Share

PEMILIK MU

"Dia sudah makan?" tanya Alfonzo dengan nada rendahnya pada salah satu maid dibalas gelengan oleh maid tersebut.

"Siapkan makanan, sekarang!"

"Baik Tuan."

Maid itu beringsut mundur dari hadapan Alfonzo, sedangkan pria dengan tubuh tegap itu mendirikan tubuhnya dan menganggukkan kepalanya kala maid suruhannya kembali membawa nampan berisi makanan untuk Gia. Alfonzo meraih nampan itu dengan satu tangannya lalu menjalankan kakinya menuju kamar Gia.

Pria itu menempelkan ibu jarinya pada alat finger print hingga terdengar bunyi kunci yang terbuka, Alfonzo membuka pintu kamar Gia dengan satu kakinya, ia meletakkan nampan berisi makanan tersebut tepat diatas nakas sementara pandangannya mengedar mencari sosok sang empu kamar.

"Gia?"

"Gia?!" Alfonzo berseru keras ia bahkan membuka paksa pintu kamar mandi dan menemukan tubuh Gia yang menggigil di bawah guyuran shower.

"APA YANG KAU LAKUKAN?!" Alfonzo berteriak seraya mendesis tajam pada Gia yang justru memundurkan tubuhnya seolah menjauhi langkah Alfonzo yang mulai memasuki kamar mandi dengan membawa dua kain bathrobe sekaligus.

"Lepas," lirih Gia yang di dengar oleh Alfonzo, namun pria itu sama sekali tak mempedulikan ucapan Gia.

Alfonzo memakaikan bathrobe itu pada tubuh Gia kemudian mendirikan tubuh lemas wanita itu dan menuntunnya menuju ranjang.

"No! Aku akan berganti sendiri," larang Gia kala Alfonzo akan membuka kaitan kancing kemejanya.

Gia memegang lengan Alfonzo dengan jarinya yang dingin, pria itu menatap manik hijau Gia yang entah mengapa mampu membuat Alfonzo merinding dibuatnya.

"Gantilah bajumu, semua baju sudah aku siapkan di dalam walk in closet," ujar Alfonzo seraya berdehem pelan, sungguh ia sesak menatap manik redup Gia.

Alfonzo memundurkan langkah kakinya, pria itu menatap Gia sekilas kemudian meninggalkannya di dalam kamar besar miliknya.

Sementara di dalam kamar, Gia menangisi kehidupannya namun ia menatap ke atas seakan ia bisa menatap wajah sang ibu yang selalu menguatkannya, ia meneguhkan hatinya untuk bisa hidup berdampingan bersama pria yang sudah membelinya, Gia akan berusaha dengan ikhlas menerima Alfonzo sebagai pemiliknya, Gia akan berusaha dan beradaptasi untuk menerima kehadiran Alfonzo yang terlalu tiba-tiba dalam hidupnya.

Wanita itu berjalan menuju walk in closet kemudian membuka salah satu lemari di sana yang ternyata berisi berbagai macam pakaian wanita, mulai dari underwear sampai outer semuanya tersedia bahkan beberapa hiasan aksesoris juga tertata rapih.

Tangannya meraih salah satu dress selutut dengan warna biru laut dan ia pun mengganti bajunya dengan dress tersebut, ia menyanggul rambutnya ke atas.

Tak seberapa lama pintu kembali terbuka menimbulkan bunyi decitan yang cukup keras namun Gia sangat paham siapa si empunya karena aroma kayu-kayuan begitu tercium di indra penciumannya.

"Gia?" panggil Alfonzo dengan suara beratnya, pria itu mengetuk pintu walk in closet pelan dan disahuti oleh Gia.

"Ya, aku di dalam."

"Cepat keluar dan makanlah, malam ini temani aku ke pesta."

"Apa?!"

"Jangan berteriak, santai saja."

Gia keluar dari walk in closet dan menatap Alfonzo dari atas sampai bawah, dasi kupu-kupu yang terlepas dan kemeja putih polosnya berhasil membuat Gia terhenyak seketika, bayangan tentang Leonardo kembali menyergapnya namun wanita itu dengan cepat menguasai dirinya sendiri.

"Ekhm, ya kenapa?"

"Duduklah," ujar Alfonzo dengan memasukkan satu tangannya di saku celana.

Gia menuruti ucapan Alfonzo dan mendudukkan tubuhnya tepat di sofa yang berhadapan dengan Alfonzo yang tengah memamerkan wajah datar plus dinginnya.

"Kenapa?" Gia mengulang pertanyaannya, jujur saja ia harap ia salah dengar dengan kata 'pesta' yang diucapkan Alfonzo. Hell! Dia baru pertama keli ke Roma dan ia tak mengerti bahasa Italia!

Alfonzo mendudukkan tubuhnya di sofa single yang menghadap tempat tidur yang sudah ditempati oleh Gia. Pria itu meraih sebuah dokumen kemudian memberikannya pada Gia.

"Itu adalah biodatamu, kau dan semua orang yang kau sayangi berada di genggamanku, katakan aku iblis karena mengurungmu di mansion besarku, namun harus kau tau nyatanya kau sudah memiliki pemilik, dan itu adalah aku, I’m your owner."

"Aku mengerti," ucap Gia lemas, mau bagaimana lagi bukan? Nyatanya apa yang diucapkan oleh Alfonzo tak ada yang salah, Gia saat ini sudah milik pria itu dan seberapa banyaknya cara Gia untuk lepas dari Alfonzo lagi dan lagi ia akan kalah.

"Jadi aku harus apa?" tanya Gia lemas.

"Dengarkan aku, sekarang makanlah dan desainer akan datang untuk mendandanimu, kita akan ke ulang tahun perusahaan milik klien ku."

Gia menghembuskan napasnya pelan kemudian mengangguk setuju. "Baiklah."

"Makanlah."

Gia memakan makanan yang sudah tersedia tepat di tengah meja, wanita itu memakan risotto dengan sesekali melirik pada Alfonzo yang terlihat sekali tengah mengawasinya.

"Bisakah kau hentikan menatapku seperti itu? Aku risih dengan tatapanmu, tampak sekali tak sopan," ucap Gia dengan mengunyah makanannya.

Alfonzo tertawa pelan kala tebakan wanita itu tepat sasaran, ia menyatukan tangannya dan menatap Gia tajam.

"Katakan siapa Artha?"

Gia membeku ditempatnya kala nama itu disebut oleh Alfonzo, ia menatap Alfonzo takut-takut kemudian menggelengkan kepalanya pelan.

"Kau pemilikku bukan? Kalau begitu bisakah kita jalani hidup kita untuk saat ini? Aku tak ingin membahas masa lalu. Lagi pula tak ada satu hal pun dari masa lalu ku yang ingin aku bagi denganmu, karena kau hanya seseorang yang datang tanpa diundang di dalam hidupku, dan tentunya kau tak aku harapkan sama sekali," ucap Gia berani menatap manik Alfonzo tajam, sungguh menghadapi sifat dingin Leonardo berhasil melatih Gia menjadi wanita yang bisa menaklukkan pria dingin sejenis Leonardo ataupun Alfonzo sekalipun.

"Ya, baiklah. Lanjutkan makanmu," Alfonzo mendirikan tubuhnya ia pun meraih ponselnya kemudian menggeser ikon hijau kala salah satu orang kepercayaannya di The Devil menghubunginya.

"Ya, katakan ada apa?"

"Begini Tuan, beberapa pengirim senapan untuk kita berhenti secara mendadak. Aku tak tau ada masalah apa, tapi yang jelas kita kekurangan senjata."

"Aku kesana sekarang."

"Baik Tuan."

Alfonzo melangkahkan kakinya menjauhi posisi Gia dan membuka pintu kamar Gia dan mengunci pintu wanita itu lagi namun sebelum itu ia samar-samar mendengar teriakan Gia.

"No!! JANGAN KUNCI LAGI! KU MOHON AKU INGIN BEBAS SETIDAKNYA DARI KAMAR INI, AKU INGIN HIDUP SELAYAKNYA MANUSIA, ALFONZO, AKU INGIN HIDUP SEPERTI MANUSIA BUKAN HEWAN PELIHARAAN MU! YA WALAUPUN KAU SUDAH MEMBELIKU TAPI AKU TETAP MANUSIA YANG MEMILIKI KEBEBASAN!" teriak Gia lantang seraya menggedor pintu.

Alfonzo memutar tubuhnya dan menatap pintu yang sudah ia kunci, pria itu kembali membukanya dan menemukan Gia berdiri dengan wajah merahnya, jelas sekali kemarahan berada di manik hijau wanita itu.

"Kenapa kau berteriak?"

"Aku perlu kebebasan Al, walaupun kau mengurungku di mansion mu tapi aku ingin hidup, aku tak ingin menghabiskan sisa hidupku di kamar ini."

"Apa yang akan kau berikan padaku jika aku menuruti kemauanmu?"

"Kau memerasku?" tuduh Gia cepat namun pria itu justru mengusap dagunya pelan sekali seraya berjalan hingga berjarak lima jengkal saja dari tempat berdiri Gia saat ini.

"Aku tak memeras mu Gia, kita hanya bertukar. Kau ingin kebebasan lalu apa yang kau tawarkan untuk mendapatkan kebebasan itu?" tanya Alfonzo dengan smirk tipisnya.

"Aku ... "

"Kau tak bisa memberikan apapun untukku? Maka kau tak akan dapatkan kebebasanmu."

"No!"

"Katakan apa yang kau berikan untukku?"

Wanita itu menatap Alfonzo kemudian menghela napasnya lembut.

"Aku memberikan apa yang menjadi hak mu, dan aku memberikan apa yang menjadi tujuanmu membeliku, kau bisa melakukan apapun pada tubuhku, aku tak akan menolakmu. Kita akan hidup selayaknya orang yang hanya mengenal di kamar ini, namun diluar itu kau dan aku hidup seakan kita tak mengenal, kau bisa mengatur ku apabila aku sudah melewati batasanku, sedangkan aku bisa menegurmu apabila kau pula meleati batasanmu, bagaimana?"

"Menarik, baiklah aku setuju," ujar Alfonzo dibalas anggukan pelan dari Gia.

Alfonzo mendekati lagi tubuh Gia hingga tubuh itu terkurung tepat di antara tembok dan kedua lengan Alfonzo, tangan besar Alfonzo meraih sisi wajah Gia kemudian menciumnya lembut.

"Kau tampak berbeda Gia, kau sangat menggoda dan menantang. Aku menyukaimu," bisik Alfonzo tepat di telinga kanan Gia, tubuh wanita itu bergetar hebat deru napas Alfonzo sangat hangat menerpa tengkuknya yang tak tertutup.

"Bersiaplah." Alfonzo kembali keluar dari kamar Gia namun pria itu tak menutup atau menguncinya lagi, ia benar-benar menepati ucapannya.

Gia bernapas dengan lega, setidaknya ia bisa hidup dengan layak meskipun kini ia benar-benar menjadi jalang, namun ia tak memberikan tubuhnya pada pria lain selain Alfonzo, pemiliknya.

***

The Devil's Headquarters, Roma

"France!"

"Yes Sir."

"Apa masalahnya?" tanya Alfonzo seraya melepaskan kancing jasnya dan duduk tepat di kursi bulu berwarna hitam pekat di tengah ruangannya.

"Gudang senjata kita di Sisilia sudah mulai kekurangan senjata Tuan, banyak dari pemasok senjata kita berhenti bekerja entah karena alasan apa, tapi yang jelas mereka memutus kontrak sepihak."

"Teliti dan laporkan segera padaku mengapa mereka bisa melakukan hal ini pada Renzuis."

"Baik Sir."

"Ada lagi France?" tanya Alfonzo kembali dengan menyesap cerutunya.

France mengangguk lalu meraih peta Roma dan membuka peta tersebut tepat di depan Alfonzo dan menunjuk titik merah yang berlokasi sekitar 7 kilometer dari markas The Devil.

"Seseorang menawarkan senjatanya pada kita dan gudang senjatanya berada di sini Tuan, kita bisa memesan senjatanya jika anda mengizinkan. Semua keputusan berada di tangan anda, Sir."

"Jenisnya?"

"150 senapan, 75 granat yang sudah dimodifikasi, 50 revolver dan 15 hulu ledak."

"Pasarnya?"

"Berpusat di Asia namun beberapa gudangnya berada di Eropa."

"Siapa namanya?"

"Thomas Franscholin."

"Atur pertemuanku dengannya, aku ingin bicara padanya sekarang."

"Tapi Sir."

"Lakukan France!"

"Yes Sir."

France membalikkan tubuhnya dan menghubungi Thomas, hingga akhirnya ia kembali menatap Alfonzo.

"Mr. Franscholin bersedia bertemu dengan anda sekarang Tuan, ia mengadakan pertemuannya di gudangnya."

"Siapkan kendaraan!"

"Baik."

Alfonzo melepaskan jas hitamnya menyisahkan turtleneck hitam yang melekat di tubuhnya, pria itu memasuki mobil hitam yang dikendarai oleh France dan dikawal oleh lima mobil bodyguardnya, mereka menuju gudang Thomas.

Sesampainya di gedung Thomas, Alfonzo dan beberapa bodyguard memasuki gedung yang terlihat cukup tua namun siapa sangka di dalamnya lengkap dengan rentetan senapan yang berjejer rapih di dalam etalase.

"Mr. Renzuis."

Alfonzo menatap asal suara dimana pria yang tampak gagah dengan balutan jas hitamnya berjalan menuju tempat Alfonzo berada.

"Piacere di conoscerti, Sig. Renzuis."

"Sì, piacere di conoscerti anche Mr. Franscholin."

"I heard you have a decent gun for us Mr. Franscholin, I think I'm quite interested in your weapons according to my assistant, I can see your collection Mr. Feanscholin?" ucap Alfonzo dengan senyum miringnya.

"Sure, kami memiliki beberapa senjata yang dimodifikasi hingga berbeda dengan model aslinya, mari saya tunjukkan," ucap Thomas seraya berjalan menuju sisi kiri dari area senapan.

"Ini adalah revolver dengan peluru yang bisa meledak jika sudah mengenai sasaran, anda bisa gunakan ini untuk membunuh musuh dalam satu kali tembakan," ucap Thomas seraya menunjuk revolver hitam dan memberikannya pada Alfonzo, pria itu memeriksa dan dengan sekali tembakan ia mencobanya seperti yang Thomas katakan, dan benar saja pot yang menjadi sasaran Alfonzo sudah hancur berkeping-keping.

"Aku menginginkannya tiga peti, satu peti masing-masing berisi 7 revolver apa kau bersedia Thomas?"

"Sure, aku dengan senang hati. Mari aku beri kejutan lagi."

"Tentu."

Thomas memberikan senapan berwarna coklat pada Alfonzo dan pria itu pun memeriksa senapan yang diberikan Thomas.

"Senapan itu adalah senapan hasil modifikasi kami juga Mr. Renzuis, sistemnya hampir sama dengan revolver tadi hanya saja pelurunya lebih banyak dan jika anda gunakan dari jarak yang cukup jauh tapi saya bisa pastikan sasaran anda akan meledak dalam waktu dua sampai tiga menit setelah tembakan mengenai sasaran."

"Aku tertarik aku ingin lima peti, dari jenis yang sama, Thomas."

"Baik, ada lagi?"

"No, kurasa ini sudah cukup kami akan kembali berkunjung apabila kami membutuhkan senjata lagi Mr. Franscholin."

"Tentu aku akan menerimamu dengan senang hati."

"Kalau begitu aku permisi."

"Ya, senang berbisnis dengan anda Mr. Renzuis."

"Ya, aku akan kirimkan uangku setelah barangmu aku dapatkan."

"Tentu."

Alfonzo berjalan keluar dari gudang milik Thomas kemudian memasuki mobil mereka masing-masing, Alfonzo sesekali menatap jalanan kota Roma yang penuh dan sesak ia hanya mencoba mencerna setiap permasalahan yang ia hadapi semenjak bertemu dengan Gia, tak dapat ia pungkiri perlahan sisi dirinya mulai berubah dan ia pun tak mengerti ada apa dengan dirinya kini.

Alfonzo kembali menatap France dan berdehem pelan. "France, kembali ke mansion dan siapkan beberapa bodyguard untuk menyiapkan pengawal untukku malam ini."

"Baik Tuan."

Alfonzo menghela napasnya kala mobil yang ia tumpangi berhenti tepat di depan mansionnya. Pria itu membuka pintu mobilnya dan berjalan dengan tegas menuju mansionnya, maniknya mengedar dan ia pun melangkahkan kakinya menuju kamar Gia, pria itu membuka pintu kamar Gia dan menemukan wanita itu dibalut dengan gaun merah sepaha dengan renda di bagian depannya, entah mengapa napas Alfonzo tercekat menatap Gia saat ini, bahkan pria itu lupa cara bernapas saat menatap wajah Gia yang dipoles make up yang tak terlalu menor namun menggoda.

"She's very beautiful!"

••••

TO BE CONTINUED...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status