandangannya yang semula tertuju pada Theodore kini menatap asal suara."Xavier?""Ya, i am," jawab Xavier dengan senyum tipisnya.Alfonzo mengepalkan kedua telapak tangannya erat saat pria itu semakin menodongkan ujung pistolnya di kepala anaknya. "Jangan sakiti dia, Xavier. Atau aku akan menbunuhmu saat ini juga," desis Alfonzo tajam."Nyatanya kau tak bisa melindungi istri dan anakmu, sama seperti istrimu yang dulu."Alfonzo mengetatkan rahangnya lalu mendekati Xavier. "Kau pelakunya? Kau yang membunuh Agatha?!" sentak Alfonzo tajam.Tawa Xavier menggelegar setelah mendengar sentakan dari Alfonzo, pria itu melepaskan ujung pistolnya dari kepala Theodore lalu melemparkan anak itu ke salah satu anak buahnya. "JANGAN SAKITI DIA BRENGSEK!" teriak Alfonzo menahan marah.Xavier menganggukkan kepalanya kemudian mendekati Alfonzo ia menatap pria itu dengan smirk di ujung bibirnya. "Aku tak akan mengincar garis ketur
Gia semakin mengeratkam pelukannya pada Theodore sesaat setelah mendengar bunyi tembakan dari jarak dekat apalagi kini bisa Gia lihat perlahan pintu terbuka sedikit demi sedikit menampilkan sepatu hitam dengan langkah kaki perlahan dari seseorang. Gia paham betul itu bukan Alfonzo oleh karena itu tubuhnya tidak berhenti menggigil. "Hai," sapa orang itu dengan suara rendahnya. Gia semakin mengertakan pelukannya pada Theodore mencoba melindungi anak itu di dalam dekapannya.Tak lama langkah kaki dari beberapa orang terdengar dan kini gerombolan orang terlihat, mereka menatap Gia dan Theodore saling bergantian. "Bring them," ujarnya membuat Gia kalut dan menatap sosok di hadapannya pria itu memakai topi yang menutupi setengah wajahnya hingga Gia tidak terlalu jelas melihat wajah pria itu.Akhirnya pelukan Gia di lepas secara paksa oleh orang-orang tadi, ia berusaha menggapai Theodore kembali tapi orang-orang tadi terlalu kencang meremas tangannya dan Gia tak tau lagi harus bagaimana meny
Alfonzo seakan tersadar dari sisi gelapnya, ia menatap wajah lelah Gia lalu mengalihkan tatapannya menatap punggung Theodore yang bergetar karena menangis saat ini. "Hentikan, kalian membuatnya takut. Tolong biarkan kami pergi dan silahkan saling membunuh aku tak perduli" lirih Gia dengan meremas jas yang Alfonzo pakai."Gia aku tak mendengar mu, maaf," ucap Alfonzo dibalas gelengan pelan dari Gia.Wanita itu membalikkan tubuhnya menatap Maxime kemudian.Plak!"Jika kau datang hanya untuk membuat kerusuhan dan membuat hidupku bertambah sakit, lebih baik kau pergi karena kau berhasil. Dan tolong Max, berhenti mengganggu hidupku dan putraku. Hanya ia yang tersisa diantara harapanku, jangan membuatku bertindak di luar logis saat kau mengambilnya karena aku tak akan izinkan. Pergilah jika kau sudah puas menyiksaku," lirih Gia dengan kesedihan di matanya.Maxime menggelengkan kepalanya tak membenarkan ucapan Gia. "Jangan berkata seperti itu, Gia. Aku tak bermaksud untuk mengacaukan hidupmu