Gia menatap pintu yang perlahan terbuka menampilkan sosok besar Alfonzo dalam balutan turtleneck hitamnya, pria itu melepaskan rolex dari tangan kanannya kemudian melepaskan cepat turtleneck-nya, ia menatap Gia kala atasannya sudah tak tertutupi sehelai benangpun.
"Kenapa? Bukankah kita sudah memiliki kesepakatan?"
"Em, ya terserah saja."
"Tidurlah, jangan anggap aku ada apabila itu membuatmu terganggu," ucap Alfonzo seraya berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya sekilas.
Pria itu kembali keluar dan menatap Gia yang sedang duduk tepat di tengah ranjang, langkah kaki Alfonzo mendekat menuju ranjang dan duduk tepat di tepi ranjangnya maniknya menatap wajah Gia yang tampak lebih baik dari pada kemarin sesaat setelah ia membawanya dari New York.
"Kau tak menolakku lagi?" tanya Alfonzo dengan suara rendahnya menatap Gia lekat.
Wanita itu menggelengkan kepalanya seraya menyampirkan helaian rambutnya ke belakang telinga. "Aku hanya mencoba berdamai dengan takdirku, aku mencoba untuk menerimamu ke dalam hidupku, aku mencoba melupakan masa laluku dan fokus untuk segera bebas dari cengkeraman mu."
"Well, aku cukup tertarik dengan pemikiran mu. Kau tampak dewasa Gia, aku suka. Tapi satu pertanyaan masih mencongkol di dalam otak dan benakku."
"Apa?"
"Apa kau mencintai pria lain? Ya maksudku sebelum bertemu dengan ku, aku dengar kau dijual oleh kekasihmu sendiri, right?"
"Aku... "
"Well, jika kau tak bisa cerita tak apa. Aku tak akan mengganggu masa lalumu seperti yang kau katakan tadi."
"Terimakasih, bisa kita tidur sekarang?" ucap Gia dengan menundukkan kepalanya sungguh pertanyaan Alfonzo tadi begitu mengganggu perasaan Gia saat ini, ya. Ia sudah mencintai pria itu bahkan sangat mencintainya, Leonardo.
Gia merebahkan tubuhnya menghadap dinding dalam artian ia memunggungi Alfonzo, wanita itu hanya berusaha beradaptasi dan tak menolak pria yang sudah membelinya ia hanya mencoba berdamai dengan takdirnya yang begitu pahit.
Malam berganti pagi, kini kelopak mata Alfonzo terbuka lamat-lamat, pria itu menatap ke samping dimana Gia masih asik bergelung dengan selimut tebalnya. Ia mendudukkan tubuhnya dan menggeliat pelan, pria itu kembali menatap wajah damai Gia kemudian setelah dirasa cukup puas menatap Gia ia pun beranjak keluar dari selimut.
Alfonzo berjalan keluar dari kamarnya dan berjalan menuju pantry, ia meraih segelas air kemudian meneguknya hingga tandas. Pria itu kembali merenggangkan otot tubuhnya sebelum memulai acara masaknya.
Ia merah bahan-bahan makanan kemudian mulai membuat masakan untuk Gia, ini adalah hal yang sangat tabu dilakukan oleh seorang Alfonzo, pria itu memasakkan makanan untuk jalangnya?! Hell apa yang sebenarnya sudah Gia lakukan hingga Alfonzo bisa selemah ini?!
"Al?"
"Hm?" sahut Alfonzo seraya membalikkan tubuhnya dan menemukan Gia yang berdiri dibelakangnya dengan kening yang mengerut.
"Kau memasak? Tapi untuk siapa?"
"Untuk kita."
"Ha?"
"Tunggu dan duduklah jangan banyak bicara. Aku memasak karena para maid akan aku liburkan pada hari minggu sengaja agar mereka bisa berkumpul dengan keluarganya."
"Kau baik."
"Terimakasih atas pujianmu, tapi itu memang sudah biasa keluarga ku lakukan pada para maid-nya."
Alfonzo berbalik seraya membawa hasil masakannya, ia meletakkan masakannya tepat di depan Gia dan duduk tepat dihadapan wanita itu.
"Makanlah, maafkan aku jika rasanya kurang," ucap Alfonzo dibalas anggukan pelan dari Gia, wanita itu langsung menyantap masakan dari Alfonzo dan menatap si empu makanannya.
"Ini enak sekali!" seru Gia dengan wajah berbinarnya.
"Syukurlah jika kau suka."
"Astaga, aku tak sangka kau bisa memasak seenak ini."
"Jangan lihat seseorang dari luarnya saja, mungkin jika kau tak mengenalku lebih kau akan mendapat kesan bahwa aku ini adalah orang yang pemaksa namun jika kau menjadi salah satu bagian dari jiwaku kau akan temukan sifat asliku."
"Siapa yang kau maksud? Apa kau memiliki kekasih? Calon istrimu maybe?"
"No aku tak memiliki kekasih sejauh ini, kau tau. Kami pria Italia lebih memilih hubungan semalam atau hubungan seperti kau dan aku, kami cukup hati-hati untuk memilih pasangan. Kami tipikel pria yang masih suka bermain-main apabila kami sudah puas baru kami akan ke tahap yang lebih serius."
"Well, aku sudah menduganya. Kalian tampak mudah sekali mempermainkan wanita."
"Tapi aku menemukan seorang pria Italia yang sama sekali tak pernah bermalam dengan jalang atau sejenisnya, ia begitu sangat dikagumi orang banyak ia panutan ku."
"Siapa dia?" tanya Gia antusias.
"Dia_" ucapan Alfonzo terpotong oleh suara dering ponselnya, pria itu menempelkan jari telunjuknya pada bibirnya pertanda agar Gia diam tak bicara.
"Ya, ada apa Mr. Jack?"
"Ada dimana kau sekarang Alfonzo?"
"Yah, aku di... Kantor!"
"Seriously?"
"Ya, tentu saja ini pukul delapan pagi aku memang sudah berada di kantor, memangnya ada apa Mr. Jack?"
"Aku sedang dijalan akan segera landing ke Roma, aku ingin kita segera bertemu untuk membicarakan sahamku atas Victory Bank milikmu."
"Oh sure! Aku akan dengan senang hati menyambutmu, perlukah aku menjemputmu Mr. Jack?"
"No, aku akan pergi dengan suruhanku Al."
"Baiklah sampai jumpa di kantor Mr. Jack."
"Ya."
Alfonzo mematikan sambungan teleponnya sepihak, pria itu menatap Gia yang masih asik dalam acara makannya.
"Aku harus segera ke kantor, kau bisa kan lakukan hal lain di sini ... Kau bisa bebas malakukan apapun disini, tapi tentu saja kau tak akan bisa keluar dari area mansion."
"Ya, aku mengerti."
"Bagus, aku mandi dulu," ucap Alfonzo meninggalkan Gia di dalam pantry dengan mulutnya yang tersumpal makanan hasil masakan Alfonzo.
Sedangkan pria itu menaiki tangga dengan cepat dan berhenti tepat di kamarnya ia memasuki kamar mandi dan memulai ritual mandinya, setelah selesai ia langsung memasuki walk in closet untuk berganti pakaian, pria itu meraih jas biru dongker dengan kemeja hijau tua miliknya.
Alfonzo kembali keluar dari kamarnya dan menatap Gia yang tengah menonton acara TV di ruang tengah, Alfonzo mendekati wanita itu kemudian menepuk pelan bahu Gia.
"Aku akan pergi, diam di mansion jangan lakukan hal bodoh yang akan berakibat buruk pada dirimu sendiri. Ingat, keselamatan orang yang kau sayangi berada di tanganku, sekali saja kau berulah nyawa mereka melayang."
"Ya, aku paham dan aku mengerti."
"Baguslah." Alfonzo membelai sisi wajah Gia kemudian mencium pipi wanita itu, pria itu segera melangkahkan kakinya menuju pintu utama mansion namun panggilan dari Gia mengintruksi terlebih dahulu.
"Bisakah kau belikan atau pinjamkan aku telepon? Aku ingin menghubungi saudaraku."
"Kau pikir aku bodoh dengan memberikanmu benda itu? Ayolah Gia aku tak mungkin memberikan mu telepon yang akan membuatmu lepas dari diriku sementara aku belum puas denganmu, jadi bicaralah yang masuk akal, aku pergi," ucap Alfonzo tanpa menolehkan kepalanya ke belakang dimana Gia mulai meneteskan air matanya.
Mungkin ini memang takdirnya, terjebak di dalam mansion besar bak istana milik seorang Don Alfonzo Renzuis.
***
Sore ini entah mengapa Alfonzo membawa beberapa dress dengan merk terkenal untuk Gia, ia bahkan membelikan beberapa sepatu dan tas yang harganya bukan main-main, ia hanya ingin memberikan wanita itu hadiah karena sudah mulai bersikap baik dan tak menentang Alfonzo lagi.
Sesampainya di mansion, Alfonzo memberikan kode pada para bodyguardnya untuk mengambil barang belanjaannya dan membawanya ke dalam mansion. Alfonzo menatap sekitar mansionnya dan tak menemukan Gia di manapun, ia bergegas menuju kamar Gia dan ia tersenyum manis saat menemukan yang ia cari tengah membaca buku di sofa panjang yang menghadap tepat ke balkon.
"Ku kira kau kabur," ucap Alfonzo datar namun membuat Gia sedikit tersentak, wanita itu segera menutup halaman bukunya kemudian meletakkan buku tersebut tepat diatas sofa sementara dirinya berjalan mendekati Alfonzo.
"Kau sudah pulang? Maafkan aku, aku tak bisa menyiapkan makanan untukmu, aku tak bisa memasak," aku Gia dengan menundukkan kepalanya.
"Tak perlu kau pikirkan tentang itu, kau sudah makan?"
"Belum."
"Kenapa?"
"Kan aku sudah bilang, aku tak bisa masak."
"Baiklah, ayo keluar kita makan bersama. Aku sudah memasan makanan dan mungkin sebentar lagi akan datang."
"Benarkah?"
"Ya, cepatlah."
Gia mengekori langkah kaki tegap milik Alfonzo, wanita itu sesekali tersenyum manis kala Alfonzo tampak menunjukkan wajah garangnya, pria itu kembali mengingatkan Gia pada sosok Leonardo, garang namun sangat lembut.
Gia mendudukkan tubuhnya tepat di meja makan samping kiri, sementara Alfonzo duduk tepat di tengah ujung meja makan. Pria itu menganggukkan kepalanya kala seorang bodyguard memberikan makanan pesanannya pada Alfonzo.
Pria itu mulai memakan makanannya begitupun dengan Gia, tak ada dari kedua orang itu yang berusaha memecahkan keheningan hanya ada suara sendok dan piring yang saling beradu, manik Gia sesekali mencuri pandang pada Alfonzo, namun pria itu sama sekali tak mempedulikan Gia ia hanya sibuk dengan kegiatannya sendiri.
Hingga akhirnya makanan yang tersedia di atas meja makan itu pun habis tak bersisa, Gia menatap Alfonzo yang tengah melap bibirnya untuk membersihkan bekas makanan yang menempel di sekitar bibirnya, sesudah itu Alfonzo menatap Gia kemudian berdehem pelan.
"Ada sesuatu yang ingin aku berikan padamu, Gia."
"Ya?"
Alfonzo menjentikkan jarinya tak lama setelah itu para bodyguardnya datang dengan membawa barang belanjaan Alfonzo untuk Gia.
"Ini semua... "
"Ya, ini semua milikmu."
"Tapi bagaimana bisa, maksudku dalam rangka apa kau memberikan aku semua ini?" tanya Gia dengan kerutan di dahinya.
"Tak ada rangka apapun, ini hanya penghargaan karena kau bersedia menurut dan tak menentangku lagi, aku akan berikan hal lainnya jika kau kembali menurut padaku."
"Kau serius?"
"Ya."
Alfonzo mendirikan tubuhnya, ia menatap Gia dengan tatapan yang sulit untuk Gia artikan.
"Gia, i want you," lirih Alfonzo seketika membuat Gia terhenyak, wanita itu bahkan tak sadar saat ini tangannya sudah digenggam erat oleh Alfonzo, bahkan pria itu menuntun Gia menuju kamar mereka.
Gia? Wanita itu tak bisa menolak Alfonzo, benarkan? Ia adalah jalang milik pria itu, ia harus siap menerima apapun yang akan Alfonzo lakukan terhadapnya tak terkecuali hal ini.
***
Alfonzo menatap Gia dengan sendu, ia meraih kain bathrobe kemudian meraih sesuatu dari dalam nakasnya, ia memberikan itu pada Gia kemudian memberikannya pada Gia.
"Minumlah Gia, aku tak ingin kau hamil dalam waktu dekat," ucap Alfonzo membuat Gia membelalakkan matanya.
Baiklah, jadi ia sudah persis seperti jalang saat ini? Dipakai kemudian dibuang? Bagus sekali!
Dengan tangan yang gemetar, Gia meraih pil pencegah kehamilan yang Alfonzo ulurkan padanya, ia meminum pil itu tanpa air ia sungguh tak peduli rasanya, pahitnya kehidupan mengalahkannya atas rasa pahit apapun.
"Bagus, pastikan kau tak hamil Gia. Karena jika itu terjadi, aku pastikan kau harus menggugurkannya, aku belum siap menjadi orang tua, maafkan aku tapi aku belum siap untuk status itu Gia."
"Ya, aku mengerti."
"Baguslah jika kau mengerti maksud ku, kau paham kan? Aku memiliki banyak rival dan aku masih ingin terus berada di puncak kejayaanku tanpa ada kelemahan ku, sedangkan jika kau hamil anakku, maka ia akan menjadi kelemahanku, aku belum siap."
"B-bagaimana jika nyatanya aku hamil?"
"Seperti yang sudah kau dengar, kau terpaksa harus menggugurkan kandungan mu," ucap Alfonzo kemudian meninggalkan Gia di dalam kamarnya seraya merenung.
Sial! Gia bahkan tak meminum pil sialan itu kala si bren*sek Maxime atau pun Alfonzo melakukannya, ia bisa mati jika ternyata ia tengah mengandung salah satu janin dari pria itu!
Gia menggelengkan kepalanya, ia tak bisa berpikir jernih, sungguh ia sangat takut saat ini. Pria itu, Alfonzo tak ingin memiliki seorang anak dengannya. Ya, Gia paham ia hanya seorang jalang yang tak mungkin bisa mendapatkan status dari pria seperti Alfonzo terlebih nanti ia pun tak tau anak itu darah daging siapa?! Sialan bukan?!
Sementara Alfonzo berjalan melewati lorong menuju kamar pribadi miliknya, ia memasuki kamar itu kemudian menyalakan saklar listrik hingga cahaya lampu menyinari seisi kamar.
Maniknya meredup kala melihat lukisan seorang wanita yang tersenyum dengan amat manisnya, ia mendekati lukisan itu kemudian menyentuhnya.
"Aku merindukanmu, maafkan aku yang masih suka bertindak bren*sek. Aku tak bisa membayangkan kau meninggalkanku secepat ini Agatha, aku sangat mencintaimu," lirih Alfonzo seraya mengusap lukisan itu, ia menatap manik coklat si wanita kemudian ia berbalik meraih sebotol vodka dan meneguknya hingga tandas.
"Aku merindukanmu cintaku, sangat merindukanmu. Setahun ini aku gila, aku berganti-ganti pasangan dan jalang hanya untuk memenuhi kerinduanku terhadap mu, tapi perlu kau ketahui aku heran Agatha, selama ini hanya kau yang menjadi pemuasku, tak ada yang lain apalagi jalang-jalang itu, mereka sama sekali tak membuatku senang. Namun pertama kali melihatnya, aku seakan merasakan desiran itu, desiran kala aku menatap matamu sayang, aku sangat merindukanmu, ia mengingatkan ku akan dirimu. Aku bahkan merasa puas dengan tubuhnya seakan aku melakukannya denganmu Agatha, maafkan aku jika aku salah dan terkesan menduakanmu. Tapi apa aku salah Agatha? Aku merasa aku tertarik dengannya, bukan maksudku melupakanmu percayalah kau berada di dalam sisi hatiku, namamu terukir disana, namun di sisi lain ada nama lain Agatha, maafkan aku namun perlahan ia mencuri perhatian ku, Gia. Dia mencuri perhatianku, Agatha," lirih Alfonzo seraya menangkup wajahnya.
••••
BAB 6 || NIGHTMARE "Datanglah ke ballroom hotelku sayang, aku menunggumu. Cepatlah datang, aku sangat merindukanmu dan our angel.""Dasar perayu kelas kakap! Kita bahkan dua jam yang lalu bertemu di kantormu, sekarang sudah mengumbar bualan!""Jangan berkata seperti itu cintaku, sungguh aku merindukanmu dua jam rasanya seperti dua tahun.""Sudahlah Alfonzo, semuanya sudah jelas aku akan datang sebentar lagi tunggu saja.""Ya, tentu aku akan menunggumu cepat datang Agatha Renzuis, France akan segera menjemputmu.""Sure my Renzuis."Alfonzo mematikan sambungan teleponnya seraya tersenyum manis, sungguh hari ini adalah hari ulang tahun pernikahannya dengan Agatha yang ke tiga tahun, senyum itu tak pernah lepas dari bibir Alfonzo.Ia tatap persiapan perayaan pernikahannya, ia menatap balon-balon yang dibiarkan mengambang di atas kolam renang di gelapnya malam, manik tajam pria itu menatap keatas dan menghembuskan napasnya.Hidupnya sudah lengkap semenjak menikahi Agatha, gadis itu sangat
Two months later...Suasana pagi ini cukup membahagiakan bagi Gia, bagaimana tidak pria yang tampak dingin itu saat ini tengah berenang di kolam renang di belakang mansion, Gia memperhatikan Alfonzo tanpa celah, itu semakin mengingatkannya terhadap Leonardo, nyatanya sekeras apapun Gia mencoba melupakan Leonardo namun pria itu seakan berada di pelupuk mata Gia selalu.Namun tiba-tiba Gia merasa mual menderanya dengan sangat, wanita itu segera mendirikan tubuhnya dan dengan gerakan cepat menuju ke toilet lantai bawah, wanita itu memuntahkan isi perutnya namun yang keluar hanyalah cairan bening.Gia menatap pantulan dirinya di cermin kemudian membelalakkan matanya kala menyadari satu hal, dengan gerakan cepat ia menaiki tangga dan menuju kamarnya, tangannya dengan gemetar mencari kalender dan saat menemukannya Gia hanya mampu bernapas kasar, benar dugaannya!Wanita itu meletakkan satu tangannya tepat di atas pusar kemudian mengelusnya amat lembut. "So you've been there, little boy.""I'
Sepulangnya Alfonzo dari kantor, pria itu menginjakkan kakinya menuju tangga dan berakhir di kamar Gia. "Gia?""Gia dimana kau?" Alfonzo semakin kalut saat tak menemukan jawaban apapun dari nama yang ia panggil. Matanya mengedar ke seisi kamar untuk mencari sosok Gia namun wanita itu tak menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Pria itu kalut, ia segera meraih ipad miliknya kemudian memeriksa CCTV.Brak!Alfonzo menendang kursi dengan kekuatannya yang besar hingga kursi itu sudah tak berbentuk. "CLARA!!""CLARA!" Alfonzo meneriaki nama maid-nya yang sudah membantu Gia keluar dari dalam mansionnya."Ya Tuan," balas Clara dengan menundukkan wajahnya."Dimana Gia?""Nyonya... ""Dimana dia Clara?!""Aku... ""Kau membantunya pergi bukan? Kenapa kau melanggar ucapan ku Clara?!""Maafkan aku tuan, aku kasihan padanya.""Kau tak pantas melakukan itu Clara! Kau hanya seorang maid disini!""Maaf Tuan."Dor!***"Kau sudah bangun?"Gia menatap asal suara, ia melihat seorang wanita yang sudah
"Bibi Marry!" Gia menatap asal suara, dimana seorang gadis cilik dengan membawa sekeranjang buah strawberry berdiri di ambang pintu."Bibi Marry! Aku datang!" ucapnya lagi, ia berjalan memasuki toko tanpa menyadari keberadaan Gia, wanita itu tersenyum dibuatnya, menatap anak kecil dengan dua kepang di rambutnya."Bibi_" ucapan bocah itu berhenti saat menatap ke belakang dan menemukan Gia dengan senyum manis dan tangan yang melambai ke arahnya."Bibi Marry berubah jadi muda," ucapnya polos hingga Gia tersenyum manis, ia berjalan dan bersimpuh di depan bocah tadi."Hai, namaku Gia. Siapa namamu?" tanya Gia dengan mengulurkan tangannya, tangan Gia di lihat tanpa celah oleh bocah tadi sebelum ia menyambut uluran tangan Gia."Hai, namaku Erika.""Hai Erika, kau sangat cantik.""Kau juga cantik bibi Gia," ujarnya polos, mata kecilnya mengedar mencari sosok Marry lalu kembali menatap Gia."Dimana Bibi Marry?""Bibi Marry sedang membuat teh, sebentar lagi akan kembali. Memangnya mengapa kau m
Marry menutup pintu cepat setelah dua pria tadi menanyakan tentang Gia padanya, wanita yang cukup berumur itu menatap ke kamar bekas anaknya yang sudah ditempati Gia selama dua hari ini. Kakinya berjalan menuju kamar tersebut dan mengetuk pintunya tiga kali."Gia?" panggil Marry tak berbalas. "Gia ini aku, bukalah pintumu, Gia," ulangnya menyakinkan.Benar saja kurang dari satu menit pintu sudah terbuka dengan lebar memperlihatkan wajah pias Gia saat ini dengan air mata yang sudah bercucuran membelah pipi putihnya."Bibi, apa mereka sudah pergi?" tanya Gia dengan nada suaranya yang bergetar. Marry yang melihat sekali raut ketakutan di wajah wanita yang ditolongnya segera memeluk Gia erat."Sst, tenanglah Gia. Aku akan menjagamu semampuku, aku akan berusaha menyembunyikanmu disini, tanpa ada yang tau.""Bibi, mengapa kebebasanku direnggut? Mengapa hidup serasa sangat sulit? Apa dosa yang sudah kuperbuat hingga aku diberikan hal seperti ini? Tuhan tak adil, Bi.""Sst, Gia. Percayalah se
Gia meraih ponsel sederhana yang ia beli saat mendapat uang hasil membantu Marry selama lima bulan setelah berhentinya anak buah Alfonzo yang mencarinya saat di Monako.Saat ini, Gia mengedarkan pandangannya mencari titik kemana ia akan melangkah di kota yang sedari kecil ia tinggali namun telah menorehkan luka yang masih belum sembuh untuknya, New York.Wanita itu menenteng tas lusuh yang diberikan Marry, tanpa membawa hal yang penting Gia hanya membawa uang dan ponsel di tasnya. Namun, Gia langsung berjalan menuju tempat Lilia, bahkan untuk menuju apartemen Lilia pun Gia hanya berjalan tanpa menggunakan taxi, ia melupakan kenyataan bahwa ia baru saja melahirkan.Sesampainya di apartemen milik Lilia, Gia mengetuk pintu itu tanpa jeda namun tak ada jawaban atau sahutan dari dalam sana, hal itu semakin membuat Gia kalut. Ia menatap sekitarnya namun tak ada satu orang pun disana. Pikiran buruk mulai bermunculan di otaknya, wanita itu secepat kilat menuju mansion Leonardo untuk memastika
Alfonzo menjalankan kakinya dengan gagah memasuki kamar milik Gia, sesaat setelah ia membuka pintunya ia menatap Gia yang tampak menatap ke depan dengan pandangan kosongnya, wanita itu tak menolehkan sedikitpun wajahnya untuk melihat Alfonzo, ia lelah hanya lelah dan kepedihan yang ia rasakan kala menatap wajah pria itu.Pria dengan tubuh tegap itu berjalan dengan satu tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana, ia dudukkan tubuhnya tepat di tepi ranjang yang hanya berjarak lima senti saja dari tubuh Gia yang tampak kosong."Gia," panggil Alfonzo dengan suara rendahnya namun tak diindahkan oleh Gia, wanita itu justru memunggungi Alfonzo."Makanlah," ucap Alfonzo berusaha membujuk Gia agar wanita itu bersedia menerima sesuap atau dua suap nasi untuk mengganjal perutnya."Jika kau tak makan, kau akan sakit Gia," ucap Alfonzo lagi berusaha meruntuhkan kedinginan Gia."Jika kau sakit_""Apa? Kau takut kau tak dapat pelayanan dariku? Kau takut aku akan merepotkanmu? Kau pun takut jika ak
Gia tertawa lebar mendengar sentakan Alfonzo barusan, ia kebal dengan semua teriakan dan sentakan dari pria itu. Hatinya mati rasa setelah ia kehilangan wajah menggemaskan Theodore, ia hanya hidup dalam kehampaan. Wanita itu meminum jus jeruknya lalu berdiri dengan underwear yang telah basah menatap Alfonzo dari atas sampai bawah. "Mengapa marah Alfonzo? Bukankah kau hanya tuanku disaat malam?""Gia, jangan membuatku marah.""Well, jika dihitung kau lebih dari seribu kali marah padaku, Alfonzo," balas Gia tanpa takut pada Alfonzo.Pria itu menggeram dibuatnya, ia tak terima di tantang seperti ini oleh wanita yang sudah ia beli sepuluh juta dollar dua tahun yang lalu, harga diri Alfonzo terluka akibat ucapan Gia yang terlampau berubah seratus delapan puluh derajat.Alfonzo yang kesal karena Gia lebih memilih membalikkan tubuhnya dan menatap kolam biru di depannya langsung meraih tubuh Gia dan menggendongnya ala bridal dan menatap tajam manik wanita itu."Jadi, kemana kita akan pergi Mr
Alfonzo langsung bergegas dan meninggalkan meeting yang sedang berjalan saat mengetahui keadaan istrinya yang konon pingsan di lobby, pria itu segera bergerak dan menuju ke ruangannya untuk bertemu dengan Gia. Tapi sebelum benar-benar memasuki ruangannya, Alfonzo justru bertabrakan dengan France. "France! Apa kau tak bisa melihat dengan benar, huh?!" sentak Alfonzo yang mulai terpancing karena kepanikan yang menderanya."Sig, maaf aku tak bermaksud begitu. Tadi aku berlari karena tau jika Nyonya pingsan dan kau pasti butuh bantuan ku, jadi apa yang bisa aku bantu Sig?" tanya France begitu mengerti kondisi yang sedang berlangsung.Alfonzo mengangguk dan ia menepuk bahu France bangga. "Bagus, sekarang kau ambil flashdisk yang ada pada Gia.""Maksud mu ini, Sig? Aku menemukannya di lobby dan segera membawanya.""Ya benar, sekarang kau menggantikan ku di ruangan meeting. Semua materi ada di dalam flashdisk itu ku harap kau mengerti dengan apa yang harus kau lakukan, France.""Yes Sig." F
Five Years Later ...."Mommy! Kemarin Theo bertemu dengan Gerrardo, dia mendapatkan adik barunya, kapan Mommy akan memberikan aku adik baru seperti Gerrardo? Kata Papà-nya Gerrardo aku bisa meminta adik baru kepada Mommy dan Papà, aku takut pada Papà jadi aku meminta kepadamu, jadi kapan Mom?" tanya Theodore dengan mata yang berbinar. Sedangkan Gia sendiri seakan tak bisa mengatakan banyak hal selain merasa gugup dan juga sedih dengan pertanyaan yang diberikan oleh Theodore. Memang Gia sudah lama mengharapkan kehadiran sang anak kedua setelah kejadian lima tahun yang lalu, Theodore bahkan selalu meminta untuk mendapatkan teman yaitu sang adik, tapi Alfonzo selalu memberikan harapan, dan Gia cukup lelah sebab ia merasa sering dikecewakan. Ia sering terlambat mendapat tamu bulanannya, tapi selalu saja tak seperti apa yang di harapkan. "Theo, maafkan Mommy. Mommy juga tidak tau kapan adik kecil Theodore akan datang tapi mungkin sebentar lagi.""Mommy selalu berkata sebentar lagi terus m
"We have to stop this." Gia tersadar dan ia mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan oleh Alfonzo. Wanita itu menjauhkan tubuhnya dari tubuh Alfonzo masih menggenggam tangan suaminya tersebut."Kau benar, ayo naik lagi." Alfonzo membalas ajakan Gia dengan senyum tipisnya, keduanya segera kembali ke lantai utama dimana kamar Theodore berada.Sesampainya di depan kamar Theodore, Alfonzo menghentikan langkahnya dan menatap Gia. "Aku harus bertemu dengan France untuk membicarakan beberapa hal, tak apa jika aku tinggal?""Tentu saja kenapa aku bermasalah dengan itu?"Alfonzo tersenyum, ia mencium kening Gia sebelum akhirnya pergi meninggalkan wanita itu untuk bertemu dengan France dan membahas mengenai dunia gelapnya. "France!" seru Alfonzo memanggil sang asisten, tak lama yang dipanggil pun akhirnya datang dan berhadapan langsung dengan sang tuan."Ada yang bisa aku lakukan untuk mu, Sig?" tanya France dengan menundukkan kepalanya penuh hormat kepada Alfonzo."Kita ke markas sekarang."
Alfonzo melepaskan pelukannya dari tubuh Gia, ia menatap sang istri dengan penuh cinta lalu menggenggam tangannya erat mengecupnya begitu lembut penuh dengan kasih sayang. "Kita harus kembali ke pesta, sebelum nanti ada yang menyadari ketidakhadiran kita berdua."Gia mengangguk mengerti dengan apa yang di maksud oleh Alfonzo, ia pun segera mendirikan tubuhnya keduanya berjalan beriringan menuju ke taman dan kembali menyambung keceriaan pesta ulang tahun sang anak. Tak lama Leonardo dan Florence datang menghampiri Alfonzo dan juga Gia. "Hei aku sudah mencari kalian dari tadi tapi tak dapat menemukan kalian, dari mana kalian berdua?" tanya Florence penasaran."Well, kami hanya berbicara sesuatu hal di bagian belakang, Flo," jawab Gia diiringi senyum manisnya.Florence tersenyum manis ia mengusap bahu Gia. "Putramu sangat tampan, Gia. Dia menuruni warna mata Alfonzo," ucapnya memuji ketampanan putra Gia."Terimakasih banyak Flo, sama seperti Theodore yang mewarisi warna mata Alfonzo, put
"Mom, where is my birthday present?"Gia tersadar dari lamunannya dan ia segera mengalihkan fokusnya yang semula terpaku pada taman yang ada di depan mansion, ia tau harusnya ia tak mengalihkan fokusnya dari ulang tahun Theodore tapi memang akhir-akhir ini ia selalu saja kehilangan fokusnya tanpa sadar. "Sorry honey, Mommy tak sengaja. Sebentar, Mommy ambilkan spesial untuk mu," ucap Gia seraya mendirikan tubuhnya ia menyentuh kepala Theodore sebelum akhirnya berlalu memasuki mansion meninggalkan para tamu undangan yang tengah berbahagia di ulang tahun Theodore yang ketiga.Sementara di sisi lain Alfonzo bisa merasakan keanehan pada Gia, ia sadar sejak dua bulan yang lalu tepatnya semenjak Gia tau bahwa ia kehilangan bayinya ia berubah secara perlahan menjadi pendiam, Gia sering sekali melamun dan kehilangan fokusnya tapi Alfonzo bisa apa, sudah ribuan kali ia menghibur Gia tapi Gia tak juga bisa move on dari kejadian pahit itu. "Hei, ada apa Al? Kenapa terdiam menatap Gia seperti itu
"NO!!" Gia berteriak sesaat setelah melihat Alfonzo yang masih belum bangun dari simpuhannya tapi tetap di tendang dengan kasar oleh Xavier.Davis tak dapat berbuat banyak, pria itu sibuk membidik musuhnya hingga tak melihat kondisi Alfonzo yang benar-benar sudah berada di titik terendah. Gia menggeram marah saat kedua cekalan di tangannya semakin erat ia menatap kedua anak buah Alfonzo dengan mata merah dan penuh air matanya. "Lepas! Kau ingin Tuanmu mati disana, huh! Kau gila! Lepaskan aku!" sentak Gia tajam.Kedua The Devil itu menundukkan kepalanya ia terlalu patuh terhadap perintah Alfonzo yang akhirnya membuat ia diam tak berkutik dan hanya bisa menjaga Gia tetap aman. "Kami tak bisa lepaskan Nyonya apapun yang terjadi sesuai dengan perintah Tuan," ucap salah satu The Devil yang mencekal lengan Gia.Gia menggelengkan kepalanya. "Dasar bodoh!" sentak Gia.Sementara Alfonzo, pria itu sudah tak bisa lagi untuk fokus. Telinganya berdenging dan pandangannya memburam ia tak bisa melih
"Welcome, Al." Suara berat seseorang terdengar membuat Alfonzo mengalihkan pandangannya yang semula tertuju pada Theodore kini menatap asal suara."Xavier?""Ya, i am," jawab Xavier dengan senyum tipisnya.Alfonzo mengepalkan kedua telapak tangannya erat saat pria itu semakin menodongkan ujung pistolnya di kepala anaknya. "Jangan sakiti dia, Xavier. Atau aku akan menbunuhmu saat ini juga," desis Alfonzo tajam."Nyatanya kau tak bisa melindungi istri dan anakmu, sama seperti istrimu yang dulu."Alfonzo mengetatkan rahangnya lalu mendekati Xavier. "Kau pelakunya? Kau yang membunuh Agatha?!" sentak Alfonzo tajam.Tawa Xavier menggelegar setelah mendengar sentakan dari Alfonzo, pria itu melepaskan ujung pistolnya dari kepala Theodore lalu melemparkan anak itu ke salah satu anak buahnya. "JANGAN SAKITI DIA BRENGSEK!" teriak Alfonzo menahan marah.Xavier menganggukkan kepalanya kemudian mendekati Alfonzo ia menatap pria itu dengan smirk di ujung bibirnya. "Aku tak akan mengincar garis ketur
Gia semakin mengeratkam pelukannya pada Theodore sesaat setelah mendengar bunyi tembakan dari jarak dekat apalagi kini bisa Gia lihat perlahan pintu terbuka sedikit demi sedikit menampilkan sepatu hitam dengan langkah kaki perlahan dari seseorang. Gia paham betul itu bukan Alfonzo oleh karena itu tubuhnya tidak berhenti menggigil. "Hai," sapa orang itu dengan suara rendahnya. Gia semakin mengertakan pelukannya pada Theodore mencoba melindungi anak itu di dalam dekapannya.Tak lama langkah kaki dari beberapa orang terdengar dan kini gerombolan orang terlihat, mereka menatap Gia dan Theodore saling bergantian. "Bring them," ujarnya membuat Gia kalut dan menatap sosok di hadapannya pria itu memakai topi yang menutupi setengah wajahnya hingga Gia tidak terlalu jelas melihat wajah pria itu.Akhirnya pelukan Gia di lepas secara paksa oleh orang-orang tadi, ia berusaha menggapai Theodore kembali tapi orang-orang tadi terlalu kencang meremas tangannya dan Gia tak tau lagi harus bagaimana meny
Alfonzo seakan tersadar dari sisi gelapnya, ia menatap wajah lelah Gia lalu mengalihkan tatapannya menatap punggung Theodore yang bergetar karena menangis saat ini. "Hentikan, kalian membuatnya takut. Tolong biarkan kami pergi dan silahkan saling membunuh aku tak perduli" lirih Gia dengan meremas jas yang Alfonzo pakai."Gia aku tak mendengar mu, maaf," ucap Alfonzo dibalas gelengan pelan dari Gia.Wanita itu membalikkan tubuhnya menatap Maxime kemudian.Plak!"Jika kau datang hanya untuk membuat kerusuhan dan membuat hidupku bertambah sakit, lebih baik kau pergi karena kau berhasil. Dan tolong Max, berhenti mengganggu hidupku dan putraku. Hanya ia yang tersisa diantara harapanku, jangan membuatku bertindak di luar logis saat kau mengambilnya karena aku tak akan izinkan. Pergilah jika kau sudah puas menyiksaku," lirih Gia dengan kesedihan di matanya.Maxime menggelengkan kepalanya tak membenarkan ucapan Gia. "Jangan berkata seperti itu, Gia. Aku tak bermaksud untuk mengacaukan hidupmu