"Meski aku masih merasa bahwa aku yang merebutmu dari Matthew tapi kau tetap gadisku sejak lima tahun lalu. Jadi, aku tidak akan melepaskanmu begitu saja kali ini."Tiffany menatap ke arah David yang sedang menampilkan wajah seriusnya. Rupanya, pria itu sedang tidak main-main. Yang dilakukan Tiffany hanya mengulum senyumnya, ia juga merasa bahagia mendengar penuturan David. "Ah ya, besok kau akan ke rumah sakit lagi?"Tiffany menoleh lalu mengangguk."Sepertinya, besok aku tidak bisa ikut bersamamu.""Eh, ada apa?""Aku harus terjun ke lapangan besok untuk memantau proses pembangunan. Setelah selesai nanti, aku akan menyusulmu."Tiffany hanya mengangguk, hati kecilnya berkata syukur bahwa sekiranya David tidak bertemu dengan Ayahnya Matthew. Namun, satu sisi ia juga sedikit merasa kecewa."Baiklah."Kini, mereka sudah tiba di depan mobil berwarna hitam milik David."Masuklah." Tiffany mengangguk dan menurut.***"Matthew."Pria itu menoleh saat ada seseorang yang memantau namanya."K
"Duduklah!" Masih dalam mode terkejut, Tiffany mengikuti perintah David yang lebih dulu menghempaskan bokongnya dikursimeja makan.Tiffany berdehem, menetralkan detakjantungnya yang bekerja tidak normal, "Maaf. Aku hanya bisa memasak omelet untukmu. Aku pikir, kau akan pergi pagi ini jadi agak susah jika harus memasak yang berat-berat.""Tidak masalah. Aku menyukainya." David terkekeh, ia tahu jika gadis dihadapannya ini sedang salah tingkah."Ah, iya! Ini, ini omelet milikmu. Tidak ada bawang disitu. Kau tidak menyukai bawang, 'kan?" David mengangguk.Tiffany memberikan sepiring omelet yang memang sengaja tidak diberi bawang didalamnya, karena ia sudah yakin jika David tidak menyukai bawang. Entah alergi atau apa, yang jelas setiap ia memakan bawang perut pria itu terasa mual dan ingin muntah."Kau tahu darimana jika aku tidak menyukai bawang, hmm?" Tanyanya lembut disela sela sarapannya."I--tu," Mata Tiffany tidak fokus,manik hitamnya terlihat berkeliaran,"Aku tahu dari ibumu,
"Aku tidak tahu harus mengatakan apa nanti.""Katakan saja yang sejujurnya pada Ayahnya Matthew. Ah ya, nanti setelah dia datang kau bisa langsung ke ruanganku? Aku ingin mengecek kondisinya sebentar."Tiffany mengangguk, "Baiklah. Lebih baik jika kita tahu bagaimana keadaan Ayahnya sebelum memberitahunya. Untung saja, David sedang tidak berada di sini.""Ya, hari ini beruntung. Tapi, kau juga harus memastikan jika David tidak mendengar sesuatu yang bisa saja membuatnya salah paham.""Ya, aku tahu. Semoga saja, Ayahnya Matthew dalam keadaan baik-baik saja dan masalah ini dapat selesai.""Kau ingin masalah ini cepat selesai dan bisa hidup berdua dengan David?"Tiffany mengerjap, tubuhnya mendadak kaku digerakkan. Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa itu yang ia inginkan. ***Tok! Tok!Pintu itu terbuka dan menampilkan pria paruh baya dengan kemeja coklat dan kaca matanya diikuti seorang gadis muda berambut pendek, itu asistennya Matthew."Ayah!" Matthew berseru saat melihat
Tiffany yang teringat dengan ucapan Salsha tadi sontak mencegah pria itu yang baru saja hendak duduk di kursinya."Maaf, Yah. Lebih baik kita mengecek kondisi kesehatan jantung Ayah lebih dulu sebelum lebih lama di sini. Bagaimana?""Ah, baiklah, baiklah. Kau memang gadis yang sangat pengertian, Tiff."Tiffany hanya mengulum senyumnya lalu menuntun pria paruh baya itu menuju ke ruang Salsha, hingga menyisahkan Matthew dan asistennya saja di ruangan itu. Matthew yang dapat menangkap sinyal dari Tiffany hanya bisa tersenyum miris. ***"Sekarang, Paman berbaring saja ya di sini. Aku akan memeriksa kesehatan Paman. Tiffany menunggu di luar."Pria paruh baya itu hanya mengangguk, lalu ia membaringkan dirinya di ranjang sempit untuk pasien seraya memperhatikan Salsha yang tengah bergelut dengan perlengkapan dokternya."Paman masih ingat padaku?""Kau? Bukannya Salsha? Teman band-nya Matthew saat itu?"Salsha yang mendengar itu sontak terkekeh, "Ya, aku Salsha, Paman. Sudah lama sekali kita
"Tiffany, maafkan Matthew yang menggantungmu lama sekali. Anak ini memang tidak pernah mau mendengarkan ucapan Ayahnya."Tiffany tak merespon apapun, ia hanya diam mematung menyaksikan pria paruh baya itu yang masih mengoceh pada Matthew. Sedangkan, Matthew juga sama sepertinya, hanya mampu terdiam dan terkadang mencuri pandang ke arahnya. "Astaga, kau ini menyebalkan. Kalau begitu, kau lamar saja Tiffany sekarang."Bersamaan, kedua anak manusia muda di sana membulatkan kedua matanya mendengar penuturan pria paruh baya itu. Bagaimana bisa semudah itu? Melamar di sini? "Ah, aku tidak bisa Ayah.""Mengapa tidak bisa? Kau sudah sehat, jauh lebih baik. Sudah ada Tiffany juga di sini. Kau hanya tinggal mengatakan ingin menikahinya dan Tiffany akan menjawab, lalu setelahnya kau memasangkan cincin itu pada jemarinya. Sudah selesai. Ayah juga telah menghubungi keluarga Tiffany di Korea sana dan mereka setuju dengan keputusan Ayah."Matthew lagi-lagi hanya terdiam. Baiklah, memang akan lebih
Pria paruh baya itu nampak menghela napasnya panjang, "Jadi, apa alasan kalian mengakhiri hubungan?"Tiffany melirik ke arah Matthew. Pria itu mengigit bibir bawahnya."Aku rasa, aku sudah tidak cocok dengan Tiffany, Yah.""Tidak cocok? Kalian sudah lama menjalin hubungan, Matthew. Mustahil jika kalian hanya berpisah karena tidak cocok. Dan kau Matthew, tidak mungkin kau sampai berniat memesan cincin khusus untuk melamar Tiffany hanya kau ingin mengakhiri hubungan dengan alasan tidak cocok. Kau pikir aku percaya?" nada pria itu sedikit meninggi. Tatapannya sontak saja berubah marah. Jujur saja, selama hidupnya ia tidak pernah berharap pada suatu hal sampai seperti ini."Maafkan aku, Ayah.""Astaga, Matthew. Aku yakin pasti ada yang terjadi di antara kalian. Jika ada masalah, kalian bisa bicarakan baik-baik. Kalau belum selesai juga, salah satu dari kalian bisa menghubungiku untuk menanyakan pendapat. Tidak harus mengakhirinya, bukan? Kalian sudah lama menjalin hubungan. Seharusnya, ka
"Halo?""Halo, Tiffany? Kau sudah selesai? Atau ingin masih di sana? Aku sudah dalam perjalanan pulang. Kau ingin titip sesuatu?"Tiffany melirik ke arah jarum jam yang ada ditangannya, "Sudah jam setengah delapan malam, sepertinya aku ingin pulang saja.""Baiklah. Kalau begitu, apa kau ingin sesuatu?""Tidak.""Baiklah, sebentar lagi aku akan menjemputmu."Tiffany mengangguk, "Baiklah."PIP.Telepon itu terputus, Tiffany memasuki ruangan serba putih itu dengan gugup. Keadaan masih sama, Ayahnya Matthew masih nampak sulit mencerna semua yang telah terjadi. "Baiklah, berarti sekarang yang aku mengerti bahwa Matthew sudah tidak lagi bersama Tiffany, tapi sudah bersama dengan Salsha, begitu?"Salsha mengiyakan, "Aku dan Matthew sudah resmi menjadi sepasang kekasih. Aku harap, Paman menyetujui hubungan kita."Matthew lagi-lagi tak bisa menutupi wajah terkejutnya mendengar perkataan Salsha yang benar-benar membuatnya tidak habis pikir. Ini kali pertamanya, ia mendengar sekaligus melihat S
"Kau ingin sesuatu lagi?" tanyanya seraya melihat ke arah jam yang ada dipergelangan tangannya.Tiffany menggeleng, "Tidak, kopi ini sudah cukup menghangatkan tubuhku."David mengangguk, "Aku rasa, aku ingin membuka kafe baru di sini.""Kafe baru?"David mengangguk, "Ya, di sini yang aku lihat banyak sekali yang ingin mencicipi makanan khas Bali. Bahkan, aku jarang sekali melihat restoran yang menyajikan menu Bali. Aku pikir, itu akan menjadi salah satu pemasaran yang cukup baik. Bagaimana menurutmu?"Tiffany mengangguk antusias, "Aku setuju! Lalu, siapa yang akan mengelolanya juga?""Aku memiliki asisten di Bali. Aku rasa, aku akan meminta bantuannya.""Asisten? Siapa?""Namanya Rosa. Nanti akan aku kenalkan padamu."Tiffany hanya tersenyum lebar mendengarnya. Jika, David membuka restoran di sini, itu tandanya ia akan semakin dekat pula dengan pria itu. Ah, Tiffany benar-benar tidak bisa menutupi rasa bahagianya.***Flip!Ruangan itu menyala, menampilkan seisi apartemen Tiffany. Gad
Menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya dokter yang menangani Rosa keluar. "Bagaimana keadaannya, Dok?""Rosa baik-baik saja, dia hanya kelelahan saja. Bayinya juga baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Gilang yang mendengar itu, tanpa basa-basi lagi langsung menyerobot masuk ke dalam, ia ingin melihat keadaan Rosa secara langsung. Rupanya, gadis itu sudah sadar, tatapannya nampak kosong, ia hanya menatap datar ke arah Gilang yang kini sedang menatapnya sendu."Aku akan menikahimu, Rosa. Jadi, aku mohon, jangan melakukan hal yang tidak-tidak padanya, dia tidak salah apapun. Bagaimanapun aku ini ayahnya, aku ingin membesarkannya."Samar-samar, Rosa mendengar suara David yang sangat perhatian pada Tiffany, penuh kasih sayang dan sangat lembut. Rosa hanya tersenyum kecil, sedetik kemudian, ia merasa tubuhnya hangat dalam dekapan Gilang.***Satu bulan kemudian...Tiffany sedang menatap hamparan laut biru depannya, sepanjang mata memandang hanya ada keindahan air yang
Gilang yang sedang memainkan ponselnya, menanyakan bagaimana kabar Rosa sekarang. Namun, sudah dari setengah jam yang lalu, gadis itu tak kunjung membalas. Detik berikutnya, David kembali ke dalam mobil. Wajahnya kali ini nampak lebih segar dari sebelumnya, dapat ditebak jika sesuatu yang baik baru saja terjadi."Ey, ada apa, nih? Wajahmu sumringah seperti itu. Bagaimana dengan Tiffany tadi?""Tiffany akhirnya percaya padaku, tapi aku harus membuktikan semuanya.""Ya, kau memang harus melakukannya. Kebenaran yang ditutupi juga tidak akan berkunjung baik.""Jadi, apa rencanamu, David?""Aku akan melakukan tes DNA besok. Gilang, kau tolong sampaikan ini pada Rosa."***Saat ini, mereka semua berada di dalam sebuah ruangan VIP yang memang telah disediakan khusus, menunggu hasil pemeriksaan test DNA keluar. Tiffany, David, Zelo, Andre, Mario, Philip, Gilang, dan Rosa tidak ada yang bersuara. Ruangan itu nampak senyap, hanya terdengar suara jarum jam yang beputar. Dari sudut pandangnya,
"Rosa? Apa ini Rosa?" gumamnya pelan, ia sontak mengeluarkan ponselnya, meyakinkan asumsinya bahwa itu benar Rosa melalui nomor ponsel yang terdaftar di sana, ia ingin mencocokannya.Sedetik kemudian, Tiffany terkejut bukan main bahwa itu benar Rosa, sahabat David yang ia kenal selama ini. Jadi, Rosa hamil? Dengan siapa?Masih terkejut, Tiffany malah mendapati sebuah pesan email masuk dari orang yang tidak ia kenal. Ia mengklik sebuah dokumen di sana. Lagi, napasnya seperti tercekat, pasokan udara terasa menipis di dadanya. Lututnya kembali lemas dan ia terjatuh begitu saja. Ia sungguh terkejut melihat foto David dan Rosa yang berbaring tanpa busana. Jadi, mungkinkah anak yang dikandung Rosa anaknya David?"Tiffany!"Itu, suara Philip. Pria itu berlari mendekat dan mengambil posisi di samping Tiffany. Dari raut wajahnya, jelas memperlihatkan jika gadis itu sudah mengetahuinya."Tiff, kau baik-baik saja?"Tiffany menggeleng, wajahnya pucat pasi. "Philip, apa benar Rosa hamil anaknya Da
David mengkliknya dan sontak ia membulatkan kedua matanya. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang, di sana terdapat banyak sekali foto yang menampilkan dirinya dengan Rosa yang sedang berbaring tanpa busana. David jelas tahu dimana tempat itu, di sebuah ruangan kecil yang memang ia sediakam untuk beristirahat. Dalam hati, ia meronta-ronta. Sungguh, ia berani bersumpah bahwa ia tidak yakin pernah berbuat sejauh ini dengan gadis itu. Yang ia ingat, ia hanya tertidur di ruangan itu, tidak lebih. Bahkan, ia juga ingat betul jika dirinya sangat bugar dan segar saat bangun, tidak seperti orang yang baru saja mengeluarkan tenaga banyak. Lagipula, ia tidak mengingat apapun. Sekalipun mabuk, ia yakin seratus persen jika ia tidak meminum jenis alkohol apapun saat ini. "David? Kau sudah melihatnya?""Tidak, aku tidak melakukannya. Sungguh, aku tidak pernah melakukannya. Aku harus meluruskannya langsung dengan Rosa.""Kau jangan gegabah. Aku dan yang lainnya sedang menuju ke tempatm
Baru saja, saat Tiffany ingin membuka ujung antiseptik, Philip dengan cepat menahan lengannya hingga pergerakannya terhenti secara tiba-tiba."Biar aku saja yang obati." ucap pria itu seraya mengambil alih lagi antiseptik itu. Ia meneteskan antiseptik pada kapas yang sudah dibalut kain kasa."Jangan diulangi lagi, aku tidak mau kau terluka."''Tidak perlu cemas, ini hanyalah luka kecil. Tidak seberapa."Philip tidak menggubris. Ia fokus mengobati bibir tipis Tiffany. Ia terdiam mengamati pemandangan dihadapannya. Bibir merah ranum itu lebih menggiurkan ketika dilihat dengan jarak dekat. Ya, seperti buah persik, atau mungkin rasanya juga sama. Pikir Philip. Ia semakingugup sekarang ketika membayangkan bagaimana tekstur dan rasanya. Namun, dengan cepat ia menepis semua pikiran jeleknya."Sudah. Jangan diulangi lagi."Tiffany tersenyum kecil, "Terima kasih."Tidak sengaja, saat ia hendak membereskan kotak P3K, matanya tidak sengaja melirik ke arah benda pipih yang tergeletak begitu saja
Di dalam mobil, Tiffany tentu mendengar teriakan itu. Ia hanya bisa diam dan sesekali melihat ke arah kaca spion yang masih menampilkan David hingga mereka berbelok di perempatan."Kau sebaiknya beristirahat malam ini. Kau tidak usah masuk dulu besok, aku akan memberitahu staff rumah sakit."Tak ada sahutan, Tiffany hanya diam saja seraya menatap lurus ke luar jendela. Ia sudah tidak menangis lagi, tenaganya sudah habis terkuras tadi. Yang tersisa hanya jejak air mata yang mengering di wajahnya. Philip memaklumi, ia tidak akan banyak omong.***Esok paginya, Tiffany terbangun dengan tubuhnya yang masih terasa lemas, juga wajahnya yang membengkak akibat menangis. Ia berada di apartemennya. Sebenarnya, ia sudah bangun sejak dua jam yang lalu, tapi rasanya ia sangat malas beranjak dari atas kasur. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Tidak ada yang ingin ia lakukan hari ini, apalagi mengingat kejadian semalam. Rasanya, seperti mimpi. Ia tidak pernah menyangka jika hub
"Tiffany, kau ingin keluar? Aku tidak nyaman berada di tengah-tengah mereka." "Baiklah. Sepertinya, udara di luar lebih sejuk." Tiffany merasakan hal yang sama, bau ruangan itu sudah bukan lagi aroma lezat makanan tapi sudah didominasi aroma minuman alkohol, ia tidak menyukainya.Tanpa berpamitan lagi pada David, Tiffany segera menyusul Rosa yang sudah lebih dulu keluar. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah sebuah danau kecil dengan beberapa pohon rindang di pinggirnya, gemerlap lampu yang temaram membuat suasana semakin nyaman dinikmati.Kedua gadis itu terus berjalan hingga mereka akhirnya tiba di sebuah jembatan kecil yang digunakan untuk menyebrangi sungai. Memang, di seberang sana ada kandang kuda dan juga lapangan golf. Besar sekali memang rumah Zelo. "Aroma parfummu sama sepertiku." Tiffany menyeletuk saat ia tidak sengaja mencium bau badan Rosa."Benarkah? Aku memakai parfum Channel no 5.""Benar! Aku juga memakainya, pemberian dari David."Rosa terkekeh, "Sepertinya, it
"Kau tidak ikut bermain?"Tiffany menoleh, Rosa sudah di sampingnya sedang mengikat rambut. "Tidak, aku tidak bisa bermain baseball.""Oh, benarkah? Padahal, David sangat menyukai permainan olahraga ini. Dari kecil, dia sudah sangat jago dan berlatih setelah pulang sekolah. Aku juga bisa bermain baseball karena David." Rosa berkata dengan senyumannya."Lebih menyenangkan jika kau bisa bermain baseball dengan seseorang yang kau sayangi, bukan?" Rosa melanjutkan dengan nada yang sedikit berbeda, seolah menyudutkan Tiffany.Tidak ada respon apapun yang diberikan Tiffany, ia hanya diam seraya memperhatikan Rosa yang tengah tersenyum miring ke arahnya seraya berjalan menuju sekumpulan pria itu. Di tempatnya, Tiffany hanya bisa memperhatikan mereka yang sedang asik bermain. Meski pandangannya tertuju pada lapangan juga David, tapi pikirannya sedang mengambang, ia kembali mengingat kejadian semalam dengan Salsha. Bukan hal yang tidak mungkin jika Rosa menaruh perasaan pada David, mereka sud
"Kau masih ingat bagaimana prianya?"Salsha mencoba mengingat kembali, "Sedikit. Aku ingat rambutnya."Tiffany dengan segera mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto yang berisi enam pria yang sedang tersenyum lebar di tengah-tengah lapangan baseball, lengkap dengan pakaian juga sebuah piala di sana."Apa ada di salah satu pria ini?"Salsha mengamatinya dengan teliti hingga ia merasa familiar dengan seorang pria di tengah-tengah, "Ini! Dia orangnya."Itu, Gilang.Setelahnya, Tiffany tidak banyak bicara, ia hanya diam mencoba mencerna apa yang terjadi selama ini. Mendapati hal ini, rasa curiga yang tadi sempat terpendam kini muncul kembali, ia menggali ingatannya dengan beberapa kejadian yang melibat Rosa belakangan ini. Gadis itu memang selalu hadir menjadi topik pertengkaran ia dan David hingga berujung salah paham."Tiffany, jika aku boleh menyarankan, kau harus berhati-hati dengan dia. Kau jangan terlalu percaya padanya. Dia memang sahabat David, tapi dia tetap orang asin