Marry menutup pintu cepat setelah dua pria tadi menanyakan tentang Gia padanya, wanita yang cukup berumur itu menatap ke kamar bekas anaknya yang sudah ditempati Gia selama dua hari ini. Kakinya berjalan menuju kamar tersebut dan mengetuk pintunya tiga kali."Gia?" panggil Marry tak berbalas. "Gia ini aku, bukalah pintumu, Gia," ulangnya menyakinkan.Benar saja kurang dari satu menit pintu sudah terbuka dengan lebar memperlihatkan wajah pias Gia saat ini dengan air mata yang sudah bercucuran membelah pipi putihnya."Bibi, apa mereka sudah pergi?" tanya Gia dengan nada suaranya yang bergetar. Marry yang melihat sekali raut ketakutan di wajah wanita yang ditolongnya segera memeluk Gia erat."Sst, tenanglah Gia. Aku akan menjagamu semampuku, aku akan berusaha menyembunyikanmu disini, tanpa ada yang tau.""Bibi, mengapa kebebasanku direnggut? Mengapa hidup serasa sangat sulit? Apa dosa yang sudah kuperbuat hingga aku diberikan hal seperti ini? Tuhan tak adil, Bi.""Sst, Gia. Percayalah se
Gia meraih ponsel sederhana yang ia beli saat mendapat uang hasil membantu Marry selama lima bulan setelah berhentinya anak buah Alfonzo yang mencarinya saat di Monako.Saat ini, Gia mengedarkan pandangannya mencari titik kemana ia akan melangkah di kota yang sedari kecil ia tinggali namun telah menorehkan luka yang masih belum sembuh untuknya, New York.Wanita itu menenteng tas lusuh yang diberikan Marry, tanpa membawa hal yang penting Gia hanya membawa uang dan ponsel di tasnya. Namun, Gia langsung berjalan menuju tempat Lilia, bahkan untuk menuju apartemen Lilia pun Gia hanya berjalan tanpa menggunakan taxi, ia melupakan kenyataan bahwa ia baru saja melahirkan.Sesampainya di apartemen milik Lilia, Gia mengetuk pintu itu tanpa jeda namun tak ada jawaban atau sahutan dari dalam sana, hal itu semakin membuat Gia kalut. Ia menatap sekitarnya namun tak ada satu orang pun disana. Pikiran buruk mulai bermunculan di otaknya, wanita itu secepat kilat menuju mansion Leonardo untuk memastika
Alfonzo menjalankan kakinya dengan gagah memasuki kamar milik Gia, sesaat setelah ia membuka pintunya ia menatap Gia yang tampak menatap ke depan dengan pandangan kosongnya, wanita itu tak menolehkan sedikitpun wajahnya untuk melihat Alfonzo, ia lelah hanya lelah dan kepedihan yang ia rasakan kala menatap wajah pria itu.Pria dengan tubuh tegap itu berjalan dengan satu tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana, ia dudukkan tubuhnya tepat di tepi ranjang yang hanya berjarak lima senti saja dari tubuh Gia yang tampak kosong."Gia," panggil Alfonzo dengan suara rendahnya namun tak diindahkan oleh Gia, wanita itu justru memunggungi Alfonzo."Makanlah," ucap Alfonzo berusaha membujuk Gia agar wanita itu bersedia menerima sesuap atau dua suap nasi untuk mengganjal perutnya."Jika kau tak makan, kau akan sakit Gia," ucap Alfonzo lagi berusaha meruntuhkan kedinginan Gia."Jika kau sakit_""Apa? Kau takut kau tak dapat pelayanan dariku? Kau takut aku akan merepotkanmu? Kau pun takut jika ak
Gia tertawa lebar mendengar sentakan Alfonzo barusan, ia kebal dengan semua teriakan dan sentakan dari pria itu. Hatinya mati rasa setelah ia kehilangan wajah menggemaskan Theodore, ia hanya hidup dalam kehampaan. Wanita itu meminum jus jeruknya lalu berdiri dengan underwear yang telah basah menatap Alfonzo dari atas sampai bawah. "Mengapa marah Alfonzo? Bukankah kau hanya tuanku disaat malam?""Gia, jangan membuatku marah.""Well, jika dihitung kau lebih dari seribu kali marah padaku, Alfonzo," balas Gia tanpa takut pada Alfonzo.Pria itu menggeram dibuatnya, ia tak terima di tantang seperti ini oleh wanita yang sudah ia beli sepuluh juta dollar dua tahun yang lalu, harga diri Alfonzo terluka akibat ucapan Gia yang terlampau berubah seratus delapan puluh derajat.Alfonzo yang kesal karena Gia lebih memilih membalikkan tubuhnya dan menatap kolam biru di depannya langsung meraih tubuh Gia dan menggendongnya ala bridal dan menatap tajam manik wanita itu."Jadi, kemana kita akan pergi Mr
Alfonzo mengeringkan tubuh Gia dengan handuk di tangan kanannya, sesekali pria itu mengusap lembut bahu serta tulang selangka Gia yang masih terlihat basah, pria itu menatap lekat Gia yang terlihat mengigil kedinginan."I-ini semua karenamu! Jika aku sakit kau harus tanggung jawab!" sentak Gia dengan bibir yang mengigil hebat."Well, kau yang membuatku melakukan ini, Gia," balas Alfonzo tanpa menatap Gia. Alfonzo terus mengeringkan rambut Gia yang masih meneteskan air kemudian ia memberikan setelan dress pada wanita itu."Gantilah bajumu, Gia. Jika kau tak ingin sakit.""Tanpa kau suruh aku pasti akan mengganti bajuku!" balas Gia ketus dibalas senyum tipis di bibir Alfonzo, pria itu suka menggoda Gia hingga membuat wanita itu marah ataupun kesal terhadapnya.Alfonzo membalikkan tubuhnya dan mengeratkan tali bathrobe yang tengah ia pakai seraya kakinya melangkah keluar dari kamar mandi meninggalkan Gia dengan umpatannya terhadap Alfonzo.Gia mengumpat tanpa henti seraya mengeringkan tu
Alfonzo memasuki kamar resort yang sudah dipesannya, pria itu menjalankan kakinya dengan pikiran yang berkelana, saat ini ia akan berusaha membentengi dan tak membiarkan Gia pergi barang sejengkal pun dari kamarnya agar memastikan wanita itu tidak bertemu dengan Leonardo, akan menjadi bencana apabila Gia meminta bantuan Leonardo dan Leonardo memberitahu masalah ini pada Arthur.Klek!Alfonzo mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Gia, pria itu kembali menjalankan kakinya menuju kamar mandi namun tak juga menemukan Gia. Segera Alfonzo meraih ponsel dan menghubungi anak buahnya."Kau lihat Nyonya?""Ya Tuan, dua puluh menit yang lalu beliau keluar katanya ingin melihat sekitar sekaligus mencarimu.""Sial!""Ada masalah tuan?""Cari dia kemanapun, jika perlu bayar orang sini untuk melacak keberadaan Gia.""Baik Tuan."Alfonzo mematikan sambungan teleponnya cepat, pikirannya berkelana ia tak bisa diam saja. Meskipun ia masih memiliki waktu satu minggu lagi disini namun ia harus sege
Pagi yang cerah dengan suara burung yang berkicauan berpadu dengan suara deburan ombak di tepi pantai semakin membuat Gia termanjakan, wanita itu menurunkan kakinya dan menggeliat pekan, hari ini tak lagi sesak seperti biasanya, ia bahagia karena saat ini ada Leonardo yang dekat dengan dirinya. Ia segera keluar dari kamarnya namun pendengarannya mendengar suara candaan dari arah pantry.Gia menjalankan kakinya menuju pantry dan ia sedikit terpaku saat melihat Leonardo dan Florence yang tampak sedang bermesraan dengan canda gurau yang sesekali mereka lontarkan, di tempatnya berdiri Gia meremas dadanya yang sesak bahkan air mata hendak turun namun ia menahannya sekuat tenaga. Alhasil Gia mengedipkan matanya dengan menatap ke atas agar air mata itu tak menuruni pipi putihnya, serasa dirasa baik ia kembali menatap ke depannya kemudian berdehem menyadarkan sepasang suami istri di hadapannya."Ekhm!"Tampak Florence segera memperjarak antara dirinya dan Alfonzo sesaat setelah menyadari kebe
Sudah sembilan hari terhitung sejak dirinya tidak bersama dengan Gia, kini hidup Alfonzo kembali ke dalam kehampaan. Pria itu memijit pelipisnya yang menegang, ia ingin ketenangan namun ia tak tau apa yang bisa menenangkan dirinya. Namun saat Alfonzo menjalankan kakinya menuju kamarnya, ia baru menyadari. Mansionnya yang besar dan megah hanya diisi oleh keheningan, dan hal itu semakin membuat Alfonzo tersakiti. Ia kembali ke niatan awalnya yaitu menuju kamarnya. Malam hari ini, kamarnya tak diterangi cahaya lampu hanya ada cahaya dari rembulan malam ini. Alfonzo menyingkap kain yang menutupi lukisan sang istri, ia usap lembut seakan mengusap kulit lembut Agatha-nya."Selamat malam Agatha. Lagi dan lagi aku datang dengan alasan merindukanmu, ku harap kau tak bosan mendengarkanku.""Maaf, maafkan aku yang sudah bertindak berengsek pada setiap wanita di luar sana namun aku tak bisa mengontrol diriku. Aku butuh orang yang mampu membuatku tenang dalam kebahagiaan di mansion ini. Dan semua