BAB 6 || NIGHTMARE
"Datanglah ke ballroom hotelku sayang, aku menunggumu. Cepatlah datang, aku sangat merindukanmu dan our angel."
"Dasar perayu kelas kakap! Kita bahkan dua jam yang lalu bertemu di kantormu, sekarang sudah mengumbar bualan!"
"Jangan berkata seperti itu cintaku, sungguh aku merindukanmu dua jam rasanya seperti dua tahun."
"Sudahlah Alfonzo, semuanya sudah jelas aku akan datang sebentar lagi tunggu saja."
"Ya, tentu aku akan menunggumu cepat datang Agatha Renzuis, France akan segera menjemputmu."
"Sure my Renzuis."
Alfonzo mematikan sambungan teleponnya seraya tersenyum manis, sungguh hari ini adalah hari ulang tahun pernikahannya dengan Agatha yang ke tiga tahun, senyum itu tak pernah lepas dari bibir Alfonzo.
Ia tatap persiapan perayaan pernikahannya, ia menatap balon-balon yang dibiarkan mengambang di atas kolam renang di gelapnya malam, manik tajam pria itu menatap keatas dan menghembuskan napasnya.
Hidupnya sudah lengkap semenjak menikahi Agatha, gadis itu sangat sempurna bagi Alfonzo, ia yang menyembuhkan Alfonzo dari obat-obatan terlarang, ia pula yang menarik pria itu dari dunia gelap dan lebih menghargai kehidupan, sungguh Alfonzo amat bersyukur bisa mendapatkan wanita sebaik Agatha yang bertindak seperti penawar untuk dirinya yang hanya seorang racun.
Sementara di depan mansion, Agatha berdiri menunggu mobil milik Alfonzo yang akan menjemputnya. Dengan tangan kanannya yang menyentuh perut buncitnya Agatha menatap ke depan kala mobil hitam melintas dan berhenti tepat di hadapannya.
Tak lama France turun dari mobil kemudian mendekati Agatha menunduk sebentar memberi hormat pada istri tuannya. "Mari Nyonya," ucap France seraya mengulurkan tangannya disambut pelan dengan senyum manis oleh Agatha.
"Terimakasih banyak France," ungkapnya dengan manis dibalas anggukan pelan dari France.
France menuntun Agatha sangat perlahan hingga ia pun membantu Nyonya-nya memasuki mobil kemudian menutup pintu mobilnya. France memutari mobil itu kemudian menyalakan mesin mobilnya.
Mobil hitam milik Alfonzo itu perlahan bergerak keluar dari area mansion Alfonzo, di tengah perjalanan awalnya semua tampak biasa saja namun lima kilometer dari hotel Alfonzo, France menatap kaca spion dan mengerutkan keningnya.
Entah mengapa pria itu merasa lima motor di belakangnya terus memepet mobilnya, akhirnya France menghubungi sang Tuan. "Sir."
"Ya, France kau dimana?"
"Tuan, kami diikuti."
"Apa?!"
"Maaf Tuan, kami diikuti lima motor sekaligus."
"Kau bisa tangani ini France?"
"Jika aku sendiri mungkin aku bisa nekat Tuan, tapi aku membawa Nyonya."
"Sial! Aku akan segera kesana!"
"Lima sampai empat kilometer dari hotelmu Tuan."
"Ya jaga istri dan anakku, pastikan ia belum tau masalah ini aku tak ingin ia tertekan! Bersikaplah seakan tak terjadi apapun France!"
"Baik Tuan."
France mematikan sambungan teleponnya, ia berdehem untuk menteralisir sedikit rasa sesak yang mendekap dadanya. Sedangkan Agatha yang melihat perubahan wajah France pun sedikit menaruh curiga, wanita itu menepuk pelan bahu France hingga membuat France sedikit terjengit kaget.
"Ada apa France? Kenapa kau tampak gugup?"
"Nothing Ma'am."
"Kau yakin?"
"Ya, tak ada apapun Nyonya."
"Baiklah." Agatha kembali menyandarkan tubuhnya ke belakang, ia mengelus kembali perut buncitnya yang sudah memasuki bulan kedelapan, ia tersenyum saat merasakan pergerakan sang bayi di perutnya.
"Hai baby, apa kau merindukan Papà mu?"
"Mamma juga merindukannya, bersabar lah kita akan segera bertemu dengannya," bisik Agatha dengan senyum manisnya.
Brak!
"Ahk!" jerit Agatha tertahan kala bagian belakang mobilnya ditabrak dengan sengaja oleh salah satu pemotor di belakangnya.
"France! Apa itu?!" tanya Agatha pada France dengan sedikit meninggikan suara.
"Tak ada apapun Nyonya, tenanglah."
"Kau pikir aku bisa tenang dengan situasi ini France?! Atau mereka adalah rival suamiku? JAWAB!" tekan Agatha seraya memeluk perutnya seakan melindungi bayinya.
"Maaf Nyonya."
"Kenapa kau tak memberitahuku dari awal France?!"
"Maaf Nyonya, tapi Tuan memintaku untuk tak memberitahumu dulu, ia takut kau tertekan."
"Aku tertekan saat ini France!"
"Mi dispiace signora."
Air mata langsung turun dari kelopak indah milik Agatha, sungguh ia tak tau harus berbuat apa saat ini, situasi seperti ini memang sering ia lewati karena pekerjaan sang suami, namun saat itu ia melewatinya bersama dengan Alfonzo namun saat ini ia sendirian.
Brak!
Sisi mobil kiri dihantam kembali oleh salah satu motor disusul dengan tabrakan di belakang mobil, kini posisi mobil Alfonzo berada tepat di tengah kerumunan pemotor dengan jas kulit hitam itu.
Prang!
"Ahk!" Agatha berteriak seraya menutup kedua telinganya, ia memeluk dirinya sendiri kala kaca berhasil dipecahkan oleh seorang pemotor dengan menghantamkan helmnya.
"Nyonya!"
"France, aku takut."
"Tuan akan segera kemari Nyonya," ucap France tanpa melihat ke depan ia berusaha melindungi sang Nyonya hingga ia tak sadar kala di depannya ada sebuah gedung.
"FRANCE!!"
Brak!!
Alfonzo mengendarai mobilnya tanpa mempedulikan keselamatannya sendiri, pria itu menginjak pedal gas dengan kencang pikirannya kacau dan ia sangat mengkhawatirkan keadaan istri dan calon anaknya.
Manik Alfonzo terkunci pada mobil yang terguling di samping gedung, pria itu berhenti sejenak untuk memeriksa keadaan istrinya namun matanya menangkap kelima pemotor tadi, ia kebingungan namun matanya menangkap sosok France yang berada di luar mobil.
"France ada di luar, artinya Agatha juga sudah ada diluar. Semoga mereka baik, aku harus mengejar si bedebah itu aku yakin France bisa menghandle Agatha," batinnya.
Sedetik setelah itu Alfonzo benar-benar menginjakkan pedal gasnya tanpa menatap ke belakang dimana France dengan tubuh yang lemah berusaha berdiri dan menghampiri mobil tuannya yang terbalik, melihat mobil Alfonzo, France kebingungan ia hendak memberitahu Alfonzo bahwa sang istri masih terkurung di dalam mobil namun pria itu terlebih dahulu menginjak pedal gasnya.
"Tuan," lirih France dengan tubuhnya yang sudah sangat lemah darah mengalir dengan deras dari kepalanya.
"Tuan, Nyonya... "
"TU-AN! NYONYA DI DALAM!!"
Brak!
Tubuh France terjatuh, ia tenggelam di alam bawah sadarnya, tubuhnya terlalu lemah lamat-lamat ia menatap mobil hitam Alfonzo yang di dalamnya masih ada sang Nyonya hingga kemudian.
Boom!
Disisi lain, Alfonzo mengendari mobilnya dengan kecepatan tinggi, pria itu menabrakkan mobilnya pada salah satu motor hingga si pengendara terguling hingga jatuh ke aspal, tangan besarnya meraih pistol dari dashboard mobil lalu menembak para pemotor itu dengan tepat sasaran. Setelah semua pemotor itu jatuh, Alfonzo kembali memutar arah dan berhenti tepat ke salah satu pemotor yang tadi jatuh ke aspal, ia menginjak tubuh pria itu dengan kejam hingga ia mengadu kesakitan.
"Katakan padaku! Siapa yang menyuruhmu!! Katakan?!"
"Aku... "
"Katakan bedebah!"
"Jake."
Alfonzo melepaskan si pria, ia mengenal nama itu, Jake. Musuhnya di dunia gelap, lagi dan lagi ini berawal dari dunia gelapnya.
Dor!
Alfonzo menembak kepala pria tadi tanpa belas kasihan bukan hanya satu kali namun hampir lima kali ia melesakkan pelurunya ke tubuh pria itu.
Alfonzo kembali memasuki mobilnya, pria itu mencoba menghubungi France untuk menanyakan keadaan istri dan calon anaknya namun sama sekali tak terhubung pada ponsel asistennya itu.
"Damn! Dimana kau France?!"
Manik coklat Alfonzo tertuju pada sebuah asap besar dari jalanan tadi yang ia lewati, jalanan yang menjadi saksi kecelakaan sang istri. Pria itu menginjak pedal gasnya kencang dan sesampainya di sana ia segera turun dari mobilnya langkah kakinya ia percepat kala melihat tubuh France yang masih tergeletak di sekitar mobil.
Pikiran buruk Alfonzo berkelebatan, jika France masih disini artinya?!
Alfonzo menatap pada api yang mulai menghanguskan mobilnya, ia menatap kobaran api itu dengan air mata yang mulai meluruh dari matanya.
"AGATHA!!!" teriak Alfonzo histeris.
Tak lama mobil pemadam kebakaran datang dan berusaha memadamkan apinya, Alfonzo berusaha melewati para petugas dan berusaha memadamkan api dengan jasnya, sungguh Alfonzo menangis di dalam aktivitasnya, tangannya bergetar hebat dan ia tak bisa membayangkan apabila istri dan calon anaknya masih di dalam mobil itu.
"No Agatha, ku mohon jangan di dalam ku mohon," lirih Alfonzo dengan tubuh melemas.
"Mr. Renzuis lebih baik anda menunggu jangan mendekati kawasan api, kami akan berusaha memadamkannya."
"No!!"
"Bawa korban," ucap sang petugas seraya menunjuk France.
Alfonzo terduduk dengan air mata yang terus mengalir, ia bahkan tak berupaya menyeka atau menghapus air matanya, andai ia tak mengejar para bedebah tadi dan memeriksa terlebih dahulu keadaan Agatha mungkin hal ini tak akan pernah terjadi. Agatha-nya mungkin akan selamat dan baik-baik saja, dan mereka mungkin masih bisa merayakan hari jadi pernikahan mereka.
"Ku mohon Agatha."
"ADA KORBAN DI DALAM!!"
Tubuh Alfonzo langsung lunglai seketika, ia menangis lebih deras bahkan untuk berdiri saja rasanya ia tak mampu. Alfonzo menatap para petugas pemadam kebakaran yang berusaha mengevakuasi korban yang berada di dalam mobil.
"Dia wanita, dan sepertinya sedang hamil," lirih petugas itu.
Deg! Alfonzo semakin kalut mendengar penuturan petugas ia berusaha sekuat tenaga bangkit dari simpuhannya dan mendekati brangkar korban, Alfonzo tak berani menatap korban, itukah Agatha-nya?
"Agatha," lirih Alfonzo seakan berbisik namun di dengar oleh salah seorang petugas yang berada di samping Alfonzo.
"Kau mengenalinya?"
"Lei è mia moglie," lirih Alfonzo membuat para petugas itu menatapnya lekat.
"Kau tau kronologi kejadiannya?" tanya mereka dibalas gelengan dari Alfonzo.
"Asistenku bersamanya," bisik Alfonzo pada salah satu petugas.
"Korban tadi?" tanyanya memastikan dibalas anggukan pelan dari Alfonzo.
"Bawa tubuh korban ke rumah sakit."
Alfonzo menatap tubuh Agatha yang dibawa oleh para petugas tadi, hatinya sakit seakan berdarah-darah di dalam sana. Ia melepaskan dasi kupu-kupu yang mencekik lehernya, pria itu menangkup wajahnya dan meremas kepalanya.
"Bren*sek kau Alfonzo! Bodoh kau! Seharusnya kau melihatnya dulu bukan justru mengejar para bed*bah itu!!!"
"AGATHA!!!" Alfonzo berteriak dengan keringat yang membasahi tubuhnya, pria itu bangun dari tidurnya kemudian menatap lukisan wajah Agatha yang ternyata ia peluk sepanjang tidurnya.
Alfonzo bangkit dari baringannya dan mengedarkan pandangannya, matanya menatap jarum jam yang menunjuk pukul sembilan malam. Pria itu menghembuskan napasnya berat, ia kembali menatap wajah damai Agatha di dalam lukisannya, ia mengusap wajah wanita itu kemudian menciumnya lembut.
"Aku masih menangis jika memimpikanmu Agatha."
"Maafkan aku yang bodoh ini, maafkan aku yang bren*sek dengan tak melihat keadaanmu dan bayi kita terlebih dahulu dari pada melihat dan membalas para bedebah itu, maafkan aku."
"Aku masih mengingat mu Agatha, kau sangat berarti dalam hidupku, kau pelitaku Agatha maafkan aku yang kembali pada dunia gelapku. Namun percayalah aku melakukan ini karena aku ingin membalas kematian mu. Aku tak sesuci yang kau inginkan Agatha, aku tak bisa melupakan si bedebah itu."
Alfonzo mendirikan tubuhnya yang ternyata tertidur tepat di samping ranjang dengan posisi duduk, pria itu menggeliatkan pelan tubuhnya kemudian meletakkan kembali lukisan wajah Agatha ke tempatnya semula. Alfonzo melangkahkan kakinya menuju pintu kemudian sekali lagi menolehkan kepalanya ke belakang menatap wajah Agatha kembali sebelum benar-benar keluar dari kamar yang dulu ditempati oleh Agatha dan dirinya sendiri.
Alfonzo mengunci pintu itu rapat, ia tak ingin siapapun tau masalah Agatha tak terkecuali Gia, wanita itu tak perlu tau masa lalunya bukan?
Pria itu menjalankan kakinya menuju kamar Gia, ia membuka pintu kamar Gia perlahan dan menemukan sang empu kamar sedang membaca bukunya entah mengapa senyum tiba-tiba terukir di bibir Alfonzo kala menyadari hobi Agatha dan Gia sama. "Kau hobi membaca?" tanya Alfonzo membuat Gia menghela napasnya kasar.
"Kau mengagetkanku!" ucapnya seraya menutup bukunya kemudian beralih menatap Alfonzo lekat.
"Ya, aku suka sangat menenangkan," balas Gia dengan senyum manisnya dibalas senyum tak kalah manis dari pria itu.
Alfonzo berjalan mendekati Gia dan duduk tepat di samping wanita itu, ia menyatukan tangannya seraya menumpukan dagunya.
"Kau tau Gia, sebenarnya aku juga tak tau mengapa aku tertarik denganmu. Melihat wajahmu yang penuh ketakutan waktu itu seakan menarikku untuk membantumu, aku tak mengerti mengapa aku sangat ingin menahanmu untuk tetap berada di sisiku, bersamaku disini."
"Aku tak tau harus menanggapimu seperti apa," ujar Gia dengan memainkan matanya.
"Coffee at night?"
"Yeah sure."
Alfonzo menggenggam tangan Gia erat dan menuntun wanita itu menuju pantry, mereka menuruni lift dengan tangan yang masih saling mengait satu sama lain. Sesampainya di pantry Alfonzo melepaskan genggamannya dan menyuruh Gia untuk duduk di kursi. "Aku yang akan membuatnya."
"Well, sebenarnya aku sangat lemah dengan urusan pantry jadi maaf aku juga tak bisa lakukan itu."
"Tentu, tenang saja jangan pikirkan aku sudah terbiasa."
Alfonzo memulai membuat kopi untuknya dan Gia, pria itu sesekali menatap Gia yang terlihat menggemaskan dengan memanyunkan bibirnya seraya bermain rambutnya yang tergerai indah, tubuh wanita itu pun tenggelam dengan kaos kebesarannya.
Setelah selesai membuat kopi, Alfonzo berbalik dengan dua cangkir kopi di tangan kanan dan kirinya ia memberikan salah satunya pada Gia. "Minumlah."
"Sure." Gia dengan bersemangat meraih cangkir kopinya dan meniupnya pelan sebelum menyesapnya.
"Ini enak, astaga ini enak!" ucapnya dengan senyum lebar.
"Baguslah jika kau suka."
"Aku jadi kagum denganmu kau tampak sempurna ditambah kau pintar dalam urusan pantry, Alfonzo yang garang ternyata bisa lakukan hal ini."
"Kau boleh mengagumiku Gia, tapi ingat jangan bermain perasaan atau kau akan terluka karenanya."
••••
Two months later...Suasana pagi ini cukup membahagiakan bagi Gia, bagaimana tidak pria yang tampak dingin itu saat ini tengah berenang di kolam renang di belakang mansion, Gia memperhatikan Alfonzo tanpa celah, itu semakin mengingatkannya terhadap Leonardo, nyatanya sekeras apapun Gia mencoba melupakan Leonardo namun pria itu seakan berada di pelupuk mata Gia selalu.Namun tiba-tiba Gia merasa mual menderanya dengan sangat, wanita itu segera mendirikan tubuhnya dan dengan gerakan cepat menuju ke toilet lantai bawah, wanita itu memuntahkan isi perutnya namun yang keluar hanyalah cairan bening.Gia menatap pantulan dirinya di cermin kemudian membelalakkan matanya kala menyadari satu hal, dengan gerakan cepat ia menaiki tangga dan menuju kamarnya, tangannya dengan gemetar mencari kalender dan saat menemukannya Gia hanya mampu bernapas kasar, benar dugaannya!Wanita itu meletakkan satu tangannya tepat di atas pusar kemudian mengelusnya amat lembut. "So you've been there, little boy.""I'
Sepulangnya Alfonzo dari kantor, pria itu menginjakkan kakinya menuju tangga dan berakhir di kamar Gia. "Gia?""Gia dimana kau?" Alfonzo semakin kalut saat tak menemukan jawaban apapun dari nama yang ia panggil. Matanya mengedar ke seisi kamar untuk mencari sosok Gia namun wanita itu tak menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Pria itu kalut, ia segera meraih ipad miliknya kemudian memeriksa CCTV.Brak!Alfonzo menendang kursi dengan kekuatannya yang besar hingga kursi itu sudah tak berbentuk. "CLARA!!""CLARA!" Alfonzo meneriaki nama maid-nya yang sudah membantu Gia keluar dari dalam mansionnya."Ya Tuan," balas Clara dengan menundukkan wajahnya."Dimana Gia?""Nyonya... ""Dimana dia Clara?!""Aku... ""Kau membantunya pergi bukan? Kenapa kau melanggar ucapan ku Clara?!""Maafkan aku tuan, aku kasihan padanya.""Kau tak pantas melakukan itu Clara! Kau hanya seorang maid disini!""Maaf Tuan."Dor!***"Kau sudah bangun?"Gia menatap asal suara, ia melihat seorang wanita yang sudah
"Bibi Marry!" Gia menatap asal suara, dimana seorang gadis cilik dengan membawa sekeranjang buah strawberry berdiri di ambang pintu."Bibi Marry! Aku datang!" ucapnya lagi, ia berjalan memasuki toko tanpa menyadari keberadaan Gia, wanita itu tersenyum dibuatnya, menatap anak kecil dengan dua kepang di rambutnya."Bibi_" ucapan bocah itu berhenti saat menatap ke belakang dan menemukan Gia dengan senyum manis dan tangan yang melambai ke arahnya."Bibi Marry berubah jadi muda," ucapnya polos hingga Gia tersenyum manis, ia berjalan dan bersimpuh di depan bocah tadi."Hai, namaku Gia. Siapa namamu?" tanya Gia dengan mengulurkan tangannya, tangan Gia di lihat tanpa celah oleh bocah tadi sebelum ia menyambut uluran tangan Gia."Hai, namaku Erika.""Hai Erika, kau sangat cantik.""Kau juga cantik bibi Gia," ujarnya polos, mata kecilnya mengedar mencari sosok Marry lalu kembali menatap Gia."Dimana Bibi Marry?""Bibi Marry sedang membuat teh, sebentar lagi akan kembali. Memangnya mengapa kau m
Marry menutup pintu cepat setelah dua pria tadi menanyakan tentang Gia padanya, wanita yang cukup berumur itu menatap ke kamar bekas anaknya yang sudah ditempati Gia selama dua hari ini. Kakinya berjalan menuju kamar tersebut dan mengetuk pintunya tiga kali."Gia?" panggil Marry tak berbalas. "Gia ini aku, bukalah pintumu, Gia," ulangnya menyakinkan.Benar saja kurang dari satu menit pintu sudah terbuka dengan lebar memperlihatkan wajah pias Gia saat ini dengan air mata yang sudah bercucuran membelah pipi putihnya."Bibi, apa mereka sudah pergi?" tanya Gia dengan nada suaranya yang bergetar. Marry yang melihat sekali raut ketakutan di wajah wanita yang ditolongnya segera memeluk Gia erat."Sst, tenanglah Gia. Aku akan menjagamu semampuku, aku akan berusaha menyembunyikanmu disini, tanpa ada yang tau.""Bibi, mengapa kebebasanku direnggut? Mengapa hidup serasa sangat sulit? Apa dosa yang sudah kuperbuat hingga aku diberikan hal seperti ini? Tuhan tak adil, Bi.""Sst, Gia. Percayalah se
Gia meraih ponsel sederhana yang ia beli saat mendapat uang hasil membantu Marry selama lima bulan setelah berhentinya anak buah Alfonzo yang mencarinya saat di Monako.Saat ini, Gia mengedarkan pandangannya mencari titik kemana ia akan melangkah di kota yang sedari kecil ia tinggali namun telah menorehkan luka yang masih belum sembuh untuknya, New York.Wanita itu menenteng tas lusuh yang diberikan Marry, tanpa membawa hal yang penting Gia hanya membawa uang dan ponsel di tasnya. Namun, Gia langsung berjalan menuju tempat Lilia, bahkan untuk menuju apartemen Lilia pun Gia hanya berjalan tanpa menggunakan taxi, ia melupakan kenyataan bahwa ia baru saja melahirkan.Sesampainya di apartemen milik Lilia, Gia mengetuk pintu itu tanpa jeda namun tak ada jawaban atau sahutan dari dalam sana, hal itu semakin membuat Gia kalut. Ia menatap sekitarnya namun tak ada satu orang pun disana. Pikiran buruk mulai bermunculan di otaknya, wanita itu secepat kilat menuju mansion Leonardo untuk memastika
Alfonzo menjalankan kakinya dengan gagah memasuki kamar milik Gia, sesaat setelah ia membuka pintunya ia menatap Gia yang tampak menatap ke depan dengan pandangan kosongnya, wanita itu tak menolehkan sedikitpun wajahnya untuk melihat Alfonzo, ia lelah hanya lelah dan kepedihan yang ia rasakan kala menatap wajah pria itu.Pria dengan tubuh tegap itu berjalan dengan satu tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana, ia dudukkan tubuhnya tepat di tepi ranjang yang hanya berjarak lima senti saja dari tubuh Gia yang tampak kosong."Gia," panggil Alfonzo dengan suara rendahnya namun tak diindahkan oleh Gia, wanita itu justru memunggungi Alfonzo."Makanlah," ucap Alfonzo berusaha membujuk Gia agar wanita itu bersedia menerima sesuap atau dua suap nasi untuk mengganjal perutnya."Jika kau tak makan, kau akan sakit Gia," ucap Alfonzo lagi berusaha meruntuhkan kedinginan Gia."Jika kau sakit_""Apa? Kau takut kau tak dapat pelayanan dariku? Kau takut aku akan merepotkanmu? Kau pun takut jika ak
Gia tertawa lebar mendengar sentakan Alfonzo barusan, ia kebal dengan semua teriakan dan sentakan dari pria itu. Hatinya mati rasa setelah ia kehilangan wajah menggemaskan Theodore, ia hanya hidup dalam kehampaan. Wanita itu meminum jus jeruknya lalu berdiri dengan underwear yang telah basah menatap Alfonzo dari atas sampai bawah. "Mengapa marah Alfonzo? Bukankah kau hanya tuanku disaat malam?""Gia, jangan membuatku marah.""Well, jika dihitung kau lebih dari seribu kali marah padaku, Alfonzo," balas Gia tanpa takut pada Alfonzo.Pria itu menggeram dibuatnya, ia tak terima di tantang seperti ini oleh wanita yang sudah ia beli sepuluh juta dollar dua tahun yang lalu, harga diri Alfonzo terluka akibat ucapan Gia yang terlampau berubah seratus delapan puluh derajat.Alfonzo yang kesal karena Gia lebih memilih membalikkan tubuhnya dan menatap kolam biru di depannya langsung meraih tubuh Gia dan menggendongnya ala bridal dan menatap tajam manik wanita itu."Jadi, kemana kita akan pergi Mr
Alfonzo mengeringkan tubuh Gia dengan handuk di tangan kanannya, sesekali pria itu mengusap lembut bahu serta tulang selangka Gia yang masih terlihat basah, pria itu menatap lekat Gia yang terlihat mengigil kedinginan."I-ini semua karenamu! Jika aku sakit kau harus tanggung jawab!" sentak Gia dengan bibir yang mengigil hebat."Well, kau yang membuatku melakukan ini, Gia," balas Alfonzo tanpa menatap Gia. Alfonzo terus mengeringkan rambut Gia yang masih meneteskan air kemudian ia memberikan setelan dress pada wanita itu."Gantilah bajumu, Gia. Jika kau tak ingin sakit.""Tanpa kau suruh aku pasti akan mengganti bajuku!" balas Gia ketus dibalas senyum tipis di bibir Alfonzo, pria itu suka menggoda Gia hingga membuat wanita itu marah ataupun kesal terhadapnya.Alfonzo membalikkan tubuhnya dan mengeratkan tali bathrobe yang tengah ia pakai seraya kakinya melangkah keluar dari kamar mandi meninggalkan Gia dengan umpatannya terhadap Alfonzo.Gia mengumpat tanpa henti seraya mengeringkan tu
Alfonzo langsung bergegas dan meninggalkan meeting yang sedang berjalan saat mengetahui keadaan istrinya yang konon pingsan di lobby, pria itu segera bergerak dan menuju ke ruangannya untuk bertemu dengan Gia. Tapi sebelum benar-benar memasuki ruangannya, Alfonzo justru bertabrakan dengan France. "France! Apa kau tak bisa melihat dengan benar, huh?!" sentak Alfonzo yang mulai terpancing karena kepanikan yang menderanya."Sig, maaf aku tak bermaksud begitu. Tadi aku berlari karena tau jika Nyonya pingsan dan kau pasti butuh bantuan ku, jadi apa yang bisa aku bantu Sig?" tanya France begitu mengerti kondisi yang sedang berlangsung.Alfonzo mengangguk dan ia menepuk bahu France bangga. "Bagus, sekarang kau ambil flashdisk yang ada pada Gia.""Maksud mu ini, Sig? Aku menemukannya di lobby dan segera membawanya.""Ya benar, sekarang kau menggantikan ku di ruangan meeting. Semua materi ada di dalam flashdisk itu ku harap kau mengerti dengan apa yang harus kau lakukan, France.""Yes Sig." F
Five Years Later ...."Mommy! Kemarin Theo bertemu dengan Gerrardo, dia mendapatkan adik barunya, kapan Mommy akan memberikan aku adik baru seperti Gerrardo? Kata Papà-nya Gerrardo aku bisa meminta adik baru kepada Mommy dan Papà, aku takut pada Papà jadi aku meminta kepadamu, jadi kapan Mom?" tanya Theodore dengan mata yang berbinar. Sedangkan Gia sendiri seakan tak bisa mengatakan banyak hal selain merasa gugup dan juga sedih dengan pertanyaan yang diberikan oleh Theodore. Memang Gia sudah lama mengharapkan kehadiran sang anak kedua setelah kejadian lima tahun yang lalu, Theodore bahkan selalu meminta untuk mendapatkan teman yaitu sang adik, tapi Alfonzo selalu memberikan harapan, dan Gia cukup lelah sebab ia merasa sering dikecewakan. Ia sering terlambat mendapat tamu bulanannya, tapi selalu saja tak seperti apa yang di harapkan. "Theo, maafkan Mommy. Mommy juga tidak tau kapan adik kecil Theodore akan datang tapi mungkin sebentar lagi.""Mommy selalu berkata sebentar lagi terus m
"We have to stop this." Gia tersadar dan ia mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan oleh Alfonzo. Wanita itu menjauhkan tubuhnya dari tubuh Alfonzo masih menggenggam tangan suaminya tersebut."Kau benar, ayo naik lagi." Alfonzo membalas ajakan Gia dengan senyum tipisnya, keduanya segera kembali ke lantai utama dimana kamar Theodore berada.Sesampainya di depan kamar Theodore, Alfonzo menghentikan langkahnya dan menatap Gia. "Aku harus bertemu dengan France untuk membicarakan beberapa hal, tak apa jika aku tinggal?""Tentu saja kenapa aku bermasalah dengan itu?"Alfonzo tersenyum, ia mencium kening Gia sebelum akhirnya pergi meninggalkan wanita itu untuk bertemu dengan France dan membahas mengenai dunia gelapnya. "France!" seru Alfonzo memanggil sang asisten, tak lama yang dipanggil pun akhirnya datang dan berhadapan langsung dengan sang tuan."Ada yang bisa aku lakukan untuk mu, Sig?" tanya France dengan menundukkan kepalanya penuh hormat kepada Alfonzo."Kita ke markas sekarang."
Alfonzo melepaskan pelukannya dari tubuh Gia, ia menatap sang istri dengan penuh cinta lalu menggenggam tangannya erat mengecupnya begitu lembut penuh dengan kasih sayang. "Kita harus kembali ke pesta, sebelum nanti ada yang menyadari ketidakhadiran kita berdua."Gia mengangguk mengerti dengan apa yang di maksud oleh Alfonzo, ia pun segera mendirikan tubuhnya keduanya berjalan beriringan menuju ke taman dan kembali menyambung keceriaan pesta ulang tahun sang anak. Tak lama Leonardo dan Florence datang menghampiri Alfonzo dan juga Gia. "Hei aku sudah mencari kalian dari tadi tapi tak dapat menemukan kalian, dari mana kalian berdua?" tanya Florence penasaran."Well, kami hanya berbicara sesuatu hal di bagian belakang, Flo," jawab Gia diiringi senyum manisnya.Florence tersenyum manis ia mengusap bahu Gia. "Putramu sangat tampan, Gia. Dia menuruni warna mata Alfonzo," ucapnya memuji ketampanan putra Gia."Terimakasih banyak Flo, sama seperti Theodore yang mewarisi warna mata Alfonzo, put
"Mom, where is my birthday present?"Gia tersadar dari lamunannya dan ia segera mengalihkan fokusnya yang semula terpaku pada taman yang ada di depan mansion, ia tau harusnya ia tak mengalihkan fokusnya dari ulang tahun Theodore tapi memang akhir-akhir ini ia selalu saja kehilangan fokusnya tanpa sadar. "Sorry honey, Mommy tak sengaja. Sebentar, Mommy ambilkan spesial untuk mu," ucap Gia seraya mendirikan tubuhnya ia menyentuh kepala Theodore sebelum akhirnya berlalu memasuki mansion meninggalkan para tamu undangan yang tengah berbahagia di ulang tahun Theodore yang ketiga.Sementara di sisi lain Alfonzo bisa merasakan keanehan pada Gia, ia sadar sejak dua bulan yang lalu tepatnya semenjak Gia tau bahwa ia kehilangan bayinya ia berubah secara perlahan menjadi pendiam, Gia sering sekali melamun dan kehilangan fokusnya tapi Alfonzo bisa apa, sudah ribuan kali ia menghibur Gia tapi Gia tak juga bisa move on dari kejadian pahit itu. "Hei, ada apa Al? Kenapa terdiam menatap Gia seperti itu
"NO!!" Gia berteriak sesaat setelah melihat Alfonzo yang masih belum bangun dari simpuhannya tapi tetap di tendang dengan kasar oleh Xavier.Davis tak dapat berbuat banyak, pria itu sibuk membidik musuhnya hingga tak melihat kondisi Alfonzo yang benar-benar sudah berada di titik terendah. Gia menggeram marah saat kedua cekalan di tangannya semakin erat ia menatap kedua anak buah Alfonzo dengan mata merah dan penuh air matanya. "Lepas! Kau ingin Tuanmu mati disana, huh! Kau gila! Lepaskan aku!" sentak Gia tajam.Kedua The Devil itu menundukkan kepalanya ia terlalu patuh terhadap perintah Alfonzo yang akhirnya membuat ia diam tak berkutik dan hanya bisa menjaga Gia tetap aman. "Kami tak bisa lepaskan Nyonya apapun yang terjadi sesuai dengan perintah Tuan," ucap salah satu The Devil yang mencekal lengan Gia.Gia menggelengkan kepalanya. "Dasar bodoh!" sentak Gia.Sementara Alfonzo, pria itu sudah tak bisa lagi untuk fokus. Telinganya berdenging dan pandangannya memburam ia tak bisa melih
"Welcome, Al." Suara berat seseorang terdengar membuat Alfonzo mengalihkan pandangannya yang semula tertuju pada Theodore kini menatap asal suara."Xavier?""Ya, i am," jawab Xavier dengan senyum tipisnya.Alfonzo mengepalkan kedua telapak tangannya erat saat pria itu semakin menodongkan ujung pistolnya di kepala anaknya. "Jangan sakiti dia, Xavier. Atau aku akan menbunuhmu saat ini juga," desis Alfonzo tajam."Nyatanya kau tak bisa melindungi istri dan anakmu, sama seperti istrimu yang dulu."Alfonzo mengetatkan rahangnya lalu mendekati Xavier. "Kau pelakunya? Kau yang membunuh Agatha?!" sentak Alfonzo tajam.Tawa Xavier menggelegar setelah mendengar sentakan dari Alfonzo, pria itu melepaskan ujung pistolnya dari kepala Theodore lalu melemparkan anak itu ke salah satu anak buahnya. "JANGAN SAKITI DIA BRENGSEK!" teriak Alfonzo menahan marah.Xavier menganggukkan kepalanya kemudian mendekati Alfonzo ia menatap pria itu dengan smirk di ujung bibirnya. "Aku tak akan mengincar garis ketur
Gia semakin mengeratkam pelukannya pada Theodore sesaat setelah mendengar bunyi tembakan dari jarak dekat apalagi kini bisa Gia lihat perlahan pintu terbuka sedikit demi sedikit menampilkan sepatu hitam dengan langkah kaki perlahan dari seseorang. Gia paham betul itu bukan Alfonzo oleh karena itu tubuhnya tidak berhenti menggigil. "Hai," sapa orang itu dengan suara rendahnya. Gia semakin mengertakan pelukannya pada Theodore mencoba melindungi anak itu di dalam dekapannya.Tak lama langkah kaki dari beberapa orang terdengar dan kini gerombolan orang terlihat, mereka menatap Gia dan Theodore saling bergantian. "Bring them," ujarnya membuat Gia kalut dan menatap sosok di hadapannya pria itu memakai topi yang menutupi setengah wajahnya hingga Gia tidak terlalu jelas melihat wajah pria itu.Akhirnya pelukan Gia di lepas secara paksa oleh orang-orang tadi, ia berusaha menggapai Theodore kembali tapi orang-orang tadi terlalu kencang meremas tangannya dan Gia tak tau lagi harus bagaimana meny
Alfonzo seakan tersadar dari sisi gelapnya, ia menatap wajah lelah Gia lalu mengalihkan tatapannya menatap punggung Theodore yang bergetar karena menangis saat ini. "Hentikan, kalian membuatnya takut. Tolong biarkan kami pergi dan silahkan saling membunuh aku tak perduli" lirih Gia dengan meremas jas yang Alfonzo pakai."Gia aku tak mendengar mu, maaf," ucap Alfonzo dibalas gelengan pelan dari Gia.Wanita itu membalikkan tubuhnya menatap Maxime kemudian.Plak!"Jika kau datang hanya untuk membuat kerusuhan dan membuat hidupku bertambah sakit, lebih baik kau pergi karena kau berhasil. Dan tolong Max, berhenti mengganggu hidupku dan putraku. Hanya ia yang tersisa diantara harapanku, jangan membuatku bertindak di luar logis saat kau mengambilnya karena aku tak akan izinkan. Pergilah jika kau sudah puas menyiksaku," lirih Gia dengan kesedihan di matanya.Maxime menggelengkan kepalanya tak membenarkan ucapan Gia. "Jangan berkata seperti itu, Gia. Aku tak bermaksud untuk mengacaukan hidupmu