Matthew menatap Tiffany dengan alis yang menungging naik. Sedangkan, Tiffany hanya terdiam membisu dengan ekspresi yang tidak terbaca. Pikirannya sedang bercabang. Entah mengapa, kata itu yang spontan saja keluar dari mulutnya. Sungguh, ia tak suka mendengar perkataan Matthew yang barusan. Dalam arti, ia tak ingin kehilangan pria itu. Tapi, bukankah seharusnya seperti ini? David sudah kembali, cintanya sudah kembali. Seharusnya, mudah bagi Tiffany untuk melepaskan Matthew. Tapi, kenapa ia sangat tidak rela.***David menghela napasnya. Ini sudah ke berapa kalinya ia melakukan hal yang seperti itu. Tiffany masih belum bisa dihubungi. Ia harus mencari gadis itu kemana? Tak ada satupun yang ia kenal di sini. Tapi, ia ingat jika Tiffany memiliki sepupu di sini. Tapi, dimana ia harus mencarinya?Tak menyerah, David kembali memencet nomor Tiffany dan berharap gadis itu mengangkat panggilannya. Rasanya, David sudah menyerah begitu sampai dering ke lima sama sekali tak ada sahutan dari gadis
"Kau tidak ingin menjelaskan apapun padanya?" tanya Matthew yang membuat dua orang manusia itu menoleh kepadanya dan itu membuat Tiffany benar-benar gugup."David." cicit Tiffany seraya meremas kedua jemarinya. David yang mendapati respon dari gadisnya itu sontak menoleh."Sebenarnya, aku dan Matthew adalah sepasang kekasih." ucapnya dengan tarikan sehela napas. Menurutnya, ini memang sudah saatnya yang tepat untuk menceritakan semuanya pada David daripada semakin lama kebohongan ini akan semakin menyakitkan. Dan, David hanya terdiam. Pria itu mengerjap lalu terkekeh, "Wah, aku tidak tahu jika aku ketinggalan berita. Pantas saja kalian sangat aneh. Sepertinya, aku juga sudah terlambat. Menyakitkan memang, tapi sepertinya itu yang harus aku terima. Jadi, sejak kapan kalian bersama?"Matthew melirik ke arah Tiffany yang kini tengah menatap David sangat dalam. Ia tahu jika gadisnya itu masih mencintai David. Namun, apa ia harus mengalah lagi sekarang? "I-itu—""Tidak. Itu dulu, sekaran
"Aku harus kembali ke Bali besok.""APA?!"Tiffany membelalakkan matanya terkejut. Apa yang baru saja dikatakan oleh David apa benar sungguhan? Ia tak salah dengar?"Kenapa? Apa yang harus aku lakukan di sini lagi."Tiffany terdiam. Pikirannya kembali mengarah pada beberapa tahun silam, dimana Tiffany dan David saling mengucap janji untuk selalu bersama sampai waktu yang tepat mereka pasti akan bertemu lagi. Tapi, yang pria itu dapatkan hanya sebuah drama yang begitu memuakkan. Maka dari tadi, Tiffany sungguh tak ingin melepas pria itu lagi. Karena, ini hari penantiannya menjadi kenyataan. "Tiff, aku tidak bodoh. Aku jelas-jelas melihat ada janggal antara kau dan Matthew. Tolong, jangan tutupi apapun. Jelaskan padaku semuanya. Aku ingin mendengarkannya darimu langsung Tiffany.""David, maafkan aku."***"Ini.""Terima kasih."Matthew mengambil segelas air putih yang disodorkan oleh Salsha padanya lalu meminum obat yang juga telah dipersiapkan gadis itu. Tadi, tiba-tiba saja ia merasa
Prang.Salsha terkejut bukan main saat terdengar suara dentuman benda jatuh. Ia menoleh ke arah Matthew yang kini sedang memegang kepalanya dengan kedua tangannya. Dan, ia baru saja memecahkan gelas yang tadi ia berikan."Matthew! Matthew! Kau kenapa?!" seru Salsha panik. Sialnya, ia lupa membawa peralatan dokternya."Aish, sial!" umpatnya. Salsha langsung memencet tombol emergency dan tak lama setelah itu ada banyak suster dan juga salah seorang dokter yang langsung menangani Matthew.Salsha kala itu langsung beringsut keluar untuk mengambil peralatan dokternya yang tertinggal. "Matthew, aku mohon. Bertahanlah." ujarnya dalam hati. ***Sisi lain, Tiffany langsung keluar dari mobil taksi yang membawanya tiba di rumahnya. Gadis itu langsung merasa cemas begitu melihat mobil David yang sudah tidak terparkir di halaman rumahnya. Dengan cepat, ia melangkah masuk ke dalam untuk menemui pria itu. "David!" pantau Tiffany seraya berjalan menaiki tangga, berjalan menuju kamarnya. Tak ada b
"Om Nathan?" gumamnya dan setelahnya ia mengangkat panggilan itu."Halo? Tiffany? Bagaimana dengan keadaan Matthew? Tadi, aku diberi kabar dari Rumah Sakit jika Matthew kritis, sekarang bagaimana keadaannya?" ujar pria paruh baya itu dari sana yang diakhiri dengan suara batuk yang tak hentinya."Apa? Matthew kritis?" ujarnya pelan dalam hati.Tiffany menoleh ke arah David yang masih terlelap dalam tidurnya, begitu pulas hingga Tiffany tak tega untuk membangunnya. "Halo? Tiff? Ah, maafkan aku. Aku tidak mendengarmu. Apa kau mengatakan sesuatu? Batuk ku ini belum kunjung membaik. Apa kau bersedia menjaga Matthew di sana? Uhuk... Uhuk..."Tiffany berkedip, ia kembali tersadar dalam dunianya. "Ya, Paman. Aku akan menjaga Matthew. Paman tenang saja. Nanti aku akan kabarkan keadaan Matthew. Sebelumnya, aku harus mengisi keperluan di sini, nanti aku akan hubungi paman lagi.""Ah, baiklah, baiklah. Terima kasih, Tiffany.""Sama-sama, Paman. Tolong jaga kesehatan, Paman."Terdengar suara keke
Tak lama ponselnya berdering kembali, tertera nama Om Nathan di sana. Tiffany menghembuskan napasnya sebelum ia memencet tombol hijau."Ya, halo Paman?""Tiffany, bagaimana keadaan Matthew? Perasaan paman tidak enak."Tiffany terdiam, ia meremas roti yang ia genggam. David yang menyadari itu segera menyentuh tangan gadisnya dan mengelusnya, memberikan kekuatan."Tiffany, kau masih di sana?""Ah, ya. Iya, Paman. Matthew sedang ditangani oleh Dokter.""Bagaimana dengan kondisinya? Dia baik-baik saja, kan?"Tiffany terdiam sejenak, "Matthew hanya perlu banyak istirahat saja, Paman. Aku rasa jadwalnya sangat padat kemarin, jadi kondisi tubuhnya menurun."Terdengar suara batuk di sana, "Ah, syukurlah. Terima kasih banyak, Tiffany. Kau gadis yang benar-benar bisa aku andalkan.""Ya, Paman. Paman sudah minum obat?""Sudah, Tiffany. Baru saja Paman minum obat.""Baiklah, jaga kondisi kesehatan Paman, ya. Kabari aku jika Paman butuh sesuatu."Pria paruh baya di sana terkekeh, "Baiklah, Tiffan
"Seharusnya, aku lebih menyadarinya.""Sudahlah, tak ada yang bisa kau sesali sekarang. Kau hanya perlu tahu bagaimana keadaan Matthew yang sebenarnya dan jaga dia dengan baik."Tiffany mengangguk, "Ya, baiklah. Terimakasih, David."David tersenyum simpul. Sebenarnya, ia memang agak tidak rela, namun sebisa mungkin ia menepis itu semua."Ngomong-ngomong, bukankah kau itu juga dokter? Apa kau tidak bekerja?""Ah itu, aku sedang mengajukan cuti.""Kau bekerja di rumah sakit ini?""Tidak, bukan. Aku bekerja di salah satu rumah sakit swasta yang tak jauh dari sini. Cutiku akan habis Minggu depan."David mengangguk paham."Kau bagaimana?""Apa yang bagaimana?""Pekerjaanmu. Bukankah, kau yang mengelola perusahaan sekarang? Jika, kau di sini siapa yang akan memantau itu semua?""Aku ke sini juga karena ada urusan pekerjaan, aku rasa jika aku membuka anak perusahaan di sini akan menjadi sebuah peluang yang hebat."Gadis itu hanya ber-oh ria. "Memangnya, kapan kau akan muka bekerja?""Lusa. A
"Bagaimana keadaanmu? Sudah merasa lebih baik?"Matthew mengangguk, "Ya, aku sudah merasa lebih baik."Senyap. Tiffany tiba-tiba saja tidak tahu apa yang harus dia lakukan. "Sebenarnya, apa yang kau sembunyikan dariku, Matthew?" "Sembunyikan? Aku sembunyikan apa?"Tiffany berdecak gemas, mengapa pria ini malah mengajaknya bercanda di saat seperti ini?"Aku tidak sedang bercanda, Matthew. Apa yang terjadi sebenarnya padamu?"Matthew malah terkekeh, "Kau ini lucu sekali.""Aku sudah katakan padamu jika akan sedang tidak bercanda. Kau ingin aku pukul?""Baiklah, baiklah. Aku mengalami kanker usus.""Hah? Apa?""Ya, aku mengalami kanker usus."Tiffany tidak berkata apa-apa, ia hanya bisa terdiam seraya terus memandangi wajah Matthew yang sialnya masih bisa tersenyum begitu lebar."Kau sedang tidak bercanda, kan?""Aku tidak sedang bercanda, Tiffany. Apa yang terjadi sebenarnya padamu?""Aish!" Tiffany sontak saja memukul pelan lengan pria itu yang malah membalikan ucapannya tadi. Sangat