"Tiffany, maafkan Matthew yang menggantungmu lama sekali. Anak ini memang tidak pernah mau mendengarkan ucapan Ayahnya."Tiffany tak merespon apapun, ia hanya diam mematung menyaksikan pria paruh baya itu yang masih mengoceh pada Matthew. Sedangkan, Matthew juga sama sepertinya, hanya mampu terdiam dan terkadang mencuri pandang ke arahnya. "Astaga, kau ini menyebalkan. Kalau begitu, kau lamar saja Tiffany sekarang."Bersamaan, kedua anak manusia muda di sana membulatkan kedua matanya mendengar penuturan pria paruh baya itu. Bagaimana bisa semudah itu? Melamar di sini? "Ah, aku tidak bisa Ayah.""Mengapa tidak bisa? Kau sudah sehat, jauh lebih baik. Sudah ada Tiffany juga di sini. Kau hanya tinggal mengatakan ingin menikahinya dan Tiffany akan menjawab, lalu setelahnya kau memasangkan cincin itu pada jemarinya. Sudah selesai. Ayah juga telah menghubungi keluarga Tiffany di Korea sana dan mereka setuju dengan keputusan Ayah."Matthew lagi-lagi hanya terdiam. Baiklah, memang akan lebih
Pria paruh baya itu nampak menghela napasnya panjang, "Jadi, apa alasan kalian mengakhiri hubungan?"Tiffany melirik ke arah Matthew. Pria itu mengigit bibir bawahnya."Aku rasa, aku sudah tidak cocok dengan Tiffany, Yah.""Tidak cocok? Kalian sudah lama menjalin hubungan, Matthew. Mustahil jika kalian hanya berpisah karena tidak cocok. Dan kau Matthew, tidak mungkin kau sampai berniat memesan cincin khusus untuk melamar Tiffany hanya kau ingin mengakhiri hubungan dengan alasan tidak cocok. Kau pikir aku percaya?" nada pria itu sedikit meninggi. Tatapannya sontak saja berubah marah. Jujur saja, selama hidupnya ia tidak pernah berharap pada suatu hal sampai seperti ini."Maafkan aku, Ayah.""Astaga, Matthew. Aku yakin pasti ada yang terjadi di antara kalian. Jika ada masalah, kalian bisa bicarakan baik-baik. Kalau belum selesai juga, salah satu dari kalian bisa menghubungiku untuk menanyakan pendapat. Tidak harus mengakhirinya, bukan? Kalian sudah lama menjalin hubungan. Seharusnya, ka
"Halo?""Halo, Tiffany? Kau sudah selesai? Atau ingin masih di sana? Aku sudah dalam perjalanan pulang. Kau ingin titip sesuatu?"Tiffany melirik ke arah jarum jam yang ada ditangannya, "Sudah jam setengah delapan malam, sepertinya aku ingin pulang saja.""Baiklah. Kalau begitu, apa kau ingin sesuatu?""Tidak.""Baiklah, sebentar lagi aku akan menjemputmu."Tiffany mengangguk, "Baiklah."PIP.Telepon itu terputus, Tiffany memasuki ruangan serba putih itu dengan gugup. Keadaan masih sama, Ayahnya Matthew masih nampak sulit mencerna semua yang telah terjadi. "Baiklah, berarti sekarang yang aku mengerti bahwa Matthew sudah tidak lagi bersama Tiffany, tapi sudah bersama dengan Salsha, begitu?"Salsha mengiyakan, "Aku dan Matthew sudah resmi menjadi sepasang kekasih. Aku harap, Paman menyetujui hubungan kita."Matthew lagi-lagi tak bisa menutupi wajah terkejutnya mendengar perkataan Salsha yang benar-benar membuatnya tidak habis pikir. Ini kali pertamanya, ia mendengar sekaligus melihat S
"Kau ingin sesuatu lagi?" tanyanya seraya melihat ke arah jam yang ada dipergelangan tangannya.Tiffany menggeleng, "Tidak, kopi ini sudah cukup menghangatkan tubuhku."David mengangguk, "Aku rasa, aku ingin membuka kafe baru di sini.""Kafe baru?"David mengangguk, "Ya, di sini yang aku lihat banyak sekali yang ingin mencicipi makanan khas Bali. Bahkan, aku jarang sekali melihat restoran yang menyajikan menu Bali. Aku pikir, itu akan menjadi salah satu pemasaran yang cukup baik. Bagaimana menurutmu?"Tiffany mengangguk antusias, "Aku setuju! Lalu, siapa yang akan mengelolanya juga?""Aku memiliki asisten di Bali. Aku rasa, aku akan meminta bantuannya.""Asisten? Siapa?""Namanya Rosa. Nanti akan aku kenalkan padamu."Tiffany hanya tersenyum lebar mendengarnya. Jika, David membuka restoran di sini, itu tandanya ia akan semakin dekat pula dengan pria itu. Ah, Tiffany benar-benar tidak bisa menutupi rasa bahagianya.***Flip!Ruangan itu menyala, menampilkan seisi apartemen Tiffany. Gad
Sebuah tangan besar mencengkram punggung tangan Tiffany. Terkejut? Tentu saja. Sontak. Tiffany menoleh, sebuah rahang tegas milik dari pria Bali bernama belakang Mahesa ini ia dapatkan. Entah terjadi apa dengan jantungnya, setiap berhadapan dengan pria ini ia merasa ada yang aneh dengan detakan jantungnya. Jantungnya bekerja lebih cepat dari biasanya.Tiffany mengambil kesempatan ini, ia menatap lekat lekat kedua mata elang itu. Hembusan nafas segar keluar begitu saja dari hidung mancung David. Jarak mereka cukup dekat hanya terpaut dua cm. Prang!Piring yang sejak tadi Tiffany genggam seketika terhempas ke lantai. Menimbulkan suara yang cukup keras. Ya, Kayara kehilangan keseimbangannya hingga piring yang tidak berdosa itu menjadi korban."Eh. Maaf, aku tak sengaja."Tiffany membungkuk, berniat membersihkan pecahan piring yang berserakan di lantai. David, pria ini menatap Tiffany sejenak. Lalu, ia membungkuk melakukan hal yang sama dengan Tiffany. Tapi...."Ahh!"Tiffany meringis ke
"David! Tunggu aku!" teriak Tiffany yang sudah tertinggal jauh dengan David.Dengan berat hati sekaligus dengan kakinya yang masih sakit Tiffany terpaksa berlari. Mensejajarkan tubuhnya dengan David yang lebih tinggi darinya lima cm."Bisa kita beristirahat sebentar? Aku sudah tidak kuat, kakiku rasanya ingin patah." terdengar sangat menyedihkan suara gadis berkebangsaan indonesia ini."Kau sudah banyak makan dan minum tadi, jadi kau masih punya banyak tenaga untuk berjalan satu jam lagi." sahut David dengan santainya."Aish! Kenapa kau jadi kejam seperti ini? Oh ayolah, aku tahu kau juga sangat lelah."David yang melihat itu terkekeh, Tiffany yang sekarang jauh lebih banyak omong daripada dulu. Meski sedikit membuatnya terkejut, namun ia tetap menyukainya."Baiklah, tunggu sebentar di sini." "Huh?""Huh?" Tiffany memutar bola matanya, malas. Ditatapnya punggung David yang mulai menjauh darinya, melangkah ke salah satu pedagang kaki lima yang ada disekitar mereka.Dengan jalan yang t
"Ada apa? Kau menunggu kabar dari Tiffany?"Matthew tersenyum miris, "Aku memang bodoh yang masih berharap dia balik padaku."Salsha yang melihat itu hanya bisa tersenyum simpul, lalu menjulurkan segelas air minum dan obat yang ia bawa. "Minumlah ini dulu. Tubuhmu juga butuh tenaga."Matthew hanya menurut lalu membereskan rambutnya yang sedikit berantakan, matanya masih melirik ke arah ponselnya, "Tidak seperti biasanya.""Mungkin, dia sedang ada urusan jadi tidak bisa datang. Ingatlah, dia juga bekerja sebagai dokter.""Biasanya, dia selalu memberiku kabar, apapun itu. Ah, rasanya aneh sekali." cicitnya seraya mengingat tingkah mereka dulu sebelum semua ini terjadi. "Sudahlah, tidak usah terlalu dipusingkan. Kau tidak boleh berpikir berat dulu saat ini. Ingatlah juga dengan kondisimu."Matthew mengangguk, tak lama disusul dengan suara pintu kamar mandi yang terbuka. Nampak seorang pria paruh baya tengah bersenandung seraya menggosok rambutnya yang masih basah. "Eh, Salsha? Kau data
"Kau masih tidak ingin tidur?"David menggeleng, "Aku belum mengantuk. Kau tidur duluan saja."Tiffany menggeleng, "Aku tidak mengantuk, aku akan menemanimu di sini."David hanya terdiam lalu tersenyum geli, Tiffany memang tak pandai berbohong. Kedua matanya sangat sayu ditambah lagi dengan gadis itu yang terus menguap. Jelas sekali, jika gadis itu sedang menahan ngantuk. Akhirnya, mereka melanjutkan menonton televisi hingga jam sudah menunjukkan pukul setengah dua malam. David menoleh ke arah sisi kanannya, Tiffany sudah tertidur pulas dengan dengkuran halus. Pria itu terkekeh sejenak sebelum ia membaringkan kepala Tiffany pada pundaknya lalu menciumnya sekilas. David memposisikan tubuhnya agar nyaman dan meletakkan kepalanya pada tumpuan kepala Tiffany. Mereka tertidur di sofa ruang tengah. ***Pagi hari, Tiffany menggeliat dari tidurnya. Tubuh bagian belakangnya terasa sedikit sakit dan juga ngilu. Ia mengedarkan pandangannya ke arah penjuru ruangan. Sepi sekali. Tak ada tanda-ta