Pagi yang cerah dengan suara burung yang berkicauan berpadu dengan suara deburan ombak di tepi pantai semakin membuat Gia termanjakan, wanita itu menurunkan kakinya dan menggeliat pekan, hari ini tak lagi sesak seperti biasanya, ia bahagia karena saat ini ada Leonardo yang dekat dengan dirinya. Ia segera keluar dari kamarnya namun pendengarannya mendengar suara candaan dari arah pantry.Gia menjalankan kakinya menuju pantry dan ia sedikit terpaku saat melihat Leonardo dan Florence yang tampak sedang bermesraan dengan canda gurau yang sesekali mereka lontarkan, di tempatnya berdiri Gia meremas dadanya yang sesak bahkan air mata hendak turun namun ia menahannya sekuat tenaga. Alhasil Gia mengedipkan matanya dengan menatap ke atas agar air mata itu tak menuruni pipi putihnya, serasa dirasa baik ia kembali menatap ke depannya kemudian berdehem menyadarkan sepasang suami istri di hadapannya."Ekhm!"Tampak Florence segera memperjarak antara dirinya dan Alfonzo sesaat setelah menyadari kebe
Sudah sembilan hari terhitung sejak dirinya tidak bersama dengan Gia, kini hidup Alfonzo kembali ke dalam kehampaan. Pria itu memijit pelipisnya yang menegang, ia ingin ketenangan namun ia tak tau apa yang bisa menenangkan dirinya. Namun saat Alfonzo menjalankan kakinya menuju kamarnya, ia baru menyadari. Mansionnya yang besar dan megah hanya diisi oleh keheningan, dan hal itu semakin membuat Alfonzo tersakiti. Ia kembali ke niatan awalnya yaitu menuju kamarnya. Malam hari ini, kamarnya tak diterangi cahaya lampu hanya ada cahaya dari rembulan malam ini. Alfonzo menyingkap kain yang menutupi lukisan sang istri, ia usap lembut seakan mengusap kulit lembut Agatha-nya."Selamat malam Agatha. Lagi dan lagi aku datang dengan alasan merindukanmu, ku harap kau tak bosan mendengarkanku.""Maaf, maafkan aku yang sudah bertindak berengsek pada setiap wanita di luar sana namun aku tak bisa mengontrol diriku. Aku butuh orang yang mampu membuatku tenang dalam kebahagiaan di mansion ini. Dan semua
"G-Gia?" Maxime terbelalak saat menatap wanita yang setahunya sudah mati tiga tahun yang lalu, namun apa ini? Mengapa Gia tampak terlihat sangat sehat dan bugar di hadapannya saat ini.Gia menganggukkan kepalanya sesaat setelah menjalankan kakinya mendekati Maxime yang masih terpaku akibat kedatangannya yang tiba-tiba."Mengapa Max? Kau terkejut dengan kedatanganku? Atau kau pikir kau di datangi oleh arwah ku? No, Max. Aku belum mati, aku benar-benar Gia. Wanita yang kau hancurkan hidupnya tiga tahun lalu," ucap Gia seakan mengerti pemikiran dari Maxime.Pria itu tampak pucat di tempatnya, ia segera berjalan mendekati Gia dan menelisik wanita di hadapannya dengan tajam tanpa celah."Gia, aku_""Bagaimana kehidupanmu setelah mendapatkan club milikmu kembali, Max?""Gia maafkan aku, saat itu aku benar-benar buntu. Aku merasa bersalah atas kelakuan bodohku dengan mengorbankanmu, aku ingin membuatmu tutup mulut dengan cara baik-baik agar Leonardo tak marah padaku, namun di sisi lain aku b
Gia memakan makan siang yang dibuatkan Lilia untuknya dengan pelan, pikiran wanita itu berkelana pada sosok Alfonzo yang sedikit membuatnya kasihan. Dirinya yang kehilangan Leonardo untuk yang kedua kali saja sudah sangat amat menyakitkan, lalu bagaimana dengan Alfonzo yang ditinggalkan oleh istri dan calon anaknya, sungguh! Gia tak bisa membayangkan apabila ia berada di posisi Alfonzo."Gia?" panggil Lilia dengan menggenggam tangan Gia erat saat menyadari sahabatnya itu melamun."Ya? Em jangan khawatirkan aku Lilia. Aku baik.""Aku bahkan belum bertanya padamu Gia, hm." Lilia menyatukan tangannya kemudian menatap Gia dengan tatapan tajamnya. "Aku tau kau mungkin memikirkan Leonardo, bukan? Ia telah menikah dengan seorang wanita biasa, ya sepertiku yang hanya tinggal di apartemen namun ia lebih sedikit kekurangan. Mereka menikah karena kecelakaan.""Maksud mu dengan kecelakaan?" tanya Gia dengan mengangkat satu alisnya.Lilia tersenyum lembut lalu meraih sebotol wine dan menuangkannya
Gia dengan cepat menghapus air matanya dan menegakkan tubuhnya lalu menjalankan kakinya menuruni tangga dan mendekati Florence yang tengah memeluk Karin saat ini."Istri tak berguna!!" rutuk Gia tajam pada Florence.Florence langsung menatap Gia dengan mata sembabnya, ia terus menatap teman kecil suaminya yang tengah memperlihatkan wajah marahnya. "Kau tau! Karena mu Leonardo sampai seperti ini! Harusnya kau tak memberi udang di dalam dimsum itu! Sekarang lihatlah apa yang sudah kau lakukan! Karena mu Leonardo sesak napas saat ini!" sentak Gia beruntun pada Florence.Florence menegang ditempatnya, ia terus saja mengeluarkan air matanya. "A-Aku benar-benar tak tau Leo alergi udang," cicit Florence ditengah-tengah tangisannya."Tak tau?! Berarti kau memang istri yang tak berguna!" sentak Gia lagi semakin memojokkan Florence."Kau tak tau apa yang tak seharusnya dimakan oleh suami mu sendiri!! Artinya kau tak cukup baik mengenalinya!!" ucap Gia dengan menunjuk wajah Florence dengan telun
Leonardo memanggil pelayan restoran dan meraih beberapa uang di dalam dompetnya dan memberikannya pada si pelayan. "Tuan ini terlalu banyak," ucap si pelayan kembali menyerahkan sisa uang Leonardo."Itu tip untukmu," jawab Leonardo menolak uang itu.Si pelayan langsung tersenyum sumringah, ia lalu menatap Florence dan Leonardo bergantian. "Istriku sedang hamil," adu Leonardo dengan cengirannya."Ah iya?" tanya si pelayan dan dibalas anggukkan pelan dari Florence."Ku doakan anak kalian akan jadi anak yang cantik atau tampan terlihat dari orang tuanya yang tampan dan cantik. Semoga bayi kalian selalu sehat, dan nyonya juga," doa si pelayan."Terimakasih banyak," ucap Florence dengan senyum manisnya.Setelah itu mereka kembali memasuki mobil dan mobil itu pun kembali bergerak menuju mall.Setelah sampai di parkiran mall, Leonardo dengan sigap membukakan pintu mobil untuk istrinya. Lalu ia mengapit lengan Florence sementara Gia tetap mengikuti mereka dari belakang.Leonardo menghentikan
Alfonzo terus memeluk tubuh Gia yang tertidur di dalam dekapannya saat ini, pria itu menyampirkan anak rambut Gia tepat di belakang wanita itu, ia pandangi wajah damai Gia hingga ia baru sadar bahwa wanita itu tampak sangat berbeda saat ia bangun."Sig?""Hm?" balas Alfonzo dengan deheman atas panggilan dari supirnya. "Kemana kita akan pergi?" tanya si supir membuat Alfonzo mengangguk paham."Kembali ke panthouse ku," ujar Alfonzo dibalas anggukan patuh dari sang supir.Sesampainya di panthouse, Alfonzo segera membawa tubuh Gia dan ia membuka pintu panthouse-nya dengan satu kaki kemudian melanjutkan langkah kakinya semakin memasuki panthouse tersebut. Pria dengan tubuh tinggi tegap itu merebahkan tubuh Gia di atas ranjangnya yang berselimut putih kemudian menaikan selimut tersebut hingga menutupi tubuh Gia. Ia pandangi lagi wajah wanita itu, kemudian mencium pipinya lembut penuh perasaan.***Keesokan paginya, Alfonzo bangun dari tidurnya yang kurang nyaman, wajar karena ia tidur di s
Keheningan benar-benar menyiksa Florence, Gia sama sekali tak berniat membuka suara. Florence gemas dengan keadaan ia pun meneguk air lalu berdehem. "Gia," panggil Florence mendongakkan kepala Gia."Ya?""Aku ingin minta maaf atas perlakuan dan kata-kataku padamu waktu itu," sesal Florence dengan tulus."Ya tak apa," balas Gia tak berselera."Aku juga tak paham, bagaimana bisa aku bisa mengatakan hal yang bisa menyakitimu waktu itu.""Tak usah pikirkan, aku bisa paham keadaanmu.""Terimakasih.""Aku juga salah, tak seharusnya aku terus mengejar suamimu.""Gia.""Aku melupakan fakta bahwa kau tengah mengandung anak dari pria yang kucintai, aku tak perduli dengan keadaanmu. Yang selalu aku pikirkan adalah cara mendapatkan Leonardo, aku menyesal, Flo. Aku malu menatapmu, aku tak bisa berpikir jernih. Maafkan aku."Florence terenyuh saat mendengar setiap kata yang diucapkan Gia. Wanita itu segera memutar meja dan berdiri tepat di samping Gia. Florence menarik tangan Gia agar berdiri dan m
Alfonzo langsung bergegas dan meninggalkan meeting yang sedang berjalan saat mengetahui keadaan istrinya yang konon pingsan di lobby, pria itu segera bergerak dan menuju ke ruangannya untuk bertemu dengan Gia. Tapi sebelum benar-benar memasuki ruangannya, Alfonzo justru bertabrakan dengan France. "France! Apa kau tak bisa melihat dengan benar, huh?!" sentak Alfonzo yang mulai terpancing karena kepanikan yang menderanya."Sig, maaf aku tak bermaksud begitu. Tadi aku berlari karena tau jika Nyonya pingsan dan kau pasti butuh bantuan ku, jadi apa yang bisa aku bantu Sig?" tanya France begitu mengerti kondisi yang sedang berlangsung.Alfonzo mengangguk dan ia menepuk bahu France bangga. "Bagus, sekarang kau ambil flashdisk yang ada pada Gia.""Maksud mu ini, Sig? Aku menemukannya di lobby dan segera membawanya.""Ya benar, sekarang kau menggantikan ku di ruangan meeting. Semua materi ada di dalam flashdisk itu ku harap kau mengerti dengan apa yang harus kau lakukan, France.""Yes Sig." F
Five Years Later ...."Mommy! Kemarin Theo bertemu dengan Gerrardo, dia mendapatkan adik barunya, kapan Mommy akan memberikan aku adik baru seperti Gerrardo? Kata Papà-nya Gerrardo aku bisa meminta adik baru kepada Mommy dan Papà, aku takut pada Papà jadi aku meminta kepadamu, jadi kapan Mom?" tanya Theodore dengan mata yang berbinar. Sedangkan Gia sendiri seakan tak bisa mengatakan banyak hal selain merasa gugup dan juga sedih dengan pertanyaan yang diberikan oleh Theodore. Memang Gia sudah lama mengharapkan kehadiran sang anak kedua setelah kejadian lima tahun yang lalu, Theodore bahkan selalu meminta untuk mendapatkan teman yaitu sang adik, tapi Alfonzo selalu memberikan harapan, dan Gia cukup lelah sebab ia merasa sering dikecewakan. Ia sering terlambat mendapat tamu bulanannya, tapi selalu saja tak seperti apa yang di harapkan. "Theo, maafkan Mommy. Mommy juga tidak tau kapan adik kecil Theodore akan datang tapi mungkin sebentar lagi.""Mommy selalu berkata sebentar lagi terus m
"We have to stop this." Gia tersadar dan ia mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan oleh Alfonzo. Wanita itu menjauhkan tubuhnya dari tubuh Alfonzo masih menggenggam tangan suaminya tersebut."Kau benar, ayo naik lagi." Alfonzo membalas ajakan Gia dengan senyum tipisnya, keduanya segera kembali ke lantai utama dimana kamar Theodore berada.Sesampainya di depan kamar Theodore, Alfonzo menghentikan langkahnya dan menatap Gia. "Aku harus bertemu dengan France untuk membicarakan beberapa hal, tak apa jika aku tinggal?""Tentu saja kenapa aku bermasalah dengan itu?"Alfonzo tersenyum, ia mencium kening Gia sebelum akhirnya pergi meninggalkan wanita itu untuk bertemu dengan France dan membahas mengenai dunia gelapnya. "France!" seru Alfonzo memanggil sang asisten, tak lama yang dipanggil pun akhirnya datang dan berhadapan langsung dengan sang tuan."Ada yang bisa aku lakukan untuk mu, Sig?" tanya France dengan menundukkan kepalanya penuh hormat kepada Alfonzo."Kita ke markas sekarang."
Alfonzo melepaskan pelukannya dari tubuh Gia, ia menatap sang istri dengan penuh cinta lalu menggenggam tangannya erat mengecupnya begitu lembut penuh dengan kasih sayang. "Kita harus kembali ke pesta, sebelum nanti ada yang menyadari ketidakhadiran kita berdua."Gia mengangguk mengerti dengan apa yang di maksud oleh Alfonzo, ia pun segera mendirikan tubuhnya keduanya berjalan beriringan menuju ke taman dan kembali menyambung keceriaan pesta ulang tahun sang anak. Tak lama Leonardo dan Florence datang menghampiri Alfonzo dan juga Gia. "Hei aku sudah mencari kalian dari tadi tapi tak dapat menemukan kalian, dari mana kalian berdua?" tanya Florence penasaran."Well, kami hanya berbicara sesuatu hal di bagian belakang, Flo," jawab Gia diiringi senyum manisnya.Florence tersenyum manis ia mengusap bahu Gia. "Putramu sangat tampan, Gia. Dia menuruni warna mata Alfonzo," ucapnya memuji ketampanan putra Gia."Terimakasih banyak Flo, sama seperti Theodore yang mewarisi warna mata Alfonzo, put
"Mom, where is my birthday present?"Gia tersadar dari lamunannya dan ia segera mengalihkan fokusnya yang semula terpaku pada taman yang ada di depan mansion, ia tau harusnya ia tak mengalihkan fokusnya dari ulang tahun Theodore tapi memang akhir-akhir ini ia selalu saja kehilangan fokusnya tanpa sadar. "Sorry honey, Mommy tak sengaja. Sebentar, Mommy ambilkan spesial untuk mu," ucap Gia seraya mendirikan tubuhnya ia menyentuh kepala Theodore sebelum akhirnya berlalu memasuki mansion meninggalkan para tamu undangan yang tengah berbahagia di ulang tahun Theodore yang ketiga.Sementara di sisi lain Alfonzo bisa merasakan keanehan pada Gia, ia sadar sejak dua bulan yang lalu tepatnya semenjak Gia tau bahwa ia kehilangan bayinya ia berubah secara perlahan menjadi pendiam, Gia sering sekali melamun dan kehilangan fokusnya tapi Alfonzo bisa apa, sudah ribuan kali ia menghibur Gia tapi Gia tak juga bisa move on dari kejadian pahit itu. "Hei, ada apa Al? Kenapa terdiam menatap Gia seperti itu
"NO!!" Gia berteriak sesaat setelah melihat Alfonzo yang masih belum bangun dari simpuhannya tapi tetap di tendang dengan kasar oleh Xavier.Davis tak dapat berbuat banyak, pria itu sibuk membidik musuhnya hingga tak melihat kondisi Alfonzo yang benar-benar sudah berada di titik terendah. Gia menggeram marah saat kedua cekalan di tangannya semakin erat ia menatap kedua anak buah Alfonzo dengan mata merah dan penuh air matanya. "Lepas! Kau ingin Tuanmu mati disana, huh! Kau gila! Lepaskan aku!" sentak Gia tajam.Kedua The Devil itu menundukkan kepalanya ia terlalu patuh terhadap perintah Alfonzo yang akhirnya membuat ia diam tak berkutik dan hanya bisa menjaga Gia tetap aman. "Kami tak bisa lepaskan Nyonya apapun yang terjadi sesuai dengan perintah Tuan," ucap salah satu The Devil yang mencekal lengan Gia.Gia menggelengkan kepalanya. "Dasar bodoh!" sentak Gia.Sementara Alfonzo, pria itu sudah tak bisa lagi untuk fokus. Telinganya berdenging dan pandangannya memburam ia tak bisa melih
"Welcome, Al." Suara berat seseorang terdengar membuat Alfonzo mengalihkan pandangannya yang semula tertuju pada Theodore kini menatap asal suara."Xavier?""Ya, i am," jawab Xavier dengan senyum tipisnya.Alfonzo mengepalkan kedua telapak tangannya erat saat pria itu semakin menodongkan ujung pistolnya di kepala anaknya. "Jangan sakiti dia, Xavier. Atau aku akan menbunuhmu saat ini juga," desis Alfonzo tajam."Nyatanya kau tak bisa melindungi istri dan anakmu, sama seperti istrimu yang dulu."Alfonzo mengetatkan rahangnya lalu mendekati Xavier. "Kau pelakunya? Kau yang membunuh Agatha?!" sentak Alfonzo tajam.Tawa Xavier menggelegar setelah mendengar sentakan dari Alfonzo, pria itu melepaskan ujung pistolnya dari kepala Theodore lalu melemparkan anak itu ke salah satu anak buahnya. "JANGAN SAKITI DIA BRENGSEK!" teriak Alfonzo menahan marah.Xavier menganggukkan kepalanya kemudian mendekati Alfonzo ia menatap pria itu dengan smirk di ujung bibirnya. "Aku tak akan mengincar garis ketur
Gia semakin mengeratkam pelukannya pada Theodore sesaat setelah mendengar bunyi tembakan dari jarak dekat apalagi kini bisa Gia lihat perlahan pintu terbuka sedikit demi sedikit menampilkan sepatu hitam dengan langkah kaki perlahan dari seseorang. Gia paham betul itu bukan Alfonzo oleh karena itu tubuhnya tidak berhenti menggigil. "Hai," sapa orang itu dengan suara rendahnya. Gia semakin mengertakan pelukannya pada Theodore mencoba melindungi anak itu di dalam dekapannya.Tak lama langkah kaki dari beberapa orang terdengar dan kini gerombolan orang terlihat, mereka menatap Gia dan Theodore saling bergantian. "Bring them," ujarnya membuat Gia kalut dan menatap sosok di hadapannya pria itu memakai topi yang menutupi setengah wajahnya hingga Gia tidak terlalu jelas melihat wajah pria itu.Akhirnya pelukan Gia di lepas secara paksa oleh orang-orang tadi, ia berusaha menggapai Theodore kembali tapi orang-orang tadi terlalu kencang meremas tangannya dan Gia tak tau lagi harus bagaimana meny
Alfonzo seakan tersadar dari sisi gelapnya, ia menatap wajah lelah Gia lalu mengalihkan tatapannya menatap punggung Theodore yang bergetar karena menangis saat ini. "Hentikan, kalian membuatnya takut. Tolong biarkan kami pergi dan silahkan saling membunuh aku tak perduli" lirih Gia dengan meremas jas yang Alfonzo pakai."Gia aku tak mendengar mu, maaf," ucap Alfonzo dibalas gelengan pelan dari Gia.Wanita itu membalikkan tubuhnya menatap Maxime kemudian.Plak!"Jika kau datang hanya untuk membuat kerusuhan dan membuat hidupku bertambah sakit, lebih baik kau pergi karena kau berhasil. Dan tolong Max, berhenti mengganggu hidupku dan putraku. Hanya ia yang tersisa diantara harapanku, jangan membuatku bertindak di luar logis saat kau mengambilnya karena aku tak akan izinkan. Pergilah jika kau sudah puas menyiksaku," lirih Gia dengan kesedihan di matanya.Maxime menggelengkan kepalanya tak membenarkan ucapan Gia. "Jangan berkata seperti itu, Gia. Aku tak bermaksud untuk mengacaukan hidupmu