"Dia sudah makan?" tanya Alfonzo dengan nada rendahnya pada salah satu maid dibalas gelengan oleh maid tersebut.
"Siapkan makanan, sekarang!"
"Baik Tuan."
Maid itu beringsut mundur dari hadapan Alfonzo, sedangkan pria dengan tubuh tegap itu mendirikan tubuhnya dan menganggukkan kepalanya kala maid suruhannya kembali membawa nampan berisi makanan untuk Gia. Alfonzo meraih nampan itu dengan satu tangannya lalu menjalankan kakinya menuju kamar Gia.
Pria itu menempelkan ibu jarinya pada alat finger print hingga terdengar bunyi kunci yang terbuka, Alfonzo membuka pintu kamar Gia dengan satu kakinya, ia meletakkan nampan berisi makanan tersebut tepat diatas nakas sementara pandangannya mengedar mencari sosok sang empu kamar.
"Gia?"
"Gia?!" Alfonzo berseru keras ia bahkan membuka paksa pintu kamar mandi dan menemukan tubuh Gia yang menggigil di bawah guyuran shower.
"APA YANG KAU LAKUKAN?!" Alfonzo berteriak seraya mendesis tajam pada Gia yang justru memundurkan tubuhnya seolah menjauhi langkah Alfonzo yang mulai memasuki kamar mandi dengan membawa dua kain bathrobe sekaligus.
"Lepas," lirih Gia yang di dengar oleh Alfonzo, namun pria itu sama sekali tak mempedulikan ucapan Gia.
Alfonzo memakaikan bathrobe itu pada tubuh Gia kemudian mendirikan tubuh lemas wanita itu dan menuntunnya menuju ranjang.
"No! Aku akan berganti sendiri," larang Gia kala Alfonzo akan membuka kaitan kancing kemejanya.
Gia memegang lengan Alfonzo dengan jarinya yang dingin, pria itu menatap manik hijau Gia yang entah mengapa mampu membuat Alfonzo merinding dibuatnya.
"Gantilah bajumu, semua baju sudah aku siapkan di dalam walk in closet," ujar Alfonzo seraya berdehem pelan, sungguh ia sesak menatap manik redup Gia.
Alfonzo memundurkan langkah kakinya, pria itu menatap Gia sekilas kemudian meninggalkannya di dalam kamar besar miliknya.
Sementara di dalam kamar, Gia menangisi kehidupannya namun ia menatap ke atas seakan ia bisa menatap wajah sang ibu yang selalu menguatkannya, ia meneguhkan hatinya untuk bisa hidup berdampingan bersama pria yang sudah membelinya, Gia akan berusaha dengan ikhlas menerima Alfonzo sebagai pemiliknya, Gia akan berusaha dan beradaptasi untuk menerima kehadiran Alfonzo yang terlalu tiba-tiba dalam hidupnya.
Wanita itu berjalan menuju walk in closet kemudian membuka salah satu lemari di sana yang ternyata berisi berbagai macam pakaian wanita, mulai dari underwear sampai outer semuanya tersedia bahkan beberapa hiasan aksesoris juga tertata rapih.
Tangannya meraih salah satu dress selutut dengan warna biru laut dan ia pun mengganti bajunya dengan dress tersebut, ia menyanggul rambutnya ke atas.
Tak seberapa lama pintu kembali terbuka menimbulkan bunyi decitan yang cukup keras namun Gia sangat paham siapa si empunya karena aroma kayu-kayuan begitu tercium di indra penciumannya.
"Gia?" panggil Alfonzo dengan suara beratnya, pria itu mengetuk pintu walk in closet pelan dan disahuti oleh Gia.
"Ya, aku di dalam."
"Cepat keluar dan makanlah, malam ini temani aku ke pesta."
"Apa?!"
"Jangan berteriak, santai saja."
Gia keluar dari walk in closet dan menatap Alfonzo dari atas sampai bawah, dasi kupu-kupu yang terlepas dan kemeja putih polosnya berhasil membuat Gia terhenyak seketika, bayangan tentang Leonardo kembali menyergapnya namun wanita itu dengan cepat menguasai dirinya sendiri.
"Ekhm, ya kenapa?"
"Duduklah," ujar Alfonzo dengan memasukkan satu tangannya di saku celana.
Gia menuruti ucapan Alfonzo dan mendudukkan tubuhnya tepat di sofa yang berhadapan dengan Alfonzo yang tengah memamerkan wajah datar plus dinginnya.
"Kenapa?" Gia mengulang pertanyaannya, jujur saja ia harap ia salah dengar dengan kata 'pesta' yang diucapkan Alfonzo. Hell! Dia baru pertama keli ke Roma dan ia tak mengerti bahasa Italia!
Alfonzo mendudukkan tubuhnya di sofa single yang menghadap tempat tidur yang sudah ditempati oleh Gia. Pria itu meraih sebuah dokumen kemudian memberikannya pada Gia.
"Itu adalah biodatamu, kau dan semua orang yang kau sayangi berada di genggamanku, katakan aku iblis karena mengurungmu di mansion besarku, namun harus kau tau nyatanya kau sudah memiliki pemilik, dan itu adalah aku, I’m your owner."
"Aku mengerti," ucap Gia lemas, mau bagaimana lagi bukan? Nyatanya apa yang diucapkan oleh Alfonzo tak ada yang salah, Gia saat ini sudah milik pria itu dan seberapa banyaknya cara Gia untuk lepas dari Alfonzo lagi dan lagi ia akan kalah.
"Jadi aku harus apa?" tanya Gia lemas.
"Dengarkan aku, sekarang makanlah dan desainer akan datang untuk mendandanimu, kita akan ke ulang tahun perusahaan milik klien ku."
Gia menghembuskan napasnya pelan kemudian mengangguk setuju. "Baiklah."
"Makanlah."
Gia memakan makanan yang sudah tersedia tepat di tengah meja, wanita itu memakan risotto dengan sesekali melirik pada Alfonzo yang terlihat sekali tengah mengawasinya.
"Bisakah kau hentikan menatapku seperti itu? Aku risih dengan tatapanmu, tampak sekali tak sopan," ucap Gia dengan mengunyah makanannya.
Alfonzo tertawa pelan kala tebakan wanita itu tepat sasaran, ia menyatukan tangannya dan menatap Gia tajam.
"Katakan siapa Artha?"
Gia membeku ditempatnya kala nama itu disebut oleh Alfonzo, ia menatap Alfonzo takut-takut kemudian menggelengkan kepalanya pelan.
"Kau pemilikku bukan? Kalau begitu bisakah kita jalani hidup kita untuk saat ini? Aku tak ingin membahas masa lalu. Lagi pula tak ada satu hal pun dari masa lalu ku yang ingin aku bagi denganmu, karena kau hanya seseorang yang datang tanpa diundang di dalam hidupku, dan tentunya kau tak aku harapkan sama sekali," ucap Gia berani menatap manik Alfonzo tajam, sungguh menghadapi sifat dingin Leonardo berhasil melatih Gia menjadi wanita yang bisa menaklukkan pria dingin sejenis Leonardo ataupun Alfonzo sekalipun.
"Ya, baiklah. Lanjutkan makanmu," Alfonzo mendirikan tubuhnya ia pun meraih ponselnya kemudian menggeser ikon hijau kala salah satu orang kepercayaannya di The Devil menghubunginya.
"Ya, katakan ada apa?"
"Begini Tuan, beberapa pengirim senapan untuk kita berhenti secara mendadak. Aku tak tau ada masalah apa, tapi yang jelas kita kekurangan senjata."
"Aku kesana sekarang."
"Baik Tuan."
Alfonzo melangkahkan kakinya menjauhi posisi Gia dan membuka pintu kamar Gia dan mengunci pintu wanita itu lagi namun sebelum itu ia samar-samar mendengar teriakan Gia.
"No!! JANGAN KUNCI LAGI! KU MOHON AKU INGIN BEBAS SETIDAKNYA DARI KAMAR INI, AKU INGIN HIDUP SELAYAKNYA MANUSIA, ALFONZO, AKU INGIN HIDUP SEPERTI MANUSIA BUKAN HEWAN PELIHARAAN MU! YA WALAUPUN KAU SUDAH MEMBELIKU TAPI AKU TETAP MANUSIA YANG MEMILIKI KEBEBASAN!" teriak Gia lantang seraya menggedor pintu.
Alfonzo memutar tubuhnya dan menatap pintu yang sudah ia kunci, pria itu kembali membukanya dan menemukan Gia berdiri dengan wajah merahnya, jelas sekali kemarahan berada di manik hijau wanita itu.
"Kenapa kau berteriak?"
"Aku perlu kebebasan Al, walaupun kau mengurungku di mansion mu tapi aku ingin hidup, aku tak ingin menghabiskan sisa hidupku di kamar ini."
"Apa yang akan kau berikan padaku jika aku menuruti kemauanmu?"
"Kau memerasku?" tuduh Gia cepat namun pria itu justru mengusap dagunya pelan sekali seraya berjalan hingga berjarak lima jengkal saja dari tempat berdiri Gia saat ini.
"Aku tak memeras mu Gia, kita hanya bertukar. Kau ingin kebebasan lalu apa yang kau tawarkan untuk mendapatkan kebebasan itu?" tanya Alfonzo dengan smirk tipisnya.
"Aku ... "
"Kau tak bisa memberikan apapun untukku? Maka kau tak akan dapatkan kebebasanmu."
"No!"
"Katakan apa yang kau berikan untukku?"
Wanita itu menatap Alfonzo kemudian menghela napasnya lembut.
"Aku memberikan apa yang menjadi hak mu, dan aku memberikan apa yang menjadi tujuanmu membeliku, kau bisa melakukan apapun pada tubuhku, aku tak akan menolakmu. Kita akan hidup selayaknya orang yang hanya mengenal di kamar ini, namun diluar itu kau dan aku hidup seakan kita tak mengenal, kau bisa mengatur ku apabila aku sudah melewati batasanku, sedangkan aku bisa menegurmu apabila kau pula meleati batasanmu, bagaimana?"
"Menarik, baiklah aku setuju," ujar Alfonzo dibalas anggukan pelan dari Gia.
Alfonzo mendekati lagi tubuh Gia hingga tubuh itu terkurung tepat di antara tembok dan kedua lengan Alfonzo, tangan besar Alfonzo meraih sisi wajah Gia kemudian menciumnya lembut.
"Kau tampak berbeda Gia, kau sangat menggoda dan menantang. Aku menyukaimu," bisik Alfonzo tepat di telinga kanan Gia, tubuh wanita itu bergetar hebat deru napas Alfonzo sangat hangat menerpa tengkuknya yang tak tertutup.
"Bersiaplah." Alfonzo kembali keluar dari kamar Gia namun pria itu tak menutup atau menguncinya lagi, ia benar-benar menepati ucapannya.
Gia bernapas dengan lega, setidaknya ia bisa hidup dengan layak meskipun kini ia benar-benar menjadi jalang, namun ia tak memberikan tubuhnya pada pria lain selain Alfonzo, pemiliknya.
***
The Devil's Headquarters, Roma
"France!"
"Yes Sir."
"Apa masalahnya?" tanya Alfonzo seraya melepaskan kancing jasnya dan duduk tepat di kursi bulu berwarna hitam pekat di tengah ruangannya.
"Gudang senjata kita di Sisilia sudah mulai kekurangan senjata Tuan, banyak dari pemasok senjata kita berhenti bekerja entah karena alasan apa, tapi yang jelas mereka memutus kontrak sepihak."
"Teliti dan laporkan segera padaku mengapa mereka bisa melakukan hal ini pada Renzuis."
"Baik Sir."
"Ada lagi France?" tanya Alfonzo kembali dengan menyesap cerutunya.
France mengangguk lalu meraih peta Roma dan membuka peta tersebut tepat di depan Alfonzo dan menunjuk titik merah yang berlokasi sekitar 7 kilometer dari markas The Devil.
"Seseorang menawarkan senjatanya pada kita dan gudang senjatanya berada di sini Tuan, kita bisa memesan senjatanya jika anda mengizinkan. Semua keputusan berada di tangan anda, Sir."
"Jenisnya?"
"150 senapan, 75 granat yang sudah dimodifikasi, 50 revolver dan 15 hulu ledak."
"Pasarnya?"
"Berpusat di Asia namun beberapa gudangnya berada di Eropa."
"Siapa namanya?"
"Thomas Franscholin."
"Atur pertemuanku dengannya, aku ingin bicara padanya sekarang."
"Tapi Sir."
"Lakukan France!"
"Yes Sir."
France membalikkan tubuhnya dan menghubungi Thomas, hingga akhirnya ia kembali menatap Alfonzo.
"Mr. Franscholin bersedia bertemu dengan anda sekarang Tuan, ia mengadakan pertemuannya di gudangnya."
"Siapkan kendaraan!"
"Baik."
Alfonzo melepaskan jas hitamnya menyisahkan turtleneck hitam yang melekat di tubuhnya, pria itu memasuki mobil hitam yang dikendarai oleh France dan dikawal oleh lima mobil bodyguardnya, mereka menuju gudang Thomas.
Sesampainya di gedung Thomas, Alfonzo dan beberapa bodyguard memasuki gedung yang terlihat cukup tua namun siapa sangka di dalamnya lengkap dengan rentetan senapan yang berjejer rapih di dalam etalase.
"Mr. Renzuis."
Alfonzo menatap asal suara dimana pria yang tampak gagah dengan balutan jas hitamnya berjalan menuju tempat Alfonzo berada.
"Piacere di conoscerti, Sig. Renzuis."
"Sì, piacere di conoscerti anche Mr. Franscholin."
"I heard you have a decent gun for us Mr. Franscholin, I think I'm quite interested in your weapons according to my assistant, I can see your collection Mr. Feanscholin?" ucap Alfonzo dengan senyum miringnya.
"Sure, kami memiliki beberapa senjata yang dimodifikasi hingga berbeda dengan model aslinya, mari saya tunjukkan," ucap Thomas seraya berjalan menuju sisi kiri dari area senapan.
"Ini adalah revolver dengan peluru yang bisa meledak jika sudah mengenai sasaran, anda bisa gunakan ini untuk membunuh musuh dalam satu kali tembakan," ucap Thomas seraya menunjuk revolver hitam dan memberikannya pada Alfonzo, pria itu memeriksa dan dengan sekali tembakan ia mencobanya seperti yang Thomas katakan, dan benar saja pot yang menjadi sasaran Alfonzo sudah hancur berkeping-keping.
"Aku menginginkannya tiga peti, satu peti masing-masing berisi 7 revolver apa kau bersedia Thomas?"
"Sure, aku dengan senang hati. Mari aku beri kejutan lagi."
"Tentu."
Thomas memberikan senapan berwarna coklat pada Alfonzo dan pria itu pun memeriksa senapan yang diberikan Thomas.
"Senapan itu adalah senapan hasil modifikasi kami juga Mr. Renzuis, sistemnya hampir sama dengan revolver tadi hanya saja pelurunya lebih banyak dan jika anda gunakan dari jarak yang cukup jauh tapi saya bisa pastikan sasaran anda akan meledak dalam waktu dua sampai tiga menit setelah tembakan mengenai sasaran."
"Aku tertarik aku ingin lima peti, dari jenis yang sama, Thomas."
"Baik, ada lagi?"
"No, kurasa ini sudah cukup kami akan kembali berkunjung apabila kami membutuhkan senjata lagi Mr. Franscholin."
"Tentu aku akan menerimamu dengan senang hati."
"Kalau begitu aku permisi."
"Ya, senang berbisnis dengan anda Mr. Renzuis."
"Ya, aku akan kirimkan uangku setelah barangmu aku dapatkan."
"Tentu."
Alfonzo berjalan keluar dari gudang milik Thomas kemudian memasuki mobil mereka masing-masing, Alfonzo sesekali menatap jalanan kota Roma yang penuh dan sesak ia hanya mencoba mencerna setiap permasalahan yang ia hadapi semenjak bertemu dengan Gia, tak dapat ia pungkiri perlahan sisi dirinya mulai berubah dan ia pun tak mengerti ada apa dengan dirinya kini.
Alfonzo kembali menatap France dan berdehem pelan. "France, kembali ke mansion dan siapkan beberapa bodyguard untuk menyiapkan pengawal untukku malam ini."
"Baik Tuan."
Alfonzo menghela napasnya kala mobil yang ia tumpangi berhenti tepat di depan mansionnya. Pria itu membuka pintu mobilnya dan berjalan dengan tegas menuju mansionnya, maniknya mengedar dan ia pun melangkahkan kakinya menuju kamar Gia, pria itu membuka pintu kamar Gia dan menemukan wanita itu dibalut dengan gaun merah sepaha dengan renda di bagian depannya, entah mengapa napas Alfonzo tercekat menatap Gia saat ini, bahkan pria itu lupa cara bernapas saat menatap wajah Gia yang dipoles make up yang tak terlalu menor namun menggoda.
"She's very beautiful!"
••••
TO BE CONTINUED...
"Wanitamu sudah siap, Tuan," ucap sang desainer dengan senyum manisnya."Terimakasih Grace.""Sama-sama Tuan."Grace undur diri, wanita itu tersenyum sekilas pada Gia kemudian keluar dari kamar wanita itu, sedangkan Alfonzo melangkahkan kakinya mendekati Gia, ia menaikkan wajah Gia dengan jari telunjuknya."You're so beautiful, Gia.""Thanks."Alfonzo memasuki walk in closet dan keluar dengan kemeja hitam dan blazer merah maroonnya, pria itu memasang dasi kupu-kupu di lehernya kemudian menatap Gia dengan tatapan memuja."Ayo kita berangkat," ucap Alfonzo seraya mengait lengan Gia dan menuntun wanita itu keluar dari kamarnya."So, kau membawa jalangmu sendiri ke pesta Mr. Renzuis?" tanya Gia dengan senyum tipisnya.Alfonzo terkekeh kemudian melepaskan kaitan lengan Gia digantikan dengan lengannya yang bertengger di pinggang wanita itu, pria itu menarik tubuh Gia lebih dekat dengan dirinya dan menciumnya sekilas."Hanya sekedar informasi, aku sudah sering membawa jalanngku ke pesta.""A
Gia menatap pintu yang perlahan terbuka menampilkan sosok besar Alfonzo dalam balutan turtleneck hitamnya, pria itu melepaskan rolex dari tangan kanannya kemudian melepaskan cepat turtleneck-nya, ia menatap Gia kala atasannya sudah tak tertutupi sehelai benangpun."Kenapa? Bukankah kita sudah memiliki kesepakatan?""Em, ya terserah saja.""Tidurlah, jangan anggap aku ada apabila itu membuatmu terganggu," ucap Alfonzo seraya berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya sekilas.Pria itu kembali keluar dan menatap Gia yang sedang duduk tepat di tengah ranjang, langkah kaki Alfonzo mendekat menuju ranjang dan duduk tepat di tepi ranjangnya maniknya menatap wajah Gia yang tampak lebih baik dari pada kemarin sesaat setelah ia membawanya dari New York."Kau tak menolakku lagi?" tanya Alfonzo dengan suara rendahnya menatap Gia lekat.Wanita itu menggelengkan kepalanya seraya menyampirkan helaian rambutnya ke belakang telinga. "Aku hanya mencoba berdamai dengan takdirku, aku mencoba unt
BAB 6 || NIGHTMARE "Datanglah ke ballroom hotelku sayang, aku menunggumu. Cepatlah datang, aku sangat merindukanmu dan our angel.""Dasar perayu kelas kakap! Kita bahkan dua jam yang lalu bertemu di kantormu, sekarang sudah mengumbar bualan!""Jangan berkata seperti itu cintaku, sungguh aku merindukanmu dua jam rasanya seperti dua tahun.""Sudahlah Alfonzo, semuanya sudah jelas aku akan datang sebentar lagi tunggu saja.""Ya, tentu aku akan menunggumu cepat datang Agatha Renzuis, France akan segera menjemputmu.""Sure my Renzuis."Alfonzo mematikan sambungan teleponnya seraya tersenyum manis, sungguh hari ini adalah hari ulang tahun pernikahannya dengan Agatha yang ke tiga tahun, senyum itu tak pernah lepas dari bibir Alfonzo.Ia tatap persiapan perayaan pernikahannya, ia menatap balon-balon yang dibiarkan mengambang di atas kolam renang di gelapnya malam, manik tajam pria itu menatap keatas dan menghembuskan napasnya.Hidupnya sudah lengkap semenjak menikahi Agatha, gadis itu sangat
Two months later...Suasana pagi ini cukup membahagiakan bagi Gia, bagaimana tidak pria yang tampak dingin itu saat ini tengah berenang di kolam renang di belakang mansion, Gia memperhatikan Alfonzo tanpa celah, itu semakin mengingatkannya terhadap Leonardo, nyatanya sekeras apapun Gia mencoba melupakan Leonardo namun pria itu seakan berada di pelupuk mata Gia selalu.Namun tiba-tiba Gia merasa mual menderanya dengan sangat, wanita itu segera mendirikan tubuhnya dan dengan gerakan cepat menuju ke toilet lantai bawah, wanita itu memuntahkan isi perutnya namun yang keluar hanyalah cairan bening.Gia menatap pantulan dirinya di cermin kemudian membelalakkan matanya kala menyadari satu hal, dengan gerakan cepat ia menaiki tangga dan menuju kamarnya, tangannya dengan gemetar mencari kalender dan saat menemukannya Gia hanya mampu bernapas kasar, benar dugaannya!Wanita itu meletakkan satu tangannya tepat di atas pusar kemudian mengelusnya amat lembut. "So you've been there, little boy.""I'
Sepulangnya Alfonzo dari kantor, pria itu menginjakkan kakinya menuju tangga dan berakhir di kamar Gia. "Gia?""Gia dimana kau?" Alfonzo semakin kalut saat tak menemukan jawaban apapun dari nama yang ia panggil. Matanya mengedar ke seisi kamar untuk mencari sosok Gia namun wanita itu tak menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Pria itu kalut, ia segera meraih ipad miliknya kemudian memeriksa CCTV.Brak!Alfonzo menendang kursi dengan kekuatannya yang besar hingga kursi itu sudah tak berbentuk. "CLARA!!""CLARA!" Alfonzo meneriaki nama maid-nya yang sudah membantu Gia keluar dari dalam mansionnya."Ya Tuan," balas Clara dengan menundukkan wajahnya."Dimana Gia?""Nyonya... ""Dimana dia Clara?!""Aku... ""Kau membantunya pergi bukan? Kenapa kau melanggar ucapan ku Clara?!""Maafkan aku tuan, aku kasihan padanya.""Kau tak pantas melakukan itu Clara! Kau hanya seorang maid disini!""Maaf Tuan."Dor!***"Kau sudah bangun?"Gia menatap asal suara, ia melihat seorang wanita yang sudah
"Bibi Marry!" Gia menatap asal suara, dimana seorang gadis cilik dengan membawa sekeranjang buah strawberry berdiri di ambang pintu."Bibi Marry! Aku datang!" ucapnya lagi, ia berjalan memasuki toko tanpa menyadari keberadaan Gia, wanita itu tersenyum dibuatnya, menatap anak kecil dengan dua kepang di rambutnya."Bibi_" ucapan bocah itu berhenti saat menatap ke belakang dan menemukan Gia dengan senyum manis dan tangan yang melambai ke arahnya."Bibi Marry berubah jadi muda," ucapnya polos hingga Gia tersenyum manis, ia berjalan dan bersimpuh di depan bocah tadi."Hai, namaku Gia. Siapa namamu?" tanya Gia dengan mengulurkan tangannya, tangan Gia di lihat tanpa celah oleh bocah tadi sebelum ia menyambut uluran tangan Gia."Hai, namaku Erika.""Hai Erika, kau sangat cantik.""Kau juga cantik bibi Gia," ujarnya polos, mata kecilnya mengedar mencari sosok Marry lalu kembali menatap Gia."Dimana Bibi Marry?""Bibi Marry sedang membuat teh, sebentar lagi akan kembali. Memangnya mengapa kau m
Marry menutup pintu cepat setelah dua pria tadi menanyakan tentang Gia padanya, wanita yang cukup berumur itu menatap ke kamar bekas anaknya yang sudah ditempati Gia selama dua hari ini. Kakinya berjalan menuju kamar tersebut dan mengetuk pintunya tiga kali."Gia?" panggil Marry tak berbalas. "Gia ini aku, bukalah pintumu, Gia," ulangnya menyakinkan.Benar saja kurang dari satu menit pintu sudah terbuka dengan lebar memperlihatkan wajah pias Gia saat ini dengan air mata yang sudah bercucuran membelah pipi putihnya."Bibi, apa mereka sudah pergi?" tanya Gia dengan nada suaranya yang bergetar. Marry yang melihat sekali raut ketakutan di wajah wanita yang ditolongnya segera memeluk Gia erat."Sst, tenanglah Gia. Aku akan menjagamu semampuku, aku akan berusaha menyembunyikanmu disini, tanpa ada yang tau.""Bibi, mengapa kebebasanku direnggut? Mengapa hidup serasa sangat sulit? Apa dosa yang sudah kuperbuat hingga aku diberikan hal seperti ini? Tuhan tak adil, Bi.""Sst, Gia. Percayalah se
Gia meraih ponsel sederhana yang ia beli saat mendapat uang hasil membantu Marry selama lima bulan setelah berhentinya anak buah Alfonzo yang mencarinya saat di Monako.Saat ini, Gia mengedarkan pandangannya mencari titik kemana ia akan melangkah di kota yang sedari kecil ia tinggali namun telah menorehkan luka yang masih belum sembuh untuknya, New York.Wanita itu menenteng tas lusuh yang diberikan Marry, tanpa membawa hal yang penting Gia hanya membawa uang dan ponsel di tasnya. Namun, Gia langsung berjalan menuju tempat Lilia, bahkan untuk menuju apartemen Lilia pun Gia hanya berjalan tanpa menggunakan taxi, ia melupakan kenyataan bahwa ia baru saja melahirkan.Sesampainya di apartemen milik Lilia, Gia mengetuk pintu itu tanpa jeda namun tak ada jawaban atau sahutan dari dalam sana, hal itu semakin membuat Gia kalut. Ia menatap sekitarnya namun tak ada satu orang pun disana. Pikiran buruk mulai bermunculan di otaknya, wanita itu secepat kilat menuju mansion Leonardo untuk memastika
Alfonzo langsung bergegas dan meninggalkan meeting yang sedang berjalan saat mengetahui keadaan istrinya yang konon pingsan di lobby, pria itu segera bergerak dan menuju ke ruangannya untuk bertemu dengan Gia. Tapi sebelum benar-benar memasuki ruangannya, Alfonzo justru bertabrakan dengan France. "France! Apa kau tak bisa melihat dengan benar, huh?!" sentak Alfonzo yang mulai terpancing karena kepanikan yang menderanya."Sig, maaf aku tak bermaksud begitu. Tadi aku berlari karena tau jika Nyonya pingsan dan kau pasti butuh bantuan ku, jadi apa yang bisa aku bantu Sig?" tanya France begitu mengerti kondisi yang sedang berlangsung.Alfonzo mengangguk dan ia menepuk bahu France bangga. "Bagus, sekarang kau ambil flashdisk yang ada pada Gia.""Maksud mu ini, Sig? Aku menemukannya di lobby dan segera membawanya.""Ya benar, sekarang kau menggantikan ku di ruangan meeting. Semua materi ada di dalam flashdisk itu ku harap kau mengerti dengan apa yang harus kau lakukan, France.""Yes Sig." F
Five Years Later ...."Mommy! Kemarin Theo bertemu dengan Gerrardo, dia mendapatkan adik barunya, kapan Mommy akan memberikan aku adik baru seperti Gerrardo? Kata Papà-nya Gerrardo aku bisa meminta adik baru kepada Mommy dan Papà, aku takut pada Papà jadi aku meminta kepadamu, jadi kapan Mom?" tanya Theodore dengan mata yang berbinar. Sedangkan Gia sendiri seakan tak bisa mengatakan banyak hal selain merasa gugup dan juga sedih dengan pertanyaan yang diberikan oleh Theodore. Memang Gia sudah lama mengharapkan kehadiran sang anak kedua setelah kejadian lima tahun yang lalu, Theodore bahkan selalu meminta untuk mendapatkan teman yaitu sang adik, tapi Alfonzo selalu memberikan harapan, dan Gia cukup lelah sebab ia merasa sering dikecewakan. Ia sering terlambat mendapat tamu bulanannya, tapi selalu saja tak seperti apa yang di harapkan. "Theo, maafkan Mommy. Mommy juga tidak tau kapan adik kecil Theodore akan datang tapi mungkin sebentar lagi.""Mommy selalu berkata sebentar lagi terus m
"We have to stop this." Gia tersadar dan ia mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan oleh Alfonzo. Wanita itu menjauhkan tubuhnya dari tubuh Alfonzo masih menggenggam tangan suaminya tersebut."Kau benar, ayo naik lagi." Alfonzo membalas ajakan Gia dengan senyum tipisnya, keduanya segera kembali ke lantai utama dimana kamar Theodore berada.Sesampainya di depan kamar Theodore, Alfonzo menghentikan langkahnya dan menatap Gia. "Aku harus bertemu dengan France untuk membicarakan beberapa hal, tak apa jika aku tinggal?""Tentu saja kenapa aku bermasalah dengan itu?"Alfonzo tersenyum, ia mencium kening Gia sebelum akhirnya pergi meninggalkan wanita itu untuk bertemu dengan France dan membahas mengenai dunia gelapnya. "France!" seru Alfonzo memanggil sang asisten, tak lama yang dipanggil pun akhirnya datang dan berhadapan langsung dengan sang tuan."Ada yang bisa aku lakukan untuk mu, Sig?" tanya France dengan menundukkan kepalanya penuh hormat kepada Alfonzo."Kita ke markas sekarang."
Alfonzo melepaskan pelukannya dari tubuh Gia, ia menatap sang istri dengan penuh cinta lalu menggenggam tangannya erat mengecupnya begitu lembut penuh dengan kasih sayang. "Kita harus kembali ke pesta, sebelum nanti ada yang menyadari ketidakhadiran kita berdua."Gia mengangguk mengerti dengan apa yang di maksud oleh Alfonzo, ia pun segera mendirikan tubuhnya keduanya berjalan beriringan menuju ke taman dan kembali menyambung keceriaan pesta ulang tahun sang anak. Tak lama Leonardo dan Florence datang menghampiri Alfonzo dan juga Gia. "Hei aku sudah mencari kalian dari tadi tapi tak dapat menemukan kalian, dari mana kalian berdua?" tanya Florence penasaran."Well, kami hanya berbicara sesuatu hal di bagian belakang, Flo," jawab Gia diiringi senyum manisnya.Florence tersenyum manis ia mengusap bahu Gia. "Putramu sangat tampan, Gia. Dia menuruni warna mata Alfonzo," ucapnya memuji ketampanan putra Gia."Terimakasih banyak Flo, sama seperti Theodore yang mewarisi warna mata Alfonzo, put
"Mom, where is my birthday present?"Gia tersadar dari lamunannya dan ia segera mengalihkan fokusnya yang semula terpaku pada taman yang ada di depan mansion, ia tau harusnya ia tak mengalihkan fokusnya dari ulang tahun Theodore tapi memang akhir-akhir ini ia selalu saja kehilangan fokusnya tanpa sadar. "Sorry honey, Mommy tak sengaja. Sebentar, Mommy ambilkan spesial untuk mu," ucap Gia seraya mendirikan tubuhnya ia menyentuh kepala Theodore sebelum akhirnya berlalu memasuki mansion meninggalkan para tamu undangan yang tengah berbahagia di ulang tahun Theodore yang ketiga.Sementara di sisi lain Alfonzo bisa merasakan keanehan pada Gia, ia sadar sejak dua bulan yang lalu tepatnya semenjak Gia tau bahwa ia kehilangan bayinya ia berubah secara perlahan menjadi pendiam, Gia sering sekali melamun dan kehilangan fokusnya tapi Alfonzo bisa apa, sudah ribuan kali ia menghibur Gia tapi Gia tak juga bisa move on dari kejadian pahit itu. "Hei, ada apa Al? Kenapa terdiam menatap Gia seperti itu
"NO!!" Gia berteriak sesaat setelah melihat Alfonzo yang masih belum bangun dari simpuhannya tapi tetap di tendang dengan kasar oleh Xavier.Davis tak dapat berbuat banyak, pria itu sibuk membidik musuhnya hingga tak melihat kondisi Alfonzo yang benar-benar sudah berada di titik terendah. Gia menggeram marah saat kedua cekalan di tangannya semakin erat ia menatap kedua anak buah Alfonzo dengan mata merah dan penuh air matanya. "Lepas! Kau ingin Tuanmu mati disana, huh! Kau gila! Lepaskan aku!" sentak Gia tajam.Kedua The Devil itu menundukkan kepalanya ia terlalu patuh terhadap perintah Alfonzo yang akhirnya membuat ia diam tak berkutik dan hanya bisa menjaga Gia tetap aman. "Kami tak bisa lepaskan Nyonya apapun yang terjadi sesuai dengan perintah Tuan," ucap salah satu The Devil yang mencekal lengan Gia.Gia menggelengkan kepalanya. "Dasar bodoh!" sentak Gia.Sementara Alfonzo, pria itu sudah tak bisa lagi untuk fokus. Telinganya berdenging dan pandangannya memburam ia tak bisa melih
"Welcome, Al." Suara berat seseorang terdengar membuat Alfonzo mengalihkan pandangannya yang semula tertuju pada Theodore kini menatap asal suara."Xavier?""Ya, i am," jawab Xavier dengan senyum tipisnya.Alfonzo mengepalkan kedua telapak tangannya erat saat pria itu semakin menodongkan ujung pistolnya di kepala anaknya. "Jangan sakiti dia, Xavier. Atau aku akan menbunuhmu saat ini juga," desis Alfonzo tajam."Nyatanya kau tak bisa melindungi istri dan anakmu, sama seperti istrimu yang dulu."Alfonzo mengetatkan rahangnya lalu mendekati Xavier. "Kau pelakunya? Kau yang membunuh Agatha?!" sentak Alfonzo tajam.Tawa Xavier menggelegar setelah mendengar sentakan dari Alfonzo, pria itu melepaskan ujung pistolnya dari kepala Theodore lalu melemparkan anak itu ke salah satu anak buahnya. "JANGAN SAKITI DIA BRENGSEK!" teriak Alfonzo menahan marah.Xavier menganggukkan kepalanya kemudian mendekati Alfonzo ia menatap pria itu dengan smirk di ujung bibirnya. "Aku tak akan mengincar garis ketur
Gia semakin mengeratkam pelukannya pada Theodore sesaat setelah mendengar bunyi tembakan dari jarak dekat apalagi kini bisa Gia lihat perlahan pintu terbuka sedikit demi sedikit menampilkan sepatu hitam dengan langkah kaki perlahan dari seseorang. Gia paham betul itu bukan Alfonzo oleh karena itu tubuhnya tidak berhenti menggigil. "Hai," sapa orang itu dengan suara rendahnya. Gia semakin mengertakan pelukannya pada Theodore mencoba melindungi anak itu di dalam dekapannya.Tak lama langkah kaki dari beberapa orang terdengar dan kini gerombolan orang terlihat, mereka menatap Gia dan Theodore saling bergantian. "Bring them," ujarnya membuat Gia kalut dan menatap sosok di hadapannya pria itu memakai topi yang menutupi setengah wajahnya hingga Gia tidak terlalu jelas melihat wajah pria itu.Akhirnya pelukan Gia di lepas secara paksa oleh orang-orang tadi, ia berusaha menggapai Theodore kembali tapi orang-orang tadi terlalu kencang meremas tangannya dan Gia tak tau lagi harus bagaimana meny
Alfonzo seakan tersadar dari sisi gelapnya, ia menatap wajah lelah Gia lalu mengalihkan tatapannya menatap punggung Theodore yang bergetar karena menangis saat ini. "Hentikan, kalian membuatnya takut. Tolong biarkan kami pergi dan silahkan saling membunuh aku tak perduli" lirih Gia dengan meremas jas yang Alfonzo pakai."Gia aku tak mendengar mu, maaf," ucap Alfonzo dibalas gelengan pelan dari Gia.Wanita itu membalikkan tubuhnya menatap Maxime kemudian.Plak!"Jika kau datang hanya untuk membuat kerusuhan dan membuat hidupku bertambah sakit, lebih baik kau pergi karena kau berhasil. Dan tolong Max, berhenti mengganggu hidupku dan putraku. Hanya ia yang tersisa diantara harapanku, jangan membuatku bertindak di luar logis saat kau mengambilnya karena aku tak akan izinkan. Pergilah jika kau sudah puas menyiksaku," lirih Gia dengan kesedihan di matanya.Maxime menggelengkan kepalanya tak membenarkan ucapan Gia. "Jangan berkata seperti itu, Gia. Aku tak bermaksud untuk mengacaukan hidupmu