Home / Thriller / The Deepest Emotions / Chapter I - Penculikan

Share

Chapter I - Penculikan

Author: D. Maulana
last update Last Updated: 2022-02-24 08:40:53

Noah merasakan dirinya sedang diikuti segerombolan orang. Dan benar saja, sekelompok pria berjas yang mengenakan topeng putih tanpa mimik wajah terlihat sedang menuju ke arah Noah.

“Apa – apaan orang itu! Apakah mereka sedang ikut lomba Cosplay dan kalah? Lalu kenapa aku yang mereka kejar?”

Noah sempat menggerutu sembari menjauh dari gerombolan pria tersebut. Namun, tiba-tiba percobaan melarikan diri Noah terhenti karena dia kini didekap oleh pria bertopeng lain yang mengejar dari arah lain.

“Hei. Kenapa kalian melakukan ini? Apalagi salahku, sialan?”

Kemudian, Noah dilempar masuk ke dalam bagasi belakang mobil dengan keadaan tangan serta kaki diikat erat, dan dibawa entah kemana. Setelah sejam lamanya berada di dalam mobil, Noah mencoba melihat keadaan sekitar. Sekilas Noah melihat sebuah papan nama toko yang bertuliskan Papratno, sebuah Desa yang masih terletak di Kota Madya Kakanj. Noah masih merasa kebingungan sekaligus sedikit lega mengetahui Dia tidak dibawa terlalu jauh.

“Hei. Kau pikir anak ini akan mampu menahan obat dari profesor? Bukankah beliau menyuruh kita untuk mencari tikus percobaan yang lebih baik kali ini?”

Dua orang pria berjas sedang berbincang-bincang mengenai hal yang tidak lazim seperti obat dan tikus percobaan. Noah semakin bingung dengan perbincangan tersebut dan lebih memilih untuk menyimak lebih jauh.

“Tenanglah, anak ini sudah diincar oleh bos pengawas. Jadi tidak mungkin kita salah memilih, apa kau meragukan bos kita hah?”

“Bukan begitu bangsat. Aku hanya tidak ingin kita dihajar lagi oleh bos. Kau pikir sudah berapa kali kita gagal mencari tikus percobaan profesor selama ini?”

Tidak lama berselang, perdebatan mereka berhenti serentak berkurangnya kecepatan mobil yang mereka kendarai. Akhirnya mereka berhenti di sebuah pabrik kumuh antah berantah.

Noah pun diangkut oleh salah satu dari mereka dan dibawa ke dalam pabrik tersebut. Tikus berlarian kesana kemari seolah mewaspadai kedatangan gerombolan pria bertopeng bersama dengan Noah. Air menetes keluar dari pipa yang sudah usang dan berlumut. Suara yang paling nyaring terdengar di telinga Noah hanyalah suara derap langkah pria bertopeng yang serentak berirama dan tidak berantakan bagaikan pasukan baris berbaris.

Mereka pun tiba di sebuah ruangan seperti laboratorium yang tidak layak pakai namun masih berfungsi, dengan nyala lampu yang hampir padam seolah mereka sedang berada di pesta topeng remang-remang. Kedatangan mereka disambut oleh seorang pria tua bungkuk yang mengenakan jas laboratorium yang sama usangnya dengan laboratorium itu.

“Sepertinya tidak perlu berjam-jam untuk membawa anak ini. Apa yang kalian lakukan?”

“Maaf atas kelalaian kami Profesor.”

Suara mereka bergema di seluruh penjuru ruangan. Hanya Noah yang masih terdiam kaku dan ketakutan di pundak salah seorang pria bertopeng tersebut. Pria tua yang disebut Profesor itupun langsung menghampiri Noah dan tersenyum.

“Akhirnya kita menemukannya. Tidak sia-sia aku meminta Tuan Chris untuk mengurus hal ini.”

Pria berjas yang membawa Noah tadi langsung meletakkan Noah diatas sebuah ranjang dan melepas ikatan di tangan, kaki, dan mulutnya.

“Apa yang mau kalian lakukan padaku? Apa salahku? Kenapa tidak pernah sama sekali hariku berjalan tanpa masalah?”

Air mata mengalir di pelupuk matanya sambil meracau dan memohon kepada profesor itu agar segera dilepaskan. Dia hanya berpikir ingin hidup dan hidupnya berjalan dengan tenang. Beberapa detik kemudian, profesor itu langsung mengelus rambut Noah dan memberikan senyuman kecil yang tampak tulus.

“Aku akan membebaskanmu dari penderitaan ini, Noah. Aku telah berjanji kepada seseorang dan janji itu akan kutepati saat ini juga karena kupikir waktuku sudah tidak akan lama lagi. Jadi kumohon tenanglah untuk sesaat.”

TSSIP!

Seketika pandangan Noah mulai kabur dan tenaganya seakan lenyap. Dia sempat melihat sekilas seorang pria bertopeng memberikan suntikan penenang di leher Noah. Kalau dihitung sudah dua kali Noah dibuat tidak sadarkan diri hari ini.

***

Noah terbaring di sebuah padang rumput yang sangat luas dan datar seolah tidak memiliki gunung dan lembah. Sambil menatap langit, Noah dikagetkan dengan suara pria yang sangat familiar di telinganya.

“Hei. Apa kau tidak rindu padaku, Nak?”

“Ayah?”

Air mata Noah mengalir, tak kuasa menahan rindu yang selama 9 tahun Dia rasakan sejak kepergian Ayahnya. Sejenak suasana menjadi haru walaupun saat itu hanya mereka berdua yang berada disana. Noah yang selama 9 tahun kehilangan senyuman di bibirnya, kini menampakkan cengiran lebar kepada Ayahnya. Dia sadar bahwa ini tidak nyata, namun siapapun takkan melewatkan kesempatan sebahagia ini dalam hidupnya.

“Kau tahu Ayah, apakah seperti ini rasanya mengalami lucid dream?”

“Siapa yang tahu. Karena itu pengalaman masing-masing orang. Hanya kaulah yang dapat menilai itu.”

Perbincangan mereka semakin terasa ramah dan akrab. Noah mencoba sebisa mungkin memanfaatkan waktu yang tidak nyata ini. Dia sadar kalau efek obat itu tidak akan lama. Kalaupun lama, itu berarti dirinya memang sudah mati. Apa boleh buat.

Di padang rumput itu mereka berjalan berdua, mencoba menanyakan mempertanyakan keadaan masing-masing. Sesekali mereka tertawa dengan beberapa cerita yang mereka anggap lucu, karena memang ayah dan anak ini memiliki selera humor yang sama.

“Ayah. Apa nanti Ayah akan meninggalkanku lagi? Apakah aku bisa disini lebih lama lagi?”

“Tidak, nak. Ayah akan selalu bersamamu selamanya. Dimana? Di sini. Kuharap kau selalu kuat dan tegar karena hidup memang penuh dengan tantangan. Tapi ingatlah, Ayah disini akan selalu menemanimu sampai kapanpun.”

Seketika, suasana akrab tadi kembali menjadi haru. Air mata kini mulai membasahi pipi Noah yang melihat jari telunjuk ayahnya yang menyentuh dada kirinya. Saat itu pula, cuaca padang rumput yang semula cerah sekejap berubah menjadi gelap gulita. Begitu Noah berkedip, ayahnya sudah tidak ada di hadapannya lagi.

Terdengar suara petir yang menggelegar di dalam Lucid Dream milik Noah dan disusul dengan suara berdenging yang memekakkan telinga. Noah mulai membuka matanya dan setelah sadar, dia malah dibuat kaget lagi oleh sesuatu yang tidak dapat dijelaskan.

“Apa yang terjadi di sini? Ada apa dengan orang – orang ini?”

Noah dibuat kaget karena mendapati orang-orang disekitarnya tergeletak tidak bernyawa dan bermandikan darah. Pria bertopeng barusan yang bahkan tampak akan selalu bergeming walaupun dihantam oleh sepeda motor, kini terbaring tidak bernyawa dengan luka tusukan parah di bagian perut.

Noah hanya terdiam dan menggigil ketakutan, seolah tertusuk oleh dingin malam dan kejadian luar biasa yang dialaminya. Noah pun memberanikan diri untuk bergerak dan berjalan keluar pabrik sesegera mungkin.

Namun, tidak lama kemudian terdengar suara rintihan di sudut ruangan dekat dengan sebuah meja kerja. Ternyata itu adalah profesor yang sedang bersimbah darah dan merintih. Noah berhenti karena namanya disebut. Profesor itu menyampaikan sesuatu yang singkat, padat, namun tidak jelas kepada Noah.

“Noah, ingatlah. Kini kau telah dikaruniai sebuah kekuatan. Tapi kekuatan itu belum sepenuhnya sempurna. Jadi, jagalah emosimu yang....“

Pada akhirnya profesor itu menghembuskan nafas terakhirnya saat itu. Noah semakin bingung dan takut. Dia akhirnya mengucap belasungkawa dan secepat mungkin melarikan diri dari tempat aneh tersebut.

Malam itu menunjukkan pukul sepuluh, dan Noah telah sampai dirumah dengan selamat. Bukannya mengkhawatirkan dirinya sendiri, dia justru takut ibunya mengkhawatirkan dirinya.

Namun kekhawatiran itu sirna setelah melihat ibunya kini tertidur lelap di kamar. Noah segera membersihkan diri dan mencoba merahasiakan hal yang menimpanya dari ibunya. Malam hari ini walaupun pelan tapi pasti telah berganti menjadi fajar keesokan harinya. Noah berusaha bersikap biasa saja tanpa menimbulkan kecurigaan bagi ibunya.

“Ibu. Aku berangkat ke kampus dulu.”

“Hei, Noah. Jangan pulang terlalu lama! Ibu akan masak enak nanti.”

“Baiklah.”

Noah berjalan dengan cepat menuju kampus. Baru 5 menit perjalanan, dia sudah dihampiri oleh wanita yang kemarin menolongnya. Noah teringat dia sempat memperkenalkan diri, namun dia tidak kenal siapa wanita itu.

“Hai. Kita bertemu lagi ya. Sepertinya ini takdir yang kurang menguntungkan untukmu.”

Wanita itu tertawa kecil melihat Noah yang hanya memandang ke depan.

“Namamu....“

Wanita itu sedikit kebingungan dengan perkataan Noah yang kurang jelas.

“Siapa namamu? Kemarin aku sudah memperkenalkan diriku, padahal kau kenal aku. Tapi kau sendiri tidak memperkenalkan dirimu.”

Noah sedikit meninggikan suaranya karena kesal. Wanita itupun tersenyum.

“Vilma. Namaku Vilma Hondress.”

Ah. Noah seketika lemas dan mengernyitkan dahi. Di mulai merasakan De Javu kemarin seperti akan terjadi hari ini juga. Vilma adalah wanita yang dinyatakan perasaannya oleh Besim, dan kini wanita itu ada di dekat Noah. Sepertinya kesialan ini akan dialami oleh Noah hingga hari kematiannya.

“Hei, bangs*t!”

Noah menghela nafas dan, perlahan berbalik arah ke sumber suara.

***

Related chapters

  • The Deepest Emotions   Chapter II - Kekuatan Tidak Dikenal

    Suara yang berat itu menandakan keberadaan Besim yang sepertinya sudah diprediksi oleh Noah. Dia sudah sangat paham apa yang akan terjadi selanjutnya. Kali ini Noah mencoba untuk tetap tenang dan diam walau tangan dan kakinya sudah tidak lagi kuat menopang tubuhnya. “Noah. Sepertinya kau memang cari mati ya? Kupikir Vilma menolakku karena dia sedang tidak ingin pacaran. Tapi lihatlah, kini kau mulai dekat-dekat dengannya.” Saat Noah hendak memutus celotehan Besim, Vilma tiba – tiba berteriak dan menampar Besim. Suara tamparan itu terdengar cukup menyakitkan di telinga Noah dan orang – orang di sekitar yang sedang memperhatikan pertengkaran mereka. “Apa lagi maumu, preman? Apa kau sudah lupa ya, aku menolakmu jelas-jelas kemarin. Tapi kau masih saja menggangguku, bahkan mengganggu temanku yang tidak tahu apa-apa. Lebih baik kau-“ “Diam kau... dasar perempuan kotor!! Saat ini aku tidak berurusan denganmu.” Besim membentak Vilma dengan nada yang sangat keras ditambah suaranya yang be

    Last Updated : 2022-02-24
  • The Deepest Emotions   Chapter III - Pabrik Terbengkalai

    Tidak terasa saat itu hari mulai sore, Noah dan Vilma akhirnya tiba di pabrik terbengkalai tempat Noah diculik. Mereka pergi dengan hanya berjalan kaki karena takut dicurigai jika membawa kendaraan, maka dari itu mereka mencoba sebisa mungkin agar tidak ketahuan oleh orang sekitar atau pihak yang menjaga pabrik tersebut. lagi pula jarak ke Papratno juga tidak terlalu jauh, namun daerah di sana cukup sepi sehingga mereka perlu berhati – hati terlebih lagi di kawasan pabrik tersebut. “Noah, sebenarnya kita menuju ke tempat seperti apa? Dan mengapa kau hanya diam daritadi?” Vilma mulai mengeluh karena dia sendiri tidak tahu apa tujuan Noah pergi ke pabrik tidak terpakai tersebut. Vilma menyadari bahwa perlahan Noah mulai berubah. Biasanya dia tidak akan membuang waktu seperti ini hanya untuk pergi ke pabrik obat yang sudah ditinggalkan 9 tahun lamanya. “Sst, kecilkan suaramu. Bukankah aku sudah bilang jangan mengikutiku, tetapi kau malah ikut dan kini protes tentang tujuan kita?” “Buk

    Last Updated : 2022-02-24
  • The Deepest Emotions   Chapter IV - Wanita

    Sudah sekitar lima menit mereka berjalan, Vilma yang sedari tadi tidak berbicara sama sekali kini mulai berani mengeluarkan suara. “Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Apa yang telah kau lakukan?” Suara Vilma terdengar bergetar seolah ingin menangis. Noah hanya terdiam dan menatap kosong ke arah wanita itu. Dia tidak ingin memberikan penjelasan apa-apa karena sekarang berurusan dengan dirinya adalah sebuah percobaan yang mengancam nyawa.“Kau tidak ingin menjelaskan apa – apa kepadaku? Setelah apa yang terjadi pada kita barusan, kita tidak tau hal buruk apa yang akan terjadi jika kita tertangkap tadi. Tapi kau masih diam seolah tidak terjadi apa – apa?!” Bentakan itu masih belum mampu untuk membuat Noah membuka mulutnya. Vilma sadar Noah sengaja diam agar dia tidak lagi terlibat dalam urusan Noah. Noah yang hanya membisu dengan tatapan kosongnya, mulai mengubah raut mukanya. Kesal, marah, dan lelah bercampur aduk di dalam emosi yang sudah tidak dapat diartikan lagi. “Sekarang kau

    Last Updated : 2022-02-25
  • The Deepest Emotions   Chapter V - Tragedi

    Dengan kasarnya, orang itu menarik dan melempar tubuh Noah ke aspal. Orang itu adalah Besim yang sedang bersama 3 orang pengikut setianya. “Halo bung. Tampaknya kau sedang senang hari ini.” Nada meremehkan khas preman itu tidak digubris oleh Noah. Dia hanya diam dan segera bangun dari posisi duduknya. “Kau mengabaikanku ya? Lihatlah kali ini kau akan kuhabisi. Cepat ikut!” Besim kembali menarik kerah baju Noah dengan kasar dan membawa dia ke gang kosong di samping supermarket. Besim membuang kantung plastik yang digenggam oleh Noah dan kemudian membuka jaketnya. “Lawan aku. Kita lakukan duel yang adil dan tenang saja soal anak buahku.” Noah langsung mengetahui tujuan Besim mengajak duel adalah tidak ingin malu kalau dia sudah dilempar dengan enteng oleh dirinya kemarin. Besim tentu tidak akan memberikan perlawanan sepihak setelah terjadi hal memalukan yang menimpa dirinya. Besim bersiap – siap melayangkan pukulan. Noah pun menc

    Last Updated : 2022-03-03
  • The Deepest Emotions   Chapter VI - Crvena Kapa

    Ternyata orang itu adalah pria kurus yang pernah Noah temui di pabrik terbengkalai. Pria itu tersenyum licik, seolah membayangkan hal yang menyenangkan. Noah menatap fokus pria itu sembari berjalan mundur, mencoba menjaga jarak untuk menghindari hal yang bisa saja mengancam nyawanya. “Bagaimana kau bisa tahu itu rumahku? Apa sebenarnya maumu?” Noah mencoba mengorek informasi darinya. Namun, pria itu hanya mendongak dan tertawa kecil. “Ha ha. Sudah kubilang barusan, penyebabnya adalah barang kecil yang kau pegang itu.” Pria misterius itu mengarahkan jari telunjuknya ke USB Drive yang digenggam erat oleh Noah. Noah masih kebingungan dengan maksud pria tersebut. Pria itu hanya tersenyum melihat wajah polos Noah. “USB Drive itu sempat kau akses melalui komputermu. Begitu barang itu terkoneksi dengan alat elektronik apapun, kami dengan sangat mudah melacak keberadaannya. Itulah kenapa kita bertemu di pabrik terbengkalai kemarin. Karena lokasi terakhir b

    Last Updated : 2022-03-05
  • The Deepest Emotions   Chapter VII - Badai

    Siang itu tampak mendung dan mulai dingin. Mereka berdua hanya saling bertatapan satu sama lain. Noah yang curiga dengan identitas pria itu kini mulai berani membuka mulutnya. “Siapa kau? Bagaimana kau bisa tahu namaku?” Pria itu hanya senyap tidak menghiraukan pertanyaan yang Noah lemparkan kepadanya. Suasana yang hening ditambah hawa yang dingin menandakan badai akan segera tiba. Hanya suara gemuruh petir yang sesekali memecah keheningan di tempat itu. “Tuan, sepertinya kata – kataku sudah cukup jelas untuk bisa kau jawab sekarang.” Noah mulai kesal melihat wajah pria itu. “Duduklah!” Pria itu berjalan menuju sebuah etalase di belakangnya. Dia mengambil secarik kertas dan sebuah foto dari dalam laci etalase tersebut. Kemudian pria itu berjalan pelan menghampiri Noah yang baru saja duduk dan melemparkan foto yang dipegangnya ke atas meja di depan Noah. “Kau sangat mirip dengannya.” Pria itu menunjuk seseorang dari foto tersebut. Sos

    Last Updated : 2022-03-06
  • The Deepest Emotions   Chapter VIII - Latihan

    Borris baru saja keluar dari ruang bawah tanah. Dia membawa beberapa koper yang berisikan senjata api di dalamnya. Noah bertanya – tanya apa hubungan Borris dengan Vilma.“Apa kau mengenal wanita yang keluar dari tempat ini barusan?”“Maksudmu Nona Hondress? Ayahnya adalah seorang CEO perusahaan kecantikan terkemuka di ibukota sekaligus pelanggan tetap toko ini. Putri nya baru saja memesan beberapa senjata api titipan ayahnya itu.”Noah tampak tidak terkejut begitu mendengar penjelasan Borris. Sifat yang manja, kulit yang terawat dan pakaian yang tampak mahal itu sudah menjelaskan bahwa wanita berasal dari keluarga yang kaya. Bahkan jika orang tua nya tinggal di ibukota, sangat memungkinkan kalau Vilma tinggal sendiri di rumah besar nya itu.“Tapi untuk apa perusahaan kecantikan memesan senjata ilegal darimu?”“Kau tidak perlu tahu itu.”Noah hanya terdiam. Dia sudah cukup bersyukur menge

    Last Updated : 2022-03-17
  • The Deepest Emotions   Chapter IX - Misi yang Gagal

    Angin malam hari itu terasa menusuk tulang. Namun, penerangan yang tersebar di berbagai toko dan jalan membuat suasana yang cukup hangat waktu itu. Noah dan Borris masih menyantap makan malam mereka di toko.Sudah sekitar dua minggu Noah melaksanakan pelatihan fisik dan mental yang diberikan oleh Borris McStar. Borris berencana untuk memberikan Noah latihan langsung di lapangan dengan cara memancing sindikat itu agar menghampiri mereka dengan sendirinya tanpa harus lelah mencari.“Hei bocah. Kenakan pakaianmu saat makan malam.”“Aku baru saja selesai mandi. Tubuhku masih basah.”Borris pun melanjutkan makannya sembari melempar kertas tisu yang ada di tangannya ke arah Noah yang sedang makan dengan hanya mengenakan handuk yang ada melingkar di pinggangnya tanpa tambahan sehelai pakaian pun.Setelah dua minggu menjalani latihan yang sangat berat, tubuh Noah mulai berubah. Otot perutnya mulai terbentuk dan kini dia sudah mampu

    Last Updated : 2022-03-20

Latest chapter

  • The Deepest Emotions   Chapter XL - Pengkhianatan (2)

    Perawat mengambil beberapa botol kosong di atas meja pasien yang semuanya merupakan prajurit perang atau pengintaian, kecuali Noah. Dilihatnya botol kaca berwarna cokelat itu tampak seperti botol minuman keras yang dijual di toko swalayan.“Kelompok yang membuatmu koma waktu itu ... datang ke tempat ini,” bisik Noah.“Yaa ... aku sudah tahu itu. Jangan kau bicarakan lagi di depanku, lukamu saja masih belum sepenuhnya sembuh karena obat itu.”Noah berdehem, dia tidak akan menyangka kalau perkataan Mr. A itu benar. Ternyata doktrin yang dibuatnya di Reddit saat itu tidak asal-asalan. Namun jujur saja, orang itu memang menyebalkan jika ditemui secara langsung.Borris dan Morrey dengan langkah lantang di ruangan itu menghampiri Noah. Wajah keduanya tampak serius—dan tidak ada keraguan sama sekali—kemudian disusul oleh Mr. A yang Noah lihat dari postur dadanya pasti sedang serius. Tidak, dengan suasana seperti itu tidak mungkin Mr. A akan bercanda.“Kami berniat untuk melakukan investigasi

  • The Deepest Emotions   Chapter XXXIX - Pengkhianatan

    “Dialah alasan kita untuk menjadi kadet berpengalaman di organisasi militer federasi.”“Crvena Kapa?” tanya Andi tertegun melihat wajah serius Noah. Bercak darah Noah di lengannya telah mengering, begitu juga dengan bibirnya akibat angin dingin malam itu. Tepat ketika bulan menampakkan wujudnya di balik awan gelap yang sempat menjadi penghambat Andi saat ingin membersihkan luka Noah yang kotor oleh tanah.“Orang itu sudah hilang entah ke mana. Bahkan jejak darahnya sudah tidak ada lagi. seperti itukah pembunuh profesional menghilangkan jejaknya?”Noah terdiam mendengar Andi yang mengoceh sendirian. Dilihatnya luka sabetan belati dan senjata api di lengan dan kakinya. Andi berdiri di depan mayat kadet berkacamata itu, kemudian menunduk sesaat. “Cepat kita bawa ke markas. Lebih baik sembunyi-sembunyi,” ucap Andi pelan dan hampir tidak bisa didengar Noah.Mayat yang sudah terbujur kaku itu diangkat dengan sembarang oleh mereka berdua, kemudian mengambil jalan terjauh untuk menghindari te

  • The Deepest Emotions   Chapter XXXVIII - Pertarungan Sengit

    Ketika itu, malam sudah tidak lagi sunyi. Suara berisik semak dan dedaunan yang terinjak-injak—bukan, suara ringisan dua manusia yang sedang bertarung itu mengisi kesunyian malam, walaupun tidak sampai terdengar di tenda tim cokelat.Noah melancarkan serangan bertubi-tubi, selagi lawannya terdesak karena bertahan sambil memegang pistol. Lebih baik seperti itu, daripada membiarkan pria itu menodongkan pistol sekali lagi ke wajahnya.Semakin lama dia melayangkan tinju, tapi seolah Noah yang semakin terpojok. Semula dirinya mengejar pria itu dan menyerangnya, bahkan sekarang hormatnya sudah hilang karena mereka seenaknya menginjak jasad kadet berkacamata itu dengan terpaksa.“Lumayan. Tidak kusangka federasi bakal menciptakan generasi yang hebat sepertimu,” tuturnya santai sambil menangkis tinjuan Noah yang tidak sedikit pun mengenai badan pria misterius itu.Noah menggigit bibir, kemudian meningkatkan kecepatan serangannya. Kini seperti ada pertandingan tinju dunia, bahkan jika diperton

  • The Deepest Emotions   Chapter XXXVII - Pria Tidak Dikenal (2)

    Pemuda itu melihat sepasang mata yang menatap ke arahnya dengan tatapan tajam. Bola matanya memantulkan cahaya api seolah-olah ada dua kloningan api. Dia sadar sudah salah bicara, tapi ketika mendengar sesuatu yang sepertinya familiar, otaknya langsung berfungsi dengan baik.“Di mana kau melihatnya?” tanya Noah masih dalam posisi setengah duduk. Dinginnya angin tidak bisa membuat dirinya diam beberapa saat—sangat menusuk tulang. “Sebelah barat, tidak terlalu jauh dari tenda kita, karena aku dan Elliot juga hanya mengumpulkan kayu bakar di sekitar tempat itu dan kembali,” jelas Davud.Ia mengungkapkan kalau pria itu juga muncul di tempat yang sama ketika Noah melihatnya, entah kenapa dia hanya berkeliaran di sana. “Aku akan pergi sebentar,” tegas Noah langsung bergerak dari posisinya. Tidak sampai lima detik dia sudah berada di luar gua, meninggalkan Davud yang masih setengah sadar. Dilihatnya rembulan masih tepat di atas kepala, putih bersih seolah kabut pun tak ingin menutup keindaha

  • The Deepest Emotions   Chapter XXXVI - Pria Tidak Dikenal

    Tali biru yang melingkari tangan Davud tampak begitu mengering karena berada dekat dengan api. Sekelompok kadet yang duduk dan yang sebagian lagi bersimpuh menghadap ke arah Noah yang berdiri kaku di dekat dinding gua.“Tim oranye sudah bergerak. Kita harus bertindak dan tetap waspada dengan sergapan mereka.”“Kau sudah mengatakan itu berulang kali sejak dari luar tenda,” gerutu Davud yang mengernyit heran ke arahnya. Kanvas tenda di luar sana kejatuhan oleh tetesan air dari pepohonan tinggi tepat di sebelahnya. Matthew sengaja berdiri di dekat tenda—mengawasi setiap pergerakan di sekitar.“Saat ini tim biru sudah disergap oleh tim oranye. Mereka juga tahu kalau tim biru membuat markas di atas pohon.”Noah kemudian terdiam di depan belasan pasang mata yang memperhatikannya berdiri. Hanya terdapat sedikit fakta dari kejadian tadi sore. Saat ini belum terbesit strategi apa-apa di kepalanya, hanya ada lelah yang menyerangnya sekarang.“Apa ada bagusnya jika kita tidak terlalu fokus menye

  • The Deepest Emotions   Chapter XXXV - Sergapan Tiba-Tiba

    Noah menahan napasnya yang sempat tidak teratur setelah memanjat pohon besar itu seorang diri. tangannya ia usap dengan pakaian di tubuhnya dan tetap menatap kedua kadet di depannya. Tim biru yang barusan menggugurkan Vior dan dua orang lainnya itu ternyata tinggal di atas pohon. Berarti ada sekitar lima pohon lain yang mereka tempati tersebar di hutan seluas ini. “Jangan bergerak sedikit pun. Kita biarkan mereka bergerak sampai sejauh mana. Pantau dari jauh.” Davud melangkah lebih jauh, mendahului rekan-rekannya yang bertahan di balik semak besar. Selang beberapa menit saja, kedua kadet tim biru itu didatangi rekan mereka yang lain: jumlahnya tiga orang. Mereka membawa seutas tali baru yang dipikul salah satu kadet berkacamata. “Tinggalkan saja! Pindah ke pohon yang satu lagi,” tegur kadet berkacamata itu sambil menunjuk sebatang pohon lain di sebelah barat. “Tapi—“ “Kau tidak lihat sisa tali di atas itu? Bekas potongan seperti itu pasti ulah seseorang, dasar bodoh!” bentaknya se

  • The Deepest Emotions   Chapter XXXIV - Invasi

    Davud dan Matthew yang sudah berada di luar gua bergegas menghampiri Noah sambil menenteng gulungan tali lain untuk berjaga-jaga kalau saja ada mangsa lebih. Pemuda itu—sambil terengah-engah—hanya diam dan menatap wajah kadet di bawah lututnya.“Apa maksudmu?” dalih kadet itu. Tampak sekali wajahnya kesal, mungkin karena lutut Noah yang berada di atas punggungnya itu.“Yang mengintai tim cokelat kemarin itu kau, bukan? Kami meli—”“Kami tahu persis wajahmu waktu itu... diamlah.”Davud memasang mimik kesal karena kalimatnya dipotong oleh Noah dan kemudian berbalik, mencoba memanggil rekan mereka untuk keluar dari gua. Vior lebih dulu datang dan bertepuk tangan dari kejauhan sana.“Lumayan juga kau, Cassenn. Sepertinya kau lebih bisa berguna dibandingkan rekan-rekanmu di dalam gua sana.”“Apa kau perlu kuikat juga, hah?” geram Noah kemudian mengepalkan tangan kanannya yang masih mengenggam tali. sesuai dengan arahan dari instruktur, kadet yang gugur dalam tantangan akan di bawa kembali

  • The Deepest Emotions   Chapter XXXIII - Pemantauan

    Noah menoleh ke arah rekannya, Davud. Mereka berdua mencoba menahan diri agar tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Terlihat tangan Davud yang memberikan aba-aba agar tetap tenang selagi matanya melihat ke arah tim lain.Yang mereka lihat itu adalah tim cokelat. Mungkin hampir setengah pasukan yang mereka bawa. Memang benar sekarang Noah dan timnya menang jumlah, tapi mereka juga tidak bisa gegabah untuk menyerang secara brutal karena bisa saja ada tim lain yang mengintai seperti mereka sekarang ini.“Pantau yang ada di atas bukit.”Davud berbisik ke arah Noah sambil menunjuk sesuatu. Ternyata memang benar perkiraan Noah, tidak hanya mereka yang memantau tim cokelat. Tim biru juga sedang memantau dari kejauhan. Dan hebatnya lagi, entah bagaimana rekannya itu bisa melihat orang yang sedang bersembunyi dari jarak sejauh itu.“Mereka sudah tidak terlihat lagi, lebih baik kita pergi ke tenda dan memikirkan strategi.”Noah mengangguk. Kini mereka berdua perlahan berbalik dan bergerak menuj

  • The Deepest Emotions   Chapter XXXII - Tantangan

    Sosok itu terlihat sedang memegang sebuah kantung berwarna cokelat sambil seolah menunggu kedatangan seseorang. Noah memicingkan matanya, berusaha melihat sosok itu dengan jelas dari kejauhan. “Vilma?” “Instruktur Mona memberitahuku kalau kau sedang menemui Mr. A.” “Ah...” Pemuda itu melihat Vilma yang perlahan menyodorkan kantung yang dipegangnya, kemudian wajahnya tampak serius memandangi wajah Noah yang tidak terlalu jelas karena gelap. “Aku membawa barang ini atas perintah ayahku. Kau akan memerlukannya nanti.” Pemuda itu meraih kantung tersebut dan melihat isinya. Hanya sebuah senter kecil dan selembar kertas kosong. Wajahnya tampak bingung, namun mendengar ucapan Vilma kalau barang ini akan diperlukan nanti, jadi ia tidak perlu memusingkannya sekarang. Mereka berjalan berdampingan menyusuri koridor yang gelap itu sambil berbincang ringan. “Bagaimana keadaanmu sekarang?” “Ah, iya. Aku tidak apa-apa, hanya saja aku masih perlu menemui psikolog untuk mengatasi traumaku. Ban

DMCA.com Protection Status