"Aku harus kembali ke Bali besok.""APA?!"Tiffany membelalakkan matanya terkejut. Apa yang baru saja dikatakan oleh David apa benar sungguhan? Ia tak salah dengar?"Kenapa? Apa yang harus aku lakukan di sini lagi."Tiffany terdiam. Pikirannya kembali mengarah pada beberapa tahun silam, dimana Tiffany dan David saling mengucap janji untuk selalu bersama sampai waktu yang tepat mereka pasti akan bertemu lagi. Tapi, yang pria itu dapatkan hanya sebuah drama yang begitu memuakkan. Maka dari tadi, Tiffany sungguh tak ingin melepas pria itu lagi. Karena, ini hari penantiannya menjadi kenyataan. "Tiff, aku tidak bodoh. Aku jelas-jelas melihat ada janggal antara kau dan Matthew. Tolong, jangan tutupi apapun. Jelaskan padaku semuanya. Aku ingin mendengarkannya darimu langsung Tiffany.""David, maafkan aku."***"Ini.""Terima kasih."Matthew mengambil segelas air putih yang disodorkan oleh Salsha padanya lalu meminum obat yang juga telah dipersiapkan gadis itu. Tadi, tiba-tiba saja ia merasa
Prang.Salsha terkejut bukan main saat terdengar suara dentuman benda jatuh. Ia menoleh ke arah Matthew yang kini sedang memegang kepalanya dengan kedua tangannya. Dan, ia baru saja memecahkan gelas yang tadi ia berikan."Matthew! Matthew! Kau kenapa?!" seru Salsha panik. Sialnya, ia lupa membawa peralatan dokternya."Aish, sial!" umpatnya. Salsha langsung memencet tombol emergency dan tak lama setelah itu ada banyak suster dan juga salah seorang dokter yang langsung menangani Matthew.Salsha kala itu langsung beringsut keluar untuk mengambil peralatan dokternya yang tertinggal. "Matthew, aku mohon. Bertahanlah." ujarnya dalam hati. ***Sisi lain, Tiffany langsung keluar dari mobil taksi yang membawanya tiba di rumahnya. Gadis itu langsung merasa cemas begitu melihat mobil David yang sudah tidak terparkir di halaman rumahnya. Dengan cepat, ia melangkah masuk ke dalam untuk menemui pria itu. "David!" pantau Tiffany seraya berjalan menaiki tangga, berjalan menuju kamarnya. Tak ada b
"Om Nathan?" gumamnya dan setelahnya ia mengangkat panggilan itu."Halo? Tiffany? Bagaimana dengan keadaan Matthew? Tadi, aku diberi kabar dari Rumah Sakit jika Matthew kritis, sekarang bagaimana keadaannya?" ujar pria paruh baya itu dari sana yang diakhiri dengan suara batuk yang tak hentinya."Apa? Matthew kritis?" ujarnya pelan dalam hati.Tiffany menoleh ke arah David yang masih terlelap dalam tidurnya, begitu pulas hingga Tiffany tak tega untuk membangunnya. "Halo? Tiff? Ah, maafkan aku. Aku tidak mendengarmu. Apa kau mengatakan sesuatu? Batuk ku ini belum kunjung membaik. Apa kau bersedia menjaga Matthew di sana? Uhuk... Uhuk..."Tiffany berkedip, ia kembali tersadar dalam dunianya. "Ya, Paman. Aku akan menjaga Matthew. Paman tenang saja. Nanti aku akan kabarkan keadaan Matthew. Sebelumnya, aku harus mengisi keperluan di sini, nanti aku akan hubungi paman lagi.""Ah, baiklah, baiklah. Terima kasih, Tiffany.""Sama-sama, Paman. Tolong jaga kesehatan, Paman."Terdengar suara keke
Tak lama ponselnya berdering kembali, tertera nama Om Nathan di sana. Tiffany menghembuskan napasnya sebelum ia memencet tombol hijau."Ya, halo Paman?""Tiffany, bagaimana keadaan Matthew? Perasaan paman tidak enak."Tiffany terdiam, ia meremas roti yang ia genggam. David yang menyadari itu segera menyentuh tangan gadisnya dan mengelusnya, memberikan kekuatan."Tiffany, kau masih di sana?""Ah, ya. Iya, Paman. Matthew sedang ditangani oleh Dokter.""Bagaimana dengan kondisinya? Dia baik-baik saja, kan?"Tiffany terdiam sejenak, "Matthew hanya perlu banyak istirahat saja, Paman. Aku rasa jadwalnya sangat padat kemarin, jadi kondisi tubuhnya menurun."Terdengar suara batuk di sana, "Ah, syukurlah. Terima kasih banyak, Tiffany. Kau gadis yang benar-benar bisa aku andalkan.""Ya, Paman. Paman sudah minum obat?""Sudah, Tiffany. Baru saja Paman minum obat.""Baiklah, jaga kondisi kesehatan Paman, ya. Kabari aku jika Paman butuh sesuatu."Pria paruh baya di sana terkekeh, "Baiklah, Tiffan
"Seharusnya, aku lebih menyadarinya.""Sudahlah, tak ada yang bisa kau sesali sekarang. Kau hanya perlu tahu bagaimana keadaan Matthew yang sebenarnya dan jaga dia dengan baik."Tiffany mengangguk, "Ya, baiklah. Terimakasih, David."David tersenyum simpul. Sebenarnya, ia memang agak tidak rela, namun sebisa mungkin ia menepis itu semua."Ngomong-ngomong, bukankah kau itu juga dokter? Apa kau tidak bekerja?""Ah itu, aku sedang mengajukan cuti.""Kau bekerja di rumah sakit ini?""Tidak, bukan. Aku bekerja di salah satu rumah sakit swasta yang tak jauh dari sini. Cutiku akan habis Minggu depan."David mengangguk paham."Kau bagaimana?""Apa yang bagaimana?""Pekerjaanmu. Bukankah, kau yang mengelola perusahaan sekarang? Jika, kau di sini siapa yang akan memantau itu semua?""Aku ke sini juga karena ada urusan pekerjaan, aku rasa jika aku membuka anak perusahaan di sini akan menjadi sebuah peluang yang hebat."Gadis itu hanya ber-oh ria. "Memangnya, kapan kau akan muka bekerja?""Lusa. A
"Bagaimana keadaanmu? Sudah merasa lebih baik?"Matthew mengangguk, "Ya, aku sudah merasa lebih baik."Senyap. Tiffany tiba-tiba saja tidak tahu apa yang harus dia lakukan. "Sebenarnya, apa yang kau sembunyikan dariku, Matthew?" "Sembunyikan? Aku sembunyikan apa?"Tiffany berdecak gemas, mengapa pria ini malah mengajaknya bercanda di saat seperti ini?"Aku tidak sedang bercanda, Matthew. Apa yang terjadi sebenarnya padamu?"Matthew malah terkekeh, "Kau ini lucu sekali.""Aku sudah katakan padamu jika akan sedang tidak bercanda. Kau ingin aku pukul?""Baiklah, baiklah. Aku mengalami kanker usus.""Hah? Apa?""Ya, aku mengalami kanker usus."Tiffany tidak berkata apa-apa, ia hanya bisa terdiam seraya terus memandangi wajah Matthew yang sialnya masih bisa tersenyum begitu lebar."Kau sedang tidak bercanda, kan?""Aku tidak sedang bercanda, Tiffany. Apa yang terjadi sebenarnya padamu?""Aish!" Tiffany sontak saja memukul pelan lengan pria itu yang malah membalikan ucapannya tadi. Sangat
Tuk!David memberikan sebuah minuman kaleng di hadapan Tiffany. Kini, sepasang manusia itu berada di kafetaria untuk mengisi perut mereka. "Terima kasih, aku haus sekali." Tiffany segera membuka tutup botol itu dan menegaknya hingga habis setengah."Pelan-pelan jika ingin minum."Tiffany hanya terdiam seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ah ya, tadi kau mengatakan akan lama di sini?"David mengangguk."Berapa lama?""Aku tidak tahu, yang jelas hingga perusahaan aku berkembang di sini. Lagipula, aku yang akan memegang alih di sini.""Oh, itu tandanya kau akan terus berada di sini?""Aku rasa begitu."Tiffany hanya menganggukkan kepalanya kecil. Meski dalam hatinya, ia sudah menjerit senang."Kau, bagaimana?""Bagaimana apanya?""Katanya, kau sedang ambil cuti dari pekerjaanmu, memangnya ada apa?""Ah, itu." Tiffany mencoba menyusun kalimat agar David tidak salah paham. Bukannya apa, ia memang mengajukan cuti agar bertemu Matthew dan melangsungkan pertunangan di sana."Ada a
Matthew sontak saja terkejut ketika Tiffany malah bicara seperti itu. Astaga, ia bahkan belum mengumpulkan niatnya."Ah, baiklah. Ini, Matthew. Ayahmu."Mau tak mau, pria itu menerima telpon yang disodorkan gadis itu."Halo, Ayah?""Astaga, Nak. Bagaimana keadaanmu? Kau sudah baik-baik saja kan? Kau sudah makan?""Sudah, Ayah. Aku sudah merasa lebih baik. Aku sudah makan dan minum obat juga. Ayah bagaimana kabarnya?""Ayah baik-baik saja. Di sini juga ada asistenmu. Jadi, Ayah tidak sendiri. Besok Ayah akan ke sana.""Ayah besok ke sini? Ada perlu apa, Yah?""Astaga, kau keterlaluan sekali. Aku ingin melihat anakku yang sedang sakit, baru di operasi. Apa itu sebuah kesalahan?""Bukan seperti itu maksudku, Yah. Ayah juga baru saja lebih baik dari batuk Ayah. Di sini banyak polusi dan udara kotor. Jadi, lebih baik Ayah istirahat saja di rumah.""Aish, kau ini tetap saja menyebalkan. Besok Ayah akan tetap ke sana, diantar oleh asistenmu. Kau mengerti?"Matthew menghela napas panjang. Bag