Sepertinya hari ini masih akan menjadi hari yang sulit bagi seorang Noah Cassenn. Noah seolah - olah bermimpi semalam dan berprediksi mimpi tersebut akan menjadi De Javu esok hari. Entah dengan pemikiran seperti Sherlock Holmes yang mampu memecahkan segala jenis teka-teki atau hanya sekedar titisan Dewa Algea yang membawa kesialan. Yang pasti kelak akan menjadi hari buruk yang akan terus berlanjut hingga nyawanya dicabut oleh Sang Osiris.*** Noah Cassenn merupakan seorang mahasiswa yang tinggal di sebuah kota bernama Kakanj, di Bosnia – Herzegovina. Pemuda itu merupakan anak tunggal yang tinggal bersama ibunya yang bekerja sebagai buruh di pabrik pupuk. “Noah.. kau pikir sudah jam berapa sekarang? Kau ingin dosenmu memanggilku lagi hari ini?!” Noah turun dari lantai dua dengan langkah diseret dan muka yang lusuh. Tampaknya hari ini tidak ada yang berbeda dengan Noah karena memang seperti itulah kondisi sehari-hari anak 19 tahun itu. “Ibu, tidakkah Ibu lihat topi warna hijau milik
Noah merasakan dirinya sedang diikuti segerombolan orang. Dan benar saja, sekelompok pria berjas yang mengenakan topeng putih tanpa mimik wajah terlihat sedang menuju ke arah Noah. “Apa – apaan orang itu! Apakah mereka sedang ikut lomba Cosplay dan kalah? Lalu kenapa aku yang mereka kejar?” Noah sempat menggerutu sembari menjauh dari gerombolan pria tersebut. Namun, tiba-tiba percobaan melarikan diri Noah terhenti karena dia kini didekap oleh pria bertopeng lain yang mengejar dari arah lain. “Hei. Kenapa kalian melakukan ini? Apalagi salahku, sialan?” Kemudian, Noah dilempar masuk ke dalam bagasi belakang mobil dengan keadaan tangan serta kaki diikat erat, dan dibawa entah kemana. Setelah sejam lamanya berada di dalam mobil, Noah mencoba melihat keadaan sekitar. Sekilas Noah melihat sebuah papan nama toko yang bertuliskan Papratno, sebuah Desa yang masih terletak di Kota Madya Kakanj. Noah masih merasa kebingungan sekaligus sedikit lega mengetahui Dia tidak dibawa terlalu jauh. “H
Suara yang berat itu menandakan keberadaan Besim yang sepertinya sudah diprediksi oleh Noah. Dia sudah sangat paham apa yang akan terjadi selanjutnya. Kali ini Noah mencoba untuk tetap tenang dan diam walau tangan dan kakinya sudah tidak lagi kuat menopang tubuhnya. “Noah. Sepertinya kau memang cari mati ya? Kupikir Vilma menolakku karena dia sedang tidak ingin pacaran. Tapi lihatlah, kini kau mulai dekat-dekat dengannya.” Saat Noah hendak memutus celotehan Besim, Vilma tiba – tiba berteriak dan menampar Besim. Suara tamparan itu terdengar cukup menyakitkan di telinga Noah dan orang – orang di sekitar yang sedang memperhatikan pertengkaran mereka. “Apa lagi maumu, preman? Apa kau sudah lupa ya, aku menolakmu jelas-jelas kemarin. Tapi kau masih saja menggangguku, bahkan mengganggu temanku yang tidak tahu apa-apa. Lebih baik kau-“ “Diam kau... dasar perempuan kotor!! Saat ini aku tidak berurusan denganmu.” Besim membentak Vilma dengan nada yang sangat keras ditambah suaranya yang be
Tidak terasa saat itu hari mulai sore, Noah dan Vilma akhirnya tiba di pabrik terbengkalai tempat Noah diculik. Mereka pergi dengan hanya berjalan kaki karena takut dicurigai jika membawa kendaraan, maka dari itu mereka mencoba sebisa mungkin agar tidak ketahuan oleh orang sekitar atau pihak yang menjaga pabrik tersebut. lagi pula jarak ke Papratno juga tidak terlalu jauh, namun daerah di sana cukup sepi sehingga mereka perlu berhati – hati terlebih lagi di kawasan pabrik tersebut. “Noah, sebenarnya kita menuju ke tempat seperti apa? Dan mengapa kau hanya diam daritadi?” Vilma mulai mengeluh karena dia sendiri tidak tahu apa tujuan Noah pergi ke pabrik tidak terpakai tersebut. Vilma menyadari bahwa perlahan Noah mulai berubah. Biasanya dia tidak akan membuang waktu seperti ini hanya untuk pergi ke pabrik obat yang sudah ditinggalkan 9 tahun lamanya. “Sst, kecilkan suaramu. Bukankah aku sudah bilang jangan mengikutiku, tetapi kau malah ikut dan kini protes tentang tujuan kita?” “Buk
Sudah sekitar lima menit mereka berjalan, Vilma yang sedari tadi tidak berbicara sama sekali kini mulai berani mengeluarkan suara. “Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Apa yang telah kau lakukan?” Suara Vilma terdengar bergetar seolah ingin menangis. Noah hanya terdiam dan menatap kosong ke arah wanita itu. Dia tidak ingin memberikan penjelasan apa-apa karena sekarang berurusan dengan dirinya adalah sebuah percobaan yang mengancam nyawa.“Kau tidak ingin menjelaskan apa – apa kepadaku? Setelah apa yang terjadi pada kita barusan, kita tidak tau hal buruk apa yang akan terjadi jika kita tertangkap tadi. Tapi kau masih diam seolah tidak terjadi apa – apa?!” Bentakan itu masih belum mampu untuk membuat Noah membuka mulutnya. Vilma sadar Noah sengaja diam agar dia tidak lagi terlibat dalam urusan Noah. Noah yang hanya membisu dengan tatapan kosongnya, mulai mengubah raut mukanya. Kesal, marah, dan lelah bercampur aduk di dalam emosi yang sudah tidak dapat diartikan lagi. “Sekarang kau
Dengan kasarnya, orang itu menarik dan melempar tubuh Noah ke aspal. Orang itu adalah Besim yang sedang bersama 3 orang pengikut setianya. “Halo bung. Tampaknya kau sedang senang hari ini.” Nada meremehkan khas preman itu tidak digubris oleh Noah. Dia hanya diam dan segera bangun dari posisi duduknya. “Kau mengabaikanku ya? Lihatlah kali ini kau akan kuhabisi. Cepat ikut!” Besim kembali menarik kerah baju Noah dengan kasar dan membawa dia ke gang kosong di samping supermarket. Besim membuang kantung plastik yang digenggam oleh Noah dan kemudian membuka jaketnya. “Lawan aku. Kita lakukan duel yang adil dan tenang saja soal anak buahku.” Noah langsung mengetahui tujuan Besim mengajak duel adalah tidak ingin malu kalau dia sudah dilempar dengan enteng oleh dirinya kemarin. Besim tentu tidak akan memberikan perlawanan sepihak setelah terjadi hal memalukan yang menimpa dirinya. Besim bersiap – siap melayangkan pukulan. Noah pun menc
Ternyata orang itu adalah pria kurus yang pernah Noah temui di pabrik terbengkalai. Pria itu tersenyum licik, seolah membayangkan hal yang menyenangkan. Noah menatap fokus pria itu sembari berjalan mundur, mencoba menjaga jarak untuk menghindari hal yang bisa saja mengancam nyawanya. “Bagaimana kau bisa tahu itu rumahku? Apa sebenarnya maumu?” Noah mencoba mengorek informasi darinya. Namun, pria itu hanya mendongak dan tertawa kecil. “Ha ha. Sudah kubilang barusan, penyebabnya adalah barang kecil yang kau pegang itu.” Pria misterius itu mengarahkan jari telunjuknya ke USB Drive yang digenggam erat oleh Noah. Noah masih kebingungan dengan maksud pria tersebut. Pria itu hanya tersenyum melihat wajah polos Noah. “USB Drive itu sempat kau akses melalui komputermu. Begitu barang itu terkoneksi dengan alat elektronik apapun, kami dengan sangat mudah melacak keberadaannya. Itulah kenapa kita bertemu di pabrik terbengkalai kemarin. Karena lokasi terakhir b
Siang itu tampak mendung dan mulai dingin. Mereka berdua hanya saling bertatapan satu sama lain. Noah yang curiga dengan identitas pria itu kini mulai berani membuka mulutnya. “Siapa kau? Bagaimana kau bisa tahu namaku?” Pria itu hanya senyap tidak menghiraukan pertanyaan yang Noah lemparkan kepadanya. Suasana yang hening ditambah hawa yang dingin menandakan badai akan segera tiba. Hanya suara gemuruh petir yang sesekali memecah keheningan di tempat itu. “Tuan, sepertinya kata – kataku sudah cukup jelas untuk bisa kau jawab sekarang.” Noah mulai kesal melihat wajah pria itu. “Duduklah!” Pria itu berjalan menuju sebuah etalase di belakangnya. Dia mengambil secarik kertas dan sebuah foto dari dalam laci etalase tersebut. Kemudian pria itu berjalan pelan menghampiri Noah yang baru saja duduk dan melemparkan foto yang dipegangnya ke atas meja di depan Noah. “Kau sangat mirip dengannya.” Pria itu menunjuk seseorang dari foto tersebut. Sos