Alfonzo menatap Gia yang sudah berjalan menuju kamarnya yang terpisah. Ya, Alfonzo memutusakan untuk memisahkan kamar mereka agar Gia bisa merasa nyaman atas kedekatan mereka yang bisa dibilang memulai kembali dari awal. Alfonzo menolehkan kepalanya ke belakang dan menatap Gia yang tampak tengah membuka knop pintunya. "Gia?" panggil Alfonzo membuat Gia menolehkan kepalanya ke belakang dan menatap pria itu dengan penuh tanda tanya."Hm?""Tidak, aku hanya ingin mengatakan sesuatu," ucap Alfonzo dibalas balikan badan dari Gia."Apa?" tanyanya balik."Selamat malam," ujar Alfonzo dengan senyum tipis di bibirnya.Gia balas tersenyum pada pria itu kemudian menganggukkan kepalanya. "Ya, selamat malam juga untukmu," ucap Gia dengan pelan.Gia kembali membalikkan tubuhnya lalu memutar knop pintu dan mendorong pintu tersebut bahkan hendak melangkahkan kakinya memasuki kamar namun hal itu terhenti saat suara Alfonzo kembali menyapa pendengarannya. "Gia?"Gia kembali membalikkan tubuhnya dan men
Gia menolehkan kepalanya ke arah Alfonzo yang tengah serius menyetir tepat di sampingnya saat ini, wanita itu meremas tangannya yang terasa dingin ia menggigit bibirnya risau. Namun tiba-tiba bisa Gia rasakan genggaman erat dari Alfonzo. "Kenapa Gia?" tanya Alfonzo dengan satu alisnya yang terangkat. Gia menggelengkan kepalanya dan ia hanya mampu menghembuskan napasnya pelan. "Aku hanya sedikit takut," jawabnya.Alfonzo mengusap rambut wanita itu kemudian menggenggam tangannya lagi. "Apa yang kau takutkan, Gia? Aku akan berada di sampingmu," ucap Alfonzo dengan nada rendahnya.Gia mengangguk setuju ia menatap kembali ke depan lalu berucap. "Belok kiri," ucapnya langsung di wujudkan oleh Alfonzo. Mobil hitam Alfonzo menepi tepat di depan club yang Gia beri tahu lalu mereka pun keluar bergantian.Alfonzo menatap Gia dan meraih lengan wanita itu. "Kenapa kita ke club?" tanya Alfonzo pelan. Gia tersenyum mendengar pertanyaan dari Alfonzo ia hanya menarik tangan Alfonzo memasuki club ters
Gia menggenggan tangan Alfonzo yang masih terasa dingin sesaat setelah lima menit yang lalu pria itu menangis di dalam dekapannya, wanita itu menatap manik Alfonzo tajam. "Percayalah, Agatha pasti sangat bahagia memiliki pria yang sangat mencintainya," ucap Gia membuat Alfonzo menatapnya dan menghentikan acara makannya.Alfonzo mengangguk pelan, ia membersihkan sekitar bibirnya dengan tisu lalu meminum jus jeruk yang tersedia di atas meja. "Ya, semoga ia tenang," balas Alfonzo membalas tatapan Gia.Gia menelan salivanya susah payah, ia mengigit bibirnya pelan saat rasa gugup menghantuinya, ia ingin bertanya pada Alfonzo namun apakah pria itu akan marah dan justru menolaknya atau bagaimana reaksinya? Entahlah Gia hanya takut. "Al," panggilnya lembut.Alfonzo menatap Gia dan berdehem membalas panggilan dari Gia. "Kenapa? Kau butuh sesuatu?" tanya Alfonzo penuh perhatian."Nothing, aku hanya ingin menanyakan satu hal," ucap Gia dibalas satu angkatan alis dari Alfonzo."Katakan apa yang
Gia tersenyum seraya mengagumi isi dari mansion milik Alfonzo yang tengah ia pijak saat ini, ia menolehkan kepalanya ke samping dimana Alfonzo berada. "Jika tubuhmu lelah, kau bisa langsung naik ke kamarmu. Pintu silver itu milikmu, kau bisa gunakan semaumu, kau bisa menatanya ulang atau lakukan apapun itu hak mu sekarang," ujar Alfonzo semakin membuat Gia tersenyum amat manis."Terimakasih," ucap Gia tulus, ia senang setidaknya ia bisa mencoba hal-hal yang akan mendekatkannya dengan Alfonzo.Gia menaiki tangga dan berhenti tepat di depan pintu berwarna silver yang Alfonzo tunjukkan tadi, ia membuka knop pintu lalu mendorong pintu itu pelan. Wanita itu memasuki kamarnya dan menutup pintunya pelan, ia segera melemparkan tubuhnya tepat ke atas ranjang, ia menatap langit-langit kamarnya yang tergambar langit malam, ya langit-langit kamarnya dari kaca!Gia semakin nyaman di posisinya, tubuhnya yang lelah dan pegal-pegal membuatnya cepat terbang ke alam mimpi.Sementara di ruang tengah, Al
Davis mendudukkan tubuhnya tepat di hadapan Alfonzo yang saat ini pun tengah menatapnya tanpa celah. Davis meraih sebuah peta lalu ia jabarkan tepat di atas meja diantara dirinya dan Alfonzo berada. Jari Davis menunjuk satu titik tepat di tepi laut mati di Rusia."Salah satu kapal selam berada disini, sebagai contohnya jika mereka berhasil menggerakan benda sialan itu, sudah dipastikan mereka akan memprogramnya dan membuat kapal selam yang berisi awak palsu dari Maxcyz menuju ke Amerika atau Korea Utara. Apabila salah satu dari negara itu mulai merasakan dampak kerusakan akibat serangan misil yang pertama maka lima belas menit berikutnya setelah misil ke empat di luncurkan maka kapal selam itu akan meluncurkan nuklir yang di simpannya, dan anda bisa menebaknya dengan jelas Mr. Renzuis.""Negara itu hancur tak bersisa," sela Alfonzo mulai paham dimana arah pembicaraan dari Davis."Mereka akan terpancing dan Amerika ataupun Korea Utara akan tau dari mana asal dari kapal siluman itu, dan
Alfonzo membuka matanya perlahan kala suara dentingan ponsel mengganggu tidurnya yang kurang, pria itu dengan malas meraih ponselnya yang berada di atas nakas lalu menggeser ikon hijau tanpa melihat terlebih dahulu pelakunya. "Ya?! Kau mengganggu tidurku!" semburnya kesal.Terdengar gelak tawa yang cukup ringan dari seberang telepon, Alfonzo segera mendengus sebal. Sialan! Siapa yang berani menertawai seorang Alfonzo?!"Siapa kau dan apa mau mu?! Aku tak banyak waktu," sentak Alfonzo dengan kemarahan yang tertahan.Suara di ujung telepon semakin senyap, digantikan dengan deheman pelan. "Delta 0-02," ucapnya yang langsung membuat Alfonzo terduduk dan bersandar di kepala ranjangnya."Agen Horb?" ucap Alfonzo menebak pelaku yang menertawainya.Gelak tawa kembali terdengar dan di susul dengan deheman pelan. "Ya, Al. Maaf mengganggu tidurmu yang sepertinya sangat nyenyak itu, sampai-sampai suaramu begitu parau," ujar Davis dengan kekehan gelinya."Diam kau Horb! Jangan banyak bicara. Katak
Alfonzo menghembuskan napasnya berat, ia mengigit bibirnya gugup sungguh otaknya belum siap diajak berpikir namun untungnya feelingnya masih bekerja, ia menatap France yang berdiri bak pria bodoh di ujung meja. "France," panggil Alfonzo yang langsung membuat pria itu mendudukkan tubuhnya tegak."Yes, Sig," balasnya.Alfonzo berdehem pelan, ia mendekati France lalu membalikkan tubuhnya menatap Ben. "Kau akan antarkan Ben menuju kapal selam itu, kau juga harus pastikan ia mendapat izin dari pihak Rusia untuk memasuki kapalnya aku tak mau tau, kau urus dengan Agen Horb dan kau juga temani Ben di dalam kapal itu kau harus membantunya, kau mengerti tugasmu France?" tanya Alfonzo diangguki oleh France."Bagus sekali, baiklah kita lanjutkan." Alfonzo mendekati proyektor dan menggerakkan telunjuknya yang otomatis menggeser slide selanjutnya. "Troy Bosch, kita sebut saja target. Dia adalah tersangka yang merupakan anggota dari Maxcyz, benarkan Agen Horb?" tanya Alfonzo diiyakan oleh pria itu.
"Mom?" panggil bocah itu dengan mulut yang penuh snack sedangkan air mata sudah terkumpul di ujung mata Gia. Wanita itu hanya mampu mengalirkan air matanya deras.Gia mengulurkan tangannya menyambut pelukan putra kecilnya dan dengan pandangan penuh kepolosan, Theodore mendekati tubuh sang Mommy ia teliti wajah Gia yang sama persis dengan foto yang selama ini ia peluk sebelum tidur tak terasa air mata juga keluar dari mata kecilnya. Ia menubrukkan tubuhnya dan menangis kencang di dalam pelukan hangat Gia. "MOMMY! MISS YOU," ucapnya keras di dalam tubuh Gia.Bukannya merasa terganggu akan teriakan Theodore barusan, Gia justru tertawa di sela-sela tangisnya, ia mencium puncak kepala Theodore dan menggumamkan berkali-kali permintaan maaf. "Maafkan Mommy, Theo," lirih Gia tak dibalas oleh bocah di dalam pelukannya. Theodore semakin menderaskan tangisannya bahkan mungkin orang yang berada di luar dapat mendengar tangisan kencang Theodore.Gia tersenyum amat manis dengan tangannya yang mengu
Alfonzo langsung bergegas dan meninggalkan meeting yang sedang berjalan saat mengetahui keadaan istrinya yang konon pingsan di lobby, pria itu segera bergerak dan menuju ke ruangannya untuk bertemu dengan Gia. Tapi sebelum benar-benar memasuki ruangannya, Alfonzo justru bertabrakan dengan France. "France! Apa kau tak bisa melihat dengan benar, huh?!" sentak Alfonzo yang mulai terpancing karena kepanikan yang menderanya."Sig, maaf aku tak bermaksud begitu. Tadi aku berlari karena tau jika Nyonya pingsan dan kau pasti butuh bantuan ku, jadi apa yang bisa aku bantu Sig?" tanya France begitu mengerti kondisi yang sedang berlangsung.Alfonzo mengangguk dan ia menepuk bahu France bangga. "Bagus, sekarang kau ambil flashdisk yang ada pada Gia.""Maksud mu ini, Sig? Aku menemukannya di lobby dan segera membawanya.""Ya benar, sekarang kau menggantikan ku di ruangan meeting. Semua materi ada di dalam flashdisk itu ku harap kau mengerti dengan apa yang harus kau lakukan, France.""Yes Sig." F
Five Years Later ...."Mommy! Kemarin Theo bertemu dengan Gerrardo, dia mendapatkan adik barunya, kapan Mommy akan memberikan aku adik baru seperti Gerrardo? Kata Papà-nya Gerrardo aku bisa meminta adik baru kepada Mommy dan Papà, aku takut pada Papà jadi aku meminta kepadamu, jadi kapan Mom?" tanya Theodore dengan mata yang berbinar. Sedangkan Gia sendiri seakan tak bisa mengatakan banyak hal selain merasa gugup dan juga sedih dengan pertanyaan yang diberikan oleh Theodore. Memang Gia sudah lama mengharapkan kehadiran sang anak kedua setelah kejadian lima tahun yang lalu, Theodore bahkan selalu meminta untuk mendapatkan teman yaitu sang adik, tapi Alfonzo selalu memberikan harapan, dan Gia cukup lelah sebab ia merasa sering dikecewakan. Ia sering terlambat mendapat tamu bulanannya, tapi selalu saja tak seperti apa yang di harapkan. "Theo, maafkan Mommy. Mommy juga tidak tau kapan adik kecil Theodore akan datang tapi mungkin sebentar lagi.""Mommy selalu berkata sebentar lagi terus m
"We have to stop this." Gia tersadar dan ia mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan oleh Alfonzo. Wanita itu menjauhkan tubuhnya dari tubuh Alfonzo masih menggenggam tangan suaminya tersebut."Kau benar, ayo naik lagi." Alfonzo membalas ajakan Gia dengan senyum tipisnya, keduanya segera kembali ke lantai utama dimana kamar Theodore berada.Sesampainya di depan kamar Theodore, Alfonzo menghentikan langkahnya dan menatap Gia. "Aku harus bertemu dengan France untuk membicarakan beberapa hal, tak apa jika aku tinggal?""Tentu saja kenapa aku bermasalah dengan itu?"Alfonzo tersenyum, ia mencium kening Gia sebelum akhirnya pergi meninggalkan wanita itu untuk bertemu dengan France dan membahas mengenai dunia gelapnya. "France!" seru Alfonzo memanggil sang asisten, tak lama yang dipanggil pun akhirnya datang dan berhadapan langsung dengan sang tuan."Ada yang bisa aku lakukan untuk mu, Sig?" tanya France dengan menundukkan kepalanya penuh hormat kepada Alfonzo."Kita ke markas sekarang."
Alfonzo melepaskan pelukannya dari tubuh Gia, ia menatap sang istri dengan penuh cinta lalu menggenggam tangannya erat mengecupnya begitu lembut penuh dengan kasih sayang. "Kita harus kembali ke pesta, sebelum nanti ada yang menyadari ketidakhadiran kita berdua."Gia mengangguk mengerti dengan apa yang di maksud oleh Alfonzo, ia pun segera mendirikan tubuhnya keduanya berjalan beriringan menuju ke taman dan kembali menyambung keceriaan pesta ulang tahun sang anak. Tak lama Leonardo dan Florence datang menghampiri Alfonzo dan juga Gia. "Hei aku sudah mencari kalian dari tadi tapi tak dapat menemukan kalian, dari mana kalian berdua?" tanya Florence penasaran."Well, kami hanya berbicara sesuatu hal di bagian belakang, Flo," jawab Gia diiringi senyum manisnya.Florence tersenyum manis ia mengusap bahu Gia. "Putramu sangat tampan, Gia. Dia menuruni warna mata Alfonzo," ucapnya memuji ketampanan putra Gia."Terimakasih banyak Flo, sama seperti Theodore yang mewarisi warna mata Alfonzo, put
"Mom, where is my birthday present?"Gia tersadar dari lamunannya dan ia segera mengalihkan fokusnya yang semula terpaku pada taman yang ada di depan mansion, ia tau harusnya ia tak mengalihkan fokusnya dari ulang tahun Theodore tapi memang akhir-akhir ini ia selalu saja kehilangan fokusnya tanpa sadar. "Sorry honey, Mommy tak sengaja. Sebentar, Mommy ambilkan spesial untuk mu," ucap Gia seraya mendirikan tubuhnya ia menyentuh kepala Theodore sebelum akhirnya berlalu memasuki mansion meninggalkan para tamu undangan yang tengah berbahagia di ulang tahun Theodore yang ketiga.Sementara di sisi lain Alfonzo bisa merasakan keanehan pada Gia, ia sadar sejak dua bulan yang lalu tepatnya semenjak Gia tau bahwa ia kehilangan bayinya ia berubah secara perlahan menjadi pendiam, Gia sering sekali melamun dan kehilangan fokusnya tapi Alfonzo bisa apa, sudah ribuan kali ia menghibur Gia tapi Gia tak juga bisa move on dari kejadian pahit itu. "Hei, ada apa Al? Kenapa terdiam menatap Gia seperti itu
"NO!!" Gia berteriak sesaat setelah melihat Alfonzo yang masih belum bangun dari simpuhannya tapi tetap di tendang dengan kasar oleh Xavier.Davis tak dapat berbuat banyak, pria itu sibuk membidik musuhnya hingga tak melihat kondisi Alfonzo yang benar-benar sudah berada di titik terendah. Gia menggeram marah saat kedua cekalan di tangannya semakin erat ia menatap kedua anak buah Alfonzo dengan mata merah dan penuh air matanya. "Lepas! Kau ingin Tuanmu mati disana, huh! Kau gila! Lepaskan aku!" sentak Gia tajam.Kedua The Devil itu menundukkan kepalanya ia terlalu patuh terhadap perintah Alfonzo yang akhirnya membuat ia diam tak berkutik dan hanya bisa menjaga Gia tetap aman. "Kami tak bisa lepaskan Nyonya apapun yang terjadi sesuai dengan perintah Tuan," ucap salah satu The Devil yang mencekal lengan Gia.Gia menggelengkan kepalanya. "Dasar bodoh!" sentak Gia.Sementara Alfonzo, pria itu sudah tak bisa lagi untuk fokus. Telinganya berdenging dan pandangannya memburam ia tak bisa melih
"Welcome, Al." Suara berat seseorang terdengar membuat Alfonzo mengalihkan pandangannya yang semula tertuju pada Theodore kini menatap asal suara."Xavier?""Ya, i am," jawab Xavier dengan senyum tipisnya.Alfonzo mengepalkan kedua telapak tangannya erat saat pria itu semakin menodongkan ujung pistolnya di kepala anaknya. "Jangan sakiti dia, Xavier. Atau aku akan menbunuhmu saat ini juga," desis Alfonzo tajam."Nyatanya kau tak bisa melindungi istri dan anakmu, sama seperti istrimu yang dulu."Alfonzo mengetatkan rahangnya lalu mendekati Xavier. "Kau pelakunya? Kau yang membunuh Agatha?!" sentak Alfonzo tajam.Tawa Xavier menggelegar setelah mendengar sentakan dari Alfonzo, pria itu melepaskan ujung pistolnya dari kepala Theodore lalu melemparkan anak itu ke salah satu anak buahnya. "JANGAN SAKITI DIA BRENGSEK!" teriak Alfonzo menahan marah.Xavier menganggukkan kepalanya kemudian mendekati Alfonzo ia menatap pria itu dengan smirk di ujung bibirnya. "Aku tak akan mengincar garis ketur
Gia semakin mengeratkam pelukannya pada Theodore sesaat setelah mendengar bunyi tembakan dari jarak dekat apalagi kini bisa Gia lihat perlahan pintu terbuka sedikit demi sedikit menampilkan sepatu hitam dengan langkah kaki perlahan dari seseorang. Gia paham betul itu bukan Alfonzo oleh karena itu tubuhnya tidak berhenti menggigil. "Hai," sapa orang itu dengan suara rendahnya. Gia semakin mengertakan pelukannya pada Theodore mencoba melindungi anak itu di dalam dekapannya.Tak lama langkah kaki dari beberapa orang terdengar dan kini gerombolan orang terlihat, mereka menatap Gia dan Theodore saling bergantian. "Bring them," ujarnya membuat Gia kalut dan menatap sosok di hadapannya pria itu memakai topi yang menutupi setengah wajahnya hingga Gia tidak terlalu jelas melihat wajah pria itu.Akhirnya pelukan Gia di lepas secara paksa oleh orang-orang tadi, ia berusaha menggapai Theodore kembali tapi orang-orang tadi terlalu kencang meremas tangannya dan Gia tak tau lagi harus bagaimana meny
Alfonzo seakan tersadar dari sisi gelapnya, ia menatap wajah lelah Gia lalu mengalihkan tatapannya menatap punggung Theodore yang bergetar karena menangis saat ini. "Hentikan, kalian membuatnya takut. Tolong biarkan kami pergi dan silahkan saling membunuh aku tak perduli" lirih Gia dengan meremas jas yang Alfonzo pakai."Gia aku tak mendengar mu, maaf," ucap Alfonzo dibalas gelengan pelan dari Gia.Wanita itu membalikkan tubuhnya menatap Maxime kemudian.Plak!"Jika kau datang hanya untuk membuat kerusuhan dan membuat hidupku bertambah sakit, lebih baik kau pergi karena kau berhasil. Dan tolong Max, berhenti mengganggu hidupku dan putraku. Hanya ia yang tersisa diantara harapanku, jangan membuatku bertindak di luar logis saat kau mengambilnya karena aku tak akan izinkan. Pergilah jika kau sudah puas menyiksaku," lirih Gia dengan kesedihan di matanya.Maxime menggelengkan kepalanya tak membenarkan ucapan Gia. "Jangan berkata seperti itu, Gia. Aku tak bermaksud untuk mengacaukan hidupmu