Share

The Deepest Emotions
The Deepest Emotions
Penulis: D. Maulana

Prologue

Penulis: D. Maulana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sepertinya hari ini masih akan menjadi hari yang sulit bagi seorang Noah Cassenn. Noah seolah - olah bermimpi semalam dan berprediksi mimpi tersebut akan menjadi De Javu esok hari.

Entah dengan pemikiran seperti Sherlock Holmes yang mampu memecahkan segala jenis teka-teki atau hanya sekedar titisan Dewa Algea yang membawa kesialan. Yang pasti kelak akan menjadi hari buruk yang akan terus berlanjut hingga nyawanya dicabut oleh Sang Osiris.

***

Noah Cassenn merupakan seorang mahasiswa yang tinggal di sebuah kota bernama Kakanj, di Bosnia – Herzegovina. Pemuda itu merupakan anak tunggal yang tinggal bersama ibunya yang bekerja sebagai buruh di pabrik pupuk.

“Noah.. kau pikir sudah jam berapa sekarang? Kau ingin dosenmu memanggilku lagi hari ini?!”

Noah turun dari lantai dua dengan langkah diseret dan muka yang lusuh. Tampaknya hari ini tidak ada yang berbeda dengan Noah karena memang seperti itulah kondisi sehari-hari anak 19 tahun itu.

“Ibu, tidakkah Ibu lihat topi warna hijau milikku? Aku tidak ingin rambut acak-acakanku ini mengganggu kuliah.”

Ibu Noah kemudian melemparkan sebuah topi yang diambilnya dari dalam mesin cuci tepat ke arah wajah Noah.

“Terima kasih Ibu. Aku pergi dulu. Jangan lupa tinggalkan makan malam karena sepertinya hari ini aku akan pulang malam.”

Noah melangkahkan kakinya meninggalkan rumah dan menuju Universitas Kakanj. Dia berjalan sambil menunduk seolah mencoba tidak terlihat padahal badan lusuh itu sendiri menjadi perhatian banyak orang, apalagi serangga.

“Hei, Noah... kau mau kemana hari ini? Lebih baik kau pergi ke tempat yang seharusnya sampai aku menyuruhmu selesai," ujar seorang pria yang menunjuk gundukan sampah di sampingnya.

Noah hanya terdiam dan melanjutkan perjalanan sambil mengumpat di dalam hati karena sebenarnya dia memang takut berurusan dengan bocah preman bernama Besim Borya.

“Bangsat....”

Dengan sifat Noah yang pendiam dan lemah bahkan di usianya saat ini, mengakibatkan dirinya menjadi sasaran empuk sebagai "korban perundungan" oleh Besim.

Besim yang berarti jiwa yang bahagia dan Borya yang berarti peperangan atau pertarungan, dapat dikatakan cocok diberikan kepada seorang preman yang bahagia saat merundung orang lain.

“Noah, kemarilah. Aku ingin tahu kalau aku memukulmu apakah ayahmu akan marah dan memukulku balik? Ha ha.”

Besim dengan tertawa lepas mengejek ayah Noah yang kini sudah tiada karena kecelakaan saat bekerja. Noah berpikir kejadian yang menimpa ayahnya adalah suatu hal yang sangat konyol untuk dikatakan sebagai kecelakaan ketika seorang ilmuwan dipaksa bekerja dan meninggalkan keluarganya selama bertahun – tahun demi menciptakan sebuah resep obat yang mitosnya dapat mengubah kondisi dunia saat ini.

“Uhh!”

Noah menggeram sambil menatap tajam ke arah Besim.

“Mau apa Kau bangs*t? Kau ingin cari mati, hah?”

Besim mengumpat dan kemudian meninggalkan Noah yang terdiam di depan kampus menjadi tontonan mahasiswa lain.

Perkuliahan dimulai seperti biasa, namun Noah tidak dapat fokus menyimak karena kesal dengan perkataan Besim soal ayahnya.

“Ah. Andai saja aku lebih kuat. Anak berandalan itu pasti sudah kuhabisi.”

Noah menggerutu di dalam hati sambil menghentakkan pena yang ada di tangannya. Semakin lama hentakan pena itu semakin nyaring saja.

Tiba – tiba sebuah spidol melayang ke wajah Noah dengan sangat cepat.

Ctakk!

“Hei, Tuan Cassenn. Sepertinya kau sedang latihan perkusi ya? Apakah kuliahku saat ini mengganggu latihanmu?”

Profesor mengomel sambil menunjuk dahi Noah dengan spidol lain yang dipegangnya.

“Daripada aku mengganggumu latihan, lebih baik kau keluar dari kelasku sekarang juga!”

Noah hanya terdiam dan berdiri, kemudian meninggalkan kelas dengan wajah tertunduk. Dia berjalan keluar sambil mendengar bisikan kasar dan merendahkan dari mahasiswa lain yang hadir di kelas pada saat itu.

“Ahh! Apakah hidupku separah ini? Apa lebih baik aku menghilang saja dari sini?”

Loker ditendang dengan kasar, dan makian tidak berhenti keluar dari mulut Noah. Apa yang dirasakannya selama ini hanya menambah tekanan batin yang ada pada dirinya semenjak Noah mendengar bahwa ayahnya meninggal dunia saat usianya masuk 10 tahun.

Noah pun pergi ke taman untuk menenangkan diri. Tetapi, bukannya tenang, dia justru menemui masalah lain lagi. Noah bertemu dengan Besim yang bolos kuliah bersama temannya.

“Ahh... sialan!”

Noah dan Besim sempat bertatapan seolah mata Noah memang tidak dapat lari dari pandangan menghina Besim dan teman – temannya itu. Saat itu Noah seketika sadar bahwa hari ini memang seperti biasanya, tidak ada yang berubah sama sekali.

“Hei, anak yatim... kesini kau!”

Besim memanggil Noah dengan nada merendahkan sedangkan Noah mau tidak mau menghampiri bocah preman itu.

Noah, Besim, dan tiga orang temannya pergi ke sudut sepi dekat taman. Besim pun menyuruh dua temannya itu untuk menunggu di depan memperhatikan keadaan sekitar.

Buagh!

Sebuah tinjuan keras diterima Noah dari kepalan tangan Besim yang wajahnya tampak kesal oleh sesuatu.

“Anak sialan. Aku barusan menyatakan perasaanku kepada Vilma, tapi dia menolakku. Aku jadi kesal sekali sekarang.”

Buagh!

Pukulan itu semakin kuat saja sehingga Noah tidak sanggup lagi menahannya. Noah sendiri tidak kenal siapa itu Vilma dan apa hubungannya makhluk bernama Vilma itu dengan bogem mentah yang ditujukan padanya barusan.

Plak!

“Melihatmu saja sudah membuatku kesal. Jadi aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk menghajarmu. Haha.”

Besim semakin menjadi menampar dan meninju wajah dan perut Noah. Pandangan Noah perlahan semakin buram, seperti hampir tidak sadarkan diri lagi. Kemudian suara pukulan seperti sesaat berhenti terdengar. Ada sekelebat bayangan di depan Noah seolah melindungi dirinya yang sudah terkulai lemah. Dewi? Tidak mungkin.

Terdengar seperti ada percakapan dan perdebatan, namun Noah sudah tidak sanggup lagi memperhatikan karena dirinya tidak sadarkan diri.

“Hei, Noah. Mau sampai kapan kau akan terbaring disini? Cepatlah bangun!”

Samar – samar Noah mendengar suara wanita menyebut namanya. Pada awalnya Dia tidak percaya, namun lama kelamaan suara tersebut semakin jelas terdengar. Noah pun membuka matanya pelan-pelan.

Dia melihat siluet wanita dengan paparan cahaya matahari di belakangnya. Seperti adegan malaikat yang siap mencabut nyawa tokoh utama di dalam film. Ada-ada saja.

“Si-siapa Kau?”

Noah terbangun sambil memicingkan matanya karena terik matahari saat itu. Wanita itu tampak terkejut dengan pertanyaan Noah.

“Kau tidak mengenalku? Serius?”

“Hah? Memang kau siapa? Apa kontribusimu dalam hidupku sampai aku harus mengenal semua tentangmu?”

Wanita itu tertegun sesaat dan kemudian tertawa dengan perkataan Noah saat itu.

Padahal Noah bermaksud menghinanya. Baginya, wanita tidak dikenal itu memang tidak berkontribusi apa – apa. Bahkan Besim saja masih berkontribusi dalam hidupnya, yaitu merundung dirinya. Ha ha, bahkan Noah sendiri tidak tertawa dengan lelucon yang dibuatnya.

“Baiklah. Sekarang cepat bangun dari tidurmu! He he.”

Melihat senyuman manis wanita itu, seketika leher Noah bergetar.

“Seperti inikah rasanya jijik melihat tingkah seseorang?”

Kemudian wanita tersebut menyodorkan tangannya untuk membantu Noah berdiri. Noah pun menggapai tangan wanita itu dan kemudian bangkit dari posisi duduknya.

“Aku Noah. Seperti yang kau lihat barusan, aku adalah orang paling jagoan di kampus ini.”

Perempuan tidak dikenal itupun tertawa lepas dengan perkenalan Noah. Noah hanya terdiam dan menatap sinis seolah keberadaan wanita itu adalah calon sumber dari masalah baru yang akan menimpa hidupnya.

“Hei. Apa kau tidak masuk kelas sekarang? Bukankah saat ini kuliah sedang berlangsung?”

Wanita itupun hanya tersenyum tipis dan mengangkat alisnya yang tebal, kemudian berjalan sejajar dengan Noah.

“Mungkin aku ingin sesekali bolos kuliah dan berbicara denganmu. Apakah kau tidak mau menemaniku?”

Leher Noah semakin bergetar mendengar perkataan itu. Saat itu Noah sudah yakin bahwa wanita ini akan menjadi sumber masalah baru.

“Aku sedang tidak ingin berbicara dengan siapa – siapa. Kau pergilah saja”

“Ahh, Kau jahat sekali, Noah. Sepertinya tidak akan ada perempuan yang tertarik denganmu kalau kau jahat seperti itu.”

Wanita itupun mendengus kesal dengan perkataan Noah. Dirinya tidak pernah berpikir untuk menarik perhatian wanita. Baginya, orang disekitarnya terkecuali ibunya hanyalah sebagai penambah masalah bagi dirinya dan orang tersebut harus dihindari. Dia hanya diam mendengar celotehan wanita yang berada disampingnya itu hingga tidak terasa hari mulai malam.

“Baiklah, sampai disini dulu yaa perbincangan kita. Akan aku lanjutkan ceritaku besok.”

“Oke. Kalau begitu aku akan berusaha sekuat tenaga untuk menghindarimu. Tunggu saja besok.”

Wanita itu justru tertawa dengan perkataan dingin Noah. Noah masih dengan wajah datarnya melanjutkan perjalan keluar kampus.

“Sampai jumpa, Noah. Sampai ketemu besok.”

Mereka berdua pun berpisah pada malam itu, tepatnya pukul tujuh. Malam tampak sedikit aneh. Padahal masih pukul tujuh, namun orang – orang sudah jarang berlalu lalang di jalanan. Apakah mereka lelah bekerja dan meliburkan diri serentak? Sepertinya malam ini justru lebih dingin padahal masih musim semi. Noah berpikir kalau ada sesuatu yang aneh sedang membuntuti dirinya.

“Haaah. Apakah akan ada masalah lain lagi? Sepertinya hari ini aku menjadi lebih sibuk dibanding orang – orang di jalanan ini. Ha ha.”

Namun, seketika wajah Noah menjadi serius.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Zilla
Noah lamak2 nntik kamu juga cinta sama vilma wkwkkw
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • The Deepest Emotions   Chapter I - Penculikan

    Noah merasakan dirinya sedang diikuti segerombolan orang. Dan benar saja, sekelompok pria berjas yang mengenakan topeng putih tanpa mimik wajah terlihat sedang menuju ke arah Noah. “Apa – apaan orang itu! Apakah mereka sedang ikut lomba Cosplay dan kalah? Lalu kenapa aku yang mereka kejar?” Noah sempat menggerutu sembari menjauh dari gerombolan pria tersebut. Namun, tiba-tiba percobaan melarikan diri Noah terhenti karena dia kini didekap oleh pria bertopeng lain yang mengejar dari arah lain. “Hei. Kenapa kalian melakukan ini? Apalagi salahku, sialan?” Kemudian, Noah dilempar masuk ke dalam bagasi belakang mobil dengan keadaan tangan serta kaki diikat erat, dan dibawa entah kemana. Setelah sejam lamanya berada di dalam mobil, Noah mencoba melihat keadaan sekitar. Sekilas Noah melihat sebuah papan nama toko yang bertuliskan Papratno, sebuah Desa yang masih terletak di Kota Madya Kakanj. Noah masih merasa kebingungan sekaligus sedikit lega mengetahui Dia tidak dibawa terlalu jauh. “H

  • The Deepest Emotions   Chapter II - Kekuatan Tidak Dikenal

    Suara yang berat itu menandakan keberadaan Besim yang sepertinya sudah diprediksi oleh Noah. Dia sudah sangat paham apa yang akan terjadi selanjutnya. Kali ini Noah mencoba untuk tetap tenang dan diam walau tangan dan kakinya sudah tidak lagi kuat menopang tubuhnya. “Noah. Sepertinya kau memang cari mati ya? Kupikir Vilma menolakku karena dia sedang tidak ingin pacaran. Tapi lihatlah, kini kau mulai dekat-dekat dengannya.” Saat Noah hendak memutus celotehan Besim, Vilma tiba – tiba berteriak dan menampar Besim. Suara tamparan itu terdengar cukup menyakitkan di telinga Noah dan orang – orang di sekitar yang sedang memperhatikan pertengkaran mereka. “Apa lagi maumu, preman? Apa kau sudah lupa ya, aku menolakmu jelas-jelas kemarin. Tapi kau masih saja menggangguku, bahkan mengganggu temanku yang tidak tahu apa-apa. Lebih baik kau-“ “Diam kau... dasar perempuan kotor!! Saat ini aku tidak berurusan denganmu.” Besim membentak Vilma dengan nada yang sangat keras ditambah suaranya yang be

  • The Deepest Emotions   Chapter III - Pabrik Terbengkalai

    Tidak terasa saat itu hari mulai sore, Noah dan Vilma akhirnya tiba di pabrik terbengkalai tempat Noah diculik. Mereka pergi dengan hanya berjalan kaki karena takut dicurigai jika membawa kendaraan, maka dari itu mereka mencoba sebisa mungkin agar tidak ketahuan oleh orang sekitar atau pihak yang menjaga pabrik tersebut. lagi pula jarak ke Papratno juga tidak terlalu jauh, namun daerah di sana cukup sepi sehingga mereka perlu berhati – hati terlebih lagi di kawasan pabrik tersebut. “Noah, sebenarnya kita menuju ke tempat seperti apa? Dan mengapa kau hanya diam daritadi?” Vilma mulai mengeluh karena dia sendiri tidak tahu apa tujuan Noah pergi ke pabrik tidak terpakai tersebut. Vilma menyadari bahwa perlahan Noah mulai berubah. Biasanya dia tidak akan membuang waktu seperti ini hanya untuk pergi ke pabrik obat yang sudah ditinggalkan 9 tahun lamanya. “Sst, kecilkan suaramu. Bukankah aku sudah bilang jangan mengikutiku, tetapi kau malah ikut dan kini protes tentang tujuan kita?” “Buk

  • The Deepest Emotions   Chapter IV - Wanita

    Sudah sekitar lima menit mereka berjalan, Vilma yang sedari tadi tidak berbicara sama sekali kini mulai berani mengeluarkan suara. “Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Apa yang telah kau lakukan?” Suara Vilma terdengar bergetar seolah ingin menangis. Noah hanya terdiam dan menatap kosong ke arah wanita itu. Dia tidak ingin memberikan penjelasan apa-apa karena sekarang berurusan dengan dirinya adalah sebuah percobaan yang mengancam nyawa.“Kau tidak ingin menjelaskan apa – apa kepadaku? Setelah apa yang terjadi pada kita barusan, kita tidak tau hal buruk apa yang akan terjadi jika kita tertangkap tadi. Tapi kau masih diam seolah tidak terjadi apa – apa?!” Bentakan itu masih belum mampu untuk membuat Noah membuka mulutnya. Vilma sadar Noah sengaja diam agar dia tidak lagi terlibat dalam urusan Noah. Noah yang hanya membisu dengan tatapan kosongnya, mulai mengubah raut mukanya. Kesal, marah, dan lelah bercampur aduk di dalam emosi yang sudah tidak dapat diartikan lagi. “Sekarang kau

  • The Deepest Emotions   Chapter V - Tragedi

    Dengan kasarnya, orang itu menarik dan melempar tubuh Noah ke aspal. Orang itu adalah Besim yang sedang bersama 3 orang pengikut setianya. “Halo bung. Tampaknya kau sedang senang hari ini.” Nada meremehkan khas preman itu tidak digubris oleh Noah. Dia hanya diam dan segera bangun dari posisi duduknya. “Kau mengabaikanku ya? Lihatlah kali ini kau akan kuhabisi. Cepat ikut!” Besim kembali menarik kerah baju Noah dengan kasar dan membawa dia ke gang kosong di samping supermarket. Besim membuang kantung plastik yang digenggam oleh Noah dan kemudian membuka jaketnya. “Lawan aku. Kita lakukan duel yang adil dan tenang saja soal anak buahku.” Noah langsung mengetahui tujuan Besim mengajak duel adalah tidak ingin malu kalau dia sudah dilempar dengan enteng oleh dirinya kemarin. Besim tentu tidak akan memberikan perlawanan sepihak setelah terjadi hal memalukan yang menimpa dirinya. Besim bersiap – siap melayangkan pukulan. Noah pun menc

  • The Deepest Emotions   Chapter VI - Crvena Kapa

    Ternyata orang itu adalah pria kurus yang pernah Noah temui di pabrik terbengkalai. Pria itu tersenyum licik, seolah membayangkan hal yang menyenangkan. Noah menatap fokus pria itu sembari berjalan mundur, mencoba menjaga jarak untuk menghindari hal yang bisa saja mengancam nyawanya. “Bagaimana kau bisa tahu itu rumahku? Apa sebenarnya maumu?” Noah mencoba mengorek informasi darinya. Namun, pria itu hanya mendongak dan tertawa kecil. “Ha ha. Sudah kubilang barusan, penyebabnya adalah barang kecil yang kau pegang itu.” Pria misterius itu mengarahkan jari telunjuknya ke USB Drive yang digenggam erat oleh Noah. Noah masih kebingungan dengan maksud pria tersebut. Pria itu hanya tersenyum melihat wajah polos Noah. “USB Drive itu sempat kau akses melalui komputermu. Begitu barang itu terkoneksi dengan alat elektronik apapun, kami dengan sangat mudah melacak keberadaannya. Itulah kenapa kita bertemu di pabrik terbengkalai kemarin. Karena lokasi terakhir b

  • The Deepest Emotions   Chapter VII - Badai

    Siang itu tampak mendung dan mulai dingin. Mereka berdua hanya saling bertatapan satu sama lain. Noah yang curiga dengan identitas pria itu kini mulai berani membuka mulutnya. “Siapa kau? Bagaimana kau bisa tahu namaku?” Pria itu hanya senyap tidak menghiraukan pertanyaan yang Noah lemparkan kepadanya. Suasana yang hening ditambah hawa yang dingin menandakan badai akan segera tiba. Hanya suara gemuruh petir yang sesekali memecah keheningan di tempat itu. “Tuan, sepertinya kata – kataku sudah cukup jelas untuk bisa kau jawab sekarang.” Noah mulai kesal melihat wajah pria itu. “Duduklah!” Pria itu berjalan menuju sebuah etalase di belakangnya. Dia mengambil secarik kertas dan sebuah foto dari dalam laci etalase tersebut. Kemudian pria itu berjalan pelan menghampiri Noah yang baru saja duduk dan melemparkan foto yang dipegangnya ke atas meja di depan Noah. “Kau sangat mirip dengannya.” Pria itu menunjuk seseorang dari foto tersebut. Sos

  • The Deepest Emotions   Chapter VIII - Latihan

    Borris baru saja keluar dari ruang bawah tanah. Dia membawa beberapa koper yang berisikan senjata api di dalamnya. Noah bertanya – tanya apa hubungan Borris dengan Vilma.“Apa kau mengenal wanita yang keluar dari tempat ini barusan?”“Maksudmu Nona Hondress? Ayahnya adalah seorang CEO perusahaan kecantikan terkemuka di ibukota sekaligus pelanggan tetap toko ini. Putri nya baru saja memesan beberapa senjata api titipan ayahnya itu.”Noah tampak tidak terkejut begitu mendengar penjelasan Borris. Sifat yang manja, kulit yang terawat dan pakaian yang tampak mahal itu sudah menjelaskan bahwa wanita berasal dari keluarga yang kaya. Bahkan jika orang tua nya tinggal di ibukota, sangat memungkinkan kalau Vilma tinggal sendiri di rumah besar nya itu.“Tapi untuk apa perusahaan kecantikan memesan senjata ilegal darimu?”“Kau tidak perlu tahu itu.”Noah hanya terdiam. Dia sudah cukup bersyukur menge

Bab terbaru

  • The Deepest Emotions   Chapter XL - Pengkhianatan (2)

    Perawat mengambil beberapa botol kosong di atas meja pasien yang semuanya merupakan prajurit perang atau pengintaian, kecuali Noah. Dilihatnya botol kaca berwarna cokelat itu tampak seperti botol minuman keras yang dijual di toko swalayan.“Kelompok yang membuatmu koma waktu itu ... datang ke tempat ini,” bisik Noah.“Yaa ... aku sudah tahu itu. Jangan kau bicarakan lagi di depanku, lukamu saja masih belum sepenuhnya sembuh karena obat itu.”Noah berdehem, dia tidak akan menyangka kalau perkataan Mr. A itu benar. Ternyata doktrin yang dibuatnya di Reddit saat itu tidak asal-asalan. Namun jujur saja, orang itu memang menyebalkan jika ditemui secara langsung.Borris dan Morrey dengan langkah lantang di ruangan itu menghampiri Noah. Wajah keduanya tampak serius—dan tidak ada keraguan sama sekali—kemudian disusul oleh Mr. A yang Noah lihat dari postur dadanya pasti sedang serius. Tidak, dengan suasana seperti itu tidak mungkin Mr. A akan bercanda.“Kami berniat untuk melakukan investigasi

  • The Deepest Emotions   Chapter XXXIX - Pengkhianatan

    “Dialah alasan kita untuk menjadi kadet berpengalaman di organisasi militer federasi.”“Crvena Kapa?” tanya Andi tertegun melihat wajah serius Noah. Bercak darah Noah di lengannya telah mengering, begitu juga dengan bibirnya akibat angin dingin malam itu. Tepat ketika bulan menampakkan wujudnya di balik awan gelap yang sempat menjadi penghambat Andi saat ingin membersihkan luka Noah yang kotor oleh tanah.“Orang itu sudah hilang entah ke mana. Bahkan jejak darahnya sudah tidak ada lagi. seperti itukah pembunuh profesional menghilangkan jejaknya?”Noah terdiam mendengar Andi yang mengoceh sendirian. Dilihatnya luka sabetan belati dan senjata api di lengan dan kakinya. Andi berdiri di depan mayat kadet berkacamata itu, kemudian menunduk sesaat. “Cepat kita bawa ke markas. Lebih baik sembunyi-sembunyi,” ucap Andi pelan dan hampir tidak bisa didengar Noah.Mayat yang sudah terbujur kaku itu diangkat dengan sembarang oleh mereka berdua, kemudian mengambil jalan terjauh untuk menghindari te

  • The Deepest Emotions   Chapter XXXVIII - Pertarungan Sengit

    Ketika itu, malam sudah tidak lagi sunyi. Suara berisik semak dan dedaunan yang terinjak-injak—bukan, suara ringisan dua manusia yang sedang bertarung itu mengisi kesunyian malam, walaupun tidak sampai terdengar di tenda tim cokelat.Noah melancarkan serangan bertubi-tubi, selagi lawannya terdesak karena bertahan sambil memegang pistol. Lebih baik seperti itu, daripada membiarkan pria itu menodongkan pistol sekali lagi ke wajahnya.Semakin lama dia melayangkan tinju, tapi seolah Noah yang semakin terpojok. Semula dirinya mengejar pria itu dan menyerangnya, bahkan sekarang hormatnya sudah hilang karena mereka seenaknya menginjak jasad kadet berkacamata itu dengan terpaksa.“Lumayan. Tidak kusangka federasi bakal menciptakan generasi yang hebat sepertimu,” tuturnya santai sambil menangkis tinjuan Noah yang tidak sedikit pun mengenai badan pria misterius itu.Noah menggigit bibir, kemudian meningkatkan kecepatan serangannya. Kini seperti ada pertandingan tinju dunia, bahkan jika diperton

  • The Deepest Emotions   Chapter XXXVII - Pria Tidak Dikenal (2)

    Pemuda itu melihat sepasang mata yang menatap ke arahnya dengan tatapan tajam. Bola matanya memantulkan cahaya api seolah-olah ada dua kloningan api. Dia sadar sudah salah bicara, tapi ketika mendengar sesuatu yang sepertinya familiar, otaknya langsung berfungsi dengan baik.“Di mana kau melihatnya?” tanya Noah masih dalam posisi setengah duduk. Dinginnya angin tidak bisa membuat dirinya diam beberapa saat—sangat menusuk tulang. “Sebelah barat, tidak terlalu jauh dari tenda kita, karena aku dan Elliot juga hanya mengumpulkan kayu bakar di sekitar tempat itu dan kembali,” jelas Davud.Ia mengungkapkan kalau pria itu juga muncul di tempat yang sama ketika Noah melihatnya, entah kenapa dia hanya berkeliaran di sana. “Aku akan pergi sebentar,” tegas Noah langsung bergerak dari posisinya. Tidak sampai lima detik dia sudah berada di luar gua, meninggalkan Davud yang masih setengah sadar. Dilihatnya rembulan masih tepat di atas kepala, putih bersih seolah kabut pun tak ingin menutup keindaha

  • The Deepest Emotions   Chapter XXXVI - Pria Tidak Dikenal

    Tali biru yang melingkari tangan Davud tampak begitu mengering karena berada dekat dengan api. Sekelompok kadet yang duduk dan yang sebagian lagi bersimpuh menghadap ke arah Noah yang berdiri kaku di dekat dinding gua.“Tim oranye sudah bergerak. Kita harus bertindak dan tetap waspada dengan sergapan mereka.”“Kau sudah mengatakan itu berulang kali sejak dari luar tenda,” gerutu Davud yang mengernyit heran ke arahnya. Kanvas tenda di luar sana kejatuhan oleh tetesan air dari pepohonan tinggi tepat di sebelahnya. Matthew sengaja berdiri di dekat tenda—mengawasi setiap pergerakan di sekitar.“Saat ini tim biru sudah disergap oleh tim oranye. Mereka juga tahu kalau tim biru membuat markas di atas pohon.”Noah kemudian terdiam di depan belasan pasang mata yang memperhatikannya berdiri. Hanya terdapat sedikit fakta dari kejadian tadi sore. Saat ini belum terbesit strategi apa-apa di kepalanya, hanya ada lelah yang menyerangnya sekarang.“Apa ada bagusnya jika kita tidak terlalu fokus menye

  • The Deepest Emotions   Chapter XXXV - Sergapan Tiba-Tiba

    Noah menahan napasnya yang sempat tidak teratur setelah memanjat pohon besar itu seorang diri. tangannya ia usap dengan pakaian di tubuhnya dan tetap menatap kedua kadet di depannya. Tim biru yang barusan menggugurkan Vior dan dua orang lainnya itu ternyata tinggal di atas pohon. Berarti ada sekitar lima pohon lain yang mereka tempati tersebar di hutan seluas ini. “Jangan bergerak sedikit pun. Kita biarkan mereka bergerak sampai sejauh mana. Pantau dari jauh.” Davud melangkah lebih jauh, mendahului rekan-rekannya yang bertahan di balik semak besar. Selang beberapa menit saja, kedua kadet tim biru itu didatangi rekan mereka yang lain: jumlahnya tiga orang. Mereka membawa seutas tali baru yang dipikul salah satu kadet berkacamata. “Tinggalkan saja! Pindah ke pohon yang satu lagi,” tegur kadet berkacamata itu sambil menunjuk sebatang pohon lain di sebelah barat. “Tapi—“ “Kau tidak lihat sisa tali di atas itu? Bekas potongan seperti itu pasti ulah seseorang, dasar bodoh!” bentaknya se

  • The Deepest Emotions   Chapter XXXIV - Invasi

    Davud dan Matthew yang sudah berada di luar gua bergegas menghampiri Noah sambil menenteng gulungan tali lain untuk berjaga-jaga kalau saja ada mangsa lebih. Pemuda itu—sambil terengah-engah—hanya diam dan menatap wajah kadet di bawah lututnya.“Apa maksudmu?” dalih kadet itu. Tampak sekali wajahnya kesal, mungkin karena lutut Noah yang berada di atas punggungnya itu.“Yang mengintai tim cokelat kemarin itu kau, bukan? Kami meli—”“Kami tahu persis wajahmu waktu itu... diamlah.”Davud memasang mimik kesal karena kalimatnya dipotong oleh Noah dan kemudian berbalik, mencoba memanggil rekan mereka untuk keluar dari gua. Vior lebih dulu datang dan bertepuk tangan dari kejauhan sana.“Lumayan juga kau, Cassenn. Sepertinya kau lebih bisa berguna dibandingkan rekan-rekanmu di dalam gua sana.”“Apa kau perlu kuikat juga, hah?” geram Noah kemudian mengepalkan tangan kanannya yang masih mengenggam tali. sesuai dengan arahan dari instruktur, kadet yang gugur dalam tantangan akan di bawa kembali

  • The Deepest Emotions   Chapter XXXIII - Pemantauan

    Noah menoleh ke arah rekannya, Davud. Mereka berdua mencoba menahan diri agar tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Terlihat tangan Davud yang memberikan aba-aba agar tetap tenang selagi matanya melihat ke arah tim lain.Yang mereka lihat itu adalah tim cokelat. Mungkin hampir setengah pasukan yang mereka bawa. Memang benar sekarang Noah dan timnya menang jumlah, tapi mereka juga tidak bisa gegabah untuk menyerang secara brutal karena bisa saja ada tim lain yang mengintai seperti mereka sekarang ini.“Pantau yang ada di atas bukit.”Davud berbisik ke arah Noah sambil menunjuk sesuatu. Ternyata memang benar perkiraan Noah, tidak hanya mereka yang memantau tim cokelat. Tim biru juga sedang memantau dari kejauhan. Dan hebatnya lagi, entah bagaimana rekannya itu bisa melihat orang yang sedang bersembunyi dari jarak sejauh itu.“Mereka sudah tidak terlihat lagi, lebih baik kita pergi ke tenda dan memikirkan strategi.”Noah mengangguk. Kini mereka berdua perlahan berbalik dan bergerak menuj

  • The Deepest Emotions   Chapter XXXII - Tantangan

    Sosok itu terlihat sedang memegang sebuah kantung berwarna cokelat sambil seolah menunggu kedatangan seseorang. Noah memicingkan matanya, berusaha melihat sosok itu dengan jelas dari kejauhan. “Vilma?” “Instruktur Mona memberitahuku kalau kau sedang menemui Mr. A.” “Ah...” Pemuda itu melihat Vilma yang perlahan menyodorkan kantung yang dipegangnya, kemudian wajahnya tampak serius memandangi wajah Noah yang tidak terlalu jelas karena gelap. “Aku membawa barang ini atas perintah ayahku. Kau akan memerlukannya nanti.” Pemuda itu meraih kantung tersebut dan melihat isinya. Hanya sebuah senter kecil dan selembar kertas kosong. Wajahnya tampak bingung, namun mendengar ucapan Vilma kalau barang ini akan diperlukan nanti, jadi ia tidak perlu memusingkannya sekarang. Mereka berjalan berdampingan menyusuri koridor yang gelap itu sambil berbincang ringan. “Bagaimana keadaanmu sekarang?” “Ah, iya. Aku tidak apa-apa, hanya saja aku masih perlu menemui psikolog untuk mengatasi traumaku. Ban

DMCA.com Protection Status